Gadis bertubuh mungil yang sedang berjalan di trotoar mencuri perhatian Aksa. Postur tubuh gadis itu sangatlah Aksa kenal. Meski sudah lama tidak berinteraksi secara langsung, Aksa tidak akan lupa cara berjalannya yang selalu dengan dagu terangkat sambil memegangi kedua tali tas yang membelit kedua pundaknya itu. Juga, tahi lalat berukuran sedang yang terpampang jelas di atas siku tangan kanannya. Akan tetapi, Aksa tetap harus memastikan bahwa gadis itu memang dia.
Sambil membawa mobilnya dengan kecepatan pelan, Aksa mengikuti gadis itu dari belakang. Sesekali, Aksa juga membunyikan klakson agar gadis itu menoleh ke arahnya. Sayang, berkali-kali membunyikan klakson gadis itu tak kunjung berbalik. Mungkinkah ia harus membunyikan klaksonnya lebih keras?
Aksa semakin tak sabar. Padahal keluar dari kantor tadi dia berniat untuk melajukan mobilnya sekencang mungkin agar bisa secepatnya sampai di rumah. Bukannya malah mengikuti seorang gadis yang belum tentu tepat dikenalnya seperti sekarang. Namun, membiarkan rasa penasarannya tak terpuaskan akan lebih menyiksa batinnya. Karena itu, sekali lagi ia akan mencoba.
Ini yang terakhir.
Klakson terakhir yang dibunyikan Aksa membuat langkah gadis itu terhenti. Tak langsung berbalik, tapi cukup menegaskan bahwa ia menyadari apa yang sejak tadi Aksa lakukan dengan sedan hitam kesayangannya.
Aksa masih menunggu; gadis itu masih mematung. Mungkin, gadis itu ingin kembali memastikan bahwa klakson mobil Aksa memang tertuju padanya.
Oke, sekali lagi.
Meski sudah menegaskan bahwa klakson tadi akan menjadi yang terakhir, Aksa malah kembali membunyikannya. Bahkan lebih keras dan panjang dari sebelumnya.
Entah berapa persen kemiripan yang mungkin dimiliki seseorang dengan orang lain. Bisa sampai seratus persen jika gadis yang sedang dikutinya sekarang ternyata salah orang. Jika tidak begitu, gadis itu tidak akan memiliki tahi lalat di tempat yang sama seperti gadis yang dikenalnya, bukan?
Aksa yakin, tapi seyakin-yakinnya dia tidak menutup kemungkinan bahwa ia tetap bisa salah. Karena itu, ia tidak bertindak gegabah dengan langsung keluar dari mobil dan mencolek bahu gadis itu seperti yang dulu sering dilakukannya.
Seketika kedua sudut bibir Aksa terangkat, tepat setelah gadis itu berbalik. Ternyata Aksa memang tidak salah orang. Gadis bermata bulat itu memang kenalannya. Bukan sekadar kenalan, melainkan seseorang yang pernah sangat dekat dengannya. Meski sudah hampir dua tahun tak saling bicara, ternyata Aksa masih belum bisa melupakan gadis itu. Semua yang melekat di tubuh gadis itu masih tertanam jelas di benaknya.
Namanya Cinta Nayara Kalandra. Gadis yang terakhir kali Aksa lihat masih berseragam putih-biru. Gadis yang tubuhnya sepertinya tak tinggi-tinggi dan tetap mungil seperti dua tahun lalu. Gadis yang merupakan tetangganya, yang hanya berselang dua rumah dengan rumahnya.
Kedua tangan Cinta masih memegang erat kedua tali di pundaknya. Tadinya, Cinta berniat berbalik untuk menghentikan klakson bising di belakangnya. Berteriak dan memarahi si pengemudi sudah hendak dilakukannya. Cinta kira si pengemudi hanyalah orang iseng yang hendak menggodanya. Tak tahunya, si pengemudi adalah om-om berusia 36 tahun yang sudah cukup baik dikenalnya.
Cinta berjalan mendekati sedan hitam yang sejak tadi mengganggunya. Diketuknya kaca jendela mobil itu cukup keras. Begitu kaca jendela mobil itu turun, Cinta bisa melihat dengan jelas seraut wajah yang sudah cukup lama tak ditemuinya. Garis-garis tegas yang menghiasi wajah om-om itu membuat Cinta rindu. Belum lagi lesung pipi yang muncul tiap kali dia tersenyum. Cinta tak mengira akan datang hari di mana ia bisa kembali mellihat wajah itu.
"Yang Terhormat Saudara Aksa Sayudha, Anda sudah mengganggu ketertiban umum. Khususnya saya," Cinta berkelakar dengan wajah cemberut.
Sudah lama sekali wajah Aksa tak mengendur akibat tawa yang disebabkan oleh gadis mungil di hadapannya. Cinta memang sudah sedikit berubah—secara fisik karena proses pertumbuhan yang wajar, tapi gaya bicara dan sikapnya yang selalu memunculkan aura manja masih tetap sama seperti terakhir kali Aksa mengenalnya.
"Ayo masuk!" Aksa membukakan pintu untuk Cinta dari dalam.
"Cinta nggak bakalan diculik, kan?" Cinta menunjukkan sikap perlawanan.
"Enggak. Buruan!" Akhirnya Aksa menarik paksa gadis mungil itu hingga memasuki bagian dalam mobilnya. "Jangan lupa pakai sabuknya."
Bibirnya masih mengerucut, tapi Cinta lebih memilih menurut. Kebetulan seperti ini tidak sering terjadi, apalagi sampai harus menunggu selama 2 tahun. Merasa sungkan tak akan membuatnya bisa cepat sampai di rumah. Mau kukuh menunggu angkutan umum sampai dapat? Mau sampai jam berapa? Hampir semua angkutan umum yang melewati Cinta tadi sudah dipenuhi penumpang. Kalau mau menunggu sampai benar-benar dapat, Cinta harus rela menunggu setidaknya sampai lepas isya. Setelah itu, siap-siap menerima khotbah panjang dari mamanya.
"Hei, Anak Kecil! Gimana kabarnya?" Setelah melajukan kembali mobilnya Aksa mulai buka suara.
"Anak kecil, anak kecil. Cinta udah gede sekarang. Udah jadi anak SMA," gerutu Cinta sambil melipat kedua lengan di dada.
Aksa terkekeh. "Udah SMA, kok, masih aja kecil?" ledeknya.
Delikan tajam Cinta segera menyerang pria di sebelahnya. Cinta tidak suka dibilang kecil, mungil, chibi, apalagi pendek. Tubuhnya memang sudah mentok di 153 cm dan sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Mau minum susu sebanyak apa pun ia tetap saja tidak bisa melewati angka 153-nya. Meski begitu, masih ada tersisa sedikit harapan bahwa tubuhnya suatu hari nanti akan meninggi.
"Ngambek, ya? Kalau masih suka ngambek, berarti emang masih kecil. Cuma bocah yang sedikit-sedikit gampang ngambek." Aksa sengaja menekankan kata "bocah"-nya. Tak peduli akan bibir Cinta yang sudah semakin maju akibat ledekannya. "Pertanyaan saya belum kamu jawab, lho." Ditusuk-tusuk bahu Cinta dengan jari telunjuknya.
Apa boleh buat. Untuk sementara, Cinta abaikan saja dulu ledekan menyebalkan dari om-om berusia 36 tahun yang sejak tadi tak henti-hentinya menampakkan senyum.
"Cinta sama Mama baik-baik aja, kok, Om," jawabnya. "Om Aksa sam Kak Azkia sendiri gimana kabarnya? Kalian udah nggak pernah lagi main ke rumah, lho."
Nada protes terdengar dari bibir Cinta. Mengingat kedekatan mereka dulu seperti apa, wajar jika Cinta sedikit kecewa melihat Om Aksa-nya sudah tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah. Cinta tak pernah tahu alasannya. Ketika bertanya pada Mama pun, Cinta hanya mendapatkan jawaban ala kadarnya. Mamanya tidak menjelaskan apa-apa.
"Saya sama Azkia baik juga. Azkia lagi sibuk ngurusin skripsi. Akhir tahun ini dia bakalan sidang."
Netra Aksa kembali memperhatikan jalanan. Melihat jalanan macet seperti ini sudah dapat dipastikan dia tak bisa membawa pulang Cinta lebih cepat. Berkali-kali Aksa membunyikan klakson dengan sebal, karena ada beberapa pengendara motor yang tiba-tiba menyalip dan memaksa masuk melalui celah-celah mobilnya dan mobil di depannya.
"Terus, kok, kamu pakai baju olahraga gitu? Pelajaran olahraga, kan, biasanya pagi-pagi," Aksa kembali berkomentar.
"Cinta habis latihan," jawabnya sebelum menguap lebar.
"Latihan?"
"Panahan. Om, kan, udah tahu."
"Masih?" Aksa terkejut. "Kirain kamu nggak serius waktu dulu bilang pengin jadi atlet panahan."
"Ya serius lah, Om. Itu, kan, cita-cita Cinta," decaknya kesal.
"Enggak. Saya nggak ada maksud ngeremehin kamu apa gimana. Cuma saya kira, atlet panahan cuma cita-cita sementara. Banyak yang gitu, 'kan? Dulu kepengin jadi apa, sekarang malah jadi apa. Kebanyakan nggak nyambung malah."
Melewati lampu merah, jalanan sudah mulai lancar. Aksa bisa sedikit menambah kecepatan. Jingga sudah sepenuhnya ditelan gelap. Aksa takut mamanya Cinta khawatir anak gadis satu-satunya jam segini belum pulang.
"Dari kecil sampe sekarang cita-cita Cinta nggak berubah, Om. Cinta tetep kepengin jadi atlet panahan. Kalau bisa sampe mendunia kayak tiga srikandinya Indonesia," tutur Cinta diakhiri senyum kagum.
Tahun 1988, Indonesia dibanggakan oleh Trio Srikandi—Nurfitriyana, Lilies Handayani, dan Kusumawardhani—yang berhasil menyabet medali Olimpiade di Seoul, Korea Selatan. Meskipun hanya medali perak, Indonesia bangga karena setelah cukup lama mengikuti Olimpiade—tanpa mendapatkan apa pun, baru di tahun 1988-lah untuk pertama kalinya meraih medali untuk dipamerkan sekaligus dibawa pulang. Kemenangan trio pemanah itu seolah menjadi cambuk bagi atlet-atlet Indonesia untuk semakin berjuang mengharumkan nama bangsa di Olimpiade-Olimpiade berikutnya.
Meskipun di Olimpiade pada tahun 1992 cabang olahraga panahan gagal meraih kembali medali, Indonesia bisa berbangga hati karena untuk pertama kalinya berhasil merebut medali emas di cabang olahraga bulutangkis. Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang sekarang telah dianggap sebagai pahlawan bagi para atlet Indonesia. Kedua atlet itulah yang seolah menjadi pemicu bagi Indonesia bisa mendapatkan beberapa medali emas lagi di ajang Olimpiade di tahun-tahun berikutnya.
Kejayaan cabor (cabang olahraga) panahan seketika meredup. Kemenangan yang didapat Trio Srikandi seolah menjadi yang pertama sekaligus terakhir bagi Indonesia. Di tahun-tahun berikutnya pun cabor panahan tetap tak berhasil menambahkan medali yang didapatnya pada tahun 1988. Meski begitu, meski tak ada lagi catatan rekor yang dipecahkan, cabor panahan bisa berbangga hati karena telah mencatat sejarahnya sendiri. Menjadi cabor pertama yang mendapatkan medali adalah kebanggaan yang tak akan pernah bisa terlupakan.
Namun di Asian Games 2018 yang diadakan beberapa bulan lalu, cabor panahan bisa kembali memperoleh medali. Meski hanya perak dan perunggu, itu patut dibanggakan. Setidaknya, cabor panahan bisa kembali menorehkan namanya di daftar pemenang dan menambahkan jumlah medali bagi Indonesia.
Impian terdekat Cinta saat ini adalah menjadi salah satu atlet yang ikut serta di Asian Games selanjutnya, yang dapat meraih medali emas dan kembali menorehkan sejarah layaknya Trio Srikandi idolanya. Karena itu, ia berlatih keras. Sudah bukan lagi masanya bagi Cinta untuk bermalas-malasan. Jika sampai sekarang ia masih belum juga meningkatkan kemampuan memanahnya, dapat dipastikan bahwa impian terdekatnya itu tak akan mungkin kesampaian.
"Tahu juga kamu soal Trio Srikandi," celetuk Aksa.
"Anak panahan harus tahu, dong, Om. Kebangetan kalau sampe nggak tahu pahlawan panahannya Indonesia."
Yang memperkenalkan Cinta pada panahan sekaligus Trio Srikandi adalah papanya. Guratan kagum yang timbul di wajah, juga bola mata yang berkilat cerah, selalu menyertai di kala Papa menceritakan kisah tentang srikandinya Indonesia. Impian Cinta memang sama seperti Papa—entah Papa yang sengaja menularkannya atau bukan, menjadi atlet panahan yang bisa dibanggakan oleh negara tercinta. Meski kecintaannya terhadap panahan bisa dibilang sama, Papa tak bisa mewujudkan impiannya kala itu. Papa harus rela melepaskan panahan demi keinginan orang tuanya yang mengharuskan Papa untuk meneruskan perusahaan keluarga.
"Jadi, karena pengin kayak Trio Srikandi kamu latihan sampai pulang jam segini?"
"Selesai latihan jam lima, kok. Susah dapet angkot yang bikin Cinta jam segini masih keluyuran," tepisnya.
"Yah, tapi, kan, nggak harus jalan kaki kayak tadi. Kan, bisa nunggu angkot di depan sekolah." Aksa khawatir. Anak gadis seperti Cinta berjalan sendirian di waktu gelap akan membuatnya mudah menjadi sasaran empuk kejahatan seseorang.
"Kalau cuma nunggu, sih, Cinta nggak bakalan bisa pulang kali, Om," sahut Cinta. Jari-jarinya kini memainkan sepasang boneka yang sedang berciuman, yang tertempel di atas dashboard. Mesum, pikirnya.
Lampu merah lagi. Aksa mengendurkan tangannya dari atas kemudi, kemudian melirik sebentar gadis di sampingnya. "Kenapa nggak pakai ojek online coba?"
Wajah Cinta seketika meringis. Jari-jarinya sudah terlepas dari boneka "mesum" di hadapannya. "Cinta nggak percaya sama ojek online," katanya.
"Nggak percaya gimana?" Lampu hijau. Aksa kembali melajukan mobilnya. "Banyak banget orang yang pakai, 'kan?"
"Iya, banyak. Tapi Cinta beda. Cinta cantik, manis, imut. Bahaya kalau dibawa kabur."
Padahal Cinta serius mengatakannya, tapi malah membuat Aksa tergelak hebat. "Pede banget. Hahaha."
Cinta berdecak. Kedua lengannya kembali terlipat di dada. Ditambah tatapannya yang lebih ingin ia buang ke luar jendela. Tukang nasi goreng langganannya sudah terlewat. Itu artinya sebentar lagi mereka akan sampai. Cinta sering diajak makan di tukang nasi goreng itu kalau mamanya sedang malas memasak. Biasanya, di saat Mama sedang banyak pesanan. Seharian membuat brownies membuatnya terlalu lelah untuk menyiapkan makan malam. Oleh sebab itu, Mama membawa Cinta—menggunakan motor matiknya—untuk makan di sana.
"Saya kangen liat kamu manah lagi," celetuk Aksa tiba-tiba. Membuat Cinta melepas pandangannya dari luar jendela kepadanya.
Sebelum aktivitas main ke rumah Cinta berhenti, Aksa sering mengajak Cinta untuk berlatih di lapangan indoor panahan milik salah satu komunitas di Jakarta, yang pendirinya merupakan teman dekat di kampusnya dulu. Hampir setiap weekend Aksa mengajak Cinta ke sana. Karena itu, Aksa tahu permainan panahannya seperti apa. Tidak secara teknik, tapi cukup membuat Aksa mengerti secinta apa Cinta terhadap panahan.
Aksa tak tahu apa-apa tentang panahan. Ia hanya tahu untuk memanah dibutuhkan dua alat utama, yaitu busur dan anak panah. Di luar itu—seperti berapa ukuran papan target, jarak antara pemain dan sasarannya, juga jenis busur yang digunakan, Aksa sama sekali tak tahu apa pun. Jika bukan karena Cinta, Aksa tak akan sedekat ini dengan panahan. Meski pada dasarnya tak tertarik, Aksa selalu menikmati momen kebersamaannya bersama gadis berusia 18 tahun itu. Ada perasaan hangat yang mengalir di dada Aksa setiap kali melihat Cinta melebarkan punggungnya dan bersiap melesatkan anak panah. Dan senyum yang selalu ditunjukkannya ketika berhasil menancapkan anak panah di bagian paling tengah, selalu terasa melegakan bagi Aksa. Otaknya seolah memberitahunya agar selalu menjaga senyum itu.
"Kangen tapi nggak pernah ngajakin Cinta latihan lagi," gerutu Cinta sambil memilin ujung kaus olahraganya. "Om Aksa tiba-tiba nggak pernah main lagi ke rumah. Cinta juga nggak pernah liat Om Aksa di sekitar kompleks. Padahal rumah kita deketan." Cinta tertawa getir.
Aksa membelokkan mobilnya ke area kompleks. Berbagai kendaraan yang sampai tadi sibuk berebut menempati jalanan sudah bukan lagi menjadi problemnya. Yang harus Aksa pikirkan sekarang adalah, bagaimana caranya meredakan kekesalan gadis mungil di sebelahnya. Cinta memang tidak menunjukkan kekesalannya dengan marah-marah, ataupun meninggikan suaranya. Akan tetapi caranya menggigiti bibir, juga memilin ujung kaus olahraganya hingga kusut, menunjukkan bahwa rasa kesal itu ada. Tak hanya kesal, tapi juga ada rasa kecewa.
Untuk sekarang, Aksa tak bisa memberikan jawaban yang tepat pada Cinta. Perihal selama dua tahun ini dirinya menghindar, sengaja memutar arah agar tak lewat di depan rumah Cinta, menghilangkan kesempatan sekecil apa pun untuk bertemu muka, adalah sisi kekanak-kanakannya yang belum bisa Aksa ungkapkan secara jujur pada gadis di sampingnya. Entah akan ada waktunya atau tidak Aksa menjelaskan semua sikap buruknya selama ini.
"Sampe."
Cinta mendongak. Rumah kecil beratap birunya sudah berada tepat di sebelahnya. Padahal Cinta ingin sedikit lebih lama lagi bersama Om Aksa-nya. Cinta ingin mengorek lebih lanjut mengenai Aksa yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak dan kabar. Dulu, beberapa bulan setelah Aksa berhenti main ke rumah, Cinta sempat hendak mendatanginya. Rumah Aksa yang hanya berselang dua rumah dengan rumahnya membuat Cinta tak kesulitan untuk langsung menyambangi om-om itu. Namun, mamanya yang mengetahui hal itu segera mencegahnya. Tentu saja Cinta bertanya "kenapa", tapi Mama hanya memberinya jawaban tak memuaskan seperti: "mungkin dia sedang sibuk", "kita harus menghormati privasinya", atau "tidak baik mengganggu orang yang sedang tak ingin diganggu". Jawaban macam apa itu, pikir Cinta saat itu.
Sekarang, di saat Cinta memiliki kesempatan untuk bertanya, waktu malah berlalu dengan begitu cepat. Obrolan yang akan membawanya pada rasa penasaran yang dipendamnya selama dua tahun ini malah harus terhenti karena mereka sudah sampai di rumah.
"Makasih udah nganterin Cinta, ya, Om." Cinta tersenyum lebar, berlainan dengan hatinya yang merutuk kesal.
"Kita, kan, tetangga." Aksa balas tersenyum. Diam-diam bernapas lega karena pembicaraan serius mereka bisa segera dihentikan.
"Om mau masuk dulu?" Cinta menghentikan niatnya untuk langsung keluar dari mobil.
Aksa menggeleng pelan. "Lain kali aja. Saya harus cepet ke rumah. Ngecek Azkia udah pulang apa belum," tolaknya.
"Dasar siscon." Senyum jail dan tatapan nakal menghiasi wajah Cinta.
"Apa siscon-siscon! Wajar tahu kalau saya kuatir sama adik sendiri," sungut Aksa menampilkan wajah senderut.
Cinta terkekeh. Siscon, sebutan bagi orang Jepang kepada seseorang yang terlalu menyayangi adik perempuannya. Cinta memang sudah sering mengejek Aksa dengan kata-kata itu. Sebagai seorang kakak, Cinta merasa Aksa terlalu over protective terhadap adik satu-satunya. Bahkan, tak jarang Aksa mengantar jemput adiknya ke kampus karena kecemasan berlebihan. Mungkin karena merupakan adik satu-satunya dan usia mereka yang terpaut cukup jauh. Mungkin juga karena sudah tak memiliki orang tua yang membuat Aksa jadi terlalu berlebihan terhadap adiknya itu.
Cinta berdiri di samping mobil dan menaruh wajahnya di depan kaca jendela yang terbuka. "Sekali lagi makasih, ya, Om."
"Iya." Aksa mengacak-acak rambut Cinta gemas. Sekali lagi, perasaan rindu menyusup ke hatinya. Kebiasaan dulu itu, baru bisa dilakukannya lagi sekarang. Menyelipkan jari jemarinya di antara ratusan ribu helai rambut Cinta adalah kegemaran yang dilakukan Aksa selain melihat gadis itu memanah. Wangi lavendel yang menempel di jari jemarinya-lah yang menjadi satu-satunya alasan Aksa senang menyentuh rambut gadis itu.
Cinta menyingkirkan tangan Aksa dari kepalanya. Cinta benci ketika Aksa melakukannya, karena membuatnya merasa diperlakukan seperti bocah.
"Titip salam aja buat mama kamu, ya."
Kening Cinta berkerut. Namun, suara pintu rumah yang terbuka dari dalam membuatnya mengurungkan niat untuk bertanya lebih lanjut. Tubuhnya masih mematung sesaat setelah Aksa kembali menjalankan mobilnya. Netranya terus mengikuti sedan hitam itu, hingga berbelok masuk ke rumah asri berdinding cat hijau yang tak jauh dari rumahnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments