Angin hutan yang terletak di kota Bogor, masih saja menerjang seluruh pepohonan yang diperbanyak oleh daun hijau. Air hujan lebat juga senantiasa mengguyur tanpa ada hentinya, hal tersebut mampu membuat ketiga remaja yang di dalam salah satu tenda lumayan merasakan dingin walau telah berada di tempat yang terhalang oleh angin serta hujan melanda.
Manik bola mata cantik Freya bergerak untuk menengok ke arah Anggara yang tengah berbaring lemah di alas tidurnya. Nampak jelas, pemuda tampan itu masih memejamkan matanya usai menerima rasa sakit yang menusuk raganya.
‘Kasihan, Anggara ...’
Reyhan yang sibuk bermain game online di ponselnya, berdecak karena terusik gara-gara mendengar umpatan gerutu dari Jova. “Kamu ngapain, sih dari tadi? Berisik banget, tau!”
“Diem, ah kamu! Gak usah banyak ngoceh dulu sebelum aku rela menghapus konten videoku yang diriku buat tadi!” semprot Jova dengan nada kesal.
Freya terkesiap mendengar respon Jova untuk Reyhan, bahkan gadis itu sampai menghadapkan kepalanya ke arah sahabat Tomboy Barbarnya. “Lho, yakin? Masa mau kamu hapus? Padahal itu hasil konten karyamu. Aku yang memperhatikan gaya kamu tadi, kagum banget karena saking sahabatku kelewat pintarnya.”
“Duh, kerasa bener kalau aku lagi ditabrak sama bunga Kadupul raksasa. Makasih ama pujian termanisnya, Unyuk-ku!”
Reyhan menempelkan sisi telapak tangannya di belakang telinga sambil mencondongkan kepalanya, seolah kurang jelas mendengar pernyataan bahagia dari gadis berambut cokelat panjang nan terurai itu.
“Hah? Bunga Dupa?!”
Jova mendengus sebal lalu menabok tempurung kepala Reyhan yang dilapisi rambut tebal tersebut. “Gunanya punya kuping sejak lahir, apa?! Dasar Kunyuk Sutres Budeg!”
Freya membelalakkan kedua matanya terkejut pada aksi Jova terhadap Reyhan yang barusan. “Ya ampun, jangan dipukul!” Gadis pelerai debat itu lalu menghembuskan napasnya pelan. “Menurut yang aku tahu dari artikel kesehatan di dalam laptop, kepala lebih mudah rentan dan sensitif bila terkena pukulan keras atau benturan sekalipun. Jangan diulangi lagi, lah. Oke? Bahaya.”
“Iya-iya, semoga gak aku ulangi. Lagian aku tadi cuman reflek doang, kok!” jawab Jova sembari mengusap-usap kepala Reyhan di bagian mana yang telah ia pukul pakai telapak tangannya.
Reyhan menghela napasnya dengan ikut mengusap kepalanya yang kini terasa panas karena pukulan maut dari lawan jenis memang dahsyat. Sementara Freya yang memperhatikan sikap Jova, menggelengkan kepalanya.
Perlahan Anggara membuka dua netra miliknya walau sebenarnya terasa berat untuk dibuka. Lelaki tampan Indigo itu mencoba mengedipkan matanya beberapa kali saat dirinya merasa bukan di tempat asalnya waktu tidur, tetapi tempat asing.
Tidak, bukan asing lagi! Karena berselang detik kemudian Anggara mengingat tempat yang sekarang ia berada secara mendadak. Ruangan luas dipenuhi tembok halus berwarna cat hitam, lantai semen yang permukaannya dingin. Tempat ini langsung membuat otak Anggara berputar cepat ke masa lampau.
‘Kenapa gue bisa ada di ruangan ini lagi?’
Tibalah, suara pintu terdengar di kedua telinganya Anggara. Pemuda tampan itu mencoba untuk mengangkat kepalanya walau di rasanya sangat lemas, ia ingin melihat siapa yang datang ke ruangan ini.
Tetapi, sayangnya. Pandangan Anggara sukar menangkap sesosok orang yang sedang berjalan santai di depannya, bisa ia deskripsikan secara penglihatan bahwa sosok itu adalah lelaki yang memiliki beberapa ciri tertentu. Berbadan tinggi sekitar 180 sentimeter, berpakaian hitam dengan jubah panjang, terakhir mengenakan sepatu pantofel berwarna hitam.
Alasan mengapa Anggara sulit melihat dengan jelas, dikarenakan pandangan matanya begitu buram, kepalanya juga terasa pusing yang berputar-putar. Dan itu membuat kepala Anggara jatuh terkulai lemas di lantai tempat ia terbaring secara telentang.
“Haha, Anggara? Sepertinya kau terlalu susah mengenali sosokku yang bagimu asing di pikiranmu, bukankah begitu?”
Lelaki pemilik indera keenam nang masih butuh pengetahuan tentang orang yang barusan mengajak berkomunikasi dengannya, menolehkan kepalanya untuk meninjau pemuda itu yang telah berdiri di samping kirinya.
“Aku membawa ragamu ke sini, karena ada alasan tertentu untuk menguatkan tenagaku dalam menguasai dunia alam ini. Aku ingin kekuatan Indigo-mu itu ada padaku,” jelasnya.
Mata Anggara mencuat tatkala waktu mendengar lanjutan ucapan dari sosok yang tak dirinya kenal sama sekali itu. Meskipun suara lawan bicaranya terdengar sayup-sayup, namun Anggara tetap mampu menangkap dari suara sosok lelaki tersebut.
Bersama suara yang tercekat, Anggara menggelengkan kepalanya kuat untuk menolak mentah-mentah dari keinginan si sosok berpakaian kostum hitam itu. Bola matanya juga tak berpaling dan tetap menatap sebelahnya walau pandangannya masih setia blur.
“Kau berani menolak?” Lelaki itu dengan cepat, mencengkram kedua rahang pipi Anggara dengan tenaga besarnya.
“Dengarkan aku, kau tak pantas selalu menggenggam kekuatan itu hingga mati. Dan kau tenang saja, setelah aku berhasil merebutnya dari tubuhmu, nyawa kau sendiri tidak akan ikut menghilang seperti kepergiannya kuasa mata batinmu.”
‘Bagaimana mungkin gue bisa hidup kembali jika dia saja ingin merampas kekuatan Indigo ini dengan cara energi negatif? Bukan hanya mata gaib yang gue pertuankan, tetapi nyawa gue akan juga menghilang dari raga,’ ucap relung hati Anggara dengan tetap mempertajam pandangannya di arah tatapan lelaki angkuh tersebut.
“Coba ku tanya, apa yang ingin kau lakukan sekarang? Apakah dirimu ada inisiatif untuk menyerangku yang merupakan penguasa seluruh alam di dunia ini? Jawablah!”
Sombong, itu yang ada di pikirannya Anggara saat ini. Tetapi hal ini tak sedikitpun membuat pemuda pemberani tersebut mengalihkan pandangannya, dan hatinya bukan diselimuti rasa kegetiran, namun amarah yang menuju ke emosional.
“Aku sudah tahu identitas yang kau miliki, seorang lelaki yang tangguh, pemberani serta tidak gampang menjadi penakut walaupun nyawamu yang akan menjadi korban. Tapi, sesuai yang aku bilang tadi .. tenanglah, jiwamu tetap menyala kendati semua energi supranatural dirimu kuambil.”
Akibat cengkeraman jari jemari tangan yang sosok arogan itu berikan ke targetnya, sedikit demi sedikit darah Anggara keluar dari lubang hidung. Tidak bisakah, ia berkomunikasi dengannya tanpa menyakiti fisik? Darah itu tak akan mungkin timbul, jika lelaki itu tidak menggunakan tenaga dalam untuk memunculkan serangan ilmu hitam.
“Tuan.”
Tanpa melepaskan siksaannya, sosok jangkung macam tiang itu menolehkan kepalanya ke samping waktu ada yang memanggilnya dari jarak nang lumayan jauh.
“Dari mana saja, kau?”
Pemuda yang berusia 17 tahun itu dengan cepat segera menjawab atasannya, “Seperti yang Tuan perintahkan, saya mengurusi beberapa norma penting yang telah Tuan suruh untuk saya. Dan- oh! Rupanya kau ada, di sini?”
‘Suara ini, familiar di pendengaran gue.’
“Kerja bagus, Reyhan. Kau memang asistenku yang sempurna dan bijaksana!” bangganya lalu tertawa.
“R-reyhan? Elo ...” Mata Anggara menyipit karena sulit untuknya melihat sosok sahabatnya yang sedang berdiri di tepat sampingnya lelaki angkuh itu.
“Cih,” abai Reyhan sambil melibatkan kedua tangannya di dada tanpa mau memedulikan raga lemahnya si Anggara.
“Tuan, kapan ritual ini dimulai? Karena akan sangat istimewa bila energi itu menjadi miliknya Tuan tepat dibawah langit gelap malam indah seperti sekarang.”
“Ritual apa-”
“Persembahan. Malam ini juga, lo akan menjadi tumbal untuk kami. Bagaimana menurut lo, Sobat?” respons Reyhan tangkas.
Mata Anggara melotot saking tak menduganya. “Persembahan ritual tumbal? Tetapi kenapa harus gue yang merelakan ini semua?!”
“Ya, kan lo sudah tahu dan dengar penjelasan dari pelopor gue. Jadi, tanpa gue jawab pertanyaan random elo, lo mestinya sudah mengerti apa alasannya. Kenapa, lo takut? Ini bukan perkara negosiasi perintah atau bagaimana, tapi ini suatu momen menggemparkan dimana malam ini lo harus menjadi persembahan tumbal untuk menguatkan daya alam di dunia yang telah lo jumpai.”
Bola mata Anggara memperhatikan setiap langkah Reyhan yang berjalan mengelilinginya dengan gaya angkuh. Kedua tangannya yang melipat juga masih menempel di depan dada bidangnya.
“So, kalau misalnya lo berakhir mati di tangan atasan gue ... itu gak akan mungkin jika gue terkena efek samping atas apa sensasi yang lo rasakan. Gue malah justru bahagia, karena rencana yang di matangkan berhasil dengan tanpa hambatan sedikitpun, hahahaha!”
Anggara membungkamkan bibir pucat keringnya dengan rahang mulai mengeras kembali, sementara sosok yang menjadi ketuanya Reyhan telah melepaskan cengkeramannya dan menjauh untuk memberikan luang kesempatan asistennya berkomunikasi dengan cara aura negatif terhadap Anggara.
“Gue gak akan bertanya lo sudah bersekutu dengan siapa, tapi lepaskan gue dari sini!” cerca Anggara.
Reyhan berhenti melangkah, lalu menghadapkan tubuhnya bersama senyuman diagonalnya. “Permintaan yang telah gue tunggu-tunggu, akhirnya datang juga dari mulut lo. Baiklah, gue akan dengan senang hati melepaskan belenggu itu dari para anggota tubuh lo.”
Anggara menaikkan kedua alis tebal hitamnya dengan mulut terbuka tipis, ia tak menyangka bahwa sahabatnya akan menuruti keinginannya dengan santai tanpa mengeluarkan umpatan emosi yang seperti di mimpi sebelumnya.
Setelah melepaskannya dengan kunci yang digenggam oleh Reyhan, lelaki pemilik paras aura gelap itu mengangkat raga Anggara secara menarik ujung atas baju oblongnya lalu menatapnya dengan tatapan tajam bak belati.
“Jangan pernah berharap lo bisa pergi dari kastil Afsemoerdo ini, Brengsek. Karena, gue gak akan segan-segan untuk menghabisi tenaga lo supaya raga elo melemah dalam dekat tempo!”
DUAKH !!!
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Tubuh Anggara yang posisinya masih berbaring lemah di alas tidur, tersentak dengan mulut membuka sembari mengeluarkan rintihan sakit yang sedang rohnya alami di alam bawah sadar.
“Bro?!” Reyhan yang ikut tersentak karena kaget, menyeret kedua kakinya untuk mendekati Anggara.
Bukan hanya dua antara gerakan tubuh serta suara yang keluar dari mulut sahabat pendiamnya Reyhan, kini malah ditambah kedua mata yang mengernyit kuat dalam pejamannya. “Ga, lo kenapa ...?”
Freya langsung menggenggam telapak tangan kanan Anggara yang mengepal kencang hingga ia menyentuh suatu nang basah di bagian telapak sahabat kecilnya. “Tangan dia sampai ngeluarin keringat gini, udah gak bisa di herankan lagi kalau Anggara kembali mimpi buruk.”
“What?! Oh, no. Orang kalau mimpi buruk, harus cepetan di bangunin, kalau enggak Itu bisa bahayakan raganya, Anjir! Aku ngerti dari pamanku Solo!” pekik Jova.
“Woy-woy, Ga! Ayo bangun, dong cepetan! Betah banget sama mimpinya! Anggara Patung Liberty?!” gusar Jova sambil menepuk-nepuk kencang kedua pipi panas sahabat lelakinya agar roh itu lekas kembali ke dunia nyata.
Netra iris abu supernatural Anggara seketika terlihat waktu kelopak matanya membuka dengan gesit, saat ini deru napasnya sungguh tidak beraturan, detak jantungnya juga berdegup kencang secara batas dari normalisasi.
“Ga, lo oke? Apa yang sudah terjadi?”
Pemuda Indigo itu mengarahkan bola matanya untuk melintang ke Reyhan yang begitu mencemaskan keadaannya nang spontan. Hingga Anggara mengangkat salah satu kakinya gesit untuk menendang kuat perut Reyhan.
BUGH !!
Akibat tendangan hebat itu yang ditorehkan, tubuh Reyhan tersungkur ke belakang dengan mulai memegang perutnya seraya mengaduh. “Ya Allah Gusti! Kenapa perut gue yang malah ditendang, sih?! Mana sasarannya di tepat kena ulu hati, lagi!”
Anggara yang tersadar apa nang ia lakukan terhadap Reyhan, auto bangkit dari baringnya dengan tampang terkejut setengah mati, beda dari Reyhan jika menunjukkan tampang setengah kesalnya.
“Maksud lo apaan sih, Ga?! Masih untung lambung gue kagak bocor, ya!” Pemuda yang menjadi korbannya Anggara itu, langsung menutup mulutnya dengan sisi telapak tangannya yang mengepal karena hendak ingin muntah.
“Anggara! Wah, udah ngawur nih bocah cowok satu. Kalau mau nyerang liat kondisi, napa?! Noh, tuh si Reyhan ampe mau muntah!” omel Jova.
Sedangkan Freya hanya bungkam dengan mata terbelalak dimana setelah Anggara melakukan adegan kekerasan fisik yang nyaris membuat Reyhan mengeluarkan muntahan darah dari mulut.
“T-tolong maafkan gue! Gue gak ada maksud untuk menyakiti lo!” ujarnya.
Reyhan memicingkan kedua matanya dengan meringis kesakitan. “Kalau gak ada maksud, lalu ini apa?!”
Anggara dengan tubuh lemas, segera menghampiri Reyhan untuk membantu membangunkannya duduk. “Gue tidak sengaja, sorry ...”
Mata Freya yang mendelik, kini menjadi seperti semula dengan menatap Anggara lara. “Kamu pasti terbawa mimpi buruk itu, ya? Hingga rasa emosimu untuk melawan terbius ke Reyhan. Padahal sahabat kamu gak salah apa-apa.”
Anggara yang diselimuti rasa Stres terlebih telah memperlakukan kasar kepada Reyhan dengan fisik, merangkumkan kepalanya bersama kedua tangan. ‘Hal bodoh apa yang telah gue perbuat? Karena mimpi, gue justru melampiaskan semua itu ke Reyhan. I was careless !’
Reyhan yang dapat mendengar relung hati yang telah terucap dan menatap Anggara nang menundukkan kepalanya dengan tanpa melepaskan sepasang tangannya, mengusap-usap punggung lemas sang sahabat.
“Gak apa, gue sudah baik-baik saja. Kalau memang itu dampak dari mimpi negatif lo, gue bisa memakluminya. Jangan dipikirin lagi mendingan, oke?”
“Sekali lagi, gue minta maaf ...”
Bibir Reyhan yang tadi posisinya melengkung ke bawah, sekarang ke atas untuk menampilkan senyuman pancaran ramahnya. “It's okay, Sobatku. Lo mau minum, gak? Biar pikiran lo bisa kembali tenang. Gue ambilin buat elo, ya?”
“Biar aku aja yang ambil botol minumnya si Anggara, bentar!” celetuk Jova.
Gadis itu memutar tubuhnya ke belakang agak menyamping lalu memarani tas besar Anggara untuk mengeluarkan botol merk tupperware dari dalam tas hitam tersebut. Usai memungutnya, Jova kembali ke arah sahabat lelakinya dan menyodorkannya.
“Terimakasih.”
“Masama.”
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Meskipun Anggara telah terbangun dari mimpi buruknya, namun ia harus menetralkan pernapasannya yang laju tak beraturan, matanya sengaja di pejamkan untuk agar meringankan rasa pening di kepalanya.
Sementara Reyhan sedang memenuhi tugasnya lepau memijat kaki-kaki panjang sahabat Introvert-nya, di tengah itu ia melirik ke arah Anggara yang bersandar di sisi tenda kokoh sang empu.
‘Gue gak akan lagi mau mengetahui identitas secara bertanya kepada lo. Mungkin menurut elo sendiri, gue telah berusaha menginterogasi untuk mengetahui semua apa masalah yang sedang lo pendam hingga sekarang. Tapi meskipun demikian, gue bakal menunggu sampai kebenaran itu terbongkar tanpa ada kata pemaksaan.’
“Anggara, mulai besok pagi kita berempat pulang ke kota Jakarta, ya? Kayaknya apa yang dibilangin sama Freya bener kalau hutan ini kurang sehat buat elo.”
Anggara hanya menjawabnya dengan kepala yang manggut-manggut, ucapan dan gerakan tulus yang Reyhan berikan tentu beda daripada sosok sahabatnya yang muncul di mimpi buruknya. Anggara masih tidak paham apa maksud dari semua ini, bahkan dirinya tak bisa memprediksi hal tersebut sebuah pertanda atau akan menjadi sebuah kenyataan.
Dalam mata yang Anggara pejamkan, anehnya ia tak mendapatkan bayangan astral yang muncul dibenak otaknya. Entah akibat raga dirinya sedang lemah atau mengapa.
“Anjing, emang!”
Freya tersentak sampai menolehkan kepalanya ke arah Jova yang barusan saja mengumpat kesal hingga mengeluarkan kata mutiaranya. “Apa sih, Va?! Tiba-tiba kamu kesal begitu. Kenapa?”
Jova mendengus dengan mengernyitkan mata sipitnya ke sahabat polosnya. “Tahu, gak? Masa video yang jadi konten-ku kagak bisa dihapus?! Kan, ngeselin!”
“Masa videonya gak bisa dihapus? Gagak itemnya lagi naksir sama kamu, kali!” buras Reyhan usai menaikkan satu alisnya.
“Matamu! Nalarnya dimana, coba kalau binatang bisa naksir sama manusia?! Itu otak problem-nya gara-gara apa, sih? Oh, kurang cairan oli mungkin!”
Mata Reyhan kembali melotot tajam. “Cairan oli?! Kamu pikir aku pager!?”
Anggara yang masih membutuhkan istirahat total, membuka kedua matanya lemah dan menatap Jova yang tak henti-hentinya mengetuk-ketuk layar ponsel dengan hati yang berkecamuk sebal. Ia menarik napasnya panjang lalu mengembuskannya perlahan.
“Serahkan saja HP-mu ke aku, biar aku yang mencoba menghapus videonya,” imbau Anggara dengan satu tangan menengadah.
Mulut Jova menganga pada sahabat lelakinya yang mengeluarkan suara Baritonnya. “Wih, udah bisa ngomong, Ga?! Yasudah, nih coba kamu yang hapus.” Gadis Tomboy tersebut kemudian segera memberikan ponsel itu ke tangan Anggara.
Pemuda tampan bak seorang aktor dari negara Korea selatan itu, mulai menengok dan fokus ke arah layar ponsel miliknya Jova. Baru saja melihat, kepala Anggara malah sudah cenat-cenut karena memperhatikan suasana hutan dalam video, terlebih lagi telah diisi oleh aura seekor hewan terbang yang menampakkan diri di atas sebuah dahan pohon besar.
Sekarang tugasnya Anggara adalah menghapus video kontennya sang sahabat perempuannya, tetapi sayangnya apa yang telah dilakukan dirinya tak membuahkan hasil. Bukan menghilang namun handphone Jova hanya menimbulkan getaran saja.
Anggara menutup matanya sejenak lalu mengeluarkan napasnya dari hidung usai gagal melenyapkan video karya bijaknya Jova. Bagaimana mungkin? Padahal cuma sebatas video, bukan audio lagu yang berada di dalam aplikasi album musik. Ada apa gerangan?
“Gimana, Ga? Bisa dihapus?” tanya Freya.
Anggara menggelengkan kepalanya pelan dengan menatap wajah cantiknya Freya secara sekilas, lalu menengok balik layar ponsel. Sedangkan Reyhan menempelkan antara jari telunjuk dan jempolnya di masing-masing rahang pipi serta mengelusnya untuk sembari berpikir keras.
“Absurd, bener. Jangan-jangan karena memori HP kamu terlalu penuh? Udah dicek, belum?”
Anggara melirik Reyhan lalu beralih menatap iris mata hazel punyanya Jova. “Begitu? Yasudah gini, ada foto, file, atau video yang jarang kamu gunakan? Jika memang ada, lebih baik kamu hapus terlebih dahulu. Bisa jadi itu kemungkinannya.”
“Hmmmm ... pas aku cek sebelum kita ngadain camping, gak ada sih, Ga. Yang lainnya masih aku gunakan untuk kepentingan sama terakhir buat kenangan, hehehehe!”
“Oke.”
“Terus gimana dong, Ga? Masa video itu tetep aku biarin di persinggahan galeri-ku?! Ada cara lain, nggaaaak?” rengek Jova dengan campur keluhan.
“Sebenarnya ada, dengan cara restart ulang.”
Spontan, mata Jova melotot. “Jangan! Kalau kamu restart ulang HP-ku, entar file-file fundamental yang pernah dikirim via grup sekolah, hilang! Terus foto-foto sama video-video kenangan kita berempat dari SMP juga ikut ilang! Jangan deh, please, yayayaya?”
“Gak perlu berlebihan, aku gak akan melakukannya jika kamu tidak setuju. Aku akan berusaha lagi untuk ke percobaan terakhir,” ungkap Anggara.
“Ha, percobaan terakhir?” Dahi Freya berkerut setelah mendengar ungkapan tutur Anggara yang santai.
“Ya, mematikan daya perangkat. Aku gak tahu ini akan berhasil atau enggak, tapi gak ada salahnya kalau mencobanya dulu.”
Mata Reyhan berbinar. ”Wah, ide yang top markotop! Buruan, gih cepetan dicoba!”
Anggara menganggukkan kepala sekaligus berdeham kecil lalu segera menekan tombol garis vertikal bagian kanan untuk mematikan ponselnya Jova.
10 menit kemudian....
“Yah, tetep gak bisa dihapus ya, Ga? Kayak apa yang kamu lakuin itu sama sekali nggak berefek,” kecewa Jova.
“Sebenernya gak ada pengaruhnya tentang video itu yang sulit banget dihapus, mau karena kebanyakan memori data atau sebagainya,” timpal Freya.
“Sistemnya gak mengizinkan, kali. Makanya video yang sudah jadi itu susah buat dihilangkan dari galeri album-mu. Udahlah, kamu yang sabar aja.” Reyhan menyambung perkataan Freya-Jova.
“Dih, tumben kalem? Yasudah deh, Ga kalau emang gak bisa dihapus. Kamu nggak perlu lagi nyari cara untuk melenyapkan video sialan itu, gak usah dipaksa kalau bandel.” Jova merebut halus ponselnya dari tangan Anggara.
“Maaf, ya?”
“Iya, gak masalah. Biarin aja ini video satu nempel terus di beranda galeri atau paling enggak aku kucilkan dari karyaku!”
Freya menghela napasnya dengan menatap Jova yang wajahnya tergambar kecewa. “Kenapa gak kamu jadikan konten saja? Bukannya akan menjadi sayang kalau kamu diemin?”
“Duh jangan, dong! Niatku, kan pengen menghibur netizen followers dari IG-ku. Masa ada penampakan burung Gagak yang matanya merah kayak mainan robotan adekku di rumah? Entar aku disangka editor cewek Paranormal!”
“Pft, hahaha!”
Bola mata gadis Tomboy itu beringsut ke arah Reyhan yang senang melihat penderitaan ringannya. “Sekali lagi aku denger kamu ketawa, ku lempar juga kamu pake botol minumnya Anggara. Biar benjol itu kepala!”
“Astaghfirullah, ampun!”
Anggara mengubah kembali posisinya ke sandaran nyamannya untuk beristirahat dengan