Dering ponsel yang berbunyi di dalam tas menginterupsi kami. Hal itu digunakan Suster Yuyun dan Suster Dini sebagai kesempatan untuk melarikan diri. Mereka pun berlalu setelah pamit buru-buru.
Nama Om Adrian tertera di layar. Ah, ternyata dia sudah membuka blokirannya. Baiklah, kita lupakan tentang Om Lian sejenak.
Kira-kira apa alasan Om Adrian tiba-tiba menghubungi?
Mungkin saja dia ingin mencaci-makiku karena berani lancang datang ke rumahnya, atau bahkan dia butuh penjelasan tentang hubunganku dengan adik iparnya? Entahlah.
"Ha--"
"Kamu di mana El? Om udah di depan kosan! Om butuh penjelasan tentang hubunganmu dan Lian." Ucapan tak sabar terdengar dari seberang sebelum sempat aku menyelesaikan kalimat.
Ternyata tebakanku yang kedua benar. Dia penasaran tentang hubunganku dan adik iparnya.
"Tunggu setengah jam lagi. Aku ke sana," tukasku langsung pada intinya.
"Lama banget, Om nggak punya waktu."
Aku memutar bola mata mendengar protesnya.
Ya, begitulah Om Adrian. Berbeda dengan Om Lian yang tenang, lelaki berusia empat puluh empat tahun itu memang tak sabaran.
"Ya, terserah. Siapa juga yang perlu. Aku nggak peduli Om mau nunggu atau pergi," tandasku penuh penekanan.
Terdengar dengkusan panjang dari seberang sana.
"Oke, oke. Setengah jam. Buruan!"
Panggilan pun diputuskan sepihak. Kumasukan kembali ponsel ke dalam tas, menyisir rambut panjang yang dibiarkan tergerai menggunakan tangan, lalu berjalan menuju taman belakang.
Di sebuah bangku panjang yang hanya cukup memuat dua orang, kulihat Mama tengah dibujuk Suster Yuyun agar beranjak dari tempatnya dan pergi mandi. Namun, beliau seolah enggan beranjak dari sana. Di genggaman tangan kanannya terdapat sebatang coklat yang melekat, sementara tangan kirinya berpegangan erat pada sandaran bangku saat Suster Yuyun mulai memaksanya bangkit.
Sebenarnya ini adalah pemandangan biasa di rumah sakit jiwa, tapi entah kenapa perasaanku masih saja sesak menyaksikannya. Tingkah Mama yang selalu berubah-ubah memang sering kali membuatku gundah dan gelisah. Apakah Tuhan masih bermurah hati mengembalikan kewarasannya, atau seumur hidup aku harus menyaksikan Mama dalam kondisi yang begitu mengkhawatirkan.
Tak banyak yang kupinta. Aku hanya ingin Mama mengenali siapa aku ini.
Setelah cukup lama larut dalam lamunan. Kakiku mulai melangkah menghampiri mereka.
"Biar sama saya saja, Sus!" Kutahan tangan Suster Yuyun yang menggenggam pergelangan tangan Mama.
Suster berusia empat puluh tahun itu mengangguk, lalu pamit untuk menangani pasien yang lain.
Aku duduk di samping Mama. Kemudian mengulurkan tangan membersihkan sisa coklat yang memenuhi hampir setiap sisi wajahnya. Blues yang dikenakannya pun ikut terkotori. Bau keringat tercium dari tubuhnya. Sepertinya sudah dua hari Mama tidak mandi. Padahal tiga hari lalu kujenguk beliau masih wangi.
Terkadang aku heran apa kurang Mama yang membuat Om Adrian begitu kejam mencampakkannya. Bahkan dari foto-foto yang ditunjukkan Tante Sarah, dilihat dengan kasat mata pun Mamaku dulu masih jauh lebih unggul daripada Tante Lidia. Mama bahkan bersedia menerima Om Adrian apa adanya meski dia tak punya apa pun.
Hanya satu kekurangan Mama, dia mudah dibodohi. Hingga tak menyadari bahwa telah membuka celah bagi para pengkhianat untuk beraksi. Beliau tak menyangka bahwa sahabat yang dikenalkan pada sang suami ternyata mempunyai niat busuk
menggantikan posisinya sebagai istri.
Tak cukup sampai di situ. Harta Mama habis digerus lelaki yang begitu dia cintai. Sertifikat tanah, rumah, bahkan ruko yang merupakan satu-satu aset miliknya ikut dirampas. Semua itu Om Adrian gunakan sebagai modal untuk mencapai keuntungan yang lebih besar dengan menikahi anak sulung pengusaha sukses, yaitu Lidia Fahlevi. Wanita kejam yang begitu pongah karena merasa memiliki kekuasaan.
Kudengakkan kepala saat sesuatu mulai terasa mengalir dari sudut mata. Kemudian menghela napas dalam-dalam.
"Tunggu sebentar, Ma. Lea janji akan mengembalikan kehormatan juga hak-hak Mama yang sudah dirampas Om Adrian dan keluarga Fahlevi!"
***
Mobil Fortuner hitam terlihat sudah terparkir sekitar dua meter dari gerbang kosan. Aku turun dari motor, lalu mengetuk kaca mobilnya.
"Kenapa lama sekali? Kamu tahu Om orang sibuk, kan, El!" bentaknya setelah aku masuk ke dalam mobil.
"Memangnya cuma Om yang punya kerjaan? Aku juga punya kehidupan, dan banyak urusan."
"Urusan ************ maksudnya? Kerjaanmu memang begitu, bukan? Setelah Lian, siapa lagi sasaranmu, Elea? Apa fasilitas yang saya berikan masih kurang, hingga kamu rela dipelihara lebih dari satu lelaki."
Mataku hanya bisa terpejam mendengar semua hinaannya.
Sabar, Lea. Bukan saatnya melempar meja ke arah muka lelaki tak tahu diri ini.
Ya, Tuhan. Aku benar-benar berharap dia bukan ayah biologisku sekarang.
"Kalau iya memang kenapa? Kalau bisa dua atau tiga kenapa harus satu. Keuntungan yang didapatkan juga bisa berlipat-lipat, bukan?" jawabku sengit.
Om Adrian menggeleng seolah tak menyangka dengan apa yang baru saja kulontarkan untuk membalas hinaannya.
"Kau ... wanita rendahan tak tahu diri. Lihatlah betapa menjijikkan dirimu ini!" Amarah Om Adrian tampak tertahan, hingga yang terdengar hanya desisan, karena dia sadar kita sedang ada di mana sekarang.
Kini, aku tersenyum miring menanggapi hinaannya.
"Kalau aku menjijikkan, lalu Om apa? Lelaki beristri yang masih hobi celup sana-sini. Semua wanita memang terlihat rendahan hanya di mata lelaki hidung bel--"
Plak!
"Astaga maaf, Lea!"
Tak lama setelah tamparan dilayangkan, dia menangkup wajahku dan menunjukkan sorot penuh penyesalan.
"Om tak bisa mengontrol emosi karena ucapanmu terlalu terang-terangan. Percayalah, El. Sebenarnya Om hanya kecewa karena kau memiliki Sugar Daddy lain," terangnya dengan sorot mata yang meredup.
Kuhela napas dalam-dalam dengan mata terpejam. Lalu meraih tangan Om Adrian yang terkepal.
Dia menoleh, lalu menyandarkan kepala di pundakku. "Kemarin kita sudah berunding. Keputusan finalnya lusa Lian akan datang menemui keluargamu untuk melamar. Om tak tahu apa alasan Lian bersedia menikahimu. Tapi, setidaknya keputusan lelaki itu menguntungkan kita, Sayang. Kita masih bisa menjalin hubungan di belakang mereka, dan membesarkan anak ini sama-sama. Sebenarnya Om sangat menyayangimu, El."
Aku hanya bisa tersenyum getir saat Om Adrian mengelus perutku yang masih terlihat datar. Janin berusia tujuh minggu tumbuh di sana. Namun, bukan berasal dari benih Om Adrian.
Seperti yang Om Lian katakan kemarin, kita memang tak pernah berhubungan.
Semua ini jebakan. Jebakan yang sudah lama kurencanakan untuk menghancurkan seorang Adrian Mahesa beserta antek-anteknya. Bersyukur dia bodoh hingga tak menyadarinya. Meskipun ada beberapa hal yang berjalan tak sesuai rencana. Namun, sejauh ini masih baik-baik saja.
Masalahnya sekarang hanya Om Lian. Aku belum tahu sebenarnya apa yang dia rencanakan. Dan apa hubungannya dengan semua ini?
Saat tersadar dari lamunan. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sosok yang entah sejak kapan sudah berdiri memperhatikan kami di depan mobil dengan tatapan tajam.
Ya, dia adalah Om Lian.
.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Nina Sari
bingung sama alur ceritanya Thor 😌
sebenarnya si elea ini anaknya om adrian apa bukan sih, masa bapak main sama anaknya sendiri, kan jadi agak gimana gitu 😌🙏🏻
2022-06-25
3
Leonanna
cwo emng gtu🗿
2022-05-11
2
Ameliaa
anaknya om lian mungkin
2022-03-29
3