Author's POV
Mereka sampai di salah satu restoran mewah di ibukota. Johan terlihat turun terlebih dulu, lalu ia membukakan pintu untuk atasannya. Edward terlihat keluar dari mobilnya, sebelum melangkah ia merapikan dulu jas dan kacamata hitamnya.
Dengan langkah ragu, Laura pun mengikuti kedua pria tampan itu.
Memasuki areal restoran, nampak seorang petugas memberi salam hormat dan membukakan pintu untuk mereka.
Seorang pramusaji datang menghampiri mereka, karena seringnya Edward dan Johan datang ke restoran ini, pramusaji itu pun mengarahkan mereka ke ruangan VIP yang sering Edward gunakan.
"Silahkan.. tuan-tuan dan nona". Pramusaji itu membukakan pintu sambil tersenyum ramah.
"Silahkan duduk nona.." Jo menarik sebuah kursi untuk Laura. Sontak membuat Edward memicingkan matanya ke arah Johan. Dan Jo hanya terkekeh geli.
"Silahkan menunya tuan". Pramusaji menyodorkan buku menu, namun Edward menaikkan salah satu tangannya, tanda ia menolak.
"Berikan kami menu special today yang kalian punya". Perintah Edward sambil menatap Laura.
"Baik tuan, kalau begitu saya permisi". Pramusaji itu pun meninggalkan ruangan VIP tersebut.
Hening seketika menyapa ruangan VIP itu, ingin rasanya Laura keluar dari tempat itu, ia merutuki kebodohannya yang mau mengikuti kedua pria tampan ini.
Edward terus saja memperhatikan Laura, yang semakin membuat Laura canggung.
"Kita belum berkenalan". Suara Edward memecah keheningan.
"Huft..." terdengar helaan nafas dari bibir manis Laura.
"Perkenalkan nona, namaku Edward.....". Dia seolah sengaja menjeda ucapannya, sembari menjulurkan tangan ke arah Laura.
Dengan sedikit gemetar, Laura membalas uluran tangan pria tampan itu, "namaku Laura, tuan bisa Memanggilku Lala".
"Hanya Laura..?" Tanya Edward penasaran.
"Laura Anastasia, panggil saja aku Lala".
"Oh… Aku Edward Alexander Hugo, kamu boleh memanggilku Ed". Jelas Edward.
"A-apa.. Hugo ?" Laura langsung menarik tangannya.
‘Astaga.. dia seorang Hugo, mati aku kenapa harus berurusan dengannya’. Batin Laura
"Memangnya kenapa dengan Hugo nona?" Kali ini Jo yang bersuara, ia tak mau hanya sekedar menjadi penonton disana.
"Ti-tidak apa-apa, aku hanya terkejut saja. Siapa yang tidak tau keluarga Hugo". Laura tersenyum kaku.
"Kamu yang tak tau". Ed berkata datar. "Buktinya kamu tidak mengenali wajahku, dan baru terkejut saat aku menyebutkan nama panjang ku".
"Itu... aku hanya sekedar tau nama keluarga mu saja tuan, dimana-mana dieluh-eluhkan, memiliki bisnis di semua bidang".
"Kamu tidak melihat fotoku di internet?" Edward semakin penasaran.
Laura menggeleng "aku tidak sempat, maksudku aku hanya menggunakan internet untuk keperluan penting seperti belajar, selebihnya aku tidak sempat". Ada kegetiran di balik ucapannya.
"Permisi.. tuan-tuan dan nona, makanan anda siap". Pramusaji yang tadi datang menginterupsi.
"Ya..silahkan sajikan". Johan memberi perintah.
Pramusaji itu dan seorang temannya menyajikan makanan yang di minta oleh Edward tadi.
Mereka bertiga pun menyantap hidangan itu, meski Edward dan Johan sebelumnya sudah makan siang.
Setelah selesai bersantap, hening kembali menyapa ruang makan VIP tersebut. Melihat kecanggungan yang tercipta, Johan berinisiatif untuk memulai obrolan.
"Nona.. bisakah kamu mulai bercerita, masalah apa yang sedang kamu hadapi?". Johan bergantian menatap Laura dan Edward.
"Jangan disini Jo, kita pulang saja". Edward memberi perintah.
"Hah.." Laura menganga tak percaya. Pulang?? Batinnya.
"Berikan kunci mobil nya Jo, biar aku yang menyetir, dan kamu Ara, berikan Jo kunci mobilmu". Edward mengambil kunci yang Jo sodorkan.
"Tapi... Tuan..."
"Aku tidak mau mendengar penolakan Ara, atau kamu mau aku gendong ke parkiran ?"
Laura sontak menggelengkan kepalanya.
"Ikut saja nona, percaya lah kamu aman bersama bos, dan mobilmu aman bersamaku". Johan bicara sambil menaik turunkan alisnya.
"Hah..." Laura menghela nafas kasar "baiklah, pak Jo tolong hati-hati membawa mobilku, itu satu-satunya yang aku miliki". Lalu menyerahkan kunci mobil tuanya pada Johan.
Edward berdiri diikuti Jo, mau tak mau Laura juga ikut berdiri.
"Jo.. urusi pembayaran nya, setelah itu susul kami pulang". Perintah Edward
"Siap bos" Jo berlalu menuju kasir.
*****
Keheningan kembali terjadi di dalam mobil yang di kendarai oleh Edward. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, supaya bisa lebih lama bisa berduaan dengan gadis manis disampingnya.
Setelah hampir 30 menit berkendara, mereka tiba di sebuah gedung tinggi menjulang, mobil memasuki halaman gedung, menuju parkir bawah tanah ( basement ).
Memarkirkan mobilnya dengan rapi, Edward pun mengajak Laura turun. Dengan ragu Laura mengikuti langkah Edward.
Menuju sebuah lift khusus, Edward menempelkan sebuah kartu di sebelah pintu lift, dan lift pun terbuka lebar.
"Ayo Ara". Suara Edward menginterupsi lamunan Laura.
"Tuan kenapa memanggilku Ara, bukankah sudah aku katakan, panggil saja aku Lala". Laura merasa aneh di panggil Ara, karena sejak kecil ia sudah terbiasa dipanggil Lala.
"Aku lebih suka memanggilmu Ara".
Ting... Pintu lift terbuka dan menampakkan satu pintu besar di depannya.
Laura melihat ke kanan dan ke kiri. ‘Tunggu hanya ada satu pintu di depan lift ini?’ Ia bertanya dalam hati.
"Kenapa malah bengong, ayo masuk". Ternyata Edward sudah membuka pintu itu.
*‘Wow.. menakjubkan..* satu kata yang terlintas di benak Laura ketika memasuki ruangan besar itu. ‘Apa ini yang di namakan apartemen ? Kenapa luas sekali ? Ada kolam renang di teras dan ada tangga menuju lantai atas’.
"Sudah selesai melihat-lihat nya ?" Eh.. Laura tersadar dari kekaguman nya.
"Duduklah di sini". Edward mengajak Laura duduk di sebuah sofa diruang tamu.
Terdengar pintu terbuka kembali, Johan datang mendekat dan ikut bergabung.
"Apa kamu ingin minum sesuatu nona?" Johan menawari dengan ramah.
"Tidak pak Jo, terimakasih". Laura menolak secara halus.
"Kalau begitu, mulai lah bercerita, kami akan mendengarkan ceritamu nona".
"Sebenarnya a-ku..” Laura menghela nafasnya sebentar.
"Sebenarnya aku membutuhkan uang sebanyak 300 juta dalam waktu 2 hari ini".
"Untuk apa uang sebanyak itu nona?" Johan seperti seorang detektif.
"Hah..." Laura nampak berpikir sejenak, ia menimbang, haruskah menceritakan kisah hidupnya kepada orang-orang yang baru beberapa jam ia temui?? Ya, untuk apa juga di tutupi, lagi pula dia bukan orang penting di negara ini, jadi kisah hidupnya tak akan penting bagi orang-orang kan?.
"Baiklah, aku akan menceritakan masalahku, agar lebih mudah untuk ku menjelaskan untuk apa uang sebanyak itu".
"Ceritakan lah Ara.." suara Edward terdengar dingin.
"Sebelumnya, aku akan memperkenalkan diriku terlebih dulu, namaku Laura Anastasia, aku berusia 21 tahun, dan tahun ini aku berstatus mahasiswi tingkat 3 di salah satu universitas swasta di kota ini. Aku seorang anak yatim piatu, ayahku meninggal saat aku usia 10 tahun, dan ibuku meninggal 3 tahun lalu".
Bayangan-bayangan kenangan bersama orang tuanya pun bermunculan, sehingga membuat mata Laura menjadi berkaca-kaca.
Johan menyodorkan sapu tangan, namun Laura menolaknya.
"Lanjutkan Ara.."
"Aku sebelumnya tinggal di panti asuhan, bukan karena aku yatim piatu, tetapi karena panti itu milik orang tua ku, mereka sangat menyayangi anak-anak, jadi mereka berinisiatif mendirikan panti asuhan untuk anak-anak yatim piatu".
Johan nampak berdiri, ia berjalan menuju ke arah dapur, mengambil 3 botol air mineral dan meletakkan di atas meja di depan Laura dan Edward.
"Terimakasih pak Jo" ucap Laura tulus.
"Maaf nona, kalau boleh tau, apa penyebab orang tua nona meninggal?" Johan ragu untuk bertanya.
"Tidak apa-apa pak Jo, aku juga akan menceritakannya. Ayahku meninggal karena kecelakaan, saat itu kami akan pergi piknik untuk merayakan kenaikan kelasku dan aku mendapatkan peringkat pertama".
Laura menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.
"Saat kami akan bersiap-siap, ayah melihat seorang anak di depan panti, ayah menghampiri anak itu, ketika akan menyeberangi jalan, tiba ada motor yang melaju kencang dan menyerempet ayahku, kepala ayah terbentur trotoar jalanan, dan ayah meninggal setelah koma selama satu hari". Laura menghapus air matanya yang mengalir begitu saja. Bayangan ayahnya yang mengalami kecelakaan kembali terlintas.
Edward membukakan tutup botol air mineral dan menyodorkan kepada Laura. "Minumlah sedikit, jangan di ceritakan jika itu membuatmu sakit".
Laura menerima air itu, dan meneguknya sedikit.
"Ibu meninggal karena sakit, kanker nasofaring stadium 4, aku juga tidak tau sejak kapan sakitnya, tapi aku baru tau sejak aku berusia 16 tahun, ibuku sering pergi keluar panti, dan ternyata untuk berobat". Hah.. Laura kembali menegakkan tubuhnya dengan mendekap bantal sofa di pangkuannya.
"Dan itu sebabnya sekarang aku membutuhkan uang 300 juta itu". Laura metanap lurus, pikirannya menerawang jauh, kemasa dimana ia ikut mengantar ibunya berobat.
"Untuk apa nona ?" Tanya Johan
"Membayar hutang ibuku, dulu aku sudah sering bertanya padanya dimana beliau dapat uang untuk berobat, beliau selalu bilang ada donatur yang memberikan bantuan. Aku hanya disuruh fokus belajar saja waktu itu. Mungkin karena aku masih remaja, jadi aku percaya saja apa yang ibuku ucapkan". Laura kembali menyeka air matanya.
"Sampai tadi siang, saat aku pulang ke panti aku baru tau ternyata dulu ibuku meminjam uang sebanyak 200 juta kepada seorang rentenir".
"Tadi bukannya nona mengatakan 300 juta?"
"Iya pak Jo, kata rentenir itu, hutang ibuku yang 200 juta sekarang sudah menjadi 300 juta, termasuk bunganya".
"Dari mana kamu tau soal ini Ara?" Edward pun ikut bertanya.
"Tadi di panti, aku melihat ada tamu, dan ternyata itu adalah rentenir. Dia hanya memberikan waktu sampai lusa, jika tidak kami harus keluar dari panti, karena ibu menggunakan sertifikat tanah panti sebagai jaminan hutangnya".
"Siapa yang mengurus panti asuhanmu setelah orang tua mu meninggal Ara ? Apa kamu mengurusnya sendiri ?" Edward berbicara sambil menatap Laura dengan lembut.
Laura menggelengkan kepalanya "tidak.. ada teman ibuku yang mengurus panti, beliau juga yang bekerja sama dengan orang tua ku mendirikan panti itu, namanya ibu Maria. Ada juga bibi Lily, dan beberapa pekerja untuk membantu mengurus adik-adik dan merawat panti".
Laura meneguk kembali air mineralnya. "Aku sejak setahun lalu, pindah tinggal di kontrakan di dekat kampus dan tempatku bekerja, karena kalau dari panti ke sini, memakan waktu hampir 2 jam".
"Kamu bekerja Ara?"
"Iya.. aku bekerja paruh waktu di sebuah kafe untuk membiayai hidupku, karena aku tidak mendapatkan tanggungan dari donatur panti". Laura terkekeh kecil.
"Aku akan membantu mu Ara.. aku akan memberimu uang untuk melunasi hutang ibumu". Edward berkata tegas.
"Tidak tuan, aku tidak punya apapun untuk ku jadikan jaminan". Laura menggeleng. "Aku hanya punya mobil tua, itu pun harganya tak seberapa, bank dan dealer saja hanya mau memberi 50 juta dan katanya itu sudah harga tinggi".
"Kenapa tidak Ara, kamu masih punya yang lain, yang bisa kamu gadaikan padaku dan aku rasa itu cukup untukmu membayar hutang padaku". Edward meneliti Laura dari kepala sampai kaki.
Merasa diperhatikan, Laura menutupi bagian tubuhnya dengan bantal sofa. "Mak-maksud tuan a-apa?"
.
.
.
To be continue
Mohon kritik, saran, like dan komentarnya teman Readers 🤗
Aku baru belajar menulis.
TerimaGaji ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Nuddin Salim
mayan Thorr... !!
lanjutkeun... 👍👍👍
2024-08-04
0
Ica Snow Kim
LAURA CERITA MASALAHNYA PADA EDWARD & JOHAN YG BARU DI KENALNYA 😓😓😓
2023-03-16
0
asmara Wati
aneh aneh wae nih cewek, yang berpikir nya kurang matang MC apa author, yang model kek gini nih, kalo ada di dunia nyata sering ada pemerkosaan, trus pembunuhan, mutilasi, abis disenggol,noleh,liat ganteng ngikut, untung itu baru dua cowok, kalo di rumah nunggu lima cowok sambil mabuk,kan lumayan buat pesta 😄😄😄. pembaca, terutama yang cewek, jangan mudah ngikut orang asing ya.itu berbahaya!!!!!.
2023-01-27
0