"Hei.. Chandika! Bangun," bisik Alvis pada pemuda yang sedang tidur dengan tenangnya.
"Bangun, bodoh.." Alvis hanya memutar bola matanya karena Chandika tidak menghiraukan bisikannya.
Oh, ayolah. Di depan kelas seorang guru sedang menatap sepupunya dengan pandangan sengit. Ya! Sepupunya seenaknya tidur di tengah-tengah pelajaran, apalagi guru yang mengajar sekarang adalah bapak galak yang ditakuti seantero BJS.
"Chandika Leofic Aldebaron!" seru pak guru galak memanggil pemuda yang sedari tadi tidur.
CTAK
Sebuah sepidol melayang dan mengenai kepala bersurai hitam tebal.
"Aduh.." rintih Chandika refleks memegang ubun-ubunnya, dan langsung menegakkan duduknya. "Iya ada apa, pak?" tanya pemuda itu saat melihat pelempar sepidol dengan tatapan tanpa bersalah.
Alvis langsung menyikut lengan teman sebangkunya itu karena bertingkah laku tidak sopan dengan guru.
"Kamu beraninya di tidur kelas saya, jangan pikir jika kamu dari keluarga Aldebaron aku takut untuk menegur, di sekolah ini tingkat sosial tidaklah berlaku," kata guru itu menatap Chandika sinis.
"Maafkan saya pak," jawab Chandika sungguh-sungguh. Dia memang salah sudah tidur, dia mengantuk sekali. Sejak pertemuannya dengan Cherika kemarin, semalaman dia memikirkan hal yang ingin dia lakukan kedepannya, rencana apa yang harus dia lakukan untuk mengembalikan tubuh mereka yang tertukar. Alhasil dia bergadang semalaman.
"Baiklah, kamu kerjakan soal yang ada di depan. Jika kamu tidak berhasil mengerjakannya, kamu lari keliling lapangan," kata pak guru kemudian. Dia sangat tahu kalau putra Aldebaron itu tidak mungkin bisa mengerjakan soal yang dia berikan, karena Chandika sangatlah bodoh.
Niat awal pak guru memang membuat Chandika berlari keliling lapangan yang sangat luas itu.
"Pstt.. Chandika mana bisa mengerjakan soal yang sangat rumit itu," bisik seorang siswi.
"Meskipun penampilannya berubah tidak mungkin kapasitas otak berubah juga," bisik sorang siswa menatap remeh.
"Kasian sekali Chandika harus berlari keliling lapangan," bisik siswi satunya.
Pak guru yang mendengar bisikan murid-muridnya hanya tersenyum miring ke Chandika.
Chandika langsung berdiri dari bangkunya dan berjalan ke depan kelas tanpa memperdulikan bisik-bisik teman sekelasnya.
Ada delapan soal matematika di papan tulis, tanpa menunggu lagi dia langsung mengerjakan soalnya dengan cepat.
Set
Set
Set
"Sudah, pak," kata Chandika setelah mengisi semua soal.
Pak guru yang sedari tadi mengawasi hanya terbelalak karena pemuda itu bisa mengerjakan soal tanpa kesulitan sama sekali.
"Jawaban saya benar tidak, pak?" tanya Chandika dengan wajah datarnya.
"I-iya benar semua," jawab pak guru kikuk dan semua yang di kelas menatap tidak percaya Chandika.
Bagaimana seorang Chandika yang notabene bodoh dan idiot bisa mengerjakan soal matematika yang rumit?
"Kalau begitu saya permisi, pak," kata Chandika kemudian dengan cuek dan langsung kembali ke tempat duduknya.
Alvis hanya metapa Chandika rumit, banyak sekali kejutan dari sepupunya.
"Hmm, saya harap tidak ada yang tidur di kelas lagi," ucap pak guru kemudian dan melanjutkan pelajarannya.
Beberapa saat berlalu dan bel pertanda istirahat berbunyi.
"Baiklah kalian boleh istirahat, selamat siang," kata pak guru dan segera meninggalkan kelas.
Semua murid bersorak gembira, akhirnya mereka bisa lepas dari mata pelajaran si guru killer.
"Siapa lo sebenarnya?" tanya Alvis ke Chandika yang berjalan di sampingnya, mereka berdua ingin menuju kantin.
"Hah?"
Chandika hanya merngeryit mendengar pertanyaan Alvis, tidak mungkinkan laki-laki berponi itu tahu kalau dia memang bukan Chandika.
"Lo bukan Chandika kan?" ucap pemuda baby itu mengulang pertanyaannya.
"L-lo bagaimana bisa..."
"Ya! Lo adalah alien yang menyamar menjadi Chandika, balikin sepupu gue yang imut dan bodoh itu!" seruan konyol Alvis seketika memuncukan perempatan di kepala Chandika.
'Orang sakit jiwa ini,' batin Chandika menatap Alvis yang bertampang bodoh.
Chandika langsung meraup muka Alvis dan mendorongnya ke belakang, "Alien gundulmu."
Alvis hanya mencebikkan bibirnya.
"Lo mau makan apa?" tanya Alvis kemudian setelah mereka berdua sampai di main cafetaria.
"Samakan saja kayak lo," jawab Chandika dan langsung mendudukan bokongnya di kursi, membiarkan Alvis yang memesan makanan untuk mereka.
Tidak lama kemudian, Alvis membawa dua porsi makanan dan minuman dingin.
"Si Lazuardy kenapa tuh," celetuk Alvis mengalihkan perhatian Chandika yang sedang makan.
Di depan pintu masuk kantin, Ben baru saja datang dengan para antek-anteknya. Laki-laki yang biasanya berjalan angkuh itu, kini berjalan tertatih dipapah Jane, pelipis yang diperban, sedikit lebam di pipi, dan lengan kiri yang di gips.
Chandika tidak acuh dan menggakat bahunya merespon perkataan Alvis.
"Baru pengin gue mampusin tuh orang, tapi kayaknya udah nggak perlu lagi," kata Alvis yang tiba-tiba saja berwajah datar.
"Ada masalah apa dia sama lo?" tanya Chandika menatap ganji.
"Dia sudah cari masalah sama lo, Chan. Gue nggak bisa diem kalau lo diganggu orang."
"Kenapa lo perduli sama gue?"
"Lo kan saudara gue, tentu gue perduli."
Chandika hanya termenung, dia tidak menyangkah Alvis yang notabene terkenal sebagai Heaven yang bengis dan gila mempunyai sisi manis yang sangat perduli dengan saudaranya.
"Cewek lo ngeliatin mulu tuh, nggak lo samperin?" tanya Alvis yang melihat Jane menatap Chandika dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Dia bukan cewek gue."
"Oh mantan," kata Alvis terkekeh geli.
"Mantan bangsat."
Alvis terbatuk karena tersedak makanannya dan langsung menegak minumannya.
"Lo beneran sudah move on?"
"Berisik, makan saja sana."
"Ma-maaf, boleh ngomong sebentar?" tanya seorang perempuan tiba-tiba mengintruksi obrolan kedua lelaki itu.
"Sama?" tanya Alvis mengeryit menatap gadis berambut pirang.
"Chandika."
"Mau ngomong apa?" tanya Chandika dengan masih tenang mengunyah makanannya dan menatap datar si gadis.
Gadis yang ditatap semakin menundukkan wajahnya, kedua tangannya saling bertaut gugup. "Bo-boleh di tempat lain?"
"Mau ngomong apa si lo, cewek?" tanya Alvis tidak sabaran. "Ngomong di sini saja," lanjutnya karena ingin tahu apa yang ingin si gadis bicarakan dengan.
"Ok," jawab Chandika tanpa memperdulikan tatapan tidak terima Alvis dan langsung bangkit dan berjalan diikuti si gadis pirang.
Alvis yang ditinggal hanya membeo.
Namun, tanpa disadari sepasang mata Jade masih menatap Chandika dengan tatapan gusar entah kenapa.
**
Di bawah pohon yang cukup rindang, semilir angin meniup sedikit rambut hitam legam seorang pemuda.
"Ada apa?" tanya Chandika to the point.
"Anu... A-aku suka kamu," kata gadis pirang terang dengan gugupnya. "Ayo kita pacaran," pintanya kemudian dengan menunduk malu-malu.
Chandika tidak terkejut mendengarnya. Oh ayolah, dia ini kan juga perempuan, pasti sangat peka dengan gelagat perempuan yang tidak dia ketahui namanya itu.
"Nama lo?"
"Ca-cana."
"Cacana?" tanya Chandika memastikan.
Gadis itu menggeleng, "Buka, tapi Cana."
"Oh."
Pemuda itu tersenyum tipis, misinya menjadikan Chandika digilai gadis-gadis rupanya sudah berhasil.
Ingin menolak Cana tapi dia yang notabene juga sebagai perempuan merasa tidak enak, dia tahu perasaan perempuan yang sensitif, dia tidak mau menyakiti sesama perempuan. Meskipun perempuan sangatlah rempong, tapi hatinya sangatlah rapuh.
"Oke," jawab Chandika setelah diam cukup lama.
"A-apa?"
Tidak mau mengulangin perkataannya, laki-laki berambut mullet langsung berbalik meninggalkan Cana.
Cana yang kebingungan seketika menjerit tertahan setelah mencerna jawaban Chandika.
"Kyaaaa!"
.
.
British School digemparkan dengan gosip Chandika yang berpacaran dengan seorang gadis.
**
"Apakah kamu sudah menemukan bukti lainnya?" tanya pria bernetra hitam yang duduk di kursi dengan menatap orang yang di depannya.
"Sudah tuan," jawab laki-laki dengan setelan jas hitam. "Saya menemukan jika penculikan itu terjadi karena sudah direncanakan, orang terdekat tuanlah yang berpotensi untuk melakukannya."
"Lalu apa lagi?" tanya Jauzan ke pemuda itu.
"Saya menemukan seseorang yang terlibat dalam penculikan itu, dia adalah seorang wanita, setiap tahun dia berpindah-pintah negara untuk melarikan diri," kata Danny pemuda berambut coklat pirang.
"Apakah kamu sudah menangkap wanita itu?"
"Saya sudah pernah berhasil menangkapnya, tetapi dia berhasil melarikan diri lagi. Sekarang saya masih mencarinya kembali."
"Kamu harus berhasil menangkapnya, Danny," ucap Jauzan dengan dingin dan mengepalkan tangannya yang di atas meja. "Sudah 10 tahun orang yang menyakiti putraku bebas di luar sana, aku tidak mungkin membiarkannya begitu saja."
"Baik, tuan."
_To Be Continued_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀ᴳ᯳ᷢ🍁🦂⃟τᷤяᷤιᷫαꪶꫝ𝓐𝔂⃝❥❣️
jossss pokoknya ini cerita mantap 👍👍👍😍😍 syukaaaaa
2022-04-30
1
El Geisya Tin
ngantuk di kelas kayak aku hehehe
2022-04-18
1
Syhr Syhr
Malam-malam ke sini dulu ah..🤭
2022-03-08
1