[Makasih dan maaf. Ternyata butuh waktu selama ini buat nyampein permohonan maaf aku ke kamu. Aku rasa ini saatnya buat ngelupain masa lalu. Aku juga udah nggak mau lagi mikirin kesalahpahaman waktu itu. Aku yang selama ini salah. Harusnya aku lebih percaya kamu daripada mereka. Kalau kamu nggak keberatan, kita bisa mulai lagi dari awal. Buat aku, kamu tetep orang yang paling baik dan paling ngertiin aku.]
Ditaruh kembali ponselnya ke atas meja. Entah sudah berapa kali Aksa membaca pesan WhatsApp-nya malam itu. Bahkan ketika pagi menjelang, ia segera mengecek ponselnya hanya untuk memastikan bahwa pesan itu benar-benar ada di sana. Aksa membiarkan begitu saja pesan itu. Ia tak membalas. Lebih tepatnya, bingung harus memberi balasan seperti apa. Meski hatinya sekarang sudah menerima, ia tak yakin masih bisa "memulai semuanya lagi dari awal". Aksa takut kejadian waktu itu akan terulang. Tak hanya hatinya yang hancur kala itu. Namun harga diri serta kewarasannya seolah dihantam berkali-kali hingga remuk dan tak berbentuk.
Kedua kakinya membawa Aksa menuju kamar Azkia—adik perempuan satu-satunya. Dilongokkan kepalanya ke dalam kamar untuk mengecek keberadaan adiknya itu. Tidak ada. Kamar itu kosong; tempat tidur dalam keadaan rapi. Tumpukan buku ditaruh begitu saja di atas meja. Pasti beberapa bahan untuk menyempurnakan skripsinya ada di sana. Belakangan ini Azkia memang sedang sibuk; bolak-balik ke kampus, juga perpustakaan. Akan tetapi, ini hari Minggu. Jam berbentuk burung hantu yang menguasai salah satu dinding kamarnya pun masih menunjukkan pukul 7 lewat 20 menit.
Ah, Aksa mengangguk-anggukkan kepala. Ini Minggu, dan Azkia tidak pernah melewatkan hari minggunya tanpa ber-jogging. Gadis itu pasti sudah keluar pagi-pagi sekali untuk berlari mengelilingi kompleks, dan baru akan kembali di atas jam 8 nanti.
Setelah menutup pintu kamar Azkia, Aksa berencana kembali ke kamarnya untuk melanjutkan kembali tidurnya. Di hari libur seperti ini, Aksa memang suka menghabiskan waktunya dengan bermalas-malasan di rumah. Bahkan, ia bisa bangun tidur di atas jam 10 saking enggannya berpisah dari kasur. Namun, berkat pesan yang diterimanya kemarin malam tidurnya jadi terganggu. Jadwal hibernasinya digantikan oleh memikirkan barisan kalimat yang cukup lama ia biarkan menghiasi layar ponselnya.
Langkahnya terhenti. Niatnya kembali ke kamar tersela oleh suara ketukan di pintu utama. Siapa pagi-pagi begini yang menyambangi rumahnya? Tidak mungkin Azkia, karena dia selalu membawa kunci cadangannya sendiri. Setelah becermin dan sedikit merapikan rambutnya yang kusut, Aksa menghampiri pintu utama dengan langkah santai. Tak peduli akan seseorang di muka rumahnya yang terus mengetuk pintu dengan tidak sabar.
"Iya," Aksa menyahut. Malas; merasa terganggu oleh tamu yang berkunjung sepagi ini ke rumahnya.
Kalau cuma buat ngasih selebaran nggak penting awas aja, ancamnya.
Pintu dibuka; Aksa membeku seketika. Gadis mungil yang beberapa hari lalu diajak pulang bersamanya kini berdiri di hadapannya memasang wajah cemberut. Apa yang dilakukannya sepagi ini? Bukan. Bukan itu yang jadi pertanyaanya, melainkan ... bagaimana bisa dia kembali lagi ke sini? Terlebih lagi, setelah dua tahun lamanya ...?
Ah, ya. Tentu saja dia bisa kembali lagi ke sini. Cinta si gadis mungil itu bisa datang dan pergi kapan saja. Apalagi dengan posisi rumah mereka yang berdekatan. Pertemuan kembali mereka seolah membuka lembaran lama, tetapi di masa yang baru.
Sejujurnya, setiap kali Aksa melihat Cinta, pikirannya selalu melambung ke masa lampau. Masa di mana peristiwa "menyakitkan" itu terjadi hingga membuat hari-harinya terasa kacau. Jika dipikir secara logis, apa yang terjadi saat itu bisa dijadikan alasan yang kuat bagi Aksa untuk membenci Cinta. Kenapa? Tentu saja karena Cinta adalah salah satu alasan terjadinya peristiwa tak mengenakkan itu. Sayang, membenci Cinta adalah hal paling mustahil yang bisa Aksa lakukan. Selain memang Cinta yang tak tahu apa-apa, kedekatan mereka membuat rasa sayang Aksa terhadap Cinta menguat. Cinta bukan lagi sekadar anak tetangganya yang suka berkelakar dan membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Cinta lebih dari itu; lebih dari yang bisa orang lain bayangkan.
"Apa, sih, yang bikin Om lama banget buka pintu?" Bibir Cinta mengerucut; dahinya mengerut. Kesal, karena harus mengetuk pintu hingga tangannya memerah.
Bukan saatnya untuk tertegun. Aksa harus bersikap seperti biasa. Ia tidak boleh terlihat kaget karena kedatangan Cinta yang tiba-tiba. "Lagian mau ngapain, sih, pagi-pagi gini? Sengaja mau ganggu waktu libur saya, ya?" Aksa merentangkan sebelah tangannya; menghalangi pintu rumahnya.
Cinta senderut. Dianggap gangguan adalah hal yang menyebalkan. Terlebih lagi, sudah lama sekali kakinya tak berdiri di tempatnya sekarang. Cinta tak mau kalah. Sebelum dianggap sebagai orang luar, Cinta memilih masuk dengan cara mengolongi tangan Aksa. Beruntung jadi orang mungil karena bisa menembus pertahanan lemah yang Aksa buat dengan begitu mudahnya.
"Hei!" Aksa menggertak, tapi terlambat. Cinta sudah duduk di sofa kecil ruang tamunya sekarang. Gadis itu tersenyum puas. Tingkahnya benar-benar membuat Aksa mendengus pasrah.
"Kamu, tuh, ya ...." Aksa duduk di sofa satunya, yang berada tepat di hadapan Cinta.
"Kiriman dari Mama." Cinta menaruh sekotak brownies di atas meja. "Udah lama banget, kan, Om nggak makan ini?"
Benar. Sudah lama, dan Aksa kira tak akan pernah lagi mendapat kesempatan mencicipinya. Tak ingin terlarut lama dalam ingatan masa lalu, Aksa kembali bangkit. "Sebentar, saya ambilin dulu piringnya. Kita makan sama-sama," katanya sebelum berlalu ke dapur.
Cinta ingin mencegah, tapi Aksa bergerak terlalu cepat. Bukannya tidak suka makan sama-sama, tapi Cinta baru saja menghabiskan beberapa potong brownies di rumahnya. Perutnya kekenyangan sekarang.
Untung saja di depan pintu tadi Cinta berhasil menahan senyum, sekaligus menyembunyikan perasaan senangnya ketika melihat Aksa dalam balutan pakaian rumahan. Kaus oblong tanpa lengan yang memperlihatkan otot-otot kekarnya, celana jogger abu sebetis yang menonjolkan urat-urat kakinya, juga wajah mengantuknya sehabis bangun tidur, semua itu adalah pemandangan yang sangat Cinta rindukan.
Aksa memang om-om, dan Cinta tahu pasti itu. Namun penampilannya yang menawan juga selera berpakaiannya yang seperti anak muda, menjauhkan Aksa dari kenyataan bahwa dia adalah seorang om-om berusia 36 tahun. Kebiasaannya berolahraga mungkin telah membuatnya kelihatan 10 tahun lebih muda. Aksa memang senang bermalas-malasan di hari libur seperti sekarang, tapi bukan berarti dia tak punya waktu untuk berolahraga. Apalagi mengingat gedung kantornya bersebelahan dengan gedung fitness yang memiliki fasilitas olahraga lengkap.
Netra Cinta kini menjelajah; memperhatikan seluruh sudut ruangan yang bisa dijangkau oleh indra penglihatannya. Foto-foto yang dipajang masih sama seperti terakhir kali Cinta main ke rumah ini. Sebuah foto berisi Aksa dan Azkia dalam versi dewasa yang tengah dikelilingi pepohonan, dua buah foto versi keduanya yang masih kanak-kanak, dan dua buah foto sepasang suami istri dengan wanita berbeda.
Aksa dan Azkia memang memiliki ibu yang berbeda. Ibu Aksa meninggal ketika Aksa masih berusia 10 tahun. Tiga tahun kemudian ayahnya kembali menikah. Tak perlu menunggu lama hingga ibu barunya mengandung dan melahirkan Azkia. Cinta selalu kagum pada Aksa. Di usianya yang terhitung masih 13 tahun, ia sudah bisa menerima keputusan ayahnya untuk menikah lagi. Tak hanya itu, rasa sayang Aksa pada Azkia begitu nyata. Tak menyiratkan sedikit pun bahwa mereka memiliki ibu yang berbeda. Aksa pernah memberi tahu Cinta bahwa dia tak pernah sekali pun bertengkar dengan adiknya. Hubungannya sangat harmonis hingga membuat Cinta merasa iri.
Sebentar! Kenapa tidak ada? Foto ketika Cinta, Mama, Aksa dan Azkia berlibur ke taman bermain tidak ada di antara semua foto yang terpajang di dinding ruang tamu. Foto berukuran sedang yang sebelumnya terletak di antara kedua foto Aksa dan Azkia yang masih kanak-kanak. Ke mana perginya foto itu? Apa si pemilik rumah sengaja menanggalkannya dari situ? Tapi kenapa?
Cinta juga memiliki foto yang sama, dan masih terpajang di salah satu dinding ruang tamu rumahnya. Meski sudah lama tidak saling berkomunikasi, mamanya tak pernah berniat menurunkan foto itu dari sana. Bahkan, mamanya tak pernah absen membersihkan debu-debu yang menempel pada bingkai fotonya.
"Kok, bengong gitu?" Aksa meletakkan piring kosong di atas meja. Tak lupa dengan segelas minuman berwarna cokelat untuk Cinta.
Buru-buru Cinta mengalihkan pandangannya dari foto-foto itu, kemudian menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Aksa.
"Minum dulu," kata Aksa.
"Iya, maka—"
Seketika Cinta melongo. Ditatapnya gelas berisi minuman cokelat di tangannya tanpa berkedip. Om-om di hadapannya pasti sengaja. Sepertinya Aksa memang ingin mengolok-oloknya.
"Ooom!!" Cinta menjerit; Aksa tertawa terbahak-bahak. "Tega banget, sih, ngasih Cinta minum susu cokelat. Emang Cinta bocah apa? Cinta, tuh, udah gede! Udah delapan belas tahun! Udah bukan masanya minum beginian! Kasih Cinta kopi, kek, teh, kek. Om Aksa beneran kebangetan!" cerocosnya sambil menaruh susu cokelatnya di atas meja dengan kasar. Untung saja tidak sampai tumpah hingga menodai taplak berenda bermotif bunga yang menutupi meja ruang tamu.
Aksa semakin tergelak. Ia kira Cinta tidak akan menyadarinya dan meminum minumannya begitu saja. Aksa memang sengaja. Selain hanya sekadar ingin menjaili, Aksa juga ingin mengetes seberapa besar perubahan di dalam diri Cinta. Ternyata gadis itu memang sudah tumbuh. Jika tidak, Cinta tidak akan sadar bahwa susu hanya akan disajikan seseorang untuk anak kecil.
Bersama Cinta sungguh membangkitkan memori Aksa akan masa lalu. Ia rindu, sekaligus terluka. Dua rasa yang sejatinya tidak cocok dilebur jadi satu, tapi malah semakin jelas Aksa rasakan keberadaannya. Bercanda, tertawa, saling mengejek dan menjaili satu sama lain, hal-hal semacam itulah yang Aksa rindukan selama dua tahun belakangan ini. Momen sederhana, tapi bisa membuat hari-harinya terasa berwarna. Cinta adalah gadis yang selalu membuatnya ceria. Oleh sebab itu, mustahil bagi Aksa membencinya.
"Oh! Pantesan dari jauh udah kedengeran rame, ada tamu rupanya." Tanpa melepas sepatu olahraganya Azkia memasuki rumah sambil mendelik sinis pada gadis yang kini tengah duduk di hadapan abangnya.
"Udah Abang bilang copot dulu sepatunya sebelum masuk. Jadi kotor, kan!" tegur Aksa.
"Alah! Yang biasanya ngepel, kan, aku. Jadi Abang nggak usah protes," timpal Azkia yang kemudian tertarik pada pemandangan di atas meja; sepiring brownies yang seketika menghilangkan nafsu makannya terletak di sana.
"Kamu, tuh, emang susah dibilangin." Aksa geleng-geleng kepala.
Cinta berdiri, hendak menghampiri Azkia dan menyalaminya. Akan tetapi, Azkia yang tiba-tiba membuang muka dan bergeser—seolah menghindarinya—membuat Cinta enggan melakukannya. Cinta malah bingung dengan sikap tak bersahabat yang ditunjukkan Azkia padanya. Apa yang membuat Azkia bersikap sesinis itu? Apa mungkin karena sudah lama mereka tak saling bertemu dan bertegur sapa?
"Ada brownies, nih, dari mamanya Cinta. Lumayan buat ngeganjel perut." Aksa mencoba mencairkan suasana tegang di sekitarnya.
Azkia mendenguskan tawa sinis. "Nggak usah. Aku mau langsung ke kamar. Capek!" Tanpa ba-bi-bu lagi, Azkia segera melenggang pergi ke kamarnya. Mana sudi ia memakan penganan yang dibuat oleh wanita itu. Dulu, mungkin ia memang sangat menyukainya. Namun sekarang, mencium baunya saja sudah membuatnya mual.
Gadis mungil di hadapan Aksa masih berdiri mematung. Seolah sedang mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi di hadapannya. Cinta pasti syok berat menerima perlakuan sinis dari Azkia. Apalagi mengingat kedekatan keduanya dulu. Aksa tak bisa menjelaskan alasan Azkia bersikap seperti itu. Baginya, membiarkan Cinta berada dalam ketidaktahuan adalah satu-satunya pilihan yang tepat. Cinta tidak akan bisa menanggung semuanya, jika mengetahui kebenaran di balik sikap tak bersahabatnya adik perempuan satu-satunya itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Miauw-chan
Bagus thorr, i like it, crazy up dong!
Mampir juga di ceritaku "PERNIKAHAN SESAT" ya, dan feedback.
2020-04-14
1