Istri Untuk Suamiku
Paris, dua puluh tahun yang lalu.
Dua gadis kecil sedang asyik main rumah-rumahan di sebuah kamar bernuansa ungu muda. Mereka mendirikan tenda dari sprei berwarna pink yang dibentangkan di antara dua kursi.
“Kayla, sini masuk aku sudah bikin cupcake.” Gadis kecil bernama Fatin menempatkan sepotong cupcake mainan di atas piring kecil dan pura-pura menuangkan teh ke dalam cangkir.
“Sebentar aku masih belanja sayur.” Gadis kecil bermata bulat dengan manik hitam legam itu menyahut sambil menempatkan sayuran plastik ke dalam keranjang bawaan.
Fatin memunculkan kepalanya dari dalam tenda lalu berkata, “Come on, Kayla, you’re gonna miss the cupcake.”
Kayla bergegas masuk ke dalam tenda lalu pura-pura menyesap teh dan menyantap cupcake. “This is good, Fat. Aku mau lagi dong yang beneran tapinya.” Keduanya tertawa lalu bersama-sama lari ke luar kamar menuju dapur.
“Umi, Fatin dan Kayla laper…” Seorang wanita cantik bernama Fathimah tersenyum pada dua gadis kecil di hadapannya. “Kan, bukannya kamu masak cupcake, Fat,” balasnya sambil mengedipkan mata ke Kayla.
Fatin dan Kayla hanya cengar-cengir. Mata mereka menatap sepiring cupcake warna-warni di atas meja dapur. “Voici, bon appetite mademoisselles.” Ucap Umi berseloroh.
“Merci, Umi,” balas Fatin sambil mengambil cupcake diikuti oleh Kayla.
“Thank you, Aunty,” ucap Kayla sambil menikmati cupcake bertopping gula-gula dan strawberry.
Di apartemen yang hangat itu mereka menikmati hidangan sore. Salju mulai turun, matahari sudah lama bersembunyi walaupun jam baru menunjukkan pukul 17.00.
“Kay, kamu kapan balik ke Indonesia?” Tanya Fatin sambil menuangkan teh ke cangkir sahabatnya.
“Kata papa minggu depan jadinya. Mulai besok barang-barangku mulai dimasukin ke box.”
Wajah Fatin berubah sendu. Dua tahun terakhir semenjak berkenalan dengan Kayla, hari-hari Fatin menjadi lebih ceria. Mereka tinggal di gedung apartemen yang sama. Fatin di lantai 24 dan Kayla di lantai 30.
Usia mereka hanya terpaut 1 tahun. Fatin 7 tahun dan Kayla 6 tahun. Mereka pergi ke sekolah yang sama yaitu Public School of Louis di tengah kota Paris. Walaupun keduanya putri diplomat namun orang tua mereka menyekolahkan di sekolah umum dan bukan di sekolah internasional agar bisa berbaur dengan anak-anak setempat.
Kayla lebih dulu tinggal di Prancis sedangkan Fatin baru menyusul satu tahun kemudian. Bersekolah di sekolah umum membuat mereka sangat fasih berbahasa Prancis.
Berbeda dengan Kayla yang banyak teman, Fatin hanya memiliki beberapa saja. Ia memiliki kelainan ginjal sejak lahir, sehingga ibunya, Umi Fathimah sangat protektif.
Fatin jarang main bersama teman-temannya seusai sekolah. Ia banyak menghabiskan waktu dengan menggambar atau membaca di rumah. Kadang ibunya membawa ke taman kota, di sana ia bisa menikmati udara luar.
Semenjak berkenalan dengan Kayla mereka langsung akrab. Hampir tiap hari Kayla main ke rumah Fatin. Sesekali Fatin main ke rumah Kayla sembari Umi Fathimah mengobrol dengan Ibu Wiranata, mamanya Kayla.
***
Di Bandara Charles De Gaulle, dua gadis kecil berpelukan. Saatnya mereka berpisah. Ayah Fatin masih harus bertugas dua tahun lagi di Prancis, sementara ayah Kayla sudah selesai tugas dan harus pulang ke Indonesia
Sebagai putri diplomat mereka sudah terbiasa berpindah negara, meninggalkan teman lama untuk menjalin pertemanan baru. Namun kali ini berat buat keduanya untuk menyampaikan salam perpisahan.
