Seperti biasanya Ryan menunggu Maya di halaman samping sekolah namun gadis yang ditunggunya tak kunjung datang hingga bel tanda masuk sekolah berbunyi. Cowok keren itu melangkah dengan seragam putih abunya dengan langkah lunglai tak bertenaga, ada perasaan kuatir berlebihan yang kini hinggap di hatinya.
Pak Tarno sang wali kelas mengabsen siswa satu persatu dan sekretaris kelas mencatatnya dalam sebuah papan tulis kecil yang terpaku di sebelah kanan papan tulis besar yang terletak di tengah ruangan.
“Jadi hari ini hanya Maya yang tidak masuk sekolah ya?”
Alisha tampak duduk dengan wajah ceria dan puas sambil melirik ke meja dimana Ryan duduk. Cowok keren itu sama sekali tidak membalas tatapan Alisha, ia hanya terdiam di kursinya dan melipat kedua tangannya di atas meja sambil mendengarkan perkataan Pak Tarno.
“Lu tau gak sih kenapa Maya gak masuk sekolah?” tanya Niken yang duduk di sebelah Alisha dengan berbisik-bisik.
“Mana gue tau. Hamil kali,”sahut Alisha seenaknya.
“Hah? Yang bener aja lu. Jangan sembarang fitnah,” celoteh Niken sambil membuka buku catatannya.
Sepulang sekolah Ryan buru-buru ke bagian tata usaha untuk meminta alamat rumah Maya.
“Untuk apa minta alamat rumah Maya?” tanya Pak Sulaiman petugas TU hari itu.
“Ada perlu,Pak. Saya merasa aneh Maya tak masuk sekolah. Barangkali sakit,”sahut Ryan.
“Iya paham.Mas ini pacarnya?”tanya petugas TU yang tampaknya kepo.
Ryan hanya tersenyum dengan wajah memerah dan mengucapkan terima kasih setelah mencatat alamat rumah yang diinginkannya.
Ryan mengemudikan mobilnya setelah memasang google map sesuai titik yang dicari. Jalanan yang ditempuh tak terlalu jauh dari sekolah tapi harus melalui jalan-jalan yang kecil dan agak terpelosok. Akhirnya yang dicari pun ketemu. Rupanya semesta berpihak padanya. Pintu rumah Maya masih terbuka lebar dan Ryan masuk setelah mengetuk pintu, dilihatnya sang mama sedang menangis. Dua art tampak sibuk dengan pekerjaan laundry.
“Jadi Maya keluar rumah pukul berapa,Tan?”
“Sekitar delapan malam. Tapi ponselnya sama sekali gak diangkat. Gak pernah dia begitu,” sahut sang mama sambil terus menangis.
Suaranya parau, hidungnya memerah dan kedua mataanya tampak bengkak.
Ryan tampak tak tega dan turut menitikkan air mata, ia kuatir sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu.
Ryan berusaha menghiburnya, kemudian meminta sang mama ikut serta bersamanya ke kantor polisi.
“Tante gak bisa ikut,Nak. Takut pingsan di sana dan merepotkan banyak orang.”
“Yaudah tante jaga diri baik-baik. Berpikir positif aja. Ryan pamit dulu ma uke kantor polisi.”
Mama Maya hanya mengangguk sambil melepas kepergian Ryan dengan berdiri di depan pintu hingga Ryan menghilang dari pandangan.
Ryan memasuki halaman kantor polisi terdekat dan menemui seorang petugas di sana yang menggiringnya ke sebuah ruangan, namanya ruang penyidikan, dimana terdapat dua polisi sedang duduk dalam sebuah bangku panjang yang di depannya terdapat sebuah komputer PC dan sebuah printer. Seorang polisi bertugas menginterogasi dan yang lainnya bertugas mengetik dan mencetak laporan yang telah diterimanya. Cowok itu mengisi BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Sore itu juga beberapa pasukan disebar untuk mencari keberadaan Maya.
Ryan pun penasaran dan mencari keberadaan Maya di sekeliling rumah orang tuanya. Mobil yang dikemudikannya nyaris menabrak kucing yang melintas dengan tiba-tiba di depannya.
“Ciit…”bunyi rem mendadak membuat Ryan turun dan melongok ke bagian bawah mobilnya, takut kucing tadi terlindas ban mobilnya.
Ryan menghela napas panjang karena keempat ban mobilnya bersih, namun dari kejauhan dilihatnya ada seorang tukang sate yang sedang mengipasi dagangannya dan cowok itu merasa lapar sehingga harus memarkirkan mobilnya agar tak menghalangi jalan.
“Bang..Beli sate pakai lontong 10 ya..”
“Sip. Pakai sambal juga?”
“Oh gak perlu. Saya kurang suka sambal.”
Ryan membayarnya dan duduk menikmati sate di sebelah abang sate pikulan. Setelah selesai makan, cowok itu menceritakan keinginannya, dan abang sate tampak antusias dengan penemuan sepeda di tengah jalan. Laki-laki penjual sate yang baik hati itu berniat dengan tulus membantu Ryan.
“Sepeda itu masih utuh, ada di kampung sebelah. Ada di rumah pak rt. Tapi saya gatau siapa pemiliknya.”
Jantung Ryan serasa berhenti berdetak ketika melihat sepeda itu benar milik Maya.
“Tapi…Maya dimana ya?”gumamnya keheranan sambil terus berpikir.
Ryan mencoba berjalan di sekitar lokasi ditemukannya sepeda, namun tak ada jejak ataupun tanda-tanda lain mengenai Maya. Cowok itu kemudian menekan sebuah nomor telpon anggota polisi dan menanyakan hasil temuan mereka. Namun mereka juga belum mendapatkan petunjuk apapun.
Ryan menunduk dan merasa bersedih, ia mengantarkan bukti temuannya berupa sepeda ke kantor polisi setelah memotret lokasi kejadian dan merekam pengakuan dari si tukang sate. Selanjutnya mengembalikan sepeda milik Maya pada sang mama yang menyambutnya dengan tangisan keras tiada henti. Sang mama nampak sangat terpukul dan Ryan buru-buru pamit dari rumah itu karena tak tahan mendengar suara tangisannya.
Ryan menitikkan air mata ketika berada di dalam mobil, ia takut Maya kini telah berubah menjadi jenazah tak dikenali karena dimakan binatang buas dan tubuhnya dicabik-cabik. Untungnya ia telah memberikan kartu namanya pada si penjual sate yang telah diberinya pesan untuk menghubunginya apabila telah menemukan temuan baru lainnya.
Di tempat lain, yaitu di dalam jurang yang tak terlalu dalam,Maya kembali sadar dan terbangun. Gadis itu merasakan sakit di sekujur tubuhnya akibat terjatuh, kedua tangan dan kakinya terikat dan pelipisnya memar. Lengan kiri dan kaki kanannya lecet dan berdarah akibat tergores ranting dan batuan keras ketika dia dilemparkan ke jurang. Mulutnya diplakban sehingga tak bisa berteriak. Ia hanya bisa menggeser-geserkan tubuhnya dan berguling ke sana kemari mencari benta tajam untuk memotong tali. Maya menebarkan pandangan ke sekeliling yang tampak tak berpenghuni. Jurang tempat ia dijatuhkan bagaikan sebuah hutan tak berpenghuni. Untungnya hari itu tidak hujan, sehingga tubuhnya tidak basah kuyub ataupun masuk angin. Gadis itu berhasil melepaskan plakban hitam yang menutupi mulutnya dengan menggeser-geserkan mulutnya di atas tanah, meski kini wajahnya penuh dengan debu dan rambutnya kotor acak-acakan. Digigitnya tali yang mengikat kedua tangannya, namun ikatan itu sangat kuat dan tali pengikatnya sangat tebal dan keras.
“Tolong…tolong….”teriak Maya sekuat-kuatnya namun tak ada satupun orang melintasi hutan itu.
Perutnya mulai berbunyi karena lapar, gadis itu menengadah ke atas, jaraknya terlalu jauh dari bawah. Ia tak mungkin sanggup menapakinya ke atas dalam keadaan terikat seperti ini.
Maya ingat ponselnya, dirogohnya saku celananya, kembali gadis itu menangis.
“Ponselku jatuh.”
Maya berusaha mencari-cari ponselnya yang terjatuh dengan menggeser-geser pantatnya di atas tanah, namun tak juga ditemukan. Yang bisa dilakukan gadis itu hanya berdoa. Gadis itu sudah pasrah andaikan nyawanya hanya sampai hari itu, dia akan mati kelaparan dan kedinginan di usia muda. Ia rela namun tak rela kalau sang mama bakal menyusulnya mati menderita.
Maya menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon trembesi selama berjam-jam hingga sebuah langkah kaki diseret menghampirinya. Seorang laki-laki tua menggendong sebuah keranjang besar terbuat dari anyaman bambu melintas di depannya.
“Pak…Tolong saya .”
Laki-laki tua itu menatapnya dengan wajah ketakutan dan berlari.
Maya putus harapan dan mengulangi teriakannya sekali lagi.
“Pak..Tolong saya. Saya Maya siswa SMA yang dibuang orang jahat. Saya manusia,Pak!”
Rupanya nasib mujur masih menaungi gadis itu, pak tua pencari kayu bakar menghentikan langkahnya dan mendekati Maya.
“Ayo kita ke rumah bapak. Anak-anak bapak semua sudah kerja di kota. Hanya ada istri bapak yang sudah lumpuh.”
Bapak tua melepaskan ikatan di tangan dan kaki Maya dengan sebilah pisau lipat.
“Terima kasih sekali,Pak. Saya berhutang budi sama bapak,”kata gadis itu sambil berlinang air mata karena bahagia.
“Maaf tadi bapak lari karena di hutan ini masih wingit. Banyak setannya,”kata si bapak pelan-pelan.
Seketika bulu kuduk Maya ikut merinding dan gadis itu menengok ke kanan da ke kiri yang semuanya ditumbuhi tanaman liar yang sangat rimbun.
Pengumpul kayu bakar mengajak Maya ke pondoknya yang terbuat dari dinding bambu dan atap rumbia, lantainya masih terbuat dari tanah. Ada bau kurang sedap ketika memasuki ruangan itu tapi Maya berusaha menutupinya agar tuan rumah tidak tersinggung.
“Perkenalkan ini istri bapak, Bu Sri Suminta. Saya Pak Suminta.”
“Saya Maya ,Pak. Semalam ada orang jahat membuang saya ke jurang.”
Kedua orang tua itu menatap Maya dengan wajah prihatin dan menyuruh Maya mandi dan berganti pakaian. Ada setumpuk pakaian bersih milik putri mereka yang kini bekerja di kota sebagai kasir. Maya mandi di sumur timba yang terletak di belakang rumah dan mencuci pakaian serta menjemurnya di tali gantungan. Rasa segar dan perih bercampur jadi satu ketika air sumur membersihkan tubuhnya.
“Terima kasih Tuhan. Aku masih kau beri nyawa baru,”gumam Maya selesai mandi.
Kedua orang tua itu mengajaknya makan bersama di meja makan yang sangat sederhana, hidangan di atasnya pun sangat sederhana hanya tumis kangkong dan ikan asin goreng. Namun Maya sangat bersyukur siang itu bisa makan dan membuat perutnya terasa kenyang.
“Bapak atau ibu punya ponsel?”
Seketika wajah dua orang itu berpandangan lalu saling menggeleng. Maya merasa lemas, ia harus memulihkan tenaganya dulu dan mencari pertolongan ke desa sebelah.
Sementara itu Ryan masih menatap langit-langit kamarnya ketika sebuah telpon berdering dari ponselnya.
“Mas…Aku nemuin nomor plat mobilnya. Ada dua mobil, putih kecil dan hitam besar. Tapi Cuma inget 1 nomor B 7889 NYZ.”
“Oh..Makasih banget informasinya.”
“Mobil hitam besar dan putih kecil. Plat nomor B 7889 NYZ,” Ryan berusaha mengingatnya berkali-kali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments