Aminta Arles Aldebaron. Wanita cantik seorang istri dari pengusaha kaya raya, walaupun kebutuhan hidupnya sangat terpenuhi bahkan kekayaan sang suami tidak akan pernah habis jika dipakai tujuh turunan tidak membuat dia menjadi nyonya besar yang arogan. Dengan bakat mendesain baju dan latar belakang pendidikan fashion designnya dia menjadi seorang desainer terkenal yang mendunia. Desain pakaiannya selalu menjadi incaran kalangan konglomerat dan artis terkenal di dalam negri maupun luar negri.
"Ini putriku Jane Eyre," kata wanita bule berkebangsaan Amerika mengenalkan seorang gadis kecil bermata jade yang sangat indah, nama wanita itu adalah Emily, seorang artis Hollywood yang menikah dengan pria berkebangsaan Indonesia. Emily adalah salah satu customer setianya, saat ini dia dan Emily sedang berada di butiknya.
"Oh my, cantik sekali," kata Aminta dan langsung menarik tangan mungil anak laki-laki yang sedari tadi bersembunyi di belakangnya."Putraku. Chandika Leofic," lanjut Aminta mengelus kepala putranya yang sedang menunduk, Chandika sangatlah pemalu dan penakut.
Hati Aminta seakan tercubit melihat sifat putra satu-satunya itu.
Satu tahun yang lalu, tepat di mana menjadi mimpi buruk bagi keluarga Aldebaron karena si tuan muda diculik. Penculikan yang sangat rapi dan tidak meninggalkan jejak. Polisi, Detektif, dan Intel bahkan tidak bisa melacak tempat Chandika disekap, hingga lima hari berlalu dan anak 7 tahun itu baru ditemukan polisi. Berada di kantor polisi dengan keadaan yang lusuh dan banyak jejak penyiksaan.
Pelaku penculikan belum tertangkap.
Chandika hanya bungkam dan menunjukan ekspresi ketakutan saat ditanya di mana dia disekap selama itu dan seperti apa orang yang menculiknya. Kejadian itu menjadi peristiwa traumatis untuk anak laki-laki itu.
"Hai! Aku Jane!" seru si anak perempuan 8 tahun tersenyum lebar menunjukan gigi omponnya.
"J-jane? Jane Eyre?" tanya anak laki-laki tembam berambut hitam tebal dengan mata yang berbinar.
Aminta hanya tersenyum melihat reaksi anaknya. Dia sengaja mengenalkan Chandika dengan anak perempuan bermata jade itu karena nama anak itu adalah Jane Eyre.
Dia tahu, dan sangat tahu, jika Chandika sangat menyukai novel yang berjudul Jene Eyre, karya penulis Inggris.
"Agar dapat menghilangkan trauma pada tuan muda dengan cepat, berikan dia pengalihan perhatian. Dengan mengajaknya melakukan aktivitas yang dia sukai seperti bermain bersama dan mengetahui apa yang tuan muda sukai. Dengan begitu, pikiran tuan muda dapat segera teralihkan dari kejadian buruk yang sudah dia alami."
Terbesit perkataan psikiater khusus untuk putranya Chandika.
"Aku berharap putraku bisa melawan traumanya dengan adanya Jane,' batin Aminta.
Wanita cantik itu tidak tahu kalau rencananya yang mengenalkan putranya dengan putri si artis Hollywood tidak akan menyembuhkan trauma si anak laki-laki, tapi malah membuat Chandika menjadi terobsesi dan menggilai Jane.
.
.
"Aminta."
Panggil seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah dengan pakaian kantornya menyadarkan lamunan Aminta.
"Oh iya, sayang," jawab wanita paruh baya itu dengan tersenyum lembut ke arah suaminya.
"Apa yang kamu pikirkan? Kenapa melamun, istriku?" tanya jauzan yang kini sudah berdiri dari kursi kerjanya dan menyusul untuk duduk di sebelah istrinya di sofa yang berada di tengah-tengah ruang kerjanya.
"Ah, aku memikirkan putra kita," kata Aminta. Nyonya Aldebaron sengaja berkunjung ke kantor suaminya sebelum berangkat ke butiknya untuk mengantar makan siang untuk Jauzan.
"Kenapa dengan Chandika?"
"Chandika.. seharusnya aku tidak mengenalkannya dengan Jane, karena Jane lah putra kita mengalami kecelakaan," ucap Aminta dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Sttt, itu bukan salahmu," kata Jauzan mencoba menenangkan Aminta.
"Aku hanya ingin putra kita sembuh dari trauma masa kecilnya, tapi malah membuatnya terjebak cinta bertepuk sebelah tangan dengan Jane."
"Kita sebagai orang tua memang ingin yang terbaik untuk anaknya, ini bukan salahmu sepenuhnya," kata pria paruh baya itu sambil memeluk sang istri.
"Itu mengapa aku sangat menjaga dan terlalu menyayangi putra kita, aku takut jika luka akan ingatannya saat penculikan sepuluh tahun yang lalu akan membuatnya kembali membayanginya."
Semenjak kejadian penculikan Chandika. Kedua pasangan ini sangat protektif dengan putranya, mereka ingin memberikan rasa tenang dan aman untuk putranya, tidak memaksa atau menuntut lebih, memberikan perhatian yang melimpah dan menerapkan terapi khusus untuk sang putra.
Usaha mereka memang membuahkan hasil, putranya mulai sedikit melawan rasa takutnya dan sudah tidak menjadi anak laki-laki yang pemalu, tapi tidak dengan sifat yang menjadi manja, cengen dan selalu tergantung dengan orang tuanya.
"Kamu benar, Aminta," ucap Jazuan sambil mengelus rambut istrinya. "Tapi apakah kamu tidak merasakan keanehan Chandika akhir-akhir ini?"
"Aku merasakannya, tapi entah mengapa aku menjadi sangat lega akan perubahan putra kita," kata Aminta sambil membayangkan tingkah Chandika yang berubah semenjak terbangun dari koma, tidak bisa berbohong kalau dia senang melihat sifat putranya berubah menjadi laki-laki tujuh belas tahun pada umumnya. "Chandika seakan sudah melupakan kejadian sepuluh tahun lalu. Apa ini karena hilang ingatan? Aku khawatir jika ingatannya kembali akan kejadian itu."
"Stt, sudahlah tidak usah khawatir," Jauzan menggeleng dan menatap lembut istrinya. "Apakah kita akan melanjutkan penerapan terapi khusus untuk Chandika? Mengundang psikiater untuknya lagi?"
"Aku rasa tidak usah, suamiku," sangkal Aminta pada pertanyaan suaminya. "Lebih baik kita menjauhkan hal-hal yang dapat memicu ingatan Chandika tentang penyebab traumanya."
"Aku sudah menyuruh orang untuk menjaga Chandika di sekolahnya secara diam-diam, aku khawatir saat dia menolak keberadaan bodyguard yang selama ini selalu mengikuti kemanapun dia pergi."
"Ah maksudmu orang 'itu'?"
"Iya."
**
"BRENGSEK!"
BRAK
Dug
Dug
Dug
Sebuah bola basket berbentur dengan kerasnya di lantai berlapis vinyl dan menggelinding lurus ke sisi lapangan.
Tepatnya di lapangan basket sekolah BSJ, seorang laki-laki berumpat keras dengan muka yang merah karna marah.
Ben, laki-laki itu sangat kesal karena sudah melihat kejadian di koridor tadi pagi. "Cewek sialan!" umpatnya sekali lagi dengan sedikit menahan amarah.
Bukan, dia tidak cemburu sama sekali. Tapi dia tidak habis pikir, kenapa rencananya bisa berantakan seperti ini, niat awal ingin membuat Chandika terpuruk karena sudah dicampakkan Jane. Malah menjadi Jane yang kini terlihat menyesal.
Di sangat yakin kalau Chandika memang sudah tidak perduli dengan gadis blasteran itu. Secepat itukah Chandika melupakan cinta sejak kecilnya? Padahal laki-laki itu sangat menggilai Jane!
"Cewek nggak berguna! Percuma saja gue nikung!"
Kang nikung lagi marah, eh.
"Kalian berdua ke sini!" perintah Ben ke dua orang laki-laki yang sedari tadi diam dibelakangnya.
"Kenapa bos?" tanya laki-laki berambut merah ombre yang bernama Farel.
"Kalian kumpulkan anak-anak dan kita serang Chandika saat pulang sekolah!" seru Ben kemudian dengan evil smirk.
Pemuda berkulit kuning langsat yang bernama Carlos menggangguk. "Siap, bos."
Tidak bisa membuat putra Aldebaron terpuruk. Maka, langkah terakhir adalah membunuhnya. Ben tau kalau Chandika sudah tidak dijaga oleh para bodyguard, jadi inilah kesempatan baginya.
Orang yang sedari tadi menatap dari balik pintu lapangan basket hanya menatap datar ketiga pemuda itu.
**
British School Jakarta sebagai salah satu sekolah internasional favorit tentunya memiliki beberapa fasilitas sekolah yang terbilang cukup mengesankan. Selain memiliki gedung sport center sendiri, terdapat juga ruang gym, panjat tebing dan sebuah studio untuk olahraga cardio. Tentu saja semuanya sudah lengkap dengan ruang ganti di dalamnya, seperti pada fitness center pada umumnya.
Kelas XI-IPS2 adalah kelas dimana Chandika berada, kini kelas itu sedang ada pelajaran olahraga. Siswa/i sudah berganti pakaian dengan seragam olahraga dan sedang berbaris rapi di ruang gym untuk pemanasan.
Jika biasanya tuan muda Aldebaron yang menye-menye selalu absen dalam pelajaran olahraga, maka tidak dengan hari ini. Chandika dengan seragam olahraga dan celana training panjang sangat terlihat seksi, para siswi bahkan tidak bisa mengalihkan tatapan mereka.
"Lo nggak usah tebar pesona ya, kampret!" seru Alvis tidak terima karena si sepupu menjadi pusat perhatian. Dulu Alvis lah yang terganteng di kelasnya dan menjadi si pusat perhatian, tapi dengan seenaknya Chandika menggesernya.
Chandika hanya mendengus dengan seruan tidak jelas Alvis.
"Ok anak-anak, kalian carilah pasangan masing-masing untuk melakukan sit up, saya akan menilai kerjasama kalian," kata pak guru olahraga yang sedang memegang papan nilai.
Menyadari ancang-ancang para siswi yang ingin berpasangan dengan Chandika. Alvis langsung menarik lengan sepupunya untuk berdiri disampingnya, "Lo sama gue."
Oh ayolah, Alvis tidak ingin sepupunya yang polos ini diracuni olah perempuan genit yang sedari tadi menatap lapar. Sudah cukup Chandika keracunan Jane.
Chandika si empunya lengan hanya menggangguk tidak perduli.
"Gue perhatiin lo udah nggak nempelin Jane, lo beneran udah move on sama cewek itu?" tanya Alvis pada Chandika saat mereka berdua menunggu giliran untuk pengambilan nilai.
"Gue emang nggak pernah suka sama dia," jawab pria berambut mullet itu dengan cueknya.
"Hah? Seriously? Lo bukannya bucin sama dia?" tanya pemuda bayi itu dengan tatapan tidak percaya.
"Nggak!"
"Maksud lo, nggak serius? atau nggak bucin?"
"Gue nggak suka sama Jane."
"Oh, bagus deh. Gue juga nggak suka sama cewek tukang selingkuh kaya Jane itu, seenak jidatnya pacaran sama Ben padahal masih punya status sama lo," kata Alvis sambil meminum air mineral yang entah kapan sudah ada digenggamannya. "Nih, mau lo?"
"Gue nggak perduli," ucap Chandika dan langsung menerima botol minum yang disodorkan Alvis dan langsung meminumnya.
Glek
Entah mengapa pemuda berponi itu menelan ludahnya sendiri saat melihat Chandika meminum air dengan langsung menempelkan mulut ke bibir botol.
'Gila nih bocah nggak jijik apa? Itu kan bekas gue?' batin Alvis sambil menggelengkan kepala.
"Alvis dan Chandika. Sekarang giliran kalian!" teriak guru olahraga langsung mengalihkan perhatian kedua pemuda yang sedari tadi mengobrol pelan.
Kedua laki-laki itu segera melangkah ke matras yoga yang sudah disediakan. Chandika langsung terbaring dengan punggung menempel di matras dan lutut yang menekuk. Menempelkan kaki ke matras dan Alvis langsung memegang kaki Chandika.
Pemuda bermata kelam itu langsung menarik napas dan mengangkat tubuh bagian atasnya serta menekuk ke arah lutut, dan menghembuskan napas ketika melakukan gerakan itu.
Deg
Deg
'Anjrit! Kenapa lagi si gue,' batin Alvis menjerit saat wajah datar Chandika sangat dekat dengannya. Nafas Chandika menggelitik wajahnya.
'Mommy.. anakmu ini masih normal kan?' lanjut Alvis membatin sambil menangis dalam hati.
_To Be Continued_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
HNF G
hahahaha..... kasihan si alvis
2023-10-30
0
aisysiimut
jadi kasihan sama si Alvis🤣🤣🤣🤣
2022-09-01
0
𝐀⃝🥀ᴳ᯳ᷢ🍁🦂⃟τᷤяᷤιᷫαꪶꫝ𝓐𝔂⃝❥❣️
lucu karena Alvis berasa deg,deg..
saat berdekatan dengan Chan🤔🧐😁
2022-04-30
1