3. Apa Maumu?

Blug!

Kulempar tas selempang yang semula dikenakan ke sembarang arah, lalu merebahkan diri di atas ranjang setibanya di kamar kosan.

Ck, bagaimana bisa umpan yang kulemparkan pada Om Adrian malah disantap Om Lian? Sebenarnya apa yang dia inginkan setelah menghilang lebih dari setahun tanpa kepastian?

Pernikahan? Seminggu dari sekarang? Apa-apaan.

Aku benar-benar tak menyangka dia bisa mengambil langkah untuk menikahiku demi menyelamatkan reputasi keluarganya. Sebenarnya apa yang disembunyikan lelaki itu? Bagaimana mungkin dia bisa tahu banyak tentangku? Bahkan tentang Om Adrian yang kemungkinan besar adalah Ayah kandungku!

"Aaargh." Kuacak rambut frustrasi. Ini melenceng jauh dari perkiraan.

Kupikir tragedi sembilan belas tahun lalu akan terulang kembali persis seperti yang diceritakan Tante Sarah. Namun, nyatanya tidak. Kehadiran Om Lian menghancurkan semuanya.

Bahkan sejak pergi tanpa alasan setahun lalu, lelaki itu masih saja berhasil mengusik hidupku.

Lian Fahlevi, seandainya saja kau bukan adik kandung dari wanita sundal bernama Lidia. Mungkin pernikahan ini cukup untuk membuatku bahagia memiliki figur seorang ayah sekaligus suami.

Sayangnya aku bahkan tak tahu skenario apa yang tengah dia rancang dalam pernikahan kita nanti.

***

Kutatap pantulan diri dalam cermin seukuran badan yang terpampang di hadapan. Entah ini anugerah atau kutukan. Wajah cantik dan tubuh proporsional dengan kulit seputih porselen. Dengan modal inilah aku bisa mendapatkan tiga Sugar Daddy di umur yang bahkan belum genap dua puluh tahun sekarang. Tak ada cela, semua mulus tanpa noda padahal aku sangat jarang melakukan perawatan.

Bila bisa memilih, sebenarnya aku ingin terlahir biasa saja. Wajah cantik dan tubuh indah terkadang membebani. Tak jarang aku mendapati tatapan lapar para lelaki yang seolah menelanjangi. Padahal pakaian yang kukenakan masih terbilang sopan.

Kehormatanku pertama kali hilang di usia enam belas tahun lebih delapan bulan, oleh Sugar Daddy pertamaku. Aku terpaksa melakukannya karena Tante Sarah sudah tak sanggup membiayai segala kebutuhan adiknya di rumah sakit jiwa. Saat itu aku bahkan sempat putus asa dan membawanya menempati sebuah kontrakan di daerah pinggiran. Namun, karena kondisi gangguan kejiwaan Mama yang terkadang masih sulit dia kendalikan, Mama pun kabur saat kutinggal kerja paruh waktu. Aku kelabakan mencarinya sampai 2 x 24 jam hingga menemukannya tengah jadi tontonan saat mandi di kali tanpa sehelai pun pakaian.

Hatiku nyeri. Serasa ditusuk ribuan jarum panas yang langsung diangkat dari arang yang membara, ketika mendapati wanita yang begitu kucinta ditertawakan dan dipermalukan depan umum tanpa dia sadari.

Ketika kesabaranku mulai tandas, saat itulah semua terbongkar. Hal yang membuat Mama begitu terguncang dan ada di posisi sekarang. Tante Sarah, satu-satunya kerabat kami yang tersisa juga saksi hidup Mama menceritakan semua yang terjadi sembilan belas tahun lalu. Saat kebahagiaan dirampas keserakahan dan nafsu binatang. Kedudukan sebagai ratu pun digulingkan, semua miliknya direbut paksa, lalu dia dibuang tanpa perasaan.

Talak dijatuhkan, perceraian disahkan. Semua orang menutup mata saat wanita malang itu meraung-raung di depan gerbang mengabarkan tentang janin yang tumbuh tanpa disadarinya. Fitnah keji dilontarkan, teriakan menghinakan mengudara. Wanita itu pun berakhir gila.

Ya, semua kekejian itu dialami Nita Safitri, ibu kandungku.

Satu-satunya hal yang kusayangkan di sini adalah ... aku terlahir dari rahim wanita yang begitu rapuh dan tak berdaya. Wanita yang bertekuk lutut atas nama cinta hingga rela mengorbankan segalanya. Segala yang dia punya untuk lelaki yang bahkan tak bisa disebut manusia.

Terkadang aku sering membayangkan bagaimana rasanya diperlakukan sebagai seorang anak sesungguhnya. Merasakan hangatnya dekapan Ibu atau menyenangkannya bercanda dengan Ayah. Namun, sayang semua itu hanya angan yang harus ditelan kejamnya realita kehidupan. Pada kenyataannya, aku hanya anak yang tak diinginkan.

Namun, tragedi itulah yang membuatku bangkit, hingga akhirnya ada di posisi ini.

Hanya ini yang bisa kulakukan untuk mengembalikan kehormatan Mama. Meski caranya salah, tapi aku tak akan menyerah sebelum para iblis itu musnah.

Kusambar tas sama seperti yang sudah dikenakan kemarin di atas gantungan. Sejenak menatap barang-barang mahal yang selama ini hanya kujadikan pajangan di dalam etalase pojok kamar.

Semua itu pemberian para Sugar Daddy-ku tanpa diminta. Aku menerimanya, tapi tak pernah menggunakannya. Satu-satunya pemberian mereka yang kupakai hanya uang. Itu pun hampir semua kugunakan untuk kebutuhan Mama, sebagian lagi untuk biaya kuliah.

Karena aku melakukannya bukan untuk memenuhi gaya hidup, tapi untuk kebutuhan hidup yang harus kupenuhi.

***

Motor matix berwarna biru terparkir di halaman belakang Rumah Sakit Jiwa Barokah. Kulepas helm dan jaket yang melekat, lalu berjalan menuju bangsal Mama.

Beberapa perawat dan keluarga pasien menyapaku saat kami berpapasan. Aku mengenal hampir seluruh crew di rumah sakit ini. Tak heran memang, aku lahir dan tumbuh di sini. Elea bahkan nama yang diberikan salah satu dokter yang menangani Mama. Sementara Kenanga kebetulan adalah Bunga kesukaan Mama.

Miris, bukan? Nama yang seharusnya diberikan seorang Ayah, justru dipersembahkan orang lain sebagai bentuk keprihatinan.

Tiba di bangsal Mama, dahiku mengernyit saat tak mendapati beliau di sana.

Jangan-jangan Mama masuk ruang isolasi lagi? Kebetulan di sini beliau termasuk pasien dengan gangguan jiwa berat yang paling sering membuat keributan.

"Sus, Mama di mana, ya?" Kuhentikan langkah Suster Yuyun yang baru saja hendak berjalan ke arah taman.

"Ah, kebetulan Mbak Lea. Ini baru mau ke tempat Bu Nita, udah saatnya mandi. Beliau lagi ada di taman. Lagi makan coklat."

Dahiku mengernyit. "Coklat, siapa yang kasih, Sus?"

"Loh, Mbak Lea masa baru tahu. Seminggu sekali, kan Bu Nita dikunjungin Babang Tampan. Dia suka datang bawa macam-macam makanan, kadang dibagikan ke suster-suster yang lain. Cuma sama Mbak Lea, Bu Sarah, terus Babang itu doang loh Mama Mbak mau diajak bicara. Ya, walaupun nggak nyambung juga."

"Sebentar!" Aku menginterupsi ucapan Suster Yuyun.

"Ya?" Dengan polosnya dia mengerjapkan mata dan menunggu ucapanku tanpa peduli dengan pernyataannya yang membuatku cukup tercengang.

Babang Tampan? Berarti seorang lelaki. Sejak kapan?

"Siapa yang izinin Mama dikunjungi orang lain selain saya dan Tante Sarah, Suster!" bentakku tanpa sadar.

Suster Yuyun ternganga. "Ng, itu, anu ...."

"Suster Yuyun!" Suara lain tiba-tiba menginterupsi. Kulihat Suster Dini yang bertugas mengawasi Mama berjalan cepat menghampiri kami.

Sebelum tersenyum kikuk ke arahku dia sempat mencubit lengan Suster Yuyun.

"Saya yakin Suster Dini mungkin tahu jawabannya. Suster, kan yang lebih banyak habiskan waktu dengan Mama. Jadi, kasih tahu saya siapa orang yang dimaksud!"

Kulihat Suster Dini menelan ludah.

"Ng, anu. Sebenarnya saya juga nggak tahu, Mbak Lea. Beliau nggak pernah kasih tahu kita siapa namanya. Tapi, seinget saya orangnya tinggi kekar, kadang brewokan, umurnya sekitar akhir tiga puluh atau awal empat puluhan. Kulitnya cokelat terang, dan ganteng kebangetan. Mirip-miriplah sama Hamish Daun, suaminya Rais--"

"Hamish Daud," koreksi Suster Yuyun sembari menyenggol lengan teman seprofesinya.

Aku terdiam. Dalam benakku hanya ada satu orang tersangka sekarang.

Yaitu Om Lian.

.

.

.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Queen Mother

Queen Mother

Keseleo lidah susternya 😂

2022-05-21

3

Mamaiqbal

Mamaiqbal

bagus

2022-05-21

3

Leonanna

Leonanna

🗿

2022-05-07

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!