Dua polisi menggiring Alisha ke sel tahanan yang berada di belakang kantor polisi.
“Lepasin saya,Pak. Please.”
“Hari ini saya lepasin borgolnya. Besok siap diinterogasi oleh atasan saya.”
“Tapi saya gak salah,Pak. Tolong saya.”
“Itu harus dibuktikan nanti. Di ruang penyidikan sudah ada BAP yang dibuat pelapor.”
“Pelapornya siapa ?”
“Keluarga korban.”
“Atas nama Ryan? “
“Orang tua korban!”
Gadis itu tetap curiga kalau pelapornya adalah Ryan karena cowok super keren itu benar-benar bucin dengan Maya.
Alisha meringkuk dalam penjara yang berukuran 1,5 x 2 meter tanpa kipas angin apalagi pendingin udara. Dindingnya mulai berjamur sehingga tampak warna hijau dan kecoklatan membuatnya jijik. Terlebih ada bau amoniak bekas tahanan buang air kecil. Malam kian larut, Alisha sama sekali tak bisa merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur karena di sana tidak ada kursi ataupun tempat tidur.
Gadis itu berjongkok dan menangis. Petugas kepolisian mendekatinya dan memaksanya mengaku.
“Makanya,Neng. Ngaku ajalah. Itu temennya dibuang kemana? Biar hukumannya ringan.”
“Beneran saya gak tau apa-apa. Malam itu memang kebetulan mobil saya parkir di situ. Tapi kami gak saling kenal,”sahut Alisha seenaknya.
“Tolong lepasin saya. Pak…Bukain! Saya gak mau dikurung seperti ini,”teriak gadis itu di balik jeruji.
Kedua tangannya menggoncang-goncangkan teralis besi yang kokoh berdiri tak tergoyahkan, semua usahanya sia-sia.
Alisha memukul jeruji dengan kepalan tangan kanannya, sakit, dan ia kembali menangis tanpa ada seorang pun datang menolongnya. Rasa lapar mulai menyerangnya karena begadang semalaman di penjara. Tak ada minuman disediakan untuknya,apalagi makanan.
“Kruuk…kruuk…”irama dalam perutnya mulai terdengar.
Gadis itu hanya bisa meratapi nasibnya, ia benar-benar menderita dan merasa itu adalah akhir hidupnya. Alisha merapatkan punggungnya pada dinding dan meluruskan kakinya sambil duduk hingga matahari tiba. Gadis itu mencoba memejamkan mata sambil terduduk tapi nyamuk berputar-putar mengganggu istirahat malamnya.
“Plok..plok..”
Mata Alisha sembab karena menangis semalaman, hidungnya pun bengkak kemerahan, piyama yang dipakainya basah pada bagian ujung lengannya karena dia menggunakannya sebagai pengganti tisu untuk mengelap air mata dan ingusnya. Tiba-tiba gadis itu merindukan rumahnya, rindu akan kehadiran mama dan papa sehingga tangisnya pun mulai pecah lagi.
Seorang polisi wanita mengantarkan sebungkus nasi dan sebotol air mineral melalui celah jeruji besi.
“Ini untukmu. Makanlah!”katanya dengan wajah datar.
“Terima kasih.”
Polwan itu hanya mengangguk lalu pergi. Hanya ada seorang polisi tua sedang duduk menghadao meja kecil dengan sebuah kaleng bundar bekas roti yang berisi beberapa kunci. Di depan ruangannya ada sel lainnya yang sama ukurannya.
Alisha makan dengan lahap menggunakan sendok plastik yang terselip di karet pengikat kertas minyak pembungkus nasi uduk. Hanya ada sebuah telur balado dan orek tempe, namun gadis itu sungguh-sungguh bersyukur bisa mengisi perutnya yang kelaparan sejak semalam.
“Pak…Pak…Tolong saya. Mau kencing,”teriak gadis itu setelah menghabiskan sarapan pagi dan menghabiskan sebotol air mineral 660 ml.
Polisi tua itu tidak mendengarnya sehingga Alisha mengulangi lagi permintaannya dengan berteriak.
“Pak….Tolong saya mau kencing!”
Akhirnya polwan yang tadi mendekatinya dan menepuk pundak polisi tua serta memberi kode padanya. Polisi tua beranjak dari kursinya dan membuka pintu berjeruji besi itu.
“Ayo saya antarkan,”kata polwan berambut cepak sambil mengikuti Alisha dari belakang.
Gadis itu memasuki sebuah toilet dengan wc jongkok yang berwarna kuning menjijikkan khusus untuk para tahanan sementara.
Alisha muntah-muntah di dalam toilet karena baunya sangat menyengat. Makanan yang tadi masuk kini keluar lagi. Dia keluar dengan muka berkeringat karena dirinya tiba-tiba pusing tujuh keliling dan perutnya mual seketika. Gadis itu rupanya kurang sehat dan tekanan darahnya turun akibat kurang istirahat dan menahan lapar semalaman.
