Alisa dan Evan menghabiskan jam makan siang mereka di restoran dekat kantor. Setelah pertemuan dengan Yogas tadi pagi, Evan meminta Alisa untuk bicara berdua saja.
Sebagai karyawan, tentu saja ia tidak bisa menolak keinginan atasan. Dengan mengorbankan permintaan Medina yang meminta waktunya lebih dulu.
Alisa mengerjapkan mata saat Evan mengambil sebatang rokok dari dalam bungkus yang didapatnya dalam saku jas. Hampir tak percaya karena pikirnya, pria bersih seperti Evan tidak menyentuh yang namanya rokok.
Walau bukan hal aneh pria yang merokok, semua orang bahkan semua kalangan bersentuhan dengan benda tersebut.
Anehnya, Alisa menilai pria yang merokok itu punya sisi maskulinnya tersendiri yang sulit ia jabarkan.
"Jangan nanya kapan aku ngeroko ya, Lis." Evan berhasil mengundang senyum Alisa terbit.
Bukan hanya pandai membawa suasana, Evan juga pandai menerka isi pikirannya.
"Saya nggak nanya kapan Bapak ngeroko, dibanding itu saya lebih penasaran kenapa Bapak mengatakan pada suami saya kalau anda pria yang lagi dekat dengan saya." Ucapan Alisa tentunya mengandung makna lain yang berupa pertanyaan meski terkesan bukan sedang bertanya.
"Salahnya di mana? Aku kan memang pria yang sedang dekat dengan kamu. Coba kamu tadi masih ingat tidak, apa ada pria lain di sekitar kamu yang dekat dengan kamu?"
"Tapi nggak gitu juga kali, Pak." Alisa tertawa lebar menyadari perkataan Evan hanya sebuah kamuflase belaka.
"Kalau sama aku santai aja, Lis. Aku nggak mau kamu ngerasa nggak nyaman. Maksudku ngajak kamu ke sini untuk permintaan maaf, karena aku udah lancang memperkenalkan diri sebagai pria terdekat kamu." Evan kembali mendekatkan batang rokok itu ke bibirnya. "Perkataanku hanya akan membuat hubungan kalian kian memburuk," sambung Evan sampai membuat kening Alisa mengernyit.
"Anda tau kalau hubungan saya dan suami saya sedang,-"
"Tau. Aku nggak sengaja dengar kalian bicara. Dengan mengatakan hal tadi, secara tidak langsung aku sudah melibatkan diriku dalam hubungan rumah tangga kalian."
Alisa semakin bingung, maksud Evan apa memancing rasa penasarannya kian dalam.
"Suami kamu akan menyelidiki tentang hubungan kita, Alisa. Apa kamu tidak sadar, hem?" Evan tersenyum geli melihat wajah Alisa yang menurutnya lucu. "Jadi, kamu bisa cerita sama aku apa yang sebenarnya telah terjadi." Evan menunggu reaksi Alisa, apakah akan berani terbuka padanya. Mengingat perkenalan mereka hanya bisa dihitung dengan jari.
Alisa mulai mengungkap pilu, mengalir begitu saja. Semua yang diceritakan tak ada yang ditutupi, dikurangi atau di dramatisir. Nyata adanya sesuai keadaan yang ia alami.
Evan mengapresiasi keberanian Alisa terbuka pada orang baru, menilai perasaan wanita yang mengenakan blouse navy itu penuh penghayatan. Menilai pengakuan dengan tetap tersenyum.
"Padahal bagi saya pernikahan adalah sekali seumur hidup. Nyatanya harus begini keadaannya, bikin saya bingung, Pak."
"Kenapa bingung, kamu kan udah membuat keputusan. Tinggal kamu terima dan jalani dengan tabah, beres. Walau hati tetap tak bisa dibohongi," ujar Evan ringan.
Seringan ia bicara tentang apa yang telah ia alami, tapi tidak seringan kenyataannya.
"Semuanya terdengar mudah, Pak. Setelah itu saya akan menjalani hari tersulit. Mungkin fase berat setelah bercerai." Sesakit itukah mengatakannya.
"Fase terberat? Aku yakin kamu bisa menjalaninya, Alisa. Tau pacar suami kamu hamil pun kamu bisa kan sabar walau hati kamu terasa diremas-remas," ucap Evan menggantung. "Sampai sini kamu paham kan, Alisa. Suami kamu menjalani hidupnya semau dia, kamu juga menjalani hidup kamu semaumu. Jangan pernah pikirkan kata-kata orang, jangan terhalangi karena kita hidup di adat ketimuran. Lakukan yang kamu mau, selama itu tidak merugikan orang lain." Aneh, Evan merasa benar-benar. Ia tidak sedang mencuci otak Alisa, ia hanya sedang mengungkapkan isi pikirannya.
"Saya cuma tidak percaya aja, Pak. Kenapa bisa dia mengkhianati saya." Alisa berdecak kesal, mengaduk-aduk dalgonanya yang sudah tinggal setengah.
"Masalahnya ada sama dia, bukan sama kamu. Masalah cantik, pinter dandan. Semuanya gampang, tinggal bawa ke salon kan beres. Kalau ibunya nganggap kamu bukan high quality dan merasa ada orang yang lebih, itu sama aja ngeribetin diri sendiri."
Alisa mengangguk mengamini, kenapa pemikiran sesederhana itu tak pernah terbersit dalam pikirannya.
Mungkin ini cara Tuhan membuat pikirannya terbuka, dengan mengirimkan Evan di waktu yang tepat.
Evan memperhatikan Alisa, baginya Alisa seorang percaya diri. Bukan Alisa yang mengakui dulunya berpenampilan kolot dan tidak cantik. Hanya saja Evan menyayangkan kenapa Alisa bisa jadi korban pria bernapsu sampah.
"Jadi, mau sampai kapan kamu tinggal dengan ayahmu?"
Alisa mendesah, entah. Ia juga tidak tahu sampai kapan.
Sekarangpun jika boleh ia ingin keluar, lelah rasanya menghadapi sikap ketus ibu tirinya.
"Memangnya Bapak mau nampung saya di tempatnya, Bapak?"
"Kalau kamu mau, aku bisa sediain tempat. Aku punya banyak tempat kalau kamu mau. Tinggal bilang aja," jawab Evan menimpali becandaan Alisa.
"Siplah, Pak. Kapan-kapan kalau saya perlu, orang pertama yang saya hubungi adalah Bapak."
Evan menarik bibirnya ke atas, dari sekian wanita yang ia kenal. Alisa cukup mampu membuatnya tersenyum tanpa paksaan.
Begitupun Alisa, nyaman berada dekat Evan. Serasa sudah lama mengenal pria itu.
***
Hendra mensejajarkan langkahnya dengan Evan, sepuluh menit setelah atasannya tersebut selesai menyudahi perbincangan hangatnya dengan manajer keuangan Merlion.
Hendra tak percaya, jika Alisa mampu membuat Evan terlambat menghadiri meeting dengan pemangku jabatan.
Merasa Hendra terus memperhatikannya, Evan melirik kesal.
"Kamu nggak sedang sakit mata kan?" tanya Evan ketus.
Andai Hendra bukan orang kepercayaan plus sahabatnya, mungkin Evan sudah memperingatkan Hendra karena sudah berani tidak sopan.
"Roman-romannya, manajer keuangan Merlion akan jadi kesayangan duda nih." Hendra menutup mulutnya sebelum Evan mendeliknya kesal.
Benar saja, Evan mendeliknya kesal dan siap menyerangnya.
"Awas kalau mami sampai tau kalau aku dan dia bersama!" seru Evan sesaat sebelum pintu lift terbuka.
"Nggak perlu takut, Pak. Anda kan duda sedangkan bu Alisa calon janda. Masalahnya di mana?"
Evan sudah menggeram, menahan desisannya keluar. Mulut Hendra memang sering membuatnya meradang akhir-akhir ini.
"Jangan sampai aku kasih kamu SP 1, Hendra!" Evan keluar lebih dulu dari lift, menyambut sekretarisnya yang menunggunya di depan room meeting untuk menyerahkan berkas yang akan dibahas saat meeting.
Hendra menyeringai, membiarkan Evan mengatakan apapun padanya. Ia tidak akan marah atau keberatan, jika semua itu menyangkut kebahagiaan Evan.
Bagi Hendra, sudah saatnya Evan meraih kebahagiaannya sendiri. Walau kebahagiannya itu masih menjadi milik orang lain.
"Saatnya kamu bahagia dengan hidupmu sendiri," gumam Hendra, kemudian menyusul Evan masuk menemani atasannya itu memimpin meeting.
***
Semoga bisa up lebih dari 1 bab ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀🦆͜͡🍾⃝ͩ ᷞᴛͧʀᷡɪͣ🤎𝗚ˢ⍣⃟ₛ
lanjutkeun Thor... semangat 💪💪👍
2022-03-11
0
Yuni Alamsyah
up
2022-02-14
0
Sari Sari Nila
seruu lnjut
2022-02-13
0