Jovanka keluar dari toilet dengan wajah pucat. Kakinya melangkah gontai dari balik pintu toilet. Ronanya masih penuh dengan keringat karena sedari tadi ia berlari.
“**Thank**s, Rey. Lu udah bantu Gue,” ucap Jo sambil membuang napas.
“Emang Dia siapa sih?” tanya Reynand yang sedari tadi belum mendapatkan jawaban dari Jo.
“Dia Tristan. Gue baru aja kenal tadi, ketika main di Cafe sama temen-temen. Gue ditinggal sama Tristan. Nah, waktu di dalam mobil ketika Tristan hendak antar pulang. Tiba-tiba, jemari Gue digenggamnya. Gue gak suka! Makanya Gue kabur dari dia.”
“Lah ... terus sekarang Lu mau pulang?” tanya Rey.
“Iya. Tapi, ternyata dompet Gue ketinggalan. Gue juga gak bawa hape,” ucap Jovanka sambil tersenyum.
Melihat senyum Jovanka. Ada debar yang tak biasa pada diri Reynand yang notabene cuek terhadap cewek.
‘Kenapa perasaan Gue seperti ini ketika melihat lengkungan indah yang terukir di bibirnya Jo?’ isi hatinya berbicara.
“Bentar, ya?” ucap Rey pada Jovanka.
Jo mengangguk dan menunggu Rey di bangku taman di bawah rindangnya pepohonan.
Rey masuk ke warung dan menemui Vicky yang masih makan.
“Lama banget ke toilet? Ngapain aja sih, lu?” ucap Vicky kesal.
“Antre. Lu balik sendiri, ya?” Rey memberikan kunci motor milik Vicky.
“Lah ... Lu mau kemana? Udah malam ini. Bentar lagi gerbang kost ditutup.” Vicky mengingatkan.
“Gue ada perlu. Gampang, nanti manjat gerbang seperti biasa.”
“Serah, dah!”
Rey pergi meninggalkan Vicky dan kembali ke tempat Jo di dekat toilet. Jo terlihat sedang duduk di bangku taman. Ia memakai mini dress yang berlengan pendek. Rey menyerahkan jaketnya kepada Jovanka.
“Pake, nih!”
Jovanka menatap netra Rey dengan banyak sangkaan dalam benaknya.
“Gue gak kedinginan kok,” ucap Jo menolak.
“Bukan dinginnya. Tapi lebih buat nutupin badan Lu!”
“Emang kenapa? Apa salahnya dengan baju Gue?” tanya Jovanka dengan penuh kebingungan.
“Gue hanya bisa anter Lu pulang naik angkot. Dalam angkot pasti banyak orang. Lu mau dinilai negatif sama orang lain? Bagi Lu biasa aja. Tapi entah buat orang lain,” pungkas Rey.
Jo terdiam. Ia berpikir tentang ucapan Rey memang benar adanya. Jo tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Bagi Jovanka, hidupnya ya hidupnya, tidak mau mendengar kata orang. Tapi, berbeda ketika ucapan itu keluar dari mulut Rey. Seperti mengena ke hati Jovanka.
Rey.
Rey itu masih anak ingusan yang baru saja masuk SMA tapi pemikirannya sudah sejauh itu. Mungkin karena ini juga, Tristan tergoda. Hingga menggengam lenganku. Suara hati Jo berkata.
Akhirnya, jaket yang berada di lengan Rey di ambil oleh Jo. Jo memakai jaket Rey walau terlihat kebesaran pada tubuh mungilnya.
“Gue kelelep pakek jaket Lu, Rey!” Jo tersenyum malu.
“Malah bagus, bisa nutupin sedikit lekuk badan, Lu.”
Mereka berlalu. Berjalan kaki menuju pangkalan angkot yang tidak jauh dari halte bus.
Jovanka naik di barengi oleh Rey di belakangnya.
“Sorry, ya, Jo! Gue bisa anter Lu pakek angkot doang,” ucap Rey berbasa-basi.
“Iya, gak papa. Gue seneng kok. Makasih ya?” ucap Jo dengan senyuman merekah.
Degup jantung Rey kembali tak keruan. Ada getaran lain di dada Rey yang tidak biasa. Rasa bahagia kini telah mendominasi hatinya. Melihat mata hitam Jo, melihat senyuman terukir pada bibir Jovanka membuat hatinya meronta. Ada rasa ingin dekat dan mengenal lebih jauh tentang Jovanka.
Namun, dengan cepat Rey menepis perasaan yang ada dalam hatinya. Ia ingin sekolah dan membuktikan kepada Papanya. Ia bisa membiayai hidupnya sendiri tanpa bantuan dana dari papanya.
“Rey,” ucap Jo yang duduk di sampingnya.
“Hem.”
“Kek nya, Lu bukan orang Bandung, ya?” tanya Jo.
“Iya, Gue tinggal di Jakarta. Gue nge-kost di sini.”
“Ada keluarga?”
Rey menggelengkan kepalanya.
Hening.
Angkot melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali berhenti untuk menunggu penumpang lain. Jam menunjukkan angka sebelas malam. Namun, angkot masih mengetem di pinggir jalan.
Angkot mulai berjalan ketika penumpang banyak yang protes. Akhirnya angkot kembali melaju.
***
“Kiri, Mang!” ucap Jo.
Angkot berhenti. Jo dan Rey turun dari angkot.
“Loh ... bukannya rumah Lu masih di ujung jalan sana, ya?” tanya Rey heran.
“Gue jalan kaki aja. Nanti ketahuan lagi kalau Gue pulang larut malam.”
“Lah ... orang tua gak tau kalau lu keluyuran?” mata sipit Rey melebar.
Jo menggelengkan kepalanya.
“Astaga! Lu jangan kek gini lah. Apa lagi lu anak cewek, bahaya, tau!” ucap Rey.
Jo terdiam.
Dalam hatinya ia berucap ‘Ni bocah kek orang gede aja nyeramahin Gue! Tapi, kenapa kok rasa ini senang dapat perhatian dari Dia?’
“Hey!” Rey membuyarkan lamunan yang ada dalam pikiran Jovanka.
“Iya ... Iya, lain kali gak gini lagi.” Pungkasnya.
“Janji?” jari kelingking pun diangkatnya.
“Iya!” Mereka mengaitkan jari kelingking tanda perjanjian.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan di tengah malam gelap dan sunyi. Hilir angin seakan menyapu tubuh mereka. Lagi-lagi jantung Rey berdetak kencang ketika Jovanka menyunggingkan senyuman.
Kaki melangkah berjalan santai. Akhirnya sampai juga di samping rumah Jovanka.
“Ya udah. Gue balik, ya? Bye.” Rey berpamitan.
Jo tersenyum, “ Makasih.”
Rey berbalik badan dan berjalan menjauh dari gerbang rumah Jo. Jo masih melihat Rey di depan gerbang hingga tubuhnya tak terlihat lagi.
Jo masuk dalam rumah dengan jurus andalannya. Menyelinap.
Karena sudah larut malam akhirnya Rey memutuskan untuk memesan ojek online. Tak berselang lama, ojol pun datang dan meluncur mengantar Rey sampai pintu gerbang kost-nya.
Rey memijakkan kakinya ke pintu gerbang. Memanjat seperti spider man!
JLEK!
Akhirnya, kaki Rey menginjak ke halaman dalam Kosan. Ia masuk dalam kamar. Menghempaskan tubuhnya yang didera rasa capek. Memandang langit-langit kamar dan membayangkan lengkungan indah yang terukir indah pada bibir Jovanka.
“****! Kenapa Gue jadi mikirin Dia?” ucapnya berusaha menepis.
Ia berusaha memejamkan mata, berharap dapat tidur nyenyak di malam ini. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Rey, terus teringat lengkungan indah yang terukir pada bibir Jovanka.
Sudah bolak-balik memutar posisi tidur, namun masih saja matanya terjaga hingga jam dua pagi.
Akhirnya Rey mengambil hand phone beserta ear phone yang ia pasang di telinganya. Ia menyentuh layar gawai dan mencari aplikasi pemutar musik. Ia meng-klik daftar lagu yang ada pada phonecell-nya sampai ia tertidur.
***
Tok ... Tok ... Tok ....
Pintu kamar Rey di ketuk, suaranya semakin kencang.
“Rey! Bangun, woy! Udah siang. Ayok cari makan, Gue udah laper. REYNAND!!”
Vicky berteriak kesal karena yang ada dalam kamar tidak juga menunjukkan batang hidungnya.
“REYNAND!!!” Vicky semakin keras memanggil namanya begitu pun dengan ketukan pintu yang semakin mengencang.
“Apa?” Terdengar suara dari dalam.
“Buka pintunya, Rey!”
“Iya!”
Dengan mata yang masih memerah. Rey mengangkat badannya dan bangkit dari kasur lantainya.
“Apaan? Howammmm.” Rey masih menguap.
“Njir! Pakek nguap lagi! Mandi sana.” Perintah Vicky.
“Emang mau ke mana? Kan sekolah libur, Kuya!” ucap Rey sambil memejamkan mata.
“Nyari makan, laper Gue! Ayok bangun! Bisa-bisanya merem sambil berdiri, Lu!” ucap Vicky yang bernada kesal.
“Iya, iya. Ni Gue mandi. Puas, Lu?”
Rey ngeloyor masuk ke dalam kamar mandi, sedangkan Vicky memainkan game yang ada di laptop Reynand.
.
“Ngapain, Lu?” tanya Rey sembari menggusah rambutnya yang basah memakai handuk.
“Maen game. Udah beres, Lu?” tanya Vicky.
“Udah!”
Rey berganti baju. Mengenakan kaos dan celana jeans pendek di bawah lutut, tak lupa sandal jepit yang ia kenakan.
Rey tampak sederhana, sehingga tidak ada yang curiga bahwasanya di Jakarta ia merupakan anak seorang pengusaha terkenal.
Rey dan Vicky melangkahkan kaki ke warung di ujung jalan. Di sana terdapat warteg yang terkenal murah meriah. Sehingga pas untuk kantong pelajar, mahasiswa atau pekerja yang mau mengirit duit.
“Bi, mau nasi, ayam goreng, tahu, tumis capcay sama sambel. Bungkus, ya?” Menu pesanan Vicky.
Bi Inah (pemilik warteg) membungkuskan pesanan Vicky, “Dua puluh ribu,” ucap bi Inah.
“Kamu pesen apa, Rey?”
Bi Inah yang memang telah mengenal nama Vicky dan Rey karena mereka tiap makan selalu ke warteg miliknya.
“Nasi sama telor dadar, Bi.”
“Tujuh ribu. Nih, Ibu kasih bonus tahu ya? Kamu kan enggak suka sayur,” ucap bi Inah.
“Yaelah, Rey aja di kasih bonus.” Ucap Vicky iri.
“Lu udah di potong, mestinya dua puluh satu ribu. Tuh udah diskon serebu,” ucap bi Inah.
“Ya udah, makasih ya, Bi.” Ucap Rey sambil tersenyum.
Bi Inah tersenyum.
Rey dan Vicky berlalu, keluar dari dalam warung dan menuju tempat kost mereka.
***
Drett ... Drett ....
Hand phone Vicky bergetar. Vicky merogoh saku celana dan mengambil benda pipih kecil yang tipis berbentuk persegi panjang. Ia menggeser kunci dari layar gawai miliknya. Vicky membacanya.
“Desi? Asikkkk! Gue datang Baby ....” Terlihat rona bahagia pada wajah Vicky ketika membaca pesan singkat dari Desi.
“Kenapa, Lu? Ngomong sendiri. Gila Lu, ya?” tanya Rey.
“Beginilah cinta, deritanya tidak berakhir,” Vicky berucap.
“Gak nyambung, Kuya!”
Mereka masuk ke dalam kamar yang bersebelahan.
“Rey!” Vicky memanggil.
“Paan?”
“Nih buat Lu aja! Gue mau makan di luar sama Desi," ucap Vicky sambil memberikan sebungkus nasi yang baru ia beli.
“Rejeki nomplok, thank’s ya, Bro!” Rey meraih satu bungkus nasi dari tangan Vicky.
Vicky berlalu pergi setelah mengganti bajunya dan menyemprotkan parfum ke badannya.
“Anjer! Vic, Lu pakek parfum satu botol?” teriak Rey dari dalam kamarnya.
“Haha ... biar Desi kelepek-kelepek sama Gue, Rey!”
“Yang ada, tu anak bisa mamvos kalik, Vic!”
Tidak ada lagi jawaban dari Vicky yang terdengar hanya suara motor Vicky yang berlalu pergi.
Hari minggu dipakai Rey untuk berbenah kosan tempat ia tinggal sekarang. Belum banyak barang di dalamnya, hanya ada laptop, kasur yang ia gelar di lantai tanpa ranjang, baju-baju yang ia letakan dalam kardus, beberapa perlengkapan untuk makan, dan karpet plastik yang ia gelar dalam kamar.
Buku dan tas ia geletakkan di samping tempat tidur. Hanya gitar yang menjadi temannya dikala ia kesepian. Rey pintar bernyanyi dan mempunyai karakter suara yang lembut.
Hanya Vicky yang menjadi temannya saat ini. Namun, Vicky kini telah mempunyai gebetan yang bernama Desi. Otomatis, Vicky mulai menjauh dari Rey. Karena waktu Vicky banyak berlalu bersama Desi.
Rey membuka bungkus nasi yang ia beli. Menikmati sarapannya setelah ia berbenah merapikan kost-nya.
Semua terlihat bersih, karena Rey sudah mengepel lantai. Rey tumbuh menjadi seorang laki-laki yang mandiri. Jauh dari kesan anak Mami. Terlebih, Rey merupakan anak pertama dari Reyfan Adam pemilik perusahaan besar di Kota Jakarta.
Bersambung..
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
JANGAN LUPA LIKE/KOMEN/VOTE Ceritannya, karena itu merupakan hadiah terindah untuk Penulis
By : Boezank ** (Dareen)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
🅛➊🅝⸙ᵍᵏ
mandiri lebih ok
2022-02-28
2
🦈Bung𝖆ᵇᵃˢᵉ
aku tahu rasanya
2022-02-21
2
🍉🕌kimˢᵉˡˡᵒʷ͢ ᵇᵍᶠ🦢
hebatt, pokonya anak yg jauh dr ortu pasti paham gimana berusaha baik baik ajja.
semangt rey ke y udah ada lampu kedip2 noh antara rey dan jo
2022-02-19
2