Di sebuah rumah pak Amir tepatnya di dalam kamar, terlihat Anggara sudah dibaringkan ke kasur yang empuk tersebut. Kondisi saat ini Anggara masih belum sadarkan diri. Wajahnya begitu sangat pucat dan mata tertutup tenang.
Ketiga sahabat Anggara tengah duduk di pinggir kasur menunggu kesadaran dari Anggara yang telah pingsan kembali. Tibalah pak Amir datang masuk ke dalam kamar menghampiri ketiga remaja itu yang wajahnya gundah akan Anggara.
“Anggara belum sadar juga ya, Nak?”
“Belum Pak, sama sekali belum ada tanda-tandanya,” jawab Reyhan tanpa menatap pak Amir.
Pak Amir berdiri di samping Anggara lalu menyentuh kening Anggara yang ternyata suhu tubuh Anggara naik atau demam. Pak Amir juga memegang tangan Anggara yang sangat lemas. Pak Amir bisa mengetahui Anggara kini keadaannya sangat lemah.
Reyhan melihat gerak-gerik pak Amir yang layaknya seorang dokter, tetapi Reyhan tak tahu pasti pak Amir adalah dokter atau bukan apalagi pak Amir penjaga hutan bogor yang bersama pak Burhan si temannya pak Amir.
“Kalian bertiga tunggu dulu disini ya, Bapak mau ambil kain kompres sama air baskom dulu .. soalnya temen kalian ini sekarang malah demam.”
“Baik Pak, maaf merepotkan,” tutur ucap Freya canggung.
“Gakpapa Freya, tunggu sebentar ya.”
Pak Amir melenggang pergi dari kamar lalu mengambil alat benda untuk menurunkan suhu badan Anggara yang panas. Setelah mengambilnya, pak Amir kembali dengan membawa kain kompres dan baskom berisi air hangat. Beliau meletakkan baskom tersebut di nakas sebelah tempat tidur, usai itu mencelupkan kain kompres ke dalam baskom dan memerasnya. Lantas, kain kompres yang telah hangat pak Amir menyingkap rambut hitam Anggara yang menutupi seluruh jidatnya lalu kain kompres itu beliau tempelkan di kening Anggara.
“Pak, padahal tadinya tubuh sahabat kami, agak dingin tapi kenapa sekarang malah jadi panas?” tanya Jova.
“Tadi memang tubuhnya agak dingin ya, dan sekarang malah tubuh sahabat kalian menjadi panas. Bisa jadi karena suatu penyakit yang dimiliki Anggara.”
“Ah nggak Pak, Anggara nggak memiliki penyakit, dia sehat-sehat saja kok dan di keluarganya juga tidak ada yang mempunyai penyakit apapun,” jelas Freya.
“Hmmm, begitu ya .. tetapi hal ini kenapa bisa terjadi? Bahkan di pasien dulu Bapak tidak ada yang seperti sakitnya Anggara.”
“Tunggu-tunggu, pasien? Pak Amir ini dulunya dokter??”
“Waduh Bapak keceplosan deh, hehehe iya Bapak dulunya dokter di rumah sakit Kusuma kota Bogor sini, tapi sekarang bapak udah undur diri, Va.”
“Ooh gitu ya Pak. Pantesan aja ya Pak, Bapak langsung tangkas mengompres untuk menurunkan demam sahabat kami.”
“Iya Reyhan. Oh iya sebentar lagi kan jam makan siang nih, nah Bapak mau masakin makanan siang dulu ya untuk kalian bertiga.”
“Eh aduh gak usah Pak! Kami makan cemilan saja sudah cukup kok!” kompak Reyhan, Freya, Jova.
“Ya ampun tapi kan perutnya harus diisi sama nasi, percuma kan kalau cuman diisi sama cemilan doang. Udah jangan di tolak lagi, Bapak keluar dulu ya.. nanti kalau masakannya udah jadi, Bapak panggilkan kalian.”
“Aduh rasanya ngerepotin banget Pak ...” Freya mengusap tengkuknya begitupun Jova dan Reyhan.
“Udah gak apa-apa, kasian perut kalian belum diberi asupan makan apalagi kalian makan-nya gak boleh telat, nanti bisa jadi sakit Mag.”
“Y-yaudah kalau begitu deh Pak, terimakasih banyak ya, Pak Amir.” Reyhan tersenyum mesem sambil rada membungkukkan badan.
“Iya, sama-sama Rey.”
Pak Amir kemudian keluar pergi ke dapur dan melaksanakan masaknya di dapur mewahnya serta rapi bersih. Di sisi lain, ketiga sahabat Anggara menatap Anggara sangat cemas, sudah lewat dua jam Anggara masih saja belum kunjung sadarkan diri. Reyhan menghembuskan napasnya kasar dan mengacak-acak rambut. Wajah Anggara terlalu pucat hela napas yang naik turun juga lambat.
“Freya, Jova? Selama aku gak sadar karena tubuhku dimasuki setan, apa aja yang terjadi sama Anggara? Tadi aja kayaknya si Anggara sampe luka dalem di dadanya.”
Jova menolehkan pandangan Anggara ke Reyhan. “Tadi disaat ragamu dirasuki anak buah Iblis, kamu ngasih pelajaran sadis buat Anggara. Nih, aku jelasin kenapa kamu ngasih pelajaran sadis buat Anggara. Waktu sebelum kamu dateng ke ruangan serem itu yang buat ngelakuin semacam ritual tumbal, aku sama Freya udah liat kondisi Anggara udah kek di pasung gitu.”
“Di pasung??!!”
“Hm'em. Intinya Anggara di pasung untuk ritual tumbal Iblis itu. Huh, hampir aja Anggara mau dijadiin tumbal yang diiringi lagu merinding itu. Ya, itu berkatnya si Freya yang suruh hentikan lagu yang diiringi anak-anak buah Raja Iblis itu.”
Reyhan menoleh wajahnya ke Freya dengan penuh takjub. “Wow, kamu pemberani juga ya.”
Freya tersenyum lalu mulai menceritakan apa yang Reyhan lakukan pada Anggara sewaktu masih ada di Kastil, meskipun bukan dirinyalah yang melakukan tetapi anak buah raja Iblis itu yang merasuki raga Reyhan. Reyhan yang mendengarkan penuturan Freya sampai meringis.
“Secara nyata aku terlalu sadis, bahkan sampai menghajar Anggara.”
“Jadi ini yang buat Anggara sampai lemah kayak gini? Bodoh! Harusnya aku gak takut sama mereka, dan punya pikiran buat lepasin diri!”
“Aku juga baru pertama kali ini ngeliat Anggara mengorbankan diri demi kita-kita. Untung cuman pingsan, belum mati ...” Reyhan menghela napasnya kemudian.
“Reyhan, Freya, Jova ayo sini makan dulu, masakannya udah mateng.” Tiba-tiba pak Amir celetuk dari ambang pintu yang membuat ketiga remaja tersebut sedikit terperanjat.
“E-eh iya Pak,” ucap ketiga remaja bersamaan dengan senyuman nyengir.
“Anggara-nya di tinggal dulu, kalian bertiga lebih baik makan terlebih dahulu biar perutnya terisi,” titah pak Amir dengan senyuman lembut nan ramah.
Ketiga remaja SMA itu hanya tersenyum lalu beranjak dari pinggir kasur lalu keluar dari kamar membuntuti pak Amir di belakang beliau menuju meja makan. Ruangan dalam rumah pak Amir sangatlah luas banyak juga terdapat pigura-pigura foto yang menurut ketiga remaja itu adalah keluarganya pak Amir.
Mereka akhirnya sampai di meja makan yang di atas meja banyak sekali lauk-lauk yang masih hangat dan begitu menggugah selera. Aroma khas masakan Koki andalan, menyeruak ke penciuman hidung para ketiga remaja SMA tersebut. Mereka bertiga di persilahkan duduk di kursi meja makan oleh sang pak Amir.
“Ayo, silahkan di makan. Makan yang banyak, ya sampai kenyang.”
“Terimakasih banyak Pak Amir.”
“Iya, sama-sama, Nak.”
Usai menuntaskan kegiatan makan siang dan meneguk segelas air putih yang sudah di sediakan pak Amir, Freya, Jova dan Reyhan memutuskan untuk beranjak dari kursi lalu menuju ke kamar, dimana Anggara dibaringkan oleh pak Amir dan pak Burhan sebelumnya.
Tiga sahabat Anggara masuk ke dalam kamar tersebut lalu duduk di pinggir kasur kembali. Freya yang berada di depan Anggara, menyentuh telapak kaki Anggara yang masih terasa panas. Awal Anggara pingsan jam pukul 08.00 dan sampai sekarang jam pukul 12.35 Anggara tetap senantiasa menutup mata. Matahari memancar menyinari wajah tampan Anggara, cahaya matahari tersebut yang masuk ke dalam jendela dan menerpa wajah Anggara, tak sedikitpun Anggara bergerak dan bangun dari pingsan.
“Hmmm, gue tau deh cara bangunin Anggara dari semaputnya.” Reyhan mengulurkan tangannya lalu jari telunjuknya menggelitik satu telapak kaki Anggara, namun meskipun sudah di gelitiki oleh Reyhan Anggara tetap tidak merespon sama sekali dan tak ada pergerakan sedikitpun hanya hela napasnya saja yang naik turun lambat.
“Yaelah, bangun dong, Ngga ...”
Handphone Jova bergetar menandakan ada sebuah notifikasi WhatsApp. Jova membuka layar handphonenya yang menggunakan pola lalu memencet aplikasi tersebut siapa yang mengirim chat di ponsel Jova.
...----------------...
...MAMA TERCINTA...
[Mama Tercinta]
Jova, Nak kamu kapan pulang?
^^^Belum tau sih Ma pulang kapan hehehe..^^^
[Mama Tercinta]
Hmmm yaudah di sana gak boleh lama" loh ya Nak
^^^Siap Mamaku Sayang^^^
[Mama Tercinta]
Yaudah nikmati hari kesenanganmu sama sahabat" mu ya Nak
^^^Iya Ma. Mama pokoknya tenang aja, Jova pasti bakal pulang kok^^^
[Mama Tercinta]
Iya Sayang
^^^Yaudah Ma, Jova mau off dulu ya hehe^^^
[Mama Tercinta]
Oke Nak
^^^I love you Mom^^^
[Mama Tercinta]
I love you too dear
...----------------...
Jova yang tersenyum sumringah merekah di wajahnya, mematikan ponselnya kembali dan memasukan ponselnya ke dalam saku celana jeans navy panjangnya. Senyuman lebar Jova menjadi pusat perhatian pada Reyhan dan Freya.
“Hayo abis chattingan sama siapa? Pacar yak, eaaaa!”
“Kamu napa heboh amat sih Rey! Aku tuh abis di chat mamaku tau!”
“Oh mamamu, mamamu chat apa sama kamu, Va?” tanya Freya menghadap ke arah Jova.
“Cuma nanya kapan pulangnya, aku ya jawabnya belum tau. Aku gak mungkin langsung jawab yang sebetulnya, mamaku pasti berpikir kalau aku cuma mimpi, karena mamaku apalagi papaku gak percaya mistis-mistis gitu.”
Freya dan Reyhan saling mengangguk mengerti maksud dari Jova yang menjelaskan. Di kamar, mereka setia menunggu Anggara sampai sadar dari ketidaksadarannya yang sangat begitu lama.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Langit biru siang kini berubah menjadi langit jingga di sore hari. Sungguh menghawatirkan kali ini, belum ada pergerakan dari Anggara sama sekali.
Pak Amir yang sedari tadi sesudah tuntas makan siang bersama ketiga remaja tersebut, kini datang ke kamar menghampiri tiga sahabat Anggara yang mengayunkan kedua kakinya gelisah pada kondisi Anggara yang belum sadarkan diri sejauh ini apalagi yang membuat para sahabat Anggara bimbang di wajah Anggara terlihat masih pucat.
Pak Amir menatap Anggara gundah. “Anggara juga belum sadar-sadar, ya?”
“Iya Pak .. dan ini sudah sangat sore sebentar lagi maghrib datang,” jawab Freya lirih nada lara.
Pak Amir mengangguk lalu beralih berjalan ke samping Anggara yang lemah tak sadarkan diri. Pak Amir menyentuh pipi kanan Anggara mengecek apakah masih panas atau sudah mendingan.
Pak Amir sedikit lega, rupanya suhu tubuh Anggara telah mendingan tak seperti tadi yang sangat panas. Tetapi walaupun demam Anggara telah turun, wajah pucat-nya belum menghilang. Pak Amir melepas kain kompres yang tadi siang beliau tempelkan kain kompres tersebut di kening Anggara. Pak Amir meletakkan kain itu ke dalam baskom lalu segera membawanya keluar.
“Bapak keluar dulu, ya.”
“Iya Pak,” respon Reyhan sopan.
Sahabat-sahabat Anggara langsung mengerti bahwa demam Anggara telah turun. Mereka bertiga sedikit senang meski begitu sama-sama di lubuk hati mereka, masih ada kesedihan karena Anggara sahabat mereka yang mengorbankan dirinya tak kunjung segera bangun.
Seiring berjalannya jam, Anggara juga masih belum ada pergerakan membuka matanya. Ini adalah malam hari pukul 19.00
Freya beranjak dari kasur dan menopang kedua kaki lututnya di lantai, tangan lembut mungil Freya mengangkat tangan Anggara dan menggenggamnya bersama kedua tangannya. Lantas, Freya menatap wajah damai pucat Anggara. Demi sedikit air mata mengalir pelan dan menetes ke kasur di saat telah di ujung dagunya Freya.
“Ngga, bangun dong .. masa kamu mau lebih lama pingsannya sih. Kita bertiga sedari tadi pagi nungguin kamu bangun loh sampe sekarang ini. Ayo dong buka matamu,” pinta Freya.
Siapa sih yang tak bakal sedih melihat sahabat masa kecilnya lemah tak sadarkan diri sejak tadi pagi? Pastinya sangat sedih contohnya adalah Freya Septiara Anesha.
Jova dan Reyhan menatap Freya yang nampak saat ini kacau hatinya, Reyhan serta Jova menunduk dengan menghela napasnya serta memejamkan matanya.
Jendela kamar yang masih terbuka lebar, membuat angin berjaya menembus masuk menusuk para kulit keempat remaja tersebut, namun Anggara tak merasakan kedinginan yang merasakan kedinginan hanya ialah ketiga sahabatnya. Hembusan angin kencang itu hingga rambut hitam Anggara tertiup sepoi-sepoi oleh angin malam tersebut.
Jova Reyhan yang duduk di pinggir kasur cekatan memeluk tubuhnya masing-masing saking dinginnya. Tak hanya angin saja yang terdengar berhembus-hembus tetapi juga disertakan petir kilat menggelegar hingga langit malam tersebut bercahaya karena petir kilat itu. Reyhan melihat ke jendela dan terkejutnya ia melihat Petir Intracloud (Petir di dalam awan).
“Wuanjir, jantung gue mau copot! Itu petir gede amat dah?! Kalau gue di luar fix kena samberan maut petir nih!”
“Petir apaan yang gede banget?” tanya Jova yang tak ikut melihat petir yang ada di langit.
“Petir Intracloud.”
“Hah, petir Intracloud? Kok baru denger dah? Petir apaan tuh?”
“Petir yang ada di dalem awan Va, makanya sering baca artikel-artikel di Internet .. biar tau segala jenis petir ada apa aja.”
“Males buka.”
“Huh, yaudah dah serah kamu aja.”
Setelah petir Intracloud muncul, sekarang cuaca ini di campur oleh rintik-rintik air yang jatuh ke permukaan bumi. Rintik air hujan tersebut menjadi makin banyak yang artinya hujan deras mengguyur seluruh kota Bogor termasuk rumah pak Amir dan atap rumahnya yang anti bocor. Reyhan beranjak dari kasur lalu segera menutup jendela rapat-rapat agar angin dan hujan tak masuk ke dalam kamar.
Freya yang tak ingin sahabat kecilnya kedinginan, segera mengambil selimut tebal yang terlipat lalu menyibaknya untuk menyelimuti Anggara hingga menutupi badannya agar Anggara tak kedinginan meskipun pemuda yang tak sadarkan diri itu tak terlepas dari jaketnya.
“Nah, kalau gini kan kamu gak bakal kedinginan.”
“Oh my god so sweet !!”
“Apaan sih, udah malem tutup mulutmu .. suara kamu kenceng banget tau. Kasian Anggara yang pingsan.”
Reyhan tertegun amat tertegun mendengar baru pertama kali, Freya mengomelinya hanya ia saja. Biasanya Freya selalu mengomel pada Anggara yang sifatnya terkadang menyebalkan di watak cueknya.
“Oke-oke.” Reyhan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan sambil mengangguk antusias.
Pak Amir datang kembali dan berdiri di ambang pintu. “Nak, karena ini hujan deres terus juga sahabat kalian belum sadar, lebih baik kalian menginap dulu di sini untuk sementara.”
“Oh iya Pak kalau begitu .. maaf udah banyak merepotkan Bapak,” ucapnya Jova kikuk.
“Enggak kok, Nak. Mulai nanti kalau mau tidur, Freya sama Jova tidur di kamar atas saja, ya.”
“Eh aduh nggak usah Pak, kami berdua tidur di lantai sini saja,” tolak Freya.
“Duh, kok tidur di lantai sih? Lantai kan dingin banget nanti kalian berdua bisa masuk angin loh, udah gakpapa kalian berdua tidur di kamar atas saja ya. Atau mau tidur langsung saja? Biar Bapak antarkan ke kamar atas.”
Freya dan Jova saling melempar pandangannya lalu mengangguk secara bersama. “Iya saja, Pak.”
“Hujan deras seperti ini buat kami berdua ngantuk hehehe,” cengir Freya.
“Sip, ayo sini Bapak anter- eh kalau Reyhan mau tidur dimana?”
“Saya tidur di sini saja, Pak. Saya juga harus jaga Anggara kalau semisalnya dia bangun dan butuh apa-apa.”
“Oh, yaudah kalau begitu Nak. Ayo Frey, Va.”
“Iya Pak,” serempak dua gadis itu.
Freya dan Jova menenteng tas punggungnya lalu berpamitan pada Reyhan di balas anggukan senyum oleh Reyhan. Mereka bertiga keluar dari kamar, pak Amir menutup pintu kamar tersebut. Reyhan meregangkan ototnya karena badannya telah pegal-pegal dan harus di istirahatkan untuk tidur.
Reyhan melepas tali sepatunya yang terikat lalu kemudian setelah melepaskan kedua sepatunya dan kaus kaki grey yang ia kenakan. Reyhan naik ke kasur spring bed yang menimbulkan bunyi saat Reyhan merangkak ke bantal samping Anggara yang tak sadarkan diri. Reyhan merebahkan tubuhnya dengan benar, tak berapa lama kemudian karena suasana dingin mata Reyhan memberat dan menutup lalu tidur bersiap menjumpai mimpi barunya.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Suara ayam berkokok mengusik telinga Reyhan lalu membuat ia bangun dari tidurnya, ia sandarkan punggungnya ke kepala ranjang mengumpulkan nyawanya. Ia mengucek-kucek kedua matanya lalu menguap karena masih mengantuk.
Reyhan melihat ke arah jendela di luar sudah pagi, segera itu Reyhan turun dari kasur untuk membuka jendela yang semalam ia tutup. Udara di pagi hari ini sangat nikmat untuk di hirup dalam-dalam. Reyhan berbalik badan mendekati pintu membuka gagang pintu.
