Hawa dingin dan rasa perih menusuk tubuhnya.
Hanya satu cahaya lilin yang menjadi penerang, dia merasakan jika ke dua tangannya terikat dengan rantai besi yang membuat memar, dengan segera dia membuka mata dan hanya gelap yang dia lihat.
CKLEK
Wajah lebamnya mendongak dan melihat orang yang datang dari balik pintu. Siluet tinggi besar, ingin melihat lebih jelas, hanya terlihat wajah yang berwarna gelap dan samar-samar.
"Kau sudah bangun?" tanya suara mengintimidasi yang sangat kuat, tubuh kecilnya tiba-tiba saja bergetar ketakutan.
"Hari ini mau bermain apa, boy?"
Dia hanya menggelengkan kepala takut dengan air mata menetes.
"Dengan silet?"
Tenggorokannya kering kerontang, ingin berbicara saja rasanya sakit. Dia hanya bisa menangis.
Silet menggores dada bagian kirinya hingga menimbulkan luka yang panjang, darah kental langsung keluar.
"Arrgghh.." raungnya kesakitan.
Terdengar suara tawa menyeramkan dari siluet itu. "Ini belum seberapa, salahkan saja dirimu karena sudah terlahir sebagai anak Aldebaron."
BUG
BUG
tendangan dan pukulan diarahkan ke tubuh kecilnya.
"Ayo, sekarang kita bermain dengan ini," kata siluet yang mengenakan cincin batu rubby mengambil belati di balik jaketnya.
Belati tajam segera menggores pipinya. "Matamu sangat mirip dengan Aminta, aku sangat menyukainya sampai ingin mencongkel keduanya."
Dengan segera diarahkan belati itu ke bola mata hitamnya.
Krett
Belati yang sudah sangat dekat dengan bola mata hitamnya seketika berhenti karena adanya suara yang mengintruksi.
Di sana di cela pintu yang sedikit terbuka, seorang anak kecil mengintip dengan tatapan horor.
.
.
"Hos.. hos.. hos.."
Chandika terbangun dengan napas yang memburu.
"Hiks.. sakit banget rasanya," isak Chandika karena merasakan rasa sakit dan ketakutan dalam mimpinya, seperti nyata sekali. "Apakah itu ingatan Chandika asli.. Hiks.."
Sepertinya bukan hanya tubuh mereka yang tertukar, tapi mereka juga dapat merasakan rasa sakit yang sama.
Pemuda itu langsung menatap jam, sudah pukul 06.00 pagi, dia langsung bangkit untuk ke kamar mandi.
Dia hanya menatap pantulan dirinya di kaca besar dengan keadaan tanpa mengenakan baju atasnya. Tangan panjangnya meraba badan atasnya hingga berada di perut kotak-kotak.
"Untung saja tidak ada bekas luka sayatan," kata pemuda dengan menghela napas. "Pipi juga nggak ada bekas goresan," lanjutnya ketika meraba-raba pipinya.
Setelah hanyut dengan pikirannya, pemuda itu langsung menjalankan ritual bersih-bersih paginya dan bersiap untuk berangkat sekolah.
**
Pagi yang cerah, awan di atas langit yang berbaris rapi, dan burung-burung berkicau bahagia. Namun, bertentangan dengan suasana hati laki-laki yang sedang mengendarai motor sport dengan kecepatan sedang, pikirannya masih terbayang akan mimpi mengerikan yang dialaminya.
Mata hitam malamnya melirik kaca spion dan melihat ada tiga mobil hitam velg gold mengikuti.
"Berani sekali," guman Chandika sambil tersenyum miring.
Chandika langsung menutup visor helmnya dan menaikan kecepatan motor menjadi maksimal. Motor sport merah itu meliuk-liuk di tengah keramaian lalu lintas, sementara tiga mobil dibelakangnya terus menempeli.
Hingga akhirnya Chandika menghentikan motornya di jalan yang cukup sepi, hanya terdapat pohon-pohon di sebelah kiri dan kanan. "Ayo bersenang-senang," katanya sambil menyeringai menatap mobil hitam yang juga berhenti, hatinya memang sedang buruk pagi ini, dan dia bersyukur karena mendapat beberapa orang yang dapat dia tinju.
"Satu, dua, tiga, empat, lima.... dua belas," guman Chandika menghitung banyak pria berbadan besar yang keluar dari ke tiga mobil yang di depannya.
"Ikutlah dengan kami, bocah!" seru pria berkepala botak dengan bekas luka di mata kirinya.
"Kalau gue nggak mau?" tanya Chandika menantang sambil membuka helm yang sejak tadi dia pakai.
"Lo mati!"
BUG
BUG
"Kalian saja yang mati," ucap Chandika langsung melempar helm ke arah perut pria botak yang seketika menunduk dan langsung mencengkram kepala botak itu, lalu menubruk lehernya dengan lutut.
Ke sebelas pria yang melihat temannya yang sudah tidak berdaya langsung saja menerjang Chandika. "Bocah, brengsek!"
**
"Gawat, Aku bangun kesiangan," kata seorang pemuda berambut cokelat pirang sambil mengancingkan kemeja putih buru-buru.
Danny, si intel polisi yang di tugaskan Jauzan untuk menjaga Chandika, dengan langkah terburu-buru dia langsung berlari menuruni tangga dan secepat kilat mengambil susu yang ada di balik pintu kulkas, lalu langsung menuju ke luar apartemen minimalis miliknya.
"Semoga saja pagi ini tuan muda tidak dalam bahaya," ucapnya sedikit panik. Tugasnya adalah menjaga Chandika secara diam-diam, mengikuti kemanapun, dan selalu menjadi benteng jika ada orang yang mengincar nyawa putra Aldebaron.
Bruk
"Kyaaaa!"
Grep
Sepasang mata hitam dan jade saling bertemu, sesaat saling tertegun dalam tatapan saling mengunci.
"Maaf," kata Danny kemudian dan langsung melepaskan tangannya dari pinggang gadis yang dia tabrak.
"Danny?" tanya Jane pada pemuda berkacamata. "Lo tinggal di apartemen ini juga?"
"Iya."
"Gue baru pindah di kamar sebelah lo."
Danny hanya diam merutuki kesialannya, dia itu kan intel polisi yang harus diam-diam bertindak, tapi kenapa gadis yang notabene mantan dari tuan mudanya malah tinggal di sebelah kamar apartemennya. Salahkan Jauzan yang menempatkan dirinya di sini.
"Ah, untuk kejadian yang waktu itu, gue harap lo nggak bilang ke orang lain, dan melupakannya," lanjut jane dengan hati-hati.
'Maksudnya kejadian waktu dia menangis?' pikir Danny.
"Hmm," gumamnya tidak mau ambil pusing. "Gue duluan," dan langsung melangkah meninggalkan Jane yang menatapnya rumit.
**
BRAK
Sebuah gebrakan meja membuat Alvis yang tidur dengan bantalan tangan di atas meja terlonjak kaget, "Astaghfirullah!"
"Tumben nyebut," kata di pelaku tersenyum mengejek.
"Siyalan lo, Chan!" seru Alvis tidak terima.
"Lo udah nggak kenapa-kenapa?" tanya Chandika yang duduk di sebelah Alvis.
"Iya begitulah," jawab pemuda deep auburn sambil menguap.
"Oh."
"Tangan lo kenapa lecet-lecet begitu? Trus darah apa itu?" tanya Alvis ketika melihat jari-jari tangan Chandika dan beberapa bercak darah di kerah kemeja pemuda mullet.
"Gue habis menolong kucing ketabrak mobil," jawab Chandika asal.
Alvis hanya menatap Chandika tidak percaya, dan tiba-tiba wajahnya mengeras.
PLAK
"Aduh, apa lagi sih?" tanya Alvis jengkel ketika Chandika tahu-tahu memukul kepala deep auburn milihnya.
"Cuman ngasih pelajaran buat lo," kata Chandika cuek.
"Pelajaran apa?"
"Lo yang udah mengadukan gue sama papi Jauzan, kan?" tanya Chandika dengan tatapan menyelidik. "Lo yang bilang gue punya bayak pacar sama bolos kemarin, kan?"
"Sekate-kate banget lo, gue nggak main ngadu kayak gitu," kata Alvis memprotes tuduhan Chandika.
"Kalau bukan lo siapa?"
"Makannya otak itu dipakai, masa nggak tahu, papi Jauzan punya orang khusus untuk ngawasin lo di sekolah," ucap Alvis sedikit berbisik.
Chandika tertegun, "Siapa?"
"Danny."
"..."
"Sudahlah, biarkan saja, papi Jauzan cuman berharap lo nggak kenapa-kenapa, nyawa lo itu banyak yang mengincar," lanjut Alvis dengan muka serius.
"Hmm."
_To Be Continued_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀ᴳ᯳ᷢ🍁🦂⃟τᷤяᷤιᷫαꪶꫝ𝓐𝔂⃝❥❣️
seruuuu lanjutkan Thor 👍👍👍😍
2022-05-01
0
❤️⃟WᵃfℛᵉˣzhA_ yUy𝓪∆𝚛z
Chandika terlalu berharga
2022-04-05
0
❤️⃟WᵃfℛᵉˣzhA_ yUy𝓪∆𝚛z
aku merinding kayak liat film horror
2022-04-05
0