Tentang surat kuasa
Pagi tampak cerah seperti biasa. Syifa bangun dan melakukna rutinitasnya pada Bagas, lalu Ia membersihkan dirinya sendiri. Bagas duduk di ruang makan, dan meminta Syifa memasakkan bakso dengan sisa yang dibawa Ibunya saat itu. Syifa pun menurutinya, apalagi bahan tinggal diolah tanpa berlama-lama mengotak atik bahan.
"Non, kok pagi-pagi masak bakso? Bibik udah masak loh." sapa Bik Darmi.
"Mas Bagas mau, Bik. Biarin lah, yang penting doyan makan."
"Owh, yasudah kalau begitu."
Bibik pun pergi membereskan yang lain. Syifa menghampiri Bagas dengan Baksonya, dan mulai menyuapinya perlahan.
"Reza?" tanya Bagas.
"Ngga tahu, mungkin belum bangun." jawab syifa.
"Huaaaaaammmhhh...! Apa nyari gue?" tanya Reza, yang tiba-tiba datang hanya mengenakan kaos oblong dan celana boxer yang pendek. Melenggang santai menghampiri Bagas dan Syifa.
"Astaghfirullah..." lirih Syifa, yang langsung beralih pandang dari nya.
"Za... Kenapa belum mandi?" tanya Bagas padanya.
"Semalem ngga bisa tidur. Beres-beres kamar ngga pakai selesai. Itu Syifa kenapa?"
"Jangan tanya kenapa. Lihat Loe cuma koloran gitu, ngga ada celana?" tegur Bagas.
"Fa, bukannya sudah biasa?"
"M-Mas... Biasanya Syifa itu kalau sama pasien, karena tuntutan kerja. Dan dengan Mas Bagas, karena pasien sekaligus suami." jawabnya gugup.
"Ganti, Za." ucap Bagas.
"Iya, iya... Ganti."
Reza beranjak dari kursinya, meraih selembar roti tawar dan memakannya dengan kasar. Ia pun melangkah kembali ke kamarnya, sembari sesekali menggaruki tubuhnya yang gatal.
"Astaga, anak itu." lirih Bagas.
"Ayo, Mas... Makan lagi."
*
Reza yang kini ada di kamar, duduk sebentar sembari menghabiskan rotinya. Ia menatap kamar yang telah rapi itu. Kamar yang membuatnya tak dapat tidur semalaman.
"Ternyata, aku tak bisa sesantai itu. Dapat tidur di kamat berantakan, asal-asalan. Bagaimana jika nanti aku harus di tuntut hidup sederhana dengan paksa? Sanggupkah, atau pada akhirnya menyerah?" gumamnya.
Ia meraih handuk, lalu bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Dengan guyuran air hangat dari showernya, Ia merasa begitu tenang meski sesaat. Matanya terpejam, menikmati semua kehangatan yang Ia rasakan.
Usai membersihkan diri, Ia lalu bersiap dengan seragamnya. Seperti biasa, apalagi kalau bukan celana dasar dan jas serba hitam. Begitu sesuai dengan tubuhnya yang tinggi dan sempurna itu.
Wajah Reza pun tak beda jauh dari Bagas, tampan, tinggi, berotot dan sama-sama memiliki alis tebal yang membuat matanya semakin tajam. Hanya saja Reza menyukai rambut yang sedikit panjang di bagian depan, membentuk belahan poni kanan kiri yang membuatnya semakin menawan. Ia pun lalu keluar, untuk bergabung dengan cara sarapan mereka berdua.
*
"Mas, Ifa sarapan dulu, ya?" pamit Syifa, seusai menyuapi suaminya.
Ketika Syifa meraih nasinya, datanglah Reza menghampirinya. Syifa pun langsung cekatan mengambilkan sepupu iparnya itu sarapan, dan mempersilahkan nya sarapan.
"Makasih, Fa." ucap Reza dengan senyum manisnya.
Mereka sarapan berdua, dengan Bagas di tengah keduanya. Mengobrol dan membahas rencana pagi dengan semangat, dan sesekali Reza memberitahu mengenai perkembangan perusahaan.
"Bisnis makin lancar. Tapi, ada beberapa yang memang maunya sama Loe. Jadi, mereka maunya menunda dan melanjutkan ketika Loe sembuh."
"Bukankah, Papa ada? Kenapa harus gue?"
"Ya, gimana? Mereka percaya cuma sama Loe, gas. Apa Loe mau, tanda tangan surat kuasa? Kan Loe masih pura-pura diem. Om Erland udah sebisa mungkin meyakinkan, tapi tetep ngga bisa." jawab Reza.
"Surat kuasa? Pada siapa harus diwakilkan?" tanya Bagas.
"Ya, yang jelas sama orang yang paling Loe percaya lah. Papa Loe 'kan, udah lama vakum, makanya mungkin mereka kurang yakin. Dan kinerja Loe, begitu meyakinkan buat mereka."
Bagas diam sejenak, lalu tatapan matanya mengarah pada Syifa yang tengah menghabiskan sarapannya.
" Istri, bisa?"
" Apa? " ucap Reza dan Syifa bersamaan.
Mereka terkejut dengan penuturan yang Bagas ucapkan. Spontan, tapi tampak benar-benar serius.
Updated 240 Episodes
Comments