Cklek !
Di luar masih sepi sunyi, sepertinya pak Amir masih tidur di kamarnya. Reyhan menolehkan badannya ke belakang mendapati Anggara masih sama seperti kemarin, Reyhan menghela napasnya panjang lalu melangkah duduk di pinggir kasur Spring Bed. Namun wajah Anggara yang sebelumnya terlihat pucat kini sekarang lumayan tidak. Baru saja membuka ponselnya untuk melihat artikel-artikel di Internet, tiba-tiba Reyhan mendengar suara Anggara yang terbatuk-batuk tanpa mulut terbuka.
Reyhan meletakkan ponselnya di sampingnya begitu saja, lalu menggeser posisi tempatnya lalu menepuk-nepuk bahu Anggara. “Ngga? Lo udah bangun, kah?”
Usai batuk beberapa kali, hari yang sangat di tunggu Reyhan telah tiba. Anggara membuka matanya lemah, Reyhan terharu senang sekali melihat sahabatnya telah membuka matanya yang kemarin menutup. Pandangan Anggara masih blur tak jelas dan samar-samar Anggara mendengar suara seorang pemuda yang menyebut namanya.
Lima menit kemudian, Anggara bisa melihat pandangannya dengan jelas. Dinding berwarna biru. Anggara melihat dinding atas tersebut hingga ada seorang yang ia kenal menatap wajahnya sambil menyentuh pipi Anggara.
“Anggara, Alhamdulillah lo udah sadar.”
Mulut Anggara yang terbungkam perlahan terbuka dan menyebut nama Reyhan dengan sangat lemah. “Reyhan ....”
“Akh, sssshh!”
Tangan Anggara terangkat menyentuh kepalanya yang sakitnya kembali menerjang. Anggara yang perlahan hendak duduk, di bantu oleh Reyhan dan menyandarkan punggung Anggara di kepala ranjang. Reyhan memegang kedua bahu Anggara dengan menatapnya sungguh-sungguh.
“Duh, masih sakit ya kepalanya!? Mana lagi yang sakit selain kepala?!”
Reyhan terus menghujani banyak pertanyaan nada khawatir pada Anggara yang di respon Anggara nada lemah.
“Kepala gue dah Lumayan kok ....”
Reyhan mengembuskan napasnya di keadaan kepala ia tundukkan. “Huft, Alhamdulillah deh kalau udah lumayan.”
“Kalau lo tanya ini ada dimana, lo ada di rumahnya pak Amir .. kemarin pas lo pingsan di hutan Bogor, lo langsung di bawa ke sini.”
Mulut bibir setengah pucat Anggara yang kembali bungkam, ia buka perlahan akan menjawab Reyhan. Tapi baru saja satu kata keluar dari mulutnya menjadi terpotong karena kehadiran Freya dan Jova yang telah bangun dari tidurnya. Freya melongo dengan mata terkejut, hatinya sangat gembira melihat Anggara telah sadar dari pingsan satu harinya. Anggara menolehkan kepalanya menatap Freya lalu tersenyum tipis kedatangan Freya serta Jova yang ekspresinya sama persis Freya.
Freya berlari lalu reflek memeluk Anggara dengan erat. Anggara yang di peluk tersontak kaget karena baru pertama kali ini ia di peluk sahabat kecilnya sendiri.
“Hihi! Aku seneng banget kamu udah sadar, Nggaaa!”
Anggara tersenyum lalu mengusap punggung mungil Freya yang memakai kardigan ungu lavender. Anggara mengusap lembut punggung sahabat kecil polosnya bersama satu tangannya.
Freya melepaskan pelukannya dari tubuh Anggara lalu mengerucutkan bibirnya. “Ngga, kamu kenapa sih hobi banget bikin kita bertiga khawatir? Aku aja sampe takut, loh kamu gak baik-baik aja.”
Dari raut wajah cantik Freya serta suara cicitnya menampakkan dan terdengar begitu risau pada Anggara. Anggara meraih pucuk kepala Freya lalu mengusapnya hangat.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Ketiga sahabat Anggara yang diam memainkan ponselnya sedangkan Anggara menutup matanya santai. Di keheningan cipta kamar tidur kini di pecahkan oleh Reyhan yang memulai pembicaraan pada Anggara.
“Anggara. Gue mau nanya sesuatu?”
Anggara membuka matanya. “Tanya apa?”
“Kenapa lo sembunyiin tentang Indigo yang lo punya dari kita bertiga?”
DEG !
Ucapan Reyhan yang to the point membuat darah Anggara berdesir dan detak jantung Anggara berdegup sangat kencang. Lidah terasa kelu untuk menjawab pertanyaan Reyhan yang membuat Anggara terkesiap. Anggara menelan ludahnya dengan mulut terbungkam. Bibir Anggara bergetar begitupun kedua tangannya mengepal kuat di kasur.
Belum saatnya kesemua sahabatnya mengetahui tentang Indigo Anggara dan masa lalu suram Anggara. Keringat dingin mengucur dari kening pandangan nampak kosong.
“Eh anjir! Jangan ngelamun, Bro!”
“Harusnya kalian gak boleh tau kalau gue ini Indigo! Tapi kenapa waktu memberitahu kalian?!” Anggara menundukkan dengan wajah raut berantakan.
“Gak ada yang boleh tau tentang gue ...”
Reyhan melongo. “Maksudnya? Jadi selama ini lo pendem kelebihan lo dari kita bertiga? Kenapa, Ngga? Apa lo trauma? Trauma sesuatu yang buat lo jadi main rahasia-rahasia begini?!”
“Masa lalu ...”
“Eh? Masa lalu? Ehm, boleh ceritain nggak? Siapa tau bisa bantu kamu keluar dari masalah,” pinta Jova.
‘Anying, salah gak sih gue minta Anggara ceritain soal masa lalunya?!’
Anggara mengalihkan mukanya dari Jova, ia memikirkan bercerita atau tidak. Namun ucapan Jova tadi nampak mendorong Anggara untuk menceritakan kelam-kelamnya pada masa lampau. Anggara mengembuskan napasnya lambat lalu memejamkan mata sejenak.
“Kalau kamu merasa berat untuk ceritakan semua dan itu malah menjadi beban-mu, gak apa-apa kok Ngga, kita gak akan memaksamu buat bercerita,” tutur Freya lemah lembut.
Anggara membuka matanya lalu menatap Freya. “Kalau kalian memang ingin gue cerita dan itu membikin kalian jadi penasaran, oke gue bakal ceritakan semua. Mungkin ini saatnya kalian harus mengetahui lebih dalam tentang gue sebetulnya.”
Mata Freya berbinar. “Kamu beneran mau ceritain semuanya Ngga?!” tanya Freya memastikan ucapan dari Anggara.
“Iya.”
Anggara kembali menyenderkan punggungnya lalu menghela napasnya siap untuk menceritakan semua masa lalu tersuram yang paling ia miliki.
“Gue Indigo bukan akibat dari Koma, tapi karena berasal dari keturunan. Bokap nyokap. Sebenernya gue baru nyadar kalau gue mempunyai kelebihan itu disaat gue memasuki TK.”
Anggara sedikit menegakkan badannya untuk meneruskan dirinya bercerita, meskipun sebetulnya enggan namun untuk ketiga sahabatnya, ia akan menceritakannya.
“Kejadian dimulai mana saat gue bersekolah di salah satu SD yang bernama Bakti Siswa, bangunan sekolah yang banyak dipercayai kalau di sana sangat angker. Banyak arwah bergentayangan dimana-mana. Dan gue merasakan itu, di jenjang kenaikan kelas dua. Kalian pasti tau rasanya diganggu makhluk nggak kasat mata itu seperti apa, gue ngerti kalian gak bisa lihat tapi gue tau kalian bisa merasakannya.”
Reyhan, Freya, dan Jova saling melemparkan pandangan terperangah karena Anggara tahu semuanya. Sudah tidak ada heran lagi bahwa sahabat mereka adalah indera keenam, ketiga remaja tersebut kembali menoleh menatap wajah Anggara yang datar dengan pandangan menunduk ke bawah.
Anggara menghela napasnya panjang, merasa berat pada pengungkapannya yang akan dirinya ceritakan. Kedua matanya sama-sama menutup dan mulutnya mulai bergerak lagi yang tadi sempat bungkam berhenti.
“Di sana gue di anggap orang yang berjiwa gak waras. Sudah pastinya, karena mereka nggak bisa melihat kesemua makhluk halus itu. Dan dimata mereka gue anak pembawa sial di sekolah itu. Di hujat, dibully dan segalanya.”
“Semua masalah itu gue hadapi sendiri, gue nggak ada niatan untuk menceritakan permasalahan itu ke nyokap bokap, gue gak mau semakin menjadi runyam. Biar mereka yang dapat balasannya sendiri, gue selama diperlakukan gak senonoh itu cuman diem dan gak melawan.”
“Bagi gue masa lalu itu membuat gue terlatih sampai sekarang. Kalau misalnya ada kejadian seperti itu lagi pada diri gue, gue sudah kebal dan biasa.”
Ketiga sahabatnya yang mendengar begitu miris namun ada wajah terkejut nang tertampil. Diperlakukan seburuk itu tetapi Anggara masih bisa bertahan bersekolah di sana sampai akhir kelulusan menuju SMP.
Anggara menundukkan kepalanya dengan wajah murung dan hati terpuruk. Mengingat jahatnya para penghuni sekolah SD Bakti Siswa ia dahulu. Masa lalu tentang dirinya yang selama ini ia pendam bertahun-tahun pada ketiga sahabatnya begitupun tragedi mengerikan di sekolahnya yang ia pendam sembunyikan hal itu dari Andrana dan Agra.
'Apa ini sebabnya Anggara orangnya jadi tertutup dan gak mau terbuka sama orang lain gara-gara masa lalu yang dia alami ?'
Usai selesai membatin, Reyhan membenarkan merapikan hoodie abu-abunya. Namun ada benda sesuatu yang aneh, ujungnya lancip seperti pisau. Reyhan yang penasaran langsung mengambil benda tersebut dari saku hoodie-nya. Betapa terkejutnya, yang Reyhan keluarkan adalah pisau berbeda dari pisau lainnya.
“P-pisau apaan ini? Dan kenapa pisau ini ada di saku baju gue?!”
Anggara yang mendongak ke Reyhan, tersontak matanya mencuat dan terkejut hingga sampai kepalanya menghantam kepala ranjang. Tak hanya Anggara saja yang terkejut tetapi juga Freya dan Jova, bahkan karena ketakutan dari kedua gadis tersebut, mereka mendekati Anggara.
Reyhan menggenggam pisau itu dan menatap pisau tersebut yang bercahaya merah. Suatu getaran dari pisau keramat tersebut. Dengan sendirinya pisau keramat itu terlempar ke atas lalu menghilang misterius menyisakan butiran debu.
Reyhan mengutarakan kata gelagapan saat melihat pisau keramat itu menghilang secara misterius.
“P-pisau itu?! Kok hilang??!!”
INDIGO To Be Continued ›››
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
𝕴𝖓𝖓𝖊𝖗 𝕭𝖑𝖚𝖊 𝕾𝖙𝖔𝖗𝖞
sweet bangeeeet
2023-07-08
1
𝕴𝖓𝖓𝖊𝖗 𝕭𝖑𝖚𝖊 𝕾𝖙𝖔𝖗𝖞
wah lamanya. aku sampe khwatir juga nih😁
2023-07-08
1
☺︎︎⑅⃝✎ᶠᵘˡˡ 𝒉𝒂𝒑𝒑𝒚 ♫︎
Saling dukung yuk, ,saya bakal Tinggal kan jejak dengan Like semua Novel mu ini :)
Jangan lupa like balik ya_
2022-06-30
5