Setelah Anggara mengantarkan Jova dan Reyhan pulang, kini Anggara masih melanjutkan perjalanannya hingga tiba di Komplek Permata. Di jam dasboard mobil menunjukkan sudah pukul 20.00 malam.
Di dalam Komplek telah terlihat sunyi sepi hanya ada lampu-lampu sebagai penerang jalan. Anggara mengerem dan menghentikan mobilnya karena telah sampai di gerbang rumahnya dan pagar rumah Freya.
“Udah sampai, ayo turun.”
“Ini juga mau turun kok Ngga, hehe.” Freya membuka pintu mobil beserta menenteng tasnya di pundak lalu berpamitan pada Anggara masuk ke dalam rumahnya.
Anggara turun dari mobil dan melangkah ke gerbang rumah untuk membukanya lebar-lebar agar mobilnya bisa masuk ke dalam gerbang rumahnya. Anggara menatap rumahnya begitu sangat gelap, Anggara kembali masuk ke dalam mobil lalu memasukinya hingga sampai garasi mobil.
Anggara menarik tas punggungnya yang berada di samping kursinya lantas keluar dari mobil, menutupnya tak lupa Anggara mengunci mobilnya pada kunci.
Pip !
Pip !
Anggara berjalan membuka pintu rumah yang sudah ia buka pakai kunci rumahnya kemudian memasukinya, Anggara masuk ke dalam rumahnya sudah berasa masuk ke dalam rumah hantu yang sangat gelap gulita karena tak ada penerangan sedikitpun. Anggara menutup pintu rumahnya dari dalam terus menguncinya. Anggara meraba dinding tembok untuk menyalakan lampu ruang TV.
Ctak !
Akhirnya lampu ruang TV telah mendapatkan penerangan setelah Anggara berhasil menghidupkan lampunya. Setelah itu Anggara menghidupkan seluruh ruang yang masih gelap.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Reyhan melemparkan tasnya ke sembarang arah lalu ia membanting tubuhnya ke kasur King Size nya. Merasakan rindu pada kasur empuknya yang telah tiga hari tak ditempati. Reyhan merebahkan tubuhnya sejenak sambil menatap langit dinding cat putih. Rumahnya Reyhan nampak sepi karena Jihan dan Farhan (Mama dan papa Reyhan) Reyhan belum pulang dari Rumah omanya si Reyhan.
MEONG !!!
“EBUSET MEONG EH MEONG!” Reyhan reflek berkata latah saking kagetnya mendengar suara kucing yang ibaratnya sedang ngamuk.
Reyhan mengelus dadanya amankan jantungnya yang nyaris lepas dari organ tempatnya. Reyhan segera bangkit dari kasurnya lalu melangkah mencari suara amukan dari kucing yang sepertinya berasal dari dekat balkon kamar si Reyhan. Reyhan membuka pintu balkonnya dan ternyata benar, itu adalah suara kucing.
“Lah?! Ini kan kucingnya Jevran, kok bisa ada di balkon kamar gue, sih?”
Reyhan mengangkat kucing Jevran. “Pus-pus-pus, jangan cakar gue, ya kucing ganteng yang kayak majikannya.”
Reyhan mengelus lembut kepala kucingnya Jevran yang berbulu sutra berwarna putih bercorak abu-abu menawan, seketika kucing tersebut mendengkur bertanda menyukai Reyhan yang dengan lembutnya membelai kepalanya bahkan kucing Jevran sampai memejamkan kedua matanya karena nyaman di gendong oleh manusia yang bernama Reyhan Ivander Elvano.
“Kok lu bisa ada di kamar balkon gue, sih? Di usir sama majikan lo ya, yang sifatnya anjing?”
”Sekarang gue anterin lo pulang dah, kasian noh pasti tuan majikan lo nyariin elo.”
Reyhan mengajak ngobrol pada kucing Jevran dengan secara nada dramatis. Reyhan mendekap kucing Jevran di dada dan akan berbalik badan untuk pulangkan kucing kesayangannya Jevran. Namun, baru saja menutup pintu balkon kamar tiba-tiba telinga Reyhan pengang karena mendengar suara teriakan tetangganya yang bernama Jevran Adifian Leandro. Ia berteriak memanggil Makabe yaitu lah kucingnya yang mau di pulangkan Reyhan.
“MAKABEEEEEEE!!!”