Alisha kembali ke ruangan berjeruji itu dan berdiri hingga waktu kunjungan tiba. Dia sangat berharap sang mama akan datang menjenguknya. Dewi fortuna nampaknya berpihak padanya, tepat pukul 10 pagi sang mama dan papa datang menjenguknya di ruang tahanan sementara. Polisi tua membukakan jeruji dan tersenyum ke arah mereka. Sejenak Alisha duduk di ruang penyidikan dan menjawab beberapa pertanyaan dengan kondisi tubuh yang sudah lemah akibat kesehatannya menurun drastis. Papa dan mamanya menjawab dengan tegas dan memberi argumentasi meyakinkan. Kedua orang tua Alisha berjanji akan membantu penyelesaian kasus ini asal putri tercinta mereka diijinkan kembali ke rumah. Mama mengeluarkan sebuah amplop warna coklat yang sangat tebal dan menyerahkannya pada polisi di sana.
“Ini untuk biaya transportasi penyelidikan hilangnya Maya.”
“Kami akan cari semaksimal mungkin,Bu.”
“Tolong kerjakan sebaiknya biar nama baik anak saya bisa pulih.”
Dua polisi yang bertugas mengangguk. Mereka tampak sangat gembira dan mempersilakan mereka pulang dengan membawa Alisha.
“Kami pamit dulu,Pak. Terima kasih sudah membebaskan putri kami,”kata papa dengan wajah cerah.
“Kami pamit dulu,”timpal mama sambil menggandeng tangan Alisha keluar ruangan.
Mereka saling berjabat tangan.
Berita dilepasnya Alisha dan kabar buruk belum ditemukannya Maya, rupanya sampai juga ke telinga Ryan. Cowok setengah vampire itu tak habis pikir dengan para polisi yang bertugas di sana. Sore itu sepulang sekolah, Ryan menemui mamanya Maya dan melaporkan berita itu. Sang mama tampak kembali menangis tersedu-sedu dan hanya bisa pasrah. Hati cowok itu tergerak untuk menyelidiki kasus hilangnya Maya dengan kekuatan leluhurnya, yaitu kekuatan para vampire yang bisa terbang memanggil para leluhurnya yang tinggal di berbagai belahan dunia dan hidup abadi untuk turut membantunya.
Malam itu Ryan duduk sendiri di taman depan rumahnya yang berisi air mancur raksasa dengan patung dewa cinta, 3 malaikat cupid warna putih. Ia menelpon sang papa yang tinggal di luar kota.
“Halo…Apa apa Ryan?”jawab suara di seberang sana.
“Papa bisa bantu menemukan Maya? Polisi belum berhasil”pinta Ryan.
“Nanti papa koordinasikan. Kamu masih di rumah?”
“Papa yakin bisa?”
“Papa nanti datang ke sana dengan 4 leluhurmu. Ditunggu saja.”
“Terima kasih,Pa.”
Lalu Ryan mondar mandir di halaman, dia mencari suatu tempat di halaman yang jauh dari pemantauan dua satpam yang berjaga di depan rumahnya.
Langit makin gelap, bintang-bintang mulai menebarkan sinarnya di angkasa, sementara bulan bersembunyi di balik awan. Cowok ganteng paripurna itu menunggu datangnya sang papa dengan bermain slamdunk di malam hari. Bola-bola basket masuk ke dalam keranjang dengan sempurna tanpa meleset sedikitpun.
Tak lama kemudian melesatlah lima laki-laki tampan rupawan dengan tubuh tinggi atletis berkulit terang. Mereka mengenakan pakaian berbeda namun sangat mencirikan mode pada jamannya. Perbedaannya sekitar satu abad lamanya. Mereka melesat dalam larinya yang melebihi kecepatan cahaya, artinya kelima orang ini dapat berlari melebihi 299.792.458 meter per detik. Saking cepatnya mereka berlari dalam ruang dan waktu yang sama dalam suatu kontinum, maka gerakan mereka tak ubahnya seperti manusia berlari dengan kecepatan yang sangat tinggi. Mereka adalah sang papa dan empat leluhurnya dari vlad III vampire yang telah berasimilasi dengan golongan manusia. Semuanya masih nampak muda, namun hanya satu yang raut wajahnya sangat putih dan pucat dengan gigi taring yang masih terlihat. Mereka tampak terlalu sempurna sebagai sosok manusia laki-laki dengan wajah tak pernah menua dan kepiawaian lebih tinggi di atas manusia.
“Ryan…”sapa sang papa.
Cowok super keren itu menoleh dan memeluk sang papa.
“Kenalkan ini para leluhurmu. Mereka hidup abadi di alam lain.”
“Sembah sujud dari Ryan, cucu kalian,” cowok paripurna itu membungkukkan badan untuk memberi hormat.
Keempat lainnya tertawa dan memahami keinginan Ryan melalui telepati. Setelah itu mereka kembali melesat pergi bagaikan terbang. Mereka akan kembali lagi setelah semua misi berhasil diselesaikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments