"Tinggal kita tunggu saja cecunguk itu," kata pemuda bermata coklat dengan asap yang mengepul dari mulutnya, dan sebuah rokok yang terselip manis di antara jari telunjuk dan tengah.
Ben yang pada dasarnya membolos sekolah, sekarang sedang menunggu Chandika di dekat bangunan kosong tidak jauh dari sekolah, dia dan teman segengnya sudah siap menyergap Chandika yang pasti akan melewati jalan ini. Senjata tajam tidak luput untuk dibawa mereka.
Tap
Tap
Suara langkah kaki mengalihkan pandangan Ben dan teman-temannya.
Siluet berseragam persis seperti dengannya muncul dari kegelapan yang ditimbulkan oleh bayangan bangunan tua.
"Siapa lo?" tanya Ben yang bangkit dari duduknya dan memincingkan mata supaya lebih jelah melihat siluet itu.
Matanya seketika terbelalak melihat laki-laki yang tidak pernah diperhitungkan keberadaannya, sekarang dengan berani berjalan ke arahnya sambil membawa tongkat baseball.
Si cupu, Iram Danny Addison. Siswa beasiswa.
BUG
BUG
Sebuah tongkat baseball melayang dengan entengnya ke arah muka kedua teman Ben, dan pemuda kacamata itu masih santainya berjalan ke arah Ben.
"Sialan! Hajar dia!" seru Ben ke teman-temannya.
***
Monor Ducati merah langsung melesat dengan kencangnya, daun kering yang berguguran berterbangan ke segala arah saat si kuda besi lewat.
"Hatchi!" bersin sang pengendara motor tari balik helmnya.
"Sepertinya ada yang sedang membicarakan aku," kata Chandika bermonolog sendiri.
Tanpa dia sadari, bukan hanya dibicarakan, tapi ada yang ingin membunuhnya juga.
Tapi sepertinya pemuda ini tidak tahu apa-apa dengan hal itu.
Setelah bel pulang berbunyi, pemuda berambut kelam itu langsung saja menancap gas motornya. Alih-alih tidak pulang ke kediaman Aldebaron, hari ini dia ingin menemui kelurga aslinya.
Meskipun nanti tidak ada yang kenal dengannya, tapi melihat keluarganya baik-baik saja, sudah membuatnya senang.
Tidakm waktu lama, motor sport itu berhenti, si empunya langsung menurunkan standar dan melangkahkan kakinya.
Sekarang Chandika sedang berada di depan pintu gerbang rumah satu lantai yang memiliki eksterior dengan cat putih, gaya minimalis bisa terlihat jelas pada hunian tapak itu, sebagian dinding dan tiang rumah diaplikasi dengan batu alam yang warnanya tidak terang.
Dia sangat merindukan rumahnya ini.
"Siapa ya?" tanya sorang pemuda berkulit kuning langsat ketika melihat seseorang berdiri termangu di depan pintu gerbang rumahnya.
Chandika berlonjak kaget mendengar suara yang tak asing dengannya itu, kini dihadapannya abang Cherika yang ke 5—Nathan, umur 20 tahun, dengan menunggangi motor bebek menatapnya dengan pandangan menyelidik, sepertinya dia habis pulang kuliah.
"Ah, anu.. itu.." kata Chandika dengan memutar otaknya untuk menjawab pertanyaan sang kakak. Dia sangat gugup ditatap seperti penjahat oleh Nathan.
Dia kini adalah orang asing bagi si kakak, pastinya Nathan berfikir kalau dia adalah penjahat cabul yang seenaknya mengintip dari balik pagar rumah.
Mata hitam Nathan kini meneliti penampilan anak SMA yang sedari tadi masih memakai helm full face itu. Jaket kulit dengan merek ternama, helm yang dia yakini berharga puluhan juta, sepatu Dior berharga fantastis dan Jangan lupakan motor Ducati merah yang harganya sanggup membeli rumah itu.
Glek
Nathan menelan ludahnya kasar. 'Anak sultan dari mana?' batin pemuda itu.
"Lo nyasar ya?"
***
"Hallo,"
"..."
"Mereka sudah saya bereskan."
"..."
"Iya, putramu sudah aman sekarang."
"..."
"Hm."
Tut Tut
Danny adalah orang yang ditugaskan Jauzan khusus untuk melindungi Chandika.
Jati diri dari siswa cupu berkacamata yang selalu terlihat pemurung adalah intel polisi berumur 22 tahun yang bekerja untuk kelurga Aldebaron.
Danny yang awalnya duduk menindihi badan seorang laki-laki gempal yang sudah tidak sadarkan diri dengan kepala yang bocor, langsung berdiri dan memakai kembali kacamatanya, dan melangkah meninggalkan jejak perkelahian itu.
Bukan masalah besar untuknya melawan berandal kecil yang berjumlah dua puluh orang itu hanya seorang diri, bahkan dia tidak tergores sama sekali.
Sedangkan Ben, anak itu sudah lari kalang kabut dengan pelipis yang robek dan lengan yang patah.
***
Di ruang tamu dengan kombinasi warna putih dan krim terduduk seorang pemuda berambut hitam legam.
Chandika, dia sekarang ada di kediamannya yang dulu, berkat kebaikan hati Nathan yang mengira dia tersesat.
"Ini minumlah," kata Nathan yang datang dari arah dapur dan memberinya segelas es jeruk.
"Thanks," kata Chandika tersenyum tipis.
Nathan menatap terpaku ke arah Chandika. Dia tidak menyangka wajah pemuda itu sangatlah rupawan. Bahkan saat pemuda itu membuka helm full facenya Nathan sampai terkagum.
Padahal dia itu laki-laki normal.
'insecure sekali diriku,' batin Nathan.
"Rumah lo di mana? Kok bisa sampai nyasar ke sini?" tanya Nathan mencoba membuka obrolan.
Nathan adalah orang yang supel dan sangat kelewat baik, buktinya dia bersikap ramah dengan pemuda asing yang sebelumnya tidak pernah ditemui ini, bukan mengusirnya karena mengintip pagar rumah sembarang, justru diajak masuk ke dalam rumah.
"Gue nggak tahu alamat rumah," jawab Chandika. Dia memang tidak nyasar, tapi dia memang tidak tahu di mana alamat mansion Aldebaron, yang dia ingat hanya jalan menuju ke sana. "Gue ke sini lagi cari teman," lanjutnya dengan berbohong.
"Oh my, alamat rumah sendiri saja nggak tahu. Lo kan orang kaya, harusnya pakai supir saja biar nggak nyasar kayak gini," kata Nathan menatap prihatin laki-laki itu.
Chandika hanya menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Gue lebih suka naik motor."
"Btw, Nama lo siapa?"
"Chandika Leofic Aldebaron."
"What!? Lo anak tunggal keluarga Aldebaron?" pekik Nathan hampir saja terjungkal kaget.
"Iya."
"Mimpi apa gue barusan bisa ketemu anak dari pengusaha terkaya di dunia!?"
Siapa yang tidak kenal dengan kelurga Aldebaron.
Chandika hanya tersenyum canggung. Kakaknya itu memang orang yang sangat heboh.
"Udah ganteng, anak pengusaha kaya raya pula. Sungguh tidak adil dunia ini." Nathan menggeleng pelan.
"..."
Chandika hanya diam tidak tahu harus menjawab apa.
"Siapa yang kaya raya?"
Empat orang pemuda tiba-tiba datang dari arah ruangan lain karena mendengar ribut-ribut di ruang tamu.
Chandika dan Nathan menoleh.
"Ah, bang Agust," ucap Nathan melihat siapa orang mengintruksi obrolan mereka berdua. "Ini loh Chandika. Abang tahu kan Aldebaron? Cowok ini anaknya," jawab Nathan sambil menunjuk pemuda di hadapannya.
"Oh," kata Agust dengan menatap laki-laki berseragam SMA yang terduduk di sofa dengan meneliti.
Agust—Abang tertua yang berumur 30 tahun, diusiannya yang sudah matang tetapi belum mempunyai keinginan untuk menikah, sekarang dia berkerja sebagai manager di perusahaan swasta. Semua saudaranya memang belum ada yang menikah.
Akhirnya Chandika bisa bertemu dengan Abang Cerika yang lain, dia sangat senang melihat keluarganya baik-baik saja.
"Lo pungut dari mana?" tanya Malvin—Abang ke 2, umur 27 tahun. Laki-lagi dengan gaya rambut cew cut berwarna hitam.
"Di depan gerbang, " jawab Nethan seolah membanggakan diri.
"Kebiasaan lo, ya," kata Ganendra—Abang ke 3, dengan menoyor pelan kepala Nathan. "Main bawa masuk orang asing ke dalam rumah, bahaya tau nggak."
Chandika yang menjadi pusat perhatian seketika memandang pias setelah mendengar kata orang asing. Matanya berkaca-maca ingin menangis, tapi dia hanya bisa menahannya.
'Bang, gue Cherika adik kalian,' batin Chandika, hatinya sakit karena keluarganya tidak mengenalinya.
"Tau nih, kemarin habis pungut nenek-nenek yang ketemu di pinggir jalan, terus sekarang anak orang," kata Guinendra, kembaran Ganendra sekaligus abang ke 4, umur mereka 23 tahun.
"Habis kasian," jawab Nathan sambil meringis karena kena omel.
"Maaf kalau gue membuat kalian tidak nyaman," kata Chandika yang suara yang sedikit bergetar. Pemuda itu menunduk menyembunyikan wajahnya yang ingin menangis.
"Santai aja, bro," ucap Nathan mengibaskan tangannya.
"Santai gundulmu!" sambung Ganendra melirik sinis Nathan.
"Sudah, sudah," kata Agust yang sedari tadi diam. "Nathan, kamu memang tidak salah kalau menolong orang, tapi itu memang berbaya membawa orang asing ke rumah."
Suara dingin sang kakak pertama membuat semua terdiam, tidak ada yang berani melawan Agust.
"Jagan berbuat seperti itu lagi, Nathan."
"Iya," angguk Nathan.
"Yasudah, kalian Jagan ribut lagi," kata Agus melirik satu persatu adiknya. "Di sini masih ada tamu," lanjutnya menatap Chandika.
Meskipun demikian, ke empat orang yang baru bergabung dengan Chandika dan Nathan yang awalnya sedikit terusik dengan kedatangan pemuda berambut hitam legam itu, kini mereka berbicara santai dan menyambut Chandika dengan ramah. Obrolan-obrolan ringan memenuhi ruang tamu.
"Oh iya, gue punya adik cewek. Meskipun dia tomboy dan urakan, tapi cantik kok. Lo mau nggak sama adik gue?" kata Ethan tiba-tiba yang membuat Chandika mengeryit bingung.
'Bukannya Cherika sudah nggak ada?'
"Adik lo?"
"Iya, namanya Cherika."
Apa-apaan ini.
"Adik lo.. sekarang ada di mana?" tanya Chandika hati-hati, entah kenapa perasaannya menjadi tidak enak.
"Ah, itu-"
Cklek
"Kami pulang!"
Bunyi kenop pintu yang diputar dan suara seorang laki-laki yang masuk dari arah luar pintu memotong perkataan Ethan.
Aland, si kakak ke 6 memasuki rumah dengan muka lelah, tapi bukan itu yang menjadi fokus tatapan Chandika.
Badannya membeku ketika mata hitamnya melihat orang yang berada di balik punggung Aland.
'Ba-bagaimana bisa.'
_To Be Continued_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀ᴳ᯳ᷢ🍁🦂⃟τᷤяᷤιᷫαꪶꫝ𝓐𝔂⃝❥❣️
seru banget dan pasti makin bagus ini cerita Author kereeeen 😁😍👍👍👍
2022-04-30
2
El Geisya Tin
hai kak aku aku mampir
2022-04-18
1
FreeLyta28
ah serrruuuu. aku nyicil bacanya g bisa maraton y ka
2022-03-23
0