Di sebuah rumah kecil berdinding kayu milik si tukang kayu, Maya berusaha memulihkan tenaganya. Luka-lukanya belum sembuh benar, tubuhnya masih memar-memar, tak ada luka parah namun lebam kebiruan di sekujur tubuh dan kepalanya terasa amat nyeri terutama bila malam tiba, tidurnya jadi gelisah. Gadis itu kembali mengepang rambutnya seperti dia lakukan saat sekolah dulu. Pakaian yang membalut tubuhnya adalah pakaian yang tersedia di lemari pakaian milik putri sang pencari kayu.
Kini si gadis kepang dua telah mengganti pakaiannya dengan daster milik anak sang pemilik rumah. Sementara pakaian yang ia kenakan dari rumah telah dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam yang digantungkan di dinding kamarnya.
“Bu..Terima kasih atas sarapan paginya,”ucap Maya yang merasa salut dengan istri tukang kayu dalam kondisi lumpuh masih bisa menyiapkan makanan pagi untuk suaminya.
“Sama-sama,Nak. Sudah baikan sekarang?”
Maya hanya mengangguk sambil tersenyum.
Si tukang kayu menatapnya sambil tersenyum lalu melanjutkan pekerjaannya, mengikat tumpukan kayu bakar dan meletakkannya di atas gerobaknya. Hari ini laki-laki tua itu akan mendorong gerobaknya ke pasar dan menjualnya pada pedagang yang membuka lapak di sana.
“Oh iya. Kita belum sempat kenalan. Nama saya Maya,siswa SMA yang jadi korban penculikan dan dibuang di jurang. Nama kalian siapa?”
“Panggil saya Pak Suminta. Itu istri saya Sri Suminta.”
“Senang berkenalan dengan kalian.Saya sangat berterima kasih atas pertolongan kalian.”
“Tak usah dilebih-lebihkan. Kamu sudah kami anggap anak sendiri. Wati anak kami satu-satunya juga perempuan. Dia sudah bekerja dan menikah di kota. Kami jadi ingat dia kalau melihatmu,Nak.”
Mata ibu tua itu berkaca-kaca, guratan di kedua pipi dan keningnya nampak jelas, kantung matanya pun tampak menggembung, di usianya yang telah senja dan sakit-sakitan, beliau amat mengharapkan kehadiran sang putri yang jarang datang berkunjung.
Pak tua pencari kayu bakar telah siap dengan gerobak dorongnya yang diisi penuh tumpukan kayu bakar. Tubuhnya yang kurus dibalut kaos oblong warna putih yang telah kumal dan celana kolor hitam yang biasa dipakai petani.
Wajah dan tubuh Pak Suminta menghitam karena terbakar matahari, rambutnya sebagian telah berubah warna, bersembunyi di balik topi capingnya yang telah usang.
Wajah Maya yang cantik dengan bola mata yang bulat bersinar kini menjadi kuyu karena kurang tidur menahan rasa sakit di tubuh, kulitnya yang semula putih kini sedikit lebih gelap.
“Boleh saya ikut ke kota,Pak?”pinta Maya dengan penuh harap.
“Jarak ke kota lumayan jauh,Nak. Harus melewati rel kereta api dan jalanan yang naik turun. Bisa makan waktu dua jam.Tunggu kau pulih benar.”
“Tapi aku sanggup jalan,Pak.”
Maya menunjukkan mimik serius dan semangatnya kembali pulih meskipun badannya belum pulih benar.
Ibu tua yang mengenakan daster panjang duduk di atas kursi roda bekas yang dibawakan anaknya dari kota. Konon itu adalah milik almarhum majikannya yang telah meninggal tiga tahun yang lalu. Bagaimanapun ibu tua sangat berterima kasih pada kursi roda yang telah membantunya lebih mudah melakukan segala sesuatu. Bu Sri, nama wanita tua itu mencekal pundak Maya yang berdiri di dekatnya, ia menggelengkan kepalanya tanda kurang setuju dengan keputusan Maya. Gadis itu pun mengurungkan niatnya, lalu menatap perempuan tua itu dan mengangguk, ia tak tega membangkang karena yakin firasat orang tua itu benar.
Hampir satu minggu Maya menghilang dari rumah, kini ketakutan mulai menyelimutinya. Gadis itu memikirkan kondisi sang mama yang pasti sangat terpukul, juga sekolahnya yang pasti banyak tertinggal pelajaran. Namun ia harus bersabar menunggu hingga kekuatannya pulih dan luka-lukanya mengering.
Hari ketiga Maya di rumah itu, lebam membiru di tubuhnya mulai pudar, rasa sakit pun mulai berkurang. Dengan mengenakan pakaian bekas Wati,putri si pengumpul kayu bakar, Maya pun diijinkan ikut berjalan kaki ke kota bersama Pak Suminta yang mengantarkan dagangannya ke pasar. Dengan berbekal payung dari Ibu Sri, gadis itu berjalan di samping gerobak sambil berteduh di bawah payung hitam yang membawanya menyusuri jalan sejauh dua jam lamanya.
Sepanjang jalan Pak Suminta banyak bercerita kenangan manis bersama Wati ketika dia masih kecil dulu, sehingga perjalanan jauh lebih menyenangkan. Namun di tengah jalan, cakrawala yang semula terang benderang berubah menjadi gelap, matahari bersembunyi di balik awan dan angin pun kencang bertiup. Payung hitam yang dibawa Maya terombang ambing tertiup angin, tongkat hitam yang dipegangnya menjadi berat dan payung menjadi bengkok akibat kuatnya angin bertiup. Gadis itu berusaha sekuat tenaga memegang payungnya agar tidak terbang bersama angin kencang. Cuaca terang berubah menjadi rintik-rintik, pak tua pencari kayu bakar memasang terpal plastik warna biru untuk menutupi dagangannya agar tetap kering sampai di pasar dan ia pun mengenakan jas hujannya berwarna biru tua sambil terus mendorong gerobak. Maya di sampingnya mulai kedinginan karena tidak mengenakan jas hujan. Tiupan angin membuat pakaian yang ia kenakan menjadi basah.
“Pak. Apakah bisa kita berteduh dulu?”tanya gadis kepang dua sambil melipat tangan kirinya di depan dada untuk mengusir rasa dingin yang menerpa.
“Nanti,Nak. Tunggu kita ketemu rumah atau ruko. Kalau di bawah pohon bahaya tersambar petir.”
Kilat menyambar-nyambar, kilatan cahayanya bermain di langit menimbulkan percikan api yang membisingkan sekaligus menakutkan.
“Jedeer…”
Maya menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangannya.Gadis itu menahan tangis dalam dingin dan rasa takutnya. Di sini ia merasakan betapa nyamannya ketika ia di rumah bersama mama, meskipun rumahnya sangat sederhana, ia terlindung dari hujan dan panas.
“Nak..Kita mampir ke rumah majikan Wati dulu?”
Maya hanya menganggukkan kepala, lalu berjalan di sepanjang trotoar setelah pak tua menitipkan gerobaknya pada tukang parkir di sana.
“Bah..Saya bapaknya Wati. Apa bisa ketemu anak saya sebentar saja?”
Laki-laki gemuk bermata sipit adalah pemilik toko kelontong dimana Wati,anak pak tua pencari kayu bakar bekerja di kota.
“Sebentar. Owe panggilkan,”sahutnya sambil berteriak ke dalam ruko yang merangkap sebagai rumah tinggalnya.
Tak lama kemudian muncullah seorang wanita berusia sekitar 25 tahunan berpakaian kaos warna merah dan celana panjang jeans biru muda, rambutnya tampak dicat kuning kecoklatan dan mengenakan kalung serta gelang emas dengan rantai besar-besar. Wajahnya hitam manis dan sekilas mirip wajah pak tua.
“Eh..Bapak. Apa kabar ?”katanya sambil mencium tangan Pak Suminta.
“Nduk,ini Maya anak SMA yang hilang. Sementara pinjam bajumu,”papar pak tua lagi sambil menatap anaknya dengan rasa penuh kasih.
Wati tersenyum dengan ramah ke arah Maya dan menjabat tangan gadis itu.
Telapak tangan Wati terasa sangat kasar,maklumlah ia harus bekerja keras sebagai pembantu harian di toko sekaligus art di rumah Ko Aliong atau biasa dipanggil juga dengan sebutan Babah Aliong.
“Sore kalau mau mampir ke rumah,Pak. Mas Budi masih kerja di peternakan.”
“Kalau begitu bapak ke pasar dulu. Jual kayu bakar.”
“Monggo,Pak. Wati ke dalam dulu. Masih banyak pekerjaan.”
Seusai berjualan di pasar,Pak Suminta mampir ke kontrakan Wati dan suaminya yang terletak di belakang ruko. Rumah berukuran 5 x 8 meter itu tampak rapi karena Wati piawai mengatur tata letak sehingga barang-barang teratur dengan rapi sangat elok dipandang mata. Hanya ada satu kamar tidur dan satu kamar mandi di dalamnya, namun Wati nampak sangat bahagia hidup bersanding dengan Mas Budi pujaan hatinya yang nampaknya juga merupakan laki-laki yang baik dan penyabar. Mereka baru beberapa tahun menikah dan belum dikaruniai momongan.
“Jadi mbak Maya ini siswa SMA yang jatuh ke jurang?”tanya Mas Budi sambil mengangguk-angguk seperti sedang menghapalkan setiap peristiwa yang baru didengarnya.
“Mbaknya lapor polisi saja,”timpal Wati sambil menatap suaminya seakan meminta pendapat.
“Kasus criminal itu,Mbak. Hayo saya antarkan ke kantor polisi,”ajak laki-laki itu lagi sambil berjalan keluar rumah.
Sore itu juga, Maya diantar pak tua, anak perempuan dan menantunya melaporkan diri di polsek terdekat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments