Karena dari dasarnya Reyhan orangnya sangat penakut apalagi melihat benda tadi yang ia pegang terlempar ke atas dengan sendirinya lalu menghilang secara misterius. Reyhan segera mendekati Anggara lantas mencengkram jaket di bagian lengannya Anggara dengan wajah amat takut.
“Hiii Anggara help me please! Gue takut! Gue takut! Gue takut!”
Anggara diam tak berkutik menatap langit-langit dinding yang pisau keramat itu benar-benar telah menghilang bak di telan bumi. Detak jantung Anggara yang sudah berdetak normal kini menjadi berdetak berpacu cepat di sertai tubuh yang bergemetar. Mengingat insiden pada waktu ia di tusuk pisau keramat itu oleh anak buah raja Iblis yang merasuki di dalam tubuh raga Reyhan.
Reyhan yang merasakan getaran dari lengan Anggara, melepaskan cengkraman tangannya dari jaket Anggara. Reyhan mengerutkan jidatnya ada apa lagi dengan sahabatnya. Wajah kian kembali memucat oleh dari Anggara, membuat ketiga sahabatnya panik tidak karuan.
“Eh buset Ngga?! L-lo mukanya kenapa jadi pucet banget woi!!”
“P-pisau i-itu,” gumam Anggara.
“Kenapa sama pisaunya?!” tanya Reyhan semakin menatap Anggara.
'Duh gawat, bisa-bisa Anggara langsung depresi nih karena mengingat peristiwa yang nyawanya hampir terancam,' rutuk hati Freya. 'Lebih baik aku ceritakan saja sama Reyhan daripada bikin Reyhan penasaran begini,' lanjut batin Freya lagi.
“Reyhan, ada satu kejadian yang pengen aku ceritain ke kamu tentang pisau cahaya merah tadi.”
“Hah? Apa? Apa kejadiannya??!”
Anggara yang tak ingin mendengarnya terutama mengingatnya, segera menutupi kedua telinganya pada kedua tangan masing-masing. Mata ia pejamkan, merapatkan kedua telinganya agar tak dapat mendengarnya cerita Freya untuk Reyhan.
“Jadi-”
“Tunggu bentar, Frey.”
Reyhan memotong cerita Freya yang baru bermulai. Reyhan menarik tas punggungnya lalu membuka resliting tasnya bagian paling depan sendiri dan memasukan tangan kanannya untuk mengambil headsetnya dan mengambil ponsel Anggara yang berada di atas meja nakas samping kasur. Reyhan memberikan dua benda itu pada Anggara dengan senyuman ramahnya.
“Nih Ngga, pake aja headset gue. Gue tau kenapa lo sampe nutup telinga, mungkin cerita yang Freya ceritain ke gue, buat lo merasa gak nyaman dan trauma.”
Reyhan sodorkan headsetnya pada Anggara dan juga handphonenya milik Anggara sendiri. Anggara tertegun, Reyhan bisa membaca pikiran Anggara dan hati Anggara. Dengan senyuman simpel serta anggukan kepala, Anggara menerimanya kemudian segera menancapkan kabel headset Reyhan pada ujung lubang bawah di handphonenya. Ia menyalakan lagu favoritnya dan akan mulai menaikkan volumenya.
“Kerasin aja kalau lo perlu, Ngga.”
Anggara mengangguk lalu mengeraskan volume hingga mencapai angka 80 persen.
Anggara tekuk kedua lututnya, tangannya ia letakkan di atas kedua lututnya lalu tangan yang sudah menopang di atas kedua lutut, ia gunakan untuk sebagai bantal keningnya. Dengan pejaman mata, Anggara mendengarkan menikmati lagu yang telah ia setel.
“Nah dimulai ceritanya dong Neng, si Anggara kayaknya udah enak tuh dengerin musik di album lagunya.”
“Oke Rey aku mulai. Jadi begini, waktu kamu dirasuki anak buah raja Iblis itu, kamu megang senjata pisau yang tadi sudah hilang secara tiba-tiba itu.”
“Hah?! Aku buat apaan sama pisau keramat itu?!”
Freya menghela napasnya. “Untuk buat menusuk tangan kanan kiri Anggara. Kamu tusuk pisau itu pada tangan kanan kirinya Rey, sehingga buat Anggara gak bisa apa-apa gerakin kedua tangannya aja nggak mampu.”
