Udara malam hari di kota Jakarta sangatlah dingin. Sepasang kaki yang memakai sepatu kanvas melangkah cepat di jalan setapak yang lembab dan beberapa genangan air. Pemuda dengan tampilan chic yang mengenakan kemeja putih, vest rajut juga wide leg pants berwarna coklat tersenyum senang.
Sudah sebulan hubungannya dengan Jane, dan malam ini sang pujaan hati sedang merayakan pesta ulang tahun. Chandika dengan sangat manisnya membawa bouqet mawar besar dan cincin berlian untuk kado sang pacar.
Kata maminya itu adalah kado terbaik.
"Cium! Cium! Cium!" sorakan yang sangat ramai terdengar ketika Chandika memasuki aula pesta yang sudah didekorasi dengan mewah dan elegan.
Di sana, tepatnya di tengah ruangan dan menjadi pusat acara. Jane dan seorang pemuda yang diketahui bernama Ben sedang berciuman.
Bruk
Bouqet mawar dan kotak cincin yang dia bawa tiba-tiba terjatuh karena melihat hal yang membuat badannya membeku, menjadi lemas dan tidak bertenaga.
Seketika semua orang menoleh ke arahnya.
"Oh, tamu utama sudah datang," kata Jane yang sudah melepas tautan bibirnya dengan Ben dan langsung melangkah pelan ke arah Chandika.
"Ja-Jane apa maksudnya ini? Kamu dan Ben?" tanya Chandika dengan pandangan pias dan merasakan sesak pada dada.
"Lo lihat tadi?" tanya Jane berpura-pura kaget.
"..."
"Look at me all!" teriak Jane ke semua orang di aula. "Gue dan Ben sudah resmi berpacaran," lanjut perempuan bermata jade dengan mengapit lengan Ben dan mencium pipinya.
Sorak dan tepuk tangan memenuhi aula kembali.
Chandika yang tadinya menunduk seketika menatap pasangan itu. "Jane aku ini pacar kamu, kenapa kamu dengan Ben.." kata Chandika tidak sanggup melanjutkan perkataannya.
"Mulai sekarang kita putus." Jane tertawa mengejek, "Jijik gue pacaran sama idiot kayak lo."
Seakan tersambar petir Chandika hanya diam membatu.
"Cowok kaya lo nggak usah berharap jadi pacar gue, mengurus diri sendiri saja masih nggak bisa. Sampai mati pun gue nggak mungkin cinta sama cowok letoy macam lo," kata Jane mencemoh dengan tersenyum jahat.
Air mata mengalir dari kedua mata di balik kacamata bulat Chandika. Sesak sekali hatinya. Perempuan yang selama ini dia cintai berselingkuh dan dengan kejam menghinanya di muka umum. Semua orang yang ada di aula pesta juga menertawainya.
"Cengeng banget si lo, nggak usah nangis karena gue nggak bakal bersimpati sama lo," lanjut Jane dengan menatap jijik.
Tidak kuat dengan rasa sakit hatinya, Chandika langsung berbalik dan keluar aula pesta.
Para bodyguard yang dari tadi menunggu di depan pintu masuk aula pesta seketika langsung mengikuti Chandika.
"Minggir!" seru Chandika dengan suara parau pada bodyguard yang berdiri di depan pintu mobil.
Bodyguard itu langsung refleks menyingkir dan menunduk ke arahnya, dia langsung menaiki mobil, dan menancap gas.
"Cepat ikuti tuan muda!" seru bodyguard yang mengekor Chandika tadi ke bodyguard yang lain.
Rasa sakit begitu nyata di bagian dadanya, marah, kecewa, dan tidak menyangka, bagaimana bisa Jane bisa sekejam itu.
Sebelumnya dia memang sudah tahu jika Jane hanya menjadikannya taruhan. Akan tetapi, karena rasa cinta yang dalam, dia tidak peduli dan tetap ingin berpacaran dengan Jane, tapi dia tidak menyangka kalau gadis itu akan mempermalukannya seperti tadi.
Pandangannya kabur karena air mata. Dia tidak menyadari jika truk tronton melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan sedang.
Mobil Mercedes Benz yang dikendarainya mengambil jalur kanan dan mendahului kendaraan bermotor yang berada di depannya.
TIN
TIN
BRAK
Namun nahas, tabrakan pun tidak dapat dihindarkan.
Mobil hitam itu hancur dibagian depan.
.
.
Sakit yang melanda sekujur tubuhnya tiba-tiba saja hilang dan mata yang terpejam kini menampakan iris hitam sepekat malam.
Putih.
Ruangan yang berwarna putih dan tanpa ujung menjadi hal pertama yang dia liat.
Hanya dirinya sendiri di tempat ini.
"Hiks.. Chan."
Segera dia menengok kesegala arah tapi hanya warna putih yang dilihat, suara itu, suara maminya yang sedang menangis dan memanggil namanya sangat terdengar jelas.
"Mami?"
'Mami.'
'Mami.'
'Mi..'
Chandika tercekat mendengar suaranya yang bergema dan memantul, seperti banyak orang yang mengikuti.
'Di mana ini?' tanya Chandika dalam hati
Dia sangat takut.
Apakah dia sudah mati?
"Bangun, Chan.. Jangan tinggalkan, mami.. Hiks.." suara Aminta dengan isakan terdengar lagi.
Chandika mulai melangkah lurus ke arah suara Aminta, dia tidak tau tempat apa ini. Surga kah? Neraka? Atau perbatasan hidup dan mati? Tapi, kenapa tempat ini berwarna putih tanpa ujung dan mengeluarkan hawa yang sangat dingin.
Entah sudah berapa lama dia berjalan lurus di ruangan tanpa ujung ini, Chandika seakan berputar-putar di tempat dia berada, tenggorokannya kering dan sangat haus.
"Chandika bangun, nak."
Kini suara Jauzan yang terdengar, Chandika hanya mengikuti instingnya untuk melangkah ke suara kedua orang tuanya itu.
"Chandika."
Suara yang memanggil semakin jelas terdengar.
"Bukalah matamu.."
Dia melihat cahaya terang di depan sana, dengan segera Chandika berlari ke arah cahaya terang itu. 'Pasti itu jalan keluarnya,' batin pemuda bersurai hitam legam itu.
WUSHHH
Hanya satu langkah lagi dia sampai di cahaya itu, tapi tiba-tiba angin yang sangat kencang menerpa tubuh tegapnya dan mendorongnya kencang hingga terpental jauh.
.
.
"Kyaaaa!"
"hos.. hos.. hos.."
Wajah pucat, keringat dingin mengucur, dia merasakan nyawanya seakan ditarik.
"Di mana aku sekarang?" tanya Chandika dengan pandangan sedikit kabur, alisnya mengeryit bingung karena mendengar suara lembut dari pita suaranya.
Pandangannya meneliti ruangan yang seperti kamar rumah sakit, bau obat dan selang infus ditempel di pergelangan tangannya.
'Tunggu, tangganku kenapa jadi kecil seperti ini?' tanya Chandika di dalam hati. Dia memegang rambut berwarna hitam yang menjuntai panjang di bahu, dan refleks memegang wajah lalu merabanya. Pipi bulat yang kenyal, bibir mungil, hidup mancung, mata belo, jidat yang tetutup dengan perban dan garis wajah yang sangat kecil.
"Ba-bagaimana bisa?" tannyanya dan langsung menutup mulutnya setelah mendengar suara lembut itu lagi. Suara perempuan.
Langsung dia melepas paksa selang infus di pergelangan tangan dan berlari ke ruangan yang dia yakin adalah kamar mandi.
Matanya melotot tidak percaya dengan apa yang dia lihat pada pantulan cermin.
"Pe-perempuan!?" pekiknya.
**
Chandika asli yang kini menempati tubuh Cherika.
Sudah beberapa hari ini dia menjadi Cherika. Ingatan si gadis mungil kini pun menjadi ingatannya juga, ingatan yang perlahan masuk ke pikirannya dan bercambur aduk dengan ingatannya sendiri.
Kehidupan Cherika sangat berbanding terbalik dengannya, dia kagum dengan gadis ini. Bisa hidup menjadi perempuan yang tangguh dan mandiri di usianya yang sekarang. Sedangkan dia hanyanlah anak yang manja dan cengeng.
"Kami pulang!"
Suara Aland yang di depannya membuat dia langsung mendongakkan kepalanya ke depan.
Deg
Jantungnya seakan berhenti berdetak, matanya melotot menatap tidak percaya dengan sesuatu yang mustahil.
Dirinya yang dulu, Chandika, sedang terduduk dan melihatnya horor.
"L-lo.. bagamana bisa?" tanya Chandika langsung berdiri dari duduknya dengan wajah yang mengeras kaget.
Seketika orang yang berada di ruang tamu mendadak diam, bingung dengan perkataan Chandika, kecuali Cherika yang tidak kalah kaget.
Tidak ingin membuat keributan Chandika langsung menarik lengan si gadis mungil dan membawanya ke luar rumah, tidak memperdulikan tatapan menyelidik dari ke enam laki-laki.
Langkahnya berhenti di taman sederhana depan rumah, sedikit space di area halaman, terdapat rumput kecil dan tanaman hias.
Mereka saling berhadapan dan menatap satu sama lain.
"Kamu siapa.. Kok bisa.." ucap Cherika tertahan, semakin dia pikir, semakin buntu pikirannya.
Bisa-bisanya tubuhnya yang dulu bisa berdiri tegak di depannya. Seingatnya, dia mengalami kecelakaan, mobilnya tertabrak truk, dia pikir tubuhnya yang dulu sudah meninggal.
Dan pemuda di depannya itu pun memikirkan hal yang sama.
"Gue Cherika asli," kata Chandika menatap lekat Cherika. Sungguh di luar nalar, tapi memang ini kenyataan.
"Kamu Cherika? Bagaimana bisa? Kamu adalah aku? Dan aku adalah kamu?" tanya si pemuda yang mengeluarkan semua isi pikirannya.
"Gue juga nggak tahu."
Wajah Cherika pias seketika mendengar perkataan Chandika. "Ini tidak masuk di akal," gumamnya pelan.
"Semenjak gue terbangun di tubuh lo, ini memang sudah nggak masuk akal, jadi tidak ada yang tidak mungkin lagi," kata Chandika membenarkan gumaman Cherika. "Hidup bukanlah masalah yang harus dipecahkan, tetapi keyataan yang harus dihadapi."
"Iya, kamu benar," kata Cherika menanggapi perkataan Chandika.
"Pasti ada cara untuk kita kembali ke tubuh masing-masing."
"Bagaimana caranya?" tanya Cherika.
"Kita cari tahu bersama."
_To Be Continued_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
Mohd Nur Kasih
amazing
2024-04-28
0
Sennja
🤣
2022-11-07
0
𝐀⃝🥀ᴳ᯳ᷢ🍁🦂⃟τᷤяᷤιᷫαꪶꫝ𝓐𝔂⃝❥❣️
lanjut Othor 😁😍 syukaaaaa 👍👍👍
2022-04-30
1