“Promise me that we will keep in touch,” Fatin menatap mata sahabatnya.
“We will, forever and ever,” balas Kayla dengan air mata berlinang. Keduanya lalu berpelukan lagi. Pelukan perpisahan.
***
Bandara JFK, New York, 15 tahun kemudian
“Kay… over here!” Fatin berseru sambil melambaikan tangannya. Seorang gadis remaja tersenyum ke arah Fatin dan dengan konyol berlari sambil kerepotan menarik koper besar agar lekas bisa memeluk sahabatnya.
“Assalamualaykum, Fatiiin! I miss you so much, girl!” Mereka berpelukan sambil menangis bahagia, lalu tertawa-tawa. Orang-orang melihat mereka sambil tersenyum geli.
“Walaykumussalam BFF-ku, aaah alhamdulillaah akhirnya kamu sampai juga! Aku sampai berakar di sini nungguin kamu!” Seru Fatin sambil mencium pipi kiri dan kanan sahabatnya.
“Welcome to New York, Kay. Gimana tadi penerbangannya?”
“Aunty Fathimah! Kayla nggak nyangka aunty ikut jemput…” Kayla langsung menghambur dan memeluk ibunda sahabatnya.
“Kamu cantik banget, Kay. Udah tinggi. Terus pake hijab dan gamis gini malah makin cantik deh. Coba muter, Aunty mau lihat …” Kayla lalu berputar bak peragawati. Ia kini tumbuh menjadi gadis berumur 21 tahun yang cantik. Dibalik balutan gamis dan hijab, kecantikannya masih terpancar. Senyumnya lebar dan tulus. Matanya bening dengan manik mata yang hitam legam namun penuh kelembutan.
Fatin menyeringai melihat sahabatnya berputar-putar. Lalu ia menarik lengannya dan menggandengnya erat. Fatin sendiri juga tidak kalah cantik. Gadis keturunan Arab berumur 22 tahun itu dikaruniai hidungnya mancung sempurna, matanya bulat dan bersinar menunjukkan kecerdasan pemiliknya.
Saat berjalan berdampingan walaupun mereka berdua memakai gamis dan hijab, tidak sedikit orang melirik ke arah mereka.
Mereka menuju ke gedung parkir dimana Kak Thoriq sudah menunggu di mobil.
“Kak Thoriq, assalamualaykum. Apakabar? Makasi ya udah jemputin Kayla. Tau nggak tadi pas transit di Dubai, Kayla beliin Kak Thoriq …” celoteh Kayla terhenti melihat wajah tak dikenal yang duduk di samping Kak Thoriq.
“Waalaykumussalam Kay, hehehe Kak Thoriq baik kabarnya. Oya ini kenalin temannya Fatin, namanya Rayyan.” Kakak satu-satunya dari Fatin berkata sambil tersenyum melihat kelakuan sahabat adiknya yang memberondong dengan cerita hanya dalam 2 detik pertemuan.
Kayla menatap wajah Rayyan lalu menangkupkan tangan ke dada. Walaupun sepanjang hidupnya berada di luar negeri, namun Kayla sangat memegang teguh ajaran agamanya untuk tidak bersentuhan dengan yang bukan muhrim.
“Hi Rayyan, nice to meet you.” Kayla hampir tidak berkedip. Tak disangka Rayyan pun hampir tidak bisa berpaling dari wajah cantik yang baru dilihatnya.
“Hey udah-udah jangan kelamaan, nanti kesambit!” Seru Fatin yang diikuti dengan senyum malu-malu dari Kayla dan cengiran lebar dari Rayyan.
Dalam perjalanan menuju rumah Fatin, kedua sahabat itu tidak berhenti berceloteh. Ketiga orang lainnya di dalam mobil hanya tersenyum sambil mendengarkan Kayla dan Fatin bercerita tentang segala hal.
Mereka bukannya tidak pernah berhubungan walaupun dari negara yang berbeda-beda. Hanya saja saat bertemu masih banyak yang jadi bahan obrolan.
“Dasar cewek,” gumam Rayyan sambil melirik ke arah Kayla yang sedang mengeluarkan alat-alat make up untuk diperlihatkan kepada Fatin.
***
Fatin dan Kayla sekarang sudah di bangku kuliah. Masih ada dua minggu sebelum jadwal kuliah mereka mulai. Fatin kuliah di kampus desain ternama di Kota New York. Kayla kuliah di Jerman mengambil teknologi industri.
Ayah Fatin bertugas sebagai perwakilan Indonesia di kantor PBB New York sedangkan ayah Kayla sedang bertugas di Uni Emirat Arab. Kayla memilih kuliah di Jerman jauh dari orang tuanya. Sebagai anak tunggal, ia ingin merasakan hidup mandiri. Saat liburan panjang seperti ini, Fatin dan Kayla saling berkunjung.
Setelah beberapa hari di Kota New York, Fatin dan Kayla berencana pergi ke Central Park. Taman indah dan terbesar. Di minggu pagi taman itu belum terlalu ramai dan pemandangannya sangat memesona.
Musim panas telah berlalu dan sekarang masuk ke musim gugur. Biasanya Central Park akan dipenuhi nuansa merah dan kuning dari daun-daun yang berubah warna. Udara juga lebih sejuk di musim gugur.
Pesan masuk dari Rayyan:
“Fatin, lu nanti jadi ke Central Park sama Kayla? Gue ikut dong, boleh nggak?”
“Nggak boleh!”
“Pelit! Pokoknya gue ikut!”
“Coba aja kalau berani, gue bilangin umi sama abi!”
“Nanti gue minta izin.”
“Rayyan nggak boleh, ah! Ngeyel lu, ya!”
“Bodo amat! Bhay!”
Fatin bersungut sambil meletakkan hapenya. Kayla yang baru masuk ke kamar heran.
“Kamu punya penggemar Kay, Si Rayyan tuh…”
Pipi Kayla bersemu merah dan membaringkan diri di sisi Fatin di tempat tidur.
“Demi apa?”
“What the … Kay, kamu juga suka sama Rayyan? Wuii sudah berubah selera. Dulu kamu suka bule-bule Italiano gitu, kan? Macam Matteo Bocelli?” Fatin mengangkat alis seakan tidak percaya.
“Nggak lagi Kay, susah nanti aku harus ajarin sholat dulu. Aku mau yg dah ready jadi imam ajah!”
“What? Kamu emang pingin nikah cepet, Kay?”
“Ya pokok abis aku kelar kuliah aku nggak mau lama-lama jomblo, doain ya.“
“In syaa Allah, eh ayo berangkat nanti kesiangan keburu rame nggak enak. Aku ajak Kak Thoriq ya, jaga-jaga Rayyan nyusul bisa-bisa aku jadi nyamuk,” ucap Fatin sambil tergelak melihat sahabatnya yang berseri-seri mendengar nama Rayyan disebut.
Fatin bergegas bangkit dari tempat tidur hendak memanggil kakaknya. Tiba-tiba ia merasa pusing dan pandangannya gelap. Tubuhnya lunglai dan ia langsung terjatuh tak sadarkan diri.
“Fatin!” Jerit Kayla
“Oom, tante, Kak Thoriq, tolong Fatin pingsan!”
***
Di sebuah rumah sakit, empat orang berwajah cemas menunggu dokter memeriksa kondisi Fatin yang masih belum sadar.
“How’s my daughter, doctor?”
“Unfortunately, not good. Fatin perlu segera mendapatkan donor ginjal. Saya akan coba hubungi dokter kepala. Untuk sementara, saya sudah beri obat dan biarkan dia beristirahat,” jelas Dokter Peterson yang merawat ginjal Fatin.
Kayla duduk di samping sahabatnya yang terbaring lemah. Wajahnya yang berseri tadi pagi kini pucat, matanya terpejam.
Kayla mengelus pipi Fatin dan berbisik, “Kamu harus kuat ya sayang, inget kamu janji mau disain perhiasan di wedding aku, dan aku juga janji akan disain tempat wedding yang cantik buat kamu. Kita akan punya anak lalu mereka akan sahabatan kayak kita. Kuat ya …” Air mata mengalir di pipi Kayla.
Ayah Fatin, Abi Nizar menghela napas menatap putri satu-satunya. Umi duduk sambil melafazkan ayat-ayat Qur’an, mencari kekuatan pada sang Khalik. Kak Thoriq berdiri di luar kamar menatap sedih wajah adiknya dari kejauhan.
Tak berapa lama Rayyan datang dan langsung memberi salam orang tua Fatin. Ia melirik sekilas ke arah Kayla yang masih setia menggenggam tangan sahabatnya.
Suasana hening di dalam kamar. Hanya suara monitor jantung yang dihubungkan ke dada Fatin masih mengeluarkan bunyi pilu.
Dokter Peterson masuk, wajahnya terlihat serius. “Sir, Mam, dengan sangat menyesal kami harus mengabarkan hingga saat ini belum ada donor yang cocok. Termasuk ginjal keluarga Fatin juga belum ada yang cocok. Kita harus bersabar dan berdoa semoga Fatin kuat.”
“Doctor, I haven’t been tested yet. Could you run the test on me, please?” Tiba-tiba Kayla membuka suara.
“Are you a relative? Kemungkinan cocok sangat kecil apabila bukan relatif.”
Umi mendekati Kayla dan mengelus rambutnya sambil berkata lembut, “Kayla sayang, kita berdoa aja ya buat Fatin, semoga segera ada donor yang cocok.”
“No, Tante, please aku ditest. Setidaknya aku udah usahain buat bantuin Fatin. Golongan darahku dan Fatin sama-sama O. Aku sayang Fatin, dia harus sembuh. Aku juga udah 21 jadi nggak perlu persetujuan orang tua dulu. Tapi nanti aku ngomong sama mama dan papa. Please, Oom, Tante …”
Umi, abi, dan Kak Thoriq menatap Kayla. Di satu sisi mereka berharap Kayla menjadi titik cerah bagi Fatin, namun di lain pihak mereka paham bahwa donor ginjal merupakan sesuatu yang serius.
“Well, come with me please, what’s your name?”
“Kayla Wiranata. Okay, doctor. Tante, Oom, Kak, moga-moga ginjalku cocok ya.”
“Tante akan telepon mama kamu ya, Kay. Terima kasih, sayang.”
***
Beberapa hari kemudian, sebuah kamar di rumah sakit terlihat sangat ceria dengan bunga-bunga dan boneka Teddy Bear dari ukuran besar sampai kecil.
Kayla mengerjap-ngerjapkan mata seolah baru bangun dari tidur panjang. Ia melihat sekeliling, matanya masih beradaptasi dengan cahaya.
“Kayla, how are you sayang?” Ibu Wiranata mengelus pipi anaknya yang baru membuka mata.
“Mama kok ada di sini? Papa juga … Fatin gimana?”
“Hey you, masak duluan aku yang bangun.” Kayla mencari arah suara. Fatin masuk ke ruang perawatan dengan kursi roda yang didorong oleh Kak Thoriq.
“Fatin! Maa syaa Allah! Operasinya berhasil? How are you?” Umi, abi, dan Kak Thoriq tersenyum melihat kelakuan dua sahabat itu.
“Kalian nih bikin kami jantungan, deh,” Papa Kayla yang sudah berdiri di samping tempat tidur Kayla berkata. Ia mengelus pucuk kepala kemudian mengecup lembut kening putri semata wayangnya.
Fatin didorong mendekati bangkar tempat Kayla berbaring. Keduanya masih mengernyit saat bergerak karena luka pasca operasi.
“Operasiku lancar, ginjal kamu juga cucok loh, jadi nggak ada demam atau yang lain-lain. Makasi banget ya, kalau nggak ada kamu aku dah metong sekarang,” ucap Fatin yang langsung mendapat pukulan pelan di pundaknya dari Kak Thoriq.
“Jangan ngomong gitu ah, Kakak takut.”
“Cie yang sayang adek …” Balas Fatin kepada kakaknya.
“Eee iya ngomong-ngomong sayang, ada yang dua hari selama kamu nggak sadar wajahnya berlipet dua belas loh.” Mama Kayla melihat ke arah pemuda yang berdiri di pintu tidak berani masuk.
Kayla mengikuti arah pandang mamanya lalu pipinya memerah. Ia memanggil sebuah nama sambil tersipu, “Rayyan …”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
pipi gemoy
mampir Thor
setelah baca tak utuh😅
2024-06-27
1
Keynan Milky
aduh Thor tolong donk bahasanya dimengerti aku g paham ni bahasa asing
2024-01-20
1
AahayuE𝆯⃟🚀
semangat kak wid
2022-10-31
1