“Innalilahi! Lumpuh, kah?!”
“Kayaknya begitu. Aku sama Jova gak tau pasti karena Anggara yang ngerasain bukan kita berdua.”
Reyhan meraup wajahnya gusar dan mengusap mukanya kasar, lagi-lagi ia membuat kesalahan yang fatal. Tetapi Reyhan tak bisa disalahkan karena waktu satu hari kemarin, raganya di pakai oleh setan anak buah raja Iblis penguasa alam gaib. Freya dan Jova yang melihat Reyhan stress merasakan kesalahan yang amat besar. Dua gadis itu segera mengusap punggung Reyhan bersamaan.
“Udah Rey, itu bukan salah kamu kok,” lembut Freya menenangkan Reyhan.
“Hm'em Rey, semua adalah kecelakaan dan semua itu bukan salahmu. Udah ya gak usah di pikirin lagi. Semua juga udah berlalu, kamu jangan khawatir sama Anggara juga.” Jova ikut menenangkan Reyhan yang kini Reyhan menundukkan kepalanya dengan memejamkan mata.
“Iya Rey, meskipun waktu itu kamu menusuk pisau itu di tangan kanan kiri Anggara, di situ gak menimbulkan luka di tangan Anggara kok bahkan berdarah juga enggak.”
Reyhan membuka matanya cepat terdiam sebentar lalu menatap Freya serius. “Hah kok bisa? Bukannya kalau ditusuk pisau itu pasti berdarah terus ada lukanya?!”
“Namanya juga pisau gaib. Pisau itu menurutku bukan pisau sembarangan. Tapi ya, kamu juga sekarang udah tau kalau Anggara Indigo, pasti Anggara langsung tau semua dari kemarin tentang semua itu bahkan pisau keramat pengancam nyawa yang dah ilang misterius.”
Anggara masih termenung diam menikmati musik di album HP-nya dari melalui headset miliknya Reyhan, lagu favoritnya terbawa Anggara melupakan kejadian insiden mengerikan itu sementara waktu. Reyhan yang ingin menanyakan kondisi Anggara saat itu namun ada rasa ragu untuk bertanya.
Reyhan menatap Anggara terus menerus hingga tiba-tiba Anggara menegakkan badannya dan menyenderkan punggungnya balik. Anggara menatap Reyhan karena tahu Reyhan mau bertanya sesuatu padanya.
Disaat itulah juga Anggara mematikan musik ponselnya. “Lo mau nanya apa?”
'B-buset dah! Anak Indigo emang luar biasa ya ternyata, tau aja si Anggara gue mau tanya-tanya.'
“I-itu Ngga, eeee anu disaat waktu itu .. lo ngerasain saat ditusuk itu dua tangan lo itu rasanya lumpuh kah?”
Anggara mengangguk. “Kenapa lo bisa tau?”
Reyhan menganggukkan kepalanya dengan wajah tampang seriusnya. “Kata sahabat kecil lo, anggota tangan lo nggak bisa dibuat gerak.”
Anggara menatap Freya bersama mata yang ia sipitkan. “Mata kamu cukup tajam, ya. Padahal disaat itu kamu sama Jova di atas karena diperangkap dalam jeruji besi.”
“Itu aku fokus apa yang terjadi padamu Ngga, udah gak karuan aku ngeliat kamu yang di siksa abis-abisan gara-gara kamu hebat merebut kalung dari Cameron. Ya, walau itu bukan jati diri Cameron sih. Tapi kamu hampir aja meninggal karena anak buah raja Iblis dan raja Iblis itu.”
Anggara diam lagi tak menjawab apapun lagi dari Freya. Intinya itu adalah trauma yang pernah Anggara alami.
“Ngga, pokoknya gue maaf banget sama lu ya Ngga! Maaf banget udah buat lo trauma gede soal peristiwa itu. Dan terutama itu gue yang bego udah ngajak kalian liburan Camping di hutan itu. Gue gak tau kalau itu bakal datengin malapetaka buat kita semua termasuk elo, Anggara.”
“Gue udah gakpapa, Rey. Sakit gue juga udah lumayan .. nantinya juga pulih bener. Dan lagi, lo jangan salahin diri lo sendiri lagi. Semua bukan salah lo.”
Setelah mengatakan kata itu, Anggara diam kembali dengan kepala menunduk. Wajahnya tak terlepas dari murungnya dan hati yang selalu terpuruk. Freya mengerti perasaan Anggara seperti apa hari ini. Dengan lembut, Freya menggenggam telapak tangan Anggara hingga Anggara melirik telapak tangannya yang di genggam tangan mungil putihnya Freya.
“Ngga, kita minta tolong ya .. lepasin semua masa lalu-mu yang buat diri kamu terpuruk sedih begini. Aku tau masa lalu yang dulu kamu hadapi begitu kelam, tetapi semua udah terlewati Ngga. Kamu gak perlu lagi memikirkan mereka yang udah nyakitin kamu dulu.”
“Betul Ngga, biarin mereka dapet balasan karma karena udah melukai hatimu. Lagian kamu juga gak mungkin ketemu mereka lagi bahkan buat inget wajahnya juga udah gak bisa. Wajah SD sampe SMA face-nya udah beda banget ya kan, jadi mereka kalau pas-pasan ketemu kamu mereka gak tau siapa kamu.”
“Yeah of true Ngga, apalagi muka ganteng lo ini pasti buat mereka iri hahahaha. Sans and calm bro, hidup lo ini udah kehidupan yang baru. Dihadapan lo sekarang adalah tiga sahabat lo ini, sahabat yang selalu ngasih hiburan, beri motivasi kuat, and dukungan bersama. Inget Ngga, masih ada kita bertiga disini. Kami bertiga akan selalu ada untuk lo selama-lamanya, oke?”
Anggara terharu pada semua ucapan motivasi ketiga sahabat terbaiknya untuk Anggara. Perlahan dan perlahan Anggara mengukir senyuman lebar bersama anggukan kepala. Anggara tak salah pilih sahabat, merekalah yang bisa Anggara percayai untuk selamanya.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Di siang hari keempat remaja SMA tersebut masih berada di dalam kamar, menyibukkan diri dengan hal asyiknya masing-masing. Anggara mendengarkan musik seperti biasa, Freya membaca buku novel yang satu minggu lalu ia membelinya di gramedia mall Jakarta, Jova membaca novel tepatnya berada di aplikasi handphonenya, dan terakhir Reyhan berkutat mencari artikel-artikel teraktual di Internet Google-nya.
Keadaan rumah pak Amir sedang tengah sangat sepi, tak ada suara apapun di luar kamar. Senyap hening cipta. Pintu kamar yang Reyhan tadi buka, kini Reyhan mencondongkan sedikit badannya ke depan dan celingak-celinguk menatap luar kamar, sampai akhirnya Anggara yang bersenandung menghayati lagu terhenti melihat Reyhan yang sibuk layaknya mencari seseorang.
“Ngapain lo celingak-celinguk begitu?”
“Berisik dah! Gue lagi memastikan di rumah ini aman, kayaknya dari tadi gue gak ngeliat beliau.” Reyhan menjawab dan ditanggap Anggara dengan hela napas.
Kemudian Reyhan menoleh ke arah Anggara yang bungkam mulut. “Eh Ngga, gue boleh minta lagu lo yang Barat itu kagak?”
“Lagu Barat apa?”
“Hehehe, lagu yang kemarin yang pas di dalem mobil lo itu.”
“Oh, lagu barat yang rilis 2003 itu? Say It Isn't So yang vokalisnya Gareth Gates?”
“Nah iya bener banget, Ngga! Minta, dong.”
Anggara melepaskan headset Reyhan dan melepaskan juga kabel headset-nya dari ponselnya. Dengan santai, Anggara memberikan HP-nya pada Reyhan. “Nih nyalain aja bluetooth-nya. Lagu yang lo suka selain lagu itu lo boleh ambil juga.”
“Wiihh hati lo sungguh malaikat banget, Ngga! Thanks banget ye!”
“Hmm. Oke.”
“Lihat deh sifatmu Ngga, watak baik hati kamu yang gak pelit, bisa-bisanya mereka jahatin kamu coba. Sumpah bener hati mereka semua buta!”
Dari luar kamar, terdengar seseorang menutup pintu rumah dan akan mendatangi kamar. Mereka berempat terdiam waspada kalau itu jangan-jangan orang penjahat. Salah memperkirakan, ternyata itu adalah pak Amir yang mengenakan setelan kemeja batik-batik rapi.
“Eh Anggara? Udah bangun toh kamu Nak?!”
Anggara hanya tersenyum sambil menundukkan kepalanya menyapa sopan dengan gerakan tubuh. Pak Amir menghampiri Anggara dan duduk di pinggir kasur senyuman ramahnya dari beliau membuat Anggara merasa nyaman dan lebih tepat bisa membaca auranya pak Amir yang begitu bersih tak ada suatu kegelapan di sana.
“Gimana keadaanmu sekarang Nak, udah baik-baik aja?”
“Alhamdulillah Pak, saya merasakan sudah lebih baik. Sebelumnya, saya mau minta maaf atas saya yang sudah merepotkan Bapak dan pak Burhan.”
“Ya ampun Nak, gak apa-apa kok, malah justru bapak seneng banget bisa bantu dan menyembuhkan kamu disini. kemarin kamu demam, tapi di sore hari itu demam kamu turun Alhamdulillah sekali ya, Nak.”
“Oh iya Pak, di rumahnya Pak Amir ini selalu sepi ya? Keluarganya Pak Amir ada kesibukan tersendiri?” tanya Jova.
Pak Amir terdiam dengan menundukkan kepala, Anggara menyadari kalau pak Amir kali ini wajahnya murung dan sedih. Pak Amir beranjak dari kasur lalu mengambil satu bingkai foto keluarga lalu duduk kembali di pinggir kasur, keempat remaja SMA tersebut mendekati pak Amir untuk melihat foto keluarga yang bahagia itu. Satu wanita berumur 30-an beserta dua anak lelaki antara berumur 12 tahun dan 16 tahun.
“Ini istri anak-anak Bapak yang sudah lama menjadi Almarhum dan Almarhumah.”
DEG !
“A-almarhum dan Almarhumah? Ya Allah berarti istri dan anak Bapak sudah meninggal dunia?!” terkejut Freya tak menyangka.
“Iya Freya. Istri bapak yang berumur tiga puluhan tahun dan dua anak laki-laki bapak yang baru sekolah SMP dan SMA, umur mereka berdua dua belas tahun dan satunya umurnya enam belas tahun.”
“Oh iya. Kalau Bapak boleh tahu, kalian umur berapa dan kelas berapa saat ini?” Pak Amir sengaja mengalihkan topik agar beliau tak terlarut dalam kesedihannya.
“Kami sama-sama kelas sebelas IPA dua Pak, dan umur kami tujuh belas tahun. kalau Bapak ingin tau sekolah kami berempat ada dimana, sekolah kami ada di gedung SMA Galaxy Admara kota Jakarta,” jelas Reyhan.
“Wah kalian bersekolah disana?! Bapak gak nyangka loh kalian bersekolah disana, gedung SMA itu terkenal paling elit.”
“Iya Pak dan pemilik sekolah itu adalah tuan Ansel Hadley yang sekarang berada di negara Inggris kantor perusahaannya dan ditemani bersama teman karib sekretarisnya pak Ansel,” jelas Freya detail.
“Wah kamu tau banyak ya Frey, anaknya bernama Alex Rosefel, kan.”
“Ya Pak, selama pak Ansel berada di Negara Inggris, sekolah elit itu jadi pemegangnya Alex sekaligus Alex dipilih menjadi sebagai ketua OSIS di kelas sebelas yang beda jurusan kelas dari kami berempat.”
Wajah Reyhan terlihat tak menampilkan ekspresi apapun melainkan datar, nadanya terdengar dingin tak seperti biasanya yang penuh nada ramah slow dan dramatisnya.
“Oalah gitu toh tapi kenapa nadamu terdengar dingin gitu Rey, mana tuh nada santai ramah kamu hehehe. Oh kamu lagi ada masalah ya sama si Alex?”
Reyhan memalingkan wajahnya dengan mendengus. “Setiap hari, Pak. Dia selalu membuat perkara.”
“Memangnya ada masalah apa kamu sama dia?”
“Eeee, bukan apa-apa kok, Pak. Bukan masalah besar.”
“Hmmm gitu ya, yaudah. Oh iya Bapak mau tanya nih, berarti kalau sekolah SMA kalian ada di kota Jakarta berarti kalian anak asal Jakarta juga?”
“Ahahaha iya pak asal kami di kota Jakarta,” jawab Jova tertawa garing.
“Waduh lah?! kalian jauh-jauh dateng ke Bogor karena apa?!”
“Berlibur camping di hutan Bogor, Pak.”
“Ya Allah Anggara, jadi kalian tuh di sana Camping toh.”
“Iya Pak tapi kita camping-nya di pertengahan hutan saja kok Pak, gak jauh-jauh banget. Memangnya kenapa ya Pak kalau kita camping di hutan itu? Padahal juga itu hutan ternama.” Jova bertanya dengan penuh hati-hati.
“Begini, sebenarnya kalian diperbolehkan untuk mengunjungi hutan itu tetapi kalian dilarang pergi sampai puncaknya. Alasannya karena di puncak hutan Bogor itu batasan wilayah setan-setan.”
DEG !
“B-batasan wilayah setan-setan???!!!” teriak nada tinggi kompak Freya, Jova, dan Reyhan sedangkan Anggara hanya terdiam terkejut, perasaan ia dari awal masuk di gang hutan itu memang aneh apalagi disaat ia berjalan-jalan dengan Reyhan di ujung hutan tersebut gelap penuh mistis mengerikan.
“Jika kalian melanggar melewati wilayah para gentayangannya semua setan-setan arwah-arwah disana, kalian akan menjadi korban jiwa, di hidup kalian akan dibuat sengsara dan menderita kalau nggak segera pergi dari batasan itu.”
Mereka lebih terkejut apa yang diucapkan pak Amir mengenai puncak hutan Bogor itu. Anggara memutar otaknya dimana saat ia dan sahabat-sahabatnya mendengar suatu teriakan wanita dan pria hingga ia serta para sahabatnya mengharuskan mencarinya karena rasa penasaran mereka sangat tinggi. Anggara berpikir, apakah ia dan ketiga sahabatnya berjalan mencari dua suara itu sampai menuju puncak hutan? Tapi sepertinya tidak mungkin, pertengahan hutan sampai dengan puncak saja, membutuhkan waktu berjam-jam untuk sampai di tujuan puncaknya.
Anggara melihat jam waktu di HP-nya sekarang terlihat pukul jam 13.00
'Waktu itu, satu hari kemarin tepatnya tengah malem, gue sama mereka bertiga denger suara teriakan itu terus nyari cuma memakan lima puluh menit doang kan, gak mungkin gue sama mereka bertiga pada nyari sampe puncak hutan. Tapi, waktu itu kami aja di kirim ke alam gaib.'
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Malam hari pukul 19.00 keempat para remaja tersebut berkemas-kemas memasuki barang-barangnya ke dalam tas begitupun handuk masing-masing. Saat tangan Anggara tengah bertugas memasuki barang-barang bawaannya, tersirat lagi oleh tentang hutan Bogor ternama itu cerita tadi pak Amir. Anggara ingin memberi tahu pada kesemua teman-temannya di sekolah tetapi ia takut kesemua teman kelasnya tak percaya hal-hal begituan terkecuali Reyhan, Freya, Jova.
“Anggara? Freya? Jova? Reyhan?” panggil pak Amir.
“Iya, Pak?”
Seusai menjawab panggilan pak Amir bersamaan, Anggara, Freya, Jova, serta Reyhan membalikkan tubuhnya menghadap pak Amir yang ada di belakang mereka.
“Bapak minta tolong ya sama kalian, mohon sebarkan tentang hutan itu pada kesemua temen dan juga orang yang kalian kenal. Agar mereka semua tak asal mengambil jalan yang berujung malapetaka. Bapak tak ingin ada korban jiwa lagi di sana.”
“Jadi udah ada korban jiwa ya, Pak?!” tanya Freya mata yang terbelalak.
“Betul Freya, ada beberapa yang menjadi korban jiwa di sana. Maka dari itu tetaplah berhati-hati jangan lupa berdoa, tetap inget ucapan bapak ya, jangan berani melanggar aturan yang sudah ada. Ucapan ini tak hanya Bapak saja, tapi banyak warga-warga komplek sini terutama orang-orang yang tinggal di dekat hutan Bogor.”
“Baik Pak terimakasih, kami akan pasti sesegera mungkin menyebarkan info tentang ini pada kesemua teman sekelas kami. Kami akan ingat ucapan Bapak, terimakasih sekali lagi ya Pak.” Anggara membungkukkan badannya sopan dengan senyuman simpel.
“Iya, sama-sama Anggara.”
“Makasih juga ya untuk kalian, Bapak kira kalian semua gak bakal percaya pada ucapan bapak yang di luar nalar seperti ini. Tapi ini beneran fakta tidak mitos, kok.”
“Iya-iya Pak, kami semua di sini percaya kok karena memang dari dasarnya, makhluk tak kasat mata itu nyata dan benar-benar ada. Tetapi ada sebagian orang yang nggak percaya takhayul-takhayul seperti cerita nyata Bapak tadi.”
Perkataan Reyhan yang seolah benar-benar sangat percaya pada peristiwa itu, membuat pak Amir tersenyum lembut. Pria umur 52 tahun itu menepuk pundak Reyhan halus serta senyuman lebar yang ia sungging.
“Pak, untuk yang bingkai foto tadi kami mohon maaf ya .. kami tidak tau kalau keluarganya pak Amir masih hidup ternyata sudah lama meninggal.”
“Gak apa-apa kok Freya, kalian semua juga nggak tau. Gak usah minta maaf juga, yasudah jika mau pulang, segeralah pulang karena nanti bisa kemalaman pulangnya.”
“Baik Pak. Kami terimakasih sangat pada pak Amir yang sudah mempersilahkan kami menginap disini kemarin. Sungguh maafkan kami atas kerepotannya.”
“Astaga Jova tidak apa-apa kok. Kalian dari tadi perasaan minta maaf mulu, padahal kalian gak ada salah apapun sama Bapak, loh.”
Keempat remaja itu cengengesan pada perkataan pak Amir. Anggara mendekat ke pak Amir lalu menggenggam tangannya dan menatapnya bersama senyuman ramahnya.
“Bapak tetap harus selalu tabah dan kuat. Bapak juga harus selalu tersenyum tidak boleh sedih, jika Bapak selalu tersenyum dan hilangkan kesedihan, pasti istri dan dua anak Bapak merasa bahagia di atas sana.”
Reyhan, Freya, dan Jova melongo pada motivasi yang Anggara berikan pada pak Amir untuk terus bertabah dan selalu kuat. Tetapi yang sampai mulutnya menganga lebar adalah Reyhan tingkatan lebay-nya sedang beraksi.
“Kami semua pamit pulang dulu ya Pak Amir, Assalamualaikum.”
“Iya, Waalaikumsalam Ngga.”
Anggara melepaskan genggamannya lalu menatap ketiga sahabatnya yang pikirannya terbaca kosong. Anggara mempunyai siasat jahilnya untuk pertama kalinya mengagetkan para sahabatnya yang dahulu ia merasa sangat tidak peduli mau sahabatnya melamun ia tinggalkan atau bahkan membiarkan daripada membuyarkan lamunannya.
Anggara menepuk kedua telapaknya kencang hingga menimbulkan suara yang mengagetkan ketiga sahabatnya sontak terbuyar akan lamunan para mereka.
“EH AYAM-AYAM!!!” lantang spontan ketiga sahabatnya
“Jangan melamun nanti kena sambet dedemit.” Anggara menenteng tas punggungnya melenggang melewati ketiga sahabatnya lalu keluar dari rumah pak Amir kemudian menekan tombol kunci mobilnya agar bisa di buka.
Pip !
Pip !
“Eh iya kami pulang dulu ya Pak. Assalamualaikum hehe!” salam mereka bertiga sedangkan Anggara sudah masuk di dalam mobilnya duduk di kursi kemudi.
“Hahaha iya Nak, Waalaikumsalam.”
Usai mereka bertiga masuk ke dalam mobil Anggara, Freya yang duduk di belakang membuka kaca mobil begitupun Anggara yang di kursi kemudinya. Pak Amir terlihat melambaikan tangannya dengan ringisan yang memperlihatkan deretan gigi atasnya. Anggara mengklaksonkan mobilnya seraya menatap pak Amir tersenyum lalu kembali menghadap depan pergi dari wilayah komplek tempat tinggal pak Amir.
Beberapa ratusan tancap gas dan melewati rumah-rumah para warga komplek, secara mendadak Anggara menepikan rem mobilnya hingga nyaris saja kening Reyhan terbentur oleh dasboard mobil. Anggara terdiam dan menatap jalan yang di penuhi kendaraan berlalu lalang.
“Apaan sih kamu Ngga, main asal rem-rem segala untung kita gak kenapa-napa. Kenapa sih kok malah berhenti? Kenapa ada yang kelupaan?”
“Iya. Aku nggak tau arahnya kemana buat jalan pulangnya, ambil jalan kiri atau kanan.”
“Heh calm cuy, ada pahlawan ganteng ini yang akan tunjukin alur jalannya untuk kita kembali ke kota Jakarta.”
Anggara menancapkan gas mobilnya kembali dan Reyhan mulai menunjukkan beberapa arah jalur yang harus mobil Anggara tempuh. Reyhan memberikan rute-rute jalan pada Anggara dengan detail tanpa bertele-tele sehingga Anggara mudah memahami setiap rute yang Reyhan arahkan.
Usai perjalanan jauh yang mobil Anggara tempuh, kini mobil Anggara sudah masuk ke daerah kota Jakarta. Anggara nampak terus fokus pada jalan di depannya.
“Anggara, lewat jalan Jiaulingga Mawar aja dah. Jalan sini rame nanti kena macet, kelamaan pula nanti kita nyampe rumah. Hehehe kalau di jalan Jiaulingga Mawar kan salah satu jalan pintas buat menghindar dari macet.”
“Ya, Untung lo ngomongnya gak telat soalnya ini kita baru melewati sekolahan SMA kita, tinggal ambil jalan kiri kita bakal lewat jalan Jiaulingga Mawar.”
“Mantul Ngga, gas kuy!”
Anggara membelokkan arah mobilnya pada jalur jalan ke kiri. Disitu beberapa kilometer perjalanan selanjutnya, kini mobil Anggara menelusuri sepinya jalan Jiaulingga Mawar yang bisa di bilang itu adalah jalan pintas yang terkenal amat sepi nan sunyi jarang di lewati banyak pejalan kaki maupun kendaraan.
Karena hari sudah malam, Anggara menyalakan lampu mobil bagian depannya. Ketiga sahabat Anggara terlihat menikmati perjalanan malam dengan bersandar di kursi masing-masing, sementara itu Anggara menajamkan matanya tetap fokus pada satu pandangan.
“Eh Anggara, karena lu sahabat kami yang Indigo .. jadi gue punya julukan spesial buat elo.”
“Julukan spesial apa?”
“Julukan spesialnya adalah ....”
“Six Sense.”
Freya dan Jova setuju dengan julukan Anggara yang diberi Reyhan. Julukan tersebut mendominasi kelebihan Anggara yang Anggara miliki. Freya dan Jova kagum pada nama julukan untuk Anggara yaitu Six Sense (Indera keenam).
“Wow julukan dari bahasa inggris dong, aku setuju banget Rey julukannya Anggara!” Mata Freya berbinar.
“Mantap Nyuk. Aku kali ini setuju banget. Pas banget buat Anggara yang seorang cowok Indigo, loh!”
Anggara yang menyetir, dalam hatinya setuju dengan julukan itu, julukan itu jarang sekali di gunakan orang-orang. Anggara mengangguk pelan beserta senyuman ekspresi setujunya.
“Boleh juga julukannya, keren.”
“Wah pada setuju dong! Oke mulai dari sekarang gue akan inget-inget julukan lo ya Ngga, karena entah napa juga kata julukan itu muncul di benak otak gue.”
“Oke.”
Hari malam yang penuh bintang-bintang cahaya di langit, jika jendela kaca mobil di buka pastinya udara malam terasa sejuk sangat. Anggara kembali memfokuskan matanya ke pandangan depan di imbuh senda gurau tawa bersama dengan sahabat-sahabatnya.
Hati Anggara seakan-akan sembuh sedikit demi sedikit, karena berkat kesemua sahabatnya yang memotivasi hidup Anggara dari kekang masa lalu kelamnya. Kehidupan Anggara sudah baru, hidup yang di dampingi orang yang ia sayangi. Tak ada ragu di lubuk hati Anggara untuk mempercayai segala ucapan yang ketiga sahabat ia lontarkan tentang motivasi yang mereka berikan untuk Anggara bangkit dan berusaha move on.
INDIGO To Be Continued ›››
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments