Kelamnya malam masih menyelimuti atap-atap rumah beserta sekelilingnya. Sebagian besar manusia lelap dibuai mimpi kecuali sebagian kecil, misalnya, orang bermental pejuang. Salah satunya adalah Mbah yang sudah mulai menyiapkan dagangan di dapur kecilnya. Menumbuk bahan-bahan jamu yang telah dibeli dan disiapkan di hari sebelumnya. Sebelum jam tujuh pagi, jamu-jamu dalam botol akan digendongnya berkeliling untuk ditukarkan dengan lembar-lembar rupiah yang akan digunakan untuk membiayai kehidupan Mbah dan Jona. Termasuk biaya sekolah Jona.
Wanita itu sangat menyayangi Jona seolah-olah ada darahnya yang turut mengalir dalam tubuh gadis belia itu.
Wanita yang sebagian besar rambutnya telah putih itu melangkah ke tempat tidur yang terletak di depan pintu keluar, di mana ada satu unit televisi usang beserta kasur lantai tipis. Jona pulas di atasnya. Napasnya tenang, tak terganggu. Mbah sempat urung membangunkan dia, tapi gadis itu harus terbiasa bangun pagi. Dia harus tumbuh menjadi wanita yang kuat dan tidak manja.
"Nok, bangun," katanya lembut sambil membelai rambut halus Jona.
"Emh...."
"Ayo bangun."
Cewek itu menghela napas, dalam keadaan masih menutup mata dia mengumpulkan kesadaran agar bisa bangkit lalu berjalan menuju ke kamar mandi. Semalaman Jona belajar Matematika sendiri sampai jam dua belas malam sehingga punggungnya terasa berat ketika akan bangun. Biasanya Jona tidak perlu dibangunkan andai tidak terlalu larut tidurnya.
Dua puluh menit lagi jam empat dini hari Seperti biasa setelah mencuci muka, Jona bergegas membantu Mbah. Ketika mengambil gelas tehnya, cairan bening berwarna kekuningan itu mulai mendingin. Artinya Mbah telah lama bangun sebelum dirinya.
"Masukkan ini ke dalam panci itu."
Jona menyobek plastik bening serupa bantal berisi daun kelor kering lalu menuangkan isinya ke dalam panci seperti yang diperintahkan. Dia memang sudah terbiasa membantu dan akan sangat tidak sopan jika membiarkan wanita tua berjuang seorang diri sementara dirinya yang masih muda dan bertenaga tidur. Jona tidak pernah marah apalagi menyesal hidup bersama Mbah.
"Nok, Mbah mau ngomong. Ini tentang teman lelakimu."
"Jordy? Dia ganteng ya, Mbah."
"Iya. Tapi bukan itu maksud Mbah. Kemarin Mbah ketemu sama putrinya."
"Oh. Livi."
"Dia tidak ingin kamu terus dekat dengan ayahnya, Nok. Kasian gadis itu, sudah tidak punya ibu. Coba Nok pertimbangkan untuk menjauhi ayahnya. Menurutnya, itu yang terbaik."
"Mbah, itukan cuma pendapat Livi. Belum tentu dengan ayahnya."
Apa Mbah juga berpikir bahwa Jona bahkan tidak punya ibu sekaligus ayah, protesnya dalam hati.
"Iya, tentu. Tapi bukankah tidak patut orang yang begitu muda berhubungan dengan dia? Kamu harusnya fokus pada sekolahmu, Nok. Mbah sudah berusaha keras agar kamu jadi orang."
"Tapi untuk urusan hati, seharusnya aku punya wewenang sendiri kan, Mbah?" Air mata Jona secara tidak sopan menyeruak dari balik kelopak matanya. Mendahului puluhan bahkan ratusan kata-kata yang berputar dalam otak dan berjejalan ingin dikeluarkan. Tenggorokannya tercekik, menahan rasa sakit yang hadir menyerang seluruh rongga tubuhnya dan penderitaan itu berhenti di dada dan tenggorokan Jona.
"Kamu belum berhak atas keputusan itu."
Ketika kalimat putus asa itu keluar dari mulut wanita tua yang juga tak kalah terluka, Jona sudah mengemasi peralatan sekolah dan seragamnya. Dia benar-benar marah pada semua orang. Terutama Livi. Berani-beraninya dia menghasut Mbah.
Jadi, sudah sejauh ini usaha Livi untuk memisahkannya dengan Jordy? Apakah Livi tidak memikirkan sama sekali perasaan ayahnya jika dia tidak Audi mempertimbangkan dari sisi Jona.
Seharusnya dia berpikir bahwa mungkin ayahnya akan sedih jika terus dipaksa untuk berpisah. Bahwa laki-laki yang usianya mendekati setengah abad itu tidak punya kuasa atas apa yang dia rasa. Apa tidak bisa Livi sedikit bersimpati pada hal itu, dari sisi Jordy. Jona dikuasai amarah ketika memikirkan Livi.
Jona pergi dari kontrakan Mbah tanpa pamit. Hatinya diliputi kemarahan dan sakit hati yang sangat menyiksanya. Kaki-kaki kuatnya melangkah dan terus melangkah, ditingkahi air mata yang sesekali masih merangsek dari balik kelopak matanya. Gadis yang terluka itu mencari apa saja yang masih buka, warkop atau warnet untuk menunggu waktu berangkat ke sekolah.
Ketika mencoba menghubungi Jordy, nomornya tidak aktif sama sekali. Pria itu mungkin sengaja mematikan telepon seluler atau dia kehabisan baterai.
"Sial!" umpat Jona kesal, merasa sendiri padahal saat ini Jordy-lah orang yang paling diharapkannya ada. Pada pagi yang masih belia Jona berbisik, "Mungkin sementara aku harus menderita sendirian, sebelum bisa membagi beban."
Kata-kata itu, halus mengalir ke udara, beresonansi ke dalam alam bawah sadar Jordy menjelma sebuah mimpi. Tentang seseorang, yang tertusuk duri mawar. Seorang kekasih, yang hanya bisa dipandangnya tanpa ada kemampuan untuk menolong.
***
Jona duduk di sebuah Warkop dekat sekolah untuk sarapan setelah menyimak tutorial belajar Matematika di YouTube. Gadis itu menyimak sampai hampir tertidur di sebuah warnet sebelum mengakhiri pelajaran daringnya untuk minum kopi dan sarapan. Jona benar-benar berharap bahwa dia bisa lebih pintar agar tidak dipermalukan lagi.
Tidak oleh Pak Juki, tidak juga oleh Livi yang telah mengatakan bahwa dia dan Jordy tidak serasi. Jona juga ingin membuktikan pada Mbah, bahwa cintanya tidaklah salah. Cintanya tidak seegois yang orang lain mungkin kira.
Jona hanya bersalah karena, dia jatuh cinta tidak tepat pada waktunya. Bukan kepada siapa dia menjatuhkan cinta itu. Andai dia tidak terlalu muda, atau andai dia sudah lulus sekolah. Andai dia sepuluh tahun lebih tua....
Andai ... Andai ada seribu kesempatan untuk jatuh cinta, Jona akan tetap memilih Jordy jadi pelabuhan hatinya.
***
Jordy terpaku, beku di tempatnya menyaksikan darah mengalir dari kedua tangan Jona yang menangis memohon pertolongan. Meskipun Jordy ragu benarkah itu Jona...?
Tanpa disadari, dia bangun dan segera melupakan mimpi itu. Namun kesedihan menggantung di atas kepala, seperti awan hitam. Kesedihan yang entah berasal dari mana.
Livi mencari tahu apakah ayahnya memiliki masalah di tempat kerja atau ada hal lain? Tetapi, gadis itu tak mendapatkan apapun selain ucapan 'tidak apa-apa'.
Livi berpikir, mungkin kerinduan telah mengambil senyum dari wajah ayahnya. Kerinduan tentang seseorang yang telah pergi.
Seketika, dia berpikir, apakah permintaan untuk meninggalkan Jona sebegitu berdampak bagi ayahnya? Tetapi lantas dia hilangkan pikiran itu dengan pembelaan demi pembelaan. Dari sebuah pembenaran ke pembenaran lain. Sehingga yang dia dapatkan sekarang adalah kekuatan untuk terus merongrong hubungan antara kedua orang itu.
Livi pasti berhasil, teriaknya dalam hati. Selama ini dia memang selalu berhasil. Kegagalan sepertinya telah menjadi musuh yang takut pada Livi. Sebab, sejak dulu ibunya selalu berhasil memastikan bahwa dia tidak pernah gagal.
Dalam sebuah, yang mungkin satu-satunya kegagalan Livi ada insiden yang merenggut nyawa ibunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Dede
lanjut thor
2022-10-26
0
Emy Zaf
apa jgn livua bukan anak kandung nya jordy /disembunyikan oleh emly
2021-10-14
1
Yustina Rini
Ada apa dg ibunya Livi di masa lalu
2021-06-24
1