Ketika Tuhan mengambil salah satu dari dua bidadari yang kumiliki, seruang di dalam hati ini akan selalu kosong karena kealpaannya.
Kosong, mungkin adalah ungkapan yang paling tepat dan mudah meskipun sulit untuk diterima. Lalu, aku harus berdamai dan mencoba akrab dengan kata itu, yang semakin hari semakin besar dan siap menelanku dalam kekejamannya yang tiada berperi.
Ketidakhadiran Emera yang pergi meninggalkan kehidupan fana menuju keabadian, membentuk lorong hitam yang kuyakin menjangkiti kami--aku dan putriku.
Kekosongan yang setiap waktu siap membirukan kami, atau bahkan membuat lebam hati, pikiran serta jiwa. Entah kepedihan macam apa yang menaungi kami, setelah kejadian itu.
Entah apa pula yang tersimpan, tersembunyi pada masing-masing kami. Yang kemudian seolah merenggangkan jarak, antara aku dan Livi. Membuat kami, berada dalam situasi sulit dan canggung.
Sayangnya, di sini, aku tidak boleh menunjukkan itu. Menunjukkan kesedihan dan perasaan sakit, hanya akan membuatku terlihat lemah dan membuatku menjadi seorang yang payah. Kebiruan ini, biarlah kupeluk dan menjadi milikku sendiri.
Sebagai seorang ayah, aku haruslah tegar dan kuat. Sebisa mungkin menguatkan Livi. Tak peduli apa yang ada di dalam dadaku sendiri. Pura-pura atau dibuat-buat, yang jelas, aku harus selalu tegar dan tersenyum.
Aku harus berusaha membuat putriku percaya bahwa hidup baik-baik saja, bahkan mungkin ada harapan bahwa kami akan kembali berkumpul dalam sebuah keutuhan keluarga. Apakah itu mustahil? Aku yakin Tuhan yang Maha Baik tidak keberatan untuk menghimpun kami kembali.
Yang jelas, aku tidak ingin Livi terjerumus dan menderita sendirian, meskipun memang sulit memeluk luka-lukanya. Gadis itu telah tumbuh menuju dewasa dan keras kepala. Agak sulit bagiku untuk mengerti dirinya.
Tetapi, kalau dipikir-pikir, dia persis seperti ibunya yang tidak pernah menyerah, selalu berusaha mengesankan semua orang, dan selalu punya tujuan yang harus dicapai. Benar, sifat ambisius itu pasti Livi warisi dari ibunya, dan aku mungkin hanya mewariskan sikap keras kepala. Meskipun tidak ada yang bisa menjamin kebenarannya.
Kehilangan, adalah hal yang takkan pernah diharapkan oleh siapa pun. Tidak satu pun manusia di bumi, mungkin. Termasuk diriku yang sebagai seorang laki-laki, harus kuat menopang diri, melanjutkan hidup dan tak boleh larut dalam kesedihan agar Livi percaya dan bisa bersandar padaku. Aku tak ingin menjadi seseorang yang lemah di hadapannya, atau menjadi seseorang yang tak bisa diandalkan oleh satu-satunya anugerah terindah yang Tuhan berikan padaku dan Emera.
Andai aku bisa mengesampingkan perasaanku sendiri.... Sekarang, alih-alih memikirkan perasaan kehilanganku, ada yang harus lebih kuperhatikan. Dia, bagaikan peri yang kehilangan sebelah sayap. Apakah aku dapat memastikan bahwa dia tetap bisa terbang? Hanya dengan sebelah sayap rapuh. Bahwa kenyataannya, aku tidak pernah bisa menandingi Emera dalam hal apapun dan aku tidak akan pernah bisa menggantikan peran dan posisinya. Benar, terkadang aku berpikir, Emera terlampau sempurna. Sosoknya, begitu indah dan kuat sekaligus.
Wajar jika kemudian aku menjadi ragu terhadap diriku sendiri. Tetapi, keraguan itu tak sepatutnya kutunjukkan, pada siapa saja, terutama Livi. Harus bisa kusembunyikan, sampai ruang hati, yang paling rahasia.
Hari demi hari telah berlalu dalam sepi tanpa kehadiran Emera. Di suatu tempat, mungkin di surga kuharap dirinya menjadi bidadari seperti ketika kami berjumpa di dalam sebuah mimpi. Tatapannya menyejukkan hati, suaranya ketika mendendangkan nada-nada, ah, baiknya tak kusebut-sebut agar dia tenang di sana. Tetapi terkadang, mimpi menjelma menjadi begitu nyata dan sulit untuk diterima apakah itu hanya sekadar mimpi, ataukah bagian dari keadaan yang sesungguhnya.
"Emera, kau telah datang dalam kehidupan ini untuk menggenapi diriku. Memenuhi undanganku untuk menjalani hidup yang tak sempurna ini, bersama-sama. Kau, telah menghadirkan bidadari kecil di rumah kita, Sayang. Dia sudah tumbuh besar dalam pengawasan dan penjagaanmu. Bahkan mewarisi beberapa sifat serta kecantikanmu.
Di sini, kami akan selalu merindukanmu. Aku, yang tidak akan pernah bisa utuh tanpamu. Yang limbung dalam kesendirian tanpa dirimu."
"Rumah ini, telah kehilangan ratu, Emera. Apakah dirimu dengar itu? Sekarang, siapa yang akan menyambutku pulang?"
"Emera, aku sadar, kehadiranmu tak sepenuhnya hilang, tidak benar-benar pergi. Karena di mata Livi, putri kesayangan kita, dalam dirinya ada dirimu. Ada bagian dari dirimu. Juga di sini, di dalam hatiku, selalu ada namamu. Jika menurutmu aku bisa mengurusnya seorang diri, baiklah, Sayang. Aku akan berusaha sekuat yang kubisa. Meskipun ini sulit dan berat untukku."
Semua kenangan indah bersama Emera dan Livi akan selalu ada, di sini, di dalam diriku.
-
Jordy tak melanjutkan catatannya. Pria itu tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan yang diakibatkan oleh rasa kehilangan. Dia tidak ingin terus-menerus meratapi sebuah kepastian. Ya, Emera pergi itu sudah pasti. Bagaimana pun dia bersedih, istrinya tidak akan pernah kembali lagi.
Apa yang perlu ditulis, sudah ditulisnya. Sekadar pengingat. Dia sama sekali tidak berharap bahwa kekosongan akan benar-benar menelannya. Dia harus melanjutkan hidup, dan berusaha untuk bahagia.
Jordy juga harus berusaha membuat Livi bahagia. Iya, itu harus!
"Ayah belum tidur?" tanya Livi ketika mendapati lampu di ruang kerja ayahnya menyala di tengah malam.
"Livi. Ayah hanya mengerjakan sedikit catatan. Kamu terbangun?"
Sesegera mungkin Jordy memasang senyum di wajahnya, berharap kesedihan itu segera lenyap dan tak terbaca.
"Iya, Ayah. Tadi aku haus."
"Baiklah kalau begitu sebaiknya Ayah juga akan pergi tidur."
"Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Yah. Ayah bisa sakit," peringat Livi, mengingat bahwa mungkin saja ayahnya cemas tidak dapat membiayai pendidikannya kelak. Tetapi, Livi sudah mengusahakan agar dia tidak begitu memberatkan sang ayah.
"Tentu. Terima kasih, Sayang."
Livi meninggalkan sang ayah setelah mengucapkan selamat malam untuk kedua kalinya. Sementara itu, Jordy cepat-cepat bersiap untuk tidur. Dia sadar, untuk bahagia seseorang harus sehat jiwa dan raga. Itu dimulai dengan tidur yang cukup dan teratur.
Keesokan paginya, pria itu terbangun dalam keadaan yang berat. Sebab semalam, Emera terlihat sedih di dalam mimpinya. Jordy bertanya-tanya, apakah Livi juga memimpikan hal yang sama, namun ketika sarapan dan harus menjalani rutinitas kehidupan normal, pertanyaan itu menguap begitu saja. Hilang.
Jordy bahkan lupa telah memimpikan apa. Seolah kehidupan telah menghapusnya, membuatnya menguap seperti yang terus menerus dijerang. Sampai habis tak bersisa...
Seperti, debu yang diterbangkan angin....
Seperti cinta yang dikikis dendam dan kebencian.
Lalu, keduanya, ayah dan anak itu, larut dalam aktivitas masing-masing. Meninggalkan sesuatu yang kemudian akan mereka rasakan kembali, dan mungkin akan mereka ratapi bersama-sama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
re
Ia masih mencoba mengerti
2021-10-23
1
Elis T.N
keren banget bahasa nya author aku suka 😊😊
tapi sayang, tidak semua penikmat novel memahami bahasa mu
2021-07-12
0
Yustina Rini
Belum.bgitu paham lir. eritamu Thor
2021-06-24
1