Reyhan mendengus sebal. “Anjir suara lo kek terompet sangkakala anying! Lu napa sih, manggil kucing lo pake teriak-teriak kayak kesurupan tokek!” bentak Reyhan.
“Eh Sorry Rey, anu gue nyari Makabe, nih. Dia gak pulang-pulang kayak bang Toyib. Lu liat kucing gue kagak?”
“Mata lo ketutup sama cangkang keong, ya? Noh, kucing elo ada di sini.”
“Buset! Kenapa kucing gue ada di pada lo?!” tanya Jevran curiga dengan mata penuh selidikan.”
“Apa? Lu mau nuduh gue?! Ini kucing ada di balkon kamar gue. Gue juga gak tau kenapa kucing lo bisa ada di balkon kamar, apalagi gue kan abis pulang dari kota Bogor.”
“Hah, kota Bogor?! Gilak pake banget, ngapain lo disana? Sama siapa di sana??”
“Kepo banget sih lo, Vran.”
“Biarin, dong! Ayolah cepet kasih tau, lo ngapain di kota Bogor, hehehe!”
Reyhan membelai-belai bulu Makabe sang kucing Anggora-nya Jevran dengan nyengir. “Hehe, gue pergi ke kota Bogor karena liburan camping di hutan sana bersama sahabat-sahabat gue.”
“Parah! Gak ngajak-ngajak gue, lo! Tapi gue gak kagum deng, lo gak mungkin pergi camping di hutan sendirian. Elo kan cowok penakut dan parnoan sama yang namanya setan.”
“Anjir lo! Masih aja apal sama aibnya gue! Tunggu gue di sono! Ini Makabe bakal gue pulangin ke elo!”
“Gak usah ngegas kali, Nyuk!”
Reyhan berbalik badan untuk pergi keluar rumah menyerahkan kucingnya pada Jevran. Reyhan turun menelusuri anak tangga lalu melangkah membuka pintu rumah dan membuka gerbang rumahnya.
Terlihat Jevran menunggu Reyhan dari depan gerbang rumah tetangganya yang membuka gerbang. Tangan Reyhan membentang untuk menyerahkan Makabe ke Jevran. “Noh, ini kucingnya! Dijaga baik-baik, daripada hilang lagi! Keluyuran di komplek sih nggak masalah! Tapi kalau udah sampai keluar dari gang komplek, mampus lu!”
“Iye-iye, maap! By the way, makasih ya, Bro!”
“Yoi. Sama-sama Bray, kalau gitu, gue mau masuk rumah dulu, ye.”
“Siap, Laksmana! Eh tunggu dulu, Bro! Besok pagi kita olahraga sepeda, yok! Buat refreshing tubuh, biar tetep bugar, hahaha!”
Reyhan mengacungkan jari jempolnya. “Mantap! Besok lo bel aja rumah gue!”
“Markotop! Monggo (Silahkan) segera istirahat tidur, kawan! Jangan lupa mimpi buruk!”
“Oke, siap- eh?! Tetangga kampret, lu!”
Jevran langsung berlari ngacir bersama gendongan Makabe yang sudah ia dekap dalam dadanya. Reyhan mendengus kesal pada tetangganya yang tidak ada akhlaknya sama sekali. Reyhan memutuskan untuk masuk ke dalam rumah tak lupa menutup gerbang serta mengunci pintu rumah agar maling tak masuk seenaknya.
Di dalam rumah, Reyhan menaiki undakan tangga kembali berjalan ke kamar buat ambil handuk dan segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Anggara yang sudah usai mandi segera kembali ke kamarnya, namun tiba-tiba tubuh Anggara sempoyongan dan ambruk ke kasur empuknya untung saja ambruknya di situ bukan di lantai yang membuat tubuh Angga sakit karena terbentur lantai kamarnya.
Anggara bingung ada apa dengannya, kepalanya juga secara munculan menerjang berdenyut-denyut sangat sakit. Anggara meraih kepalanya dan memegangnya seraya mengernyitkan matanya kuat-kuat, Anggara sedikit mengerang kesakitan akibat kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit sekali.
“Akh! Kenapa kepala gue ini! S-sakit, argh!”
Anggara merintih kesakitan dengan memegang kepalanya bersama kedua tangannya serta membungkukkan badannya ke bawah karena sakit kepala ini malah justru menjadi-jadi. Padahal sebelumnya Anggara tidak ada apa-apa, namun sekarang malah seperti ini. Tak kunjung reda pun sakitnya, kalaupun Anggara mengalami cedera kepala itu sepertinya tidak mungkin.
Tring !
Tiba-tiba disaat Anggara sedang dilanda rasa sakitnya kepala, sebuah notifikasi pesan di WhatsApp bergetar dan berbunyi berasal dari ponsel milik Anggara. Tangkas Anggara ambil handphonenya dari meja nakas samping kasur lalu Anggara mengecek siapa yang mengirim chat jam 21.00 malam ini.
“Mama,” lirih Anggara tak ayal membuka isi chat dari Andrana.
...----------------...
...MAMA...
[Mama]
Nak, Anggara?
[Mama]
Gimana kabarmu di Jakarta, Sayang? Semua baik" aja kan?
^^^Iya, Ma. Baik" saja^^^
[Mama]
Alhamdulillah kalau Anggara baik" aja
[Mama]
Maafin Mama sama Ayah ya, Nak
^^^Lho, kenapa minta maaf, Ma^^^
[Mama]
Minta maaf, karena mama dan Ayah sudah terlalu lama meninggalkan Anggara sendirian di kota Jakarta. Tapi bulan depan besok, orangtuanya kamu ini bakal balik lagi, kok
^^^Mama nggak perlu minta maaf sama Anggara. Anggara sudah terbiasa ditinggal kalian berdua, tugas dinas kalian lebih utama. Tapi Anggara senang, karena 1 bulan lagi kalian kembali lagi ke sini^^^
[Mama]
Iya, Sayang... Oh iya, bagaimana sama tesnya kemarin? Semuanya lancar" saja kan, Nak?
^^^Alhamdulillah, semuanya lancar kok, Ma^^^
[Mama]
Alhamdulillah. Kamu memang anak yang hebat, ya! Soal pelajaran bahkan tes PAS kemarin bisa kamu kerjakan dengan mudah
^^^Anggara seperti ini karena keturunan dari ayah dan juga opa, kan Ma?^^^
[Mama]
Hehehe. Iya, Anggara. Yasudah, lebih baik sekarang kamu segera tidur ya, Nak? Ini juga sudah malam
^^^Iya, Ma. Mama juga, ya?^^^
[Mama]
Itu pasti, Nak...
...----------------...
Anggara meletakkan kembali HP-nya ke atas meja nakas, sedari tadi saat sibuk mengetik-ngetik keyboard untuk membalas chat dari Andrana, Anggara hanya menggunakan satu tangan jari ibu jari sementara satu tangannya lagi terus saja menyentuh kepalanya berusaha untuk menahan sakitnya yang kini ia derita. Anggara sempat terpaksa berbohong pada Andrana kalau ia baik-baik saja, sebetulnya ia sedang tidak baik-baik saja. Anggara tak ingin Andrana dan Agra menghawatirkan dirinya yang hanya anak semata wayang dari mereka berdua.
Anggara memilih membaringkan tubuhnya di kasur, kepala ia letakkan di atas bantal dan tak lupa untuk menarik selimutnya. Anggara pejamkan kedua mata barangkali sakit kepala Anggara mereda setelah ia buat untuk tidur semalaman.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Ting tong !
Ting tong !
Ting tong !
Tidur Anggara terusik karena suara bel rumah yang di bunyikan oleh seseorang di luar rumahnya. Anggara menyingkap selimutnya lalu mengumpulkan nyawanya sekitar sampai 5 menit lalu setelah itu Anggara melangkah membuka pintu kamar dan turun dari undakan anak tangga diiringi rasa sakit kepala yang masih menyerang.
Di luar jendela balkon sebelum Anggara meninggalkan kamar, langitnya masih terlalu pagi dan jam dinding masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Siapakah yang membunyikan bel rumahnya di pagi buta seperti ini. Anggara melangkah lagi untuk membuka pintu rumahnya.
Cklek !
Anggara terkejut yang membunyikan bel adalah Freya, sahabat kecilnya Anggara sekaligus tetangga yang berada di sebrang rumah Anggara. Anggara melihat Freya menyangga sepeda ontel pics cantiknya serta lonceng sepeda ciamiknya.
Baru saja Freya mengatakan sesuatu pada Anggara, mulut Freya menganga melihat wajah Anggara yang pucat beserta rambutnya yang berantakan.
“A-anggara?! Mukamu ko-”
“Pucet?” tanya Anggara di tanggap Freya anggukan kepala cepat.
“Gitu ya?” tanya Anggara lagi memastikan anggukan dari Freya.
“Iya, muka kamu hari ini pucet! Kamu sakit, ya?!”
Anggara bingung menjawabnya, berbohong kali ini sulit karena posisi ia tengah berhadapan dengan Freya. Bahkan Freya perempuan yang terkadang tidak bisa dibohongi. Anggara mengusap tengkuknya seraya memalingkan wajahnya dari Freya yang bertanya pada ia penuh khawatir.
Anggara menolehkan wajahnya ke Freya. “A-aku cuma- emph!”
Ucapan Anggara terpotong karena kepalanya yang seolah ditusuk paku menganggu jawaban Anggara untuk Freya yang menanya-nya. Freya spontan standar-kan sepeda ontelnya lalu menghampiri Anggara panik yang memegang kepalanya dengan mata terpejam kuat serta bibirnya yang ia katupkan rapat-rapat.
“Anggara, kepalamu sakit?! Ayo kita masuk dulu aja!”
Freya langsung menggiring Anggara pelan masuk ke dalam rumahnya lalu melangkah pergi ke kursi sofa untuk mendudukkan Anggara di sofa abu-abu pasir tersebut. Freya duduk di samping Anggara plus menyongsong menghadap Anggara.
Freya menatap Anggara yang tengah kesakitan memegang kepalanya, erangan sakit Anggara membuat Freya menjadi kalut hatinya serta getir. “Kamu tunggu bentar ya, biar aku buatin teh dulu untuk kamu.”
Freya berlari ke dapur dan mulai membuatkan Anggara teh untuknya. Anggara mengubah posisi duduknya menjadi setengah rebah. Tak lama kemudian Freya datang membawakan gelas berisi teh pada Anggara yang kini sahabat cowok kecilnya mendadak lemas.
“Ngga, bangun dulu, yuk. Nih, tehnya udah aku buatin. Di minum ya,” tutur lembut perintah Freya pada Anggara.
Anggara mengangguk lalu bangkit dari setengah rebahnya yang kepalanya sebelumnya ada di atas sofa empuknya. Dengan tangan lemasnya Anggara menerima sodoran teh dari Freya.
Freya nyengir bersama hati getir. “Hati-hati, Ngga. Tehnya masih panas.”
Anggara lagi-lagi meresponnya dengan anggukan. Anggara segera meneguk perlahan teh buatan Freya. Freya terus memperhatikan Anggara meminum teh yang ia buat tadi di dapur. Anggara kemudian meletakkan gelas teh ke meja di depannya lalu Anggara sandarkan punggungnya serta kepala yang ia dongak ke atas, mata juga ia tutup untuk meredakan sakit kepalanya.
“Anggara-”
“Jangan kasih tau mama ayahku ya, please jangan kasih tau mereka kalau aku lagi kayak gini.”
‘Baru aja aku mau nanya itu sama Anggara, eh malah udah duluan Anggara.’
“Loh, kenapa Ngga? Kan, biar mama ayah kamu tau kalau kamu lagi sakit.”
“Aku bilang jangan Frey, aku hanya gak mau mama ayah khawatir sama aku.”
Freya menghela napasnya. “Yaudah deh gak aku kasih tau, tapi apa kita pergi ke rumah sakit aja? Biar kalau ada apa-apa langsung di tangani.”
“Gak usah,” sangkal Anggara.
“Masa gak usah? Nanti kalau sakit kepala kamu tambah parah, gimana?!”
“Udah Frey, kamu gak usah khawatir banget sama keadaan aku. Aku cuma kecapekan aja kok, nantinya juga pasti bakal sembuh.”
“Huh, yasudah deh kalau memang hanya kecapekan. Oh iya, sebenarnya aku mau ngajak kamu main sepeda mumpung masih pagi. Tapi ngeliat kamu lagi sakit gini, kita tunda, deh. Lain waktu saja refreshing-nya.”
Anggara yang sebelumnya mendongakkan kepalanya di atas kini menolehkan kepalanya ke Freya serta membuka matanya. “Gara-gara aku, ya?”
“Bukan, kok. Nggak apa-apa kalau hari ini ditunda dulu, lebih baik kamu sehat saja dulu.”
Anggara tersenyum. “Oke. Kalau aku memang udah kembali sehat, kita refreshing pagi.”
“Hehehehe! Siap, Tuan Anggara,” ucap Freya dengan memberikan dua jari jempol kanan kirinya.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Reyhan masih setia dengan tidurnya bersama memeluk gulingnya. Tetapi rasa kenyamanan tidur Reyhan terganggu pada suara bel rumah yang di bunyikan beberapa kali. Reyhan auto berdecak kesal dengan segera bangun duduk. Masih setengah sadar dan belum mengumpulkan nyawanya.
Ting tong !
Ting tong !
“Aaaahhh!! Siapa, sih gangguin orang lagi tidur?! Gak ada akhlak bener!” kesal Reyhan bernada seperti orang habis bangun tidur.
Ting tong ting tong ting tong !!!
“Woi!! Anjir! Siapa, sih sebenernya?! Fix ini pasti Jevran si tetangga somplak!”
Reyhan yang geram langsung keluar dengan langkah hentakan kaki seperti hulk sedang mengamuk dunia kota. Usai turun dari tangga, pemuda humoris tersebut segera menuju ke pintu rumahnya yang berjenis dia daun pintu.
Cklek !
Reyhan membuka pintu rumahnya dengan posisi wajah masih berminyak dan rambut yang acak-acakan berantakan. Hal itu membuat Jevran yang membawa sepeda melongo melihat kondisi tetangganya tersebut.
“Heh! Lo bisa gak sih, kalau bel rumah orang punya akhlak dikit?! Ganggu kuping gue aja!“ sebal Reyhan kemudian menguap sembari menutup mulutnya.
“Hehehe! Maap-maap! Yaudah sono, siap-siap dulu. Parah bener lu, masa jam segini lo masih enakan bobok? Gue aja jam lima tadi udah bangun.”
“Itu lo-nya aja yang semangat! Cepetan masuk!” sarkas Reyhan yang matanya masih kantuk.
Jevran pun langsung menerobos Reyhan masuk ke dalam rumah sekolahnya sekaligus tetangga dekatnya. Jevran langsung membanting tubuhnya di kursi sofa yang berasa itu miliknya.
“Berasa rumah sendiri ya, Bro?”
“Ehehehe iye nih, kan lo tetangga gue ... ya jadi tau lah sifat gue kek gimana sama kebiasaan gue kayak gimana.”
Reyhan mengembuskan napasnya. “Yaudah, gue tinggal mandi dulu, ye. Lo tunggu sini. Gue gak bakal lama, kok.”
“Iye, siap!”
“Oke.”
Reyhan pergi naik tangga untuk melaksanakan mandi terlebih dahulu sebelum pergi mengayuh sepeda bersama Jevran. 5 menit kemudian Reyhan telah selesai mandi dan segera menaruh handuk ke tempat asalnya lalu turun tangga untuk menghampiri Jevran yang matanya tengah asyik menonton sebuah film horor di Youtube. Melihat kedatangan Reyhan kembali, Jevran langsung noleh dan menghentikan durasi filmnya.
“Ayo, keburu nanti panas.”
Jevran mengangguk lalu memasukan ponselnya ke dalam kantung saku celana training panjangnya, kemudian beranjak dari kursi sofa berlalu berjalan keluar dari rumah Reyhan. Di ikuti oleh Reyhan di belakang serta membawa ponselnya dan memasukan handphonenya ke dalam saku celana training abu-abunya.
Reyhan menutup pintu rumahnya lantas pergi ke garasi untuk mengambil sepedanya di sana, usai itu Reyhan menaiki sepedanya dan mengayuhnya keluar dari gerbang rumah begitupun juga dengan Jevran.
Dua pemuda itu kini berkeliling komplek dengan mengayuh sepedanya masing-masing, udara pagi jam 07.00 memang masih terasa sejuk dan segar sangat pantas untuk kesehatan tubuh dalam olahraga bersepeda pagi yang langitnya cerah tak mendung.
Usai banyak berkeliling komplek dan menyapa ramah banyak warga komplek, Reyhan dan Jevran memutuskan untuk beristirahat di warung dan membeli air botol mineral dingin. Mereka berdua memarkirkan sepedanya di tempat parkiran yang telah di sediakan oleh pak Dodi si pedagang warung hati ramah di komplek Kristal.
Reyhan dan Jevran duduk di kursi kayu panjang yang telah tersedia-kan serta meja untuk makan minum dan sebagainya. Reyhan beranjak dari kursi panjang akan pergi membeli botol air mineral dingin.
“Rey! Gue juga beliin, ye!”
“Dasar anak sulung! Bisa kagak, sih pake uang lo aja?! Nanti duit gue bisa abis!”
“Alah! Gitu amat, sih Rey? Terakhir, dah terakhir! Besok kalau kita jajan lagi di sini, gue bakal bayar sendiri, hehehe!”
“Yoi, dah. Bentar!”
Reyhan memutar bola matanya malas dan berbalik badan membeli dua botol air mineral dingin. Reyhan celingak-celinguk mencari keberadaan pak Dodi berada. Ternyata pak Dodi sedang tengah duduk di kursi sofa single kecil sambil sibuk membaca koran.
“Pak Dodi,” panggil Reyhan ramah.
Seketika itu pak Dodi melepas kacamata khusus membaca koran dan meletakkan kacamatanya di kotak kacamata lalu menutup korannya dan menaruhnya di meja samping sofa kecilnya. Pak Dodi menghampiri Reyhan yang memanggilnya tentunya akan membeli sesuatu.
“Eh kamu toh Rey. Wah, udah lama gak liat kamu.”
“Yaelah Pak, baru juga tiga hari, hehehe.”
“Memangnya selama tiga hari itu, kamu ada dimana?” tanya pak Dodi ingin tahu.
“Abis PAS libur satu bulan, masa diem di rumah bae. Ya mesti liburan dong Pak, liburan di luar Kota Bogor tentunya.”
“Eh tunggu bentar, berarti kamu kemarin liburan di hutan kota Bogor?”
“Lah? Kok Pak Dodi bisa tau kalau Reyhan liburan di sana?? Dikasih tau sama siapa, Pak?”
“Ya, gak dikasih tau siapa-siapa Rey, Bapak cuma nebak aja. Tapi, apa bener kamu liburan di sana? camping, kah?”
“Betul Pak, Reyhan sama ketiga sahabat Reyhan pergi ke sana karena liburan Camping di hutan Bogor.”
“Aduh, kamu ini ya! Tapi kamu sama sahabat-sahabat kamu gak camping sampe puncak hutannya, kan?!”
“Tenang saja. Kami nggak sampai di puncak, kok. Hanya di pertengahan hutan doang.”
Pak Dodi mengelus dadanya bernapas lega. ”Huh, Alhamdulillah kalo begitu. Begini nih Rey, mau kamu, keluarga kamu, ataupun temen-temen kamu jangan pernah pergi ke puncak hutan Bogor itu. Bahaya banget, taruhannya nyawa bener!”
Reyhan berkata hati-hati, “Bapak tau semuanya tentang puncak hutan di kota Bogor?”
Pak Dodi mengangguk antusias. “Iya Rey, semuanya Bapak tau. Sampe-sampe ada berita satu tahun yang lalu peristiwa tewasnya anak remaja SMA seusia kamu jadi korban jiwa karena bertempat di sana.”
“B-bertempat di sana? Apa itu rumahnya?” tanya Reyhan dengan lirih nada.
“Bukan Reyhan, tetapi bangunan villa.”
“Bangunan villa?”
“Iya, di atas puncak hutan Bogor ada bangunan villa yang dulu bagus sekarang jadi terbengkalai.”
Reyhan terdiam pada ceritanya pak Dodi, mengenai puncak hutan Bogor tersebut. Tak ingin memikirkan terlalu dalam, Reyhan segera membeli dia botol air mineral ke pak Dodi.
Tetapi detik kemudian Reyhan malah termenung dalam pikiran perkataan ucapan panjang lebar dari Pak Dodi. Bangunan villa? Terbengkalai? Bahkan Reyhan yang aktif pada media sosial sampai tidak tahu mengenai bangunan Villa tersebut di hutan puncak Bogor.
Setelah membeli dua botol air mineral dingin, Reyhan tersenyum Friendly kepada pak Dodi lalu berbalik badan mendatangi Jevran yang memutar-mutar ponselnya dengan tangan ia topang di dagu. Reyhan duduk di hadapannya seraya memberikan satu air botol mineral dingin padanya.
“Sorry, gue lama.”
“No problem, meski ini tenggorokan gue udah kering.”
Jevran menoleh ke belakang pada pembeli yang tengah membeli obat. Jevran menyipitkan matanya, seorang pemuda dengan gaya rambut seperti Anggara, tingginya serta postur tubuhnya yang sempurna hanya saja warna kulitnya sedikit hitam.
“Woi-woi, Rey!”
“Apaan?”
“Coba lo liat orang yang beli obat itu, bukannya itu si Anggara, ya?”
“Hah? Anggara? Ngaco kali mata lo, mana mungkin Anggara beli obat di warung sampe di komplek kita.”
“Eh tapi seriusan njir, kayak si Anggara dah, itu.”
Reyhan menajamkan matanya melihat betul-betul apakah benar itu adalah Anggara. Saat pemuda tersebut sudah membeli obat, pemuda tersebut menoleh ke arah Reyhan. Reyhan yang tengah meminum air mineral, seketika menyemburkan airnya saking kagetnya. Pemuda tersebut langsung menghampiri Reyhan yang tersedak dan terbatuk-batuk.
“Eh?! Lo nggak kenapa-napa?!”
Reyhan mengelap sisa airnya yang basah di luar mulutnya. “Eh, iya gue gak kenapa-napa, kok!”
‘Bjir, ini orang kayak rada Anggara bener mukanya !’
“Ehm .. boleh pastiin nama lo, nggak? Nama lo Anggara Veincent Kaivandra, bukan?”
“Oh, bukan. Mungkin lo salah orang, nama gue Rangga Vindo Gavindra, panggil aja Rangga. So, salken (Salam kenal), ya.”
Dengan ramah Rangga mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Jevran. Jevran pun tak ragu untuk mengulurkan tangan dan menerima jabatannya. Jevran mengukirkan senyumannya begitu juga Rangga.
“Hai, salken juga Ga! Nama gue Jevran Adifian Leandro dan lo bisa panggil gue Jevran. Oh iya sama ini nih, kenalin ini temen sekolah gue plus tetangga gue. Namanya Reyhan Ivander Elvano, biasa di panggil Reyhan.”
“Oh, oke. Salken ya Reyhan, gue Rangga orang baru di komplek ini.”
“Ahahaha! Iya salken juga Ga. By the way barusan gue denger lo anak baru, ya di komplek Kristal ini? Pindahan dari mana??”
Rangga tersenyum tipis. “Gue pindahan dari kota Bogor.”
“Wah! Mantap-mantap!” kagum Reyhan.
“Oh iya, Ga. Sekarang rumah lo yang ada di komplek ini di sebelah mana??” tanya Jevran penasaran.
“Rumah gue di sebelah rumah pemilik kucing yang kucingnya punya ciri-ciri jenis Anggora, bulunya putih bercampur loreng-loreng abu-abu.”
BRAK !
“Mantap jiwa, Bro! Berarti elo adalah tetangga gue dan Reyhan.”
“Ya Allah gusti! Bisa gak sih lo Vran, tanpa gebrak meja?! Bikin jantung orang mau copot aja, dah!”
“Hahahaha!” Rangga tertawa dengan menggelengkan kepalanya pada tingkah konyol dua teman barunya yang rupanya tetangga dirinya
CTAAAAARRR !
Sebuah suara petir menggelegar kencang membuat Reyhan, Jevran dan Rangga terlompat kaget bukan main. Langit yang tadinya cerah kini berubah menjadi mendung sebentar lagi rintik-rintik hujan akan turun dan mengguyur seluruh bumi. Sungguh tak sepadan pada senda gurau para tiga pemuda SMA tersebut.
“Buset! Bentar lagi hujan, nih! Pulang aja, yok!” ajak Jevran cepat.
“Yok. Oh iya, Ga. Lu bareng kami berdua aja, kan rumah lo sama rumah kami deketan, hehehe!” ujar Reyhan seraya berdiri.
Rangga mengangguk dan akan meninggalkan warung pak Dodi begitupun Reyhan dan Jevran itu meninggalkannya. Mereka bertiga menelusuri melewati rumah-rumah warga komplek dan cepat-cepat untuk pulang masuk ke dalam rumahnya masing-masing.
Tentang bangunan villa dari letak puncak hutan Bogor, jujur dalam hati Reyhan masih bertanya-tanya. Rasa penasaran Reyhan meningkat tinggi, sepertinya setelah sampai rumah nanti Reyhan akan mencari tahu tentang bangunan villa itu melalui Internet laptopnya.
INDIGO To Be Continued ›››
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
theo
bagus banget kak alur ceritanya
2022-04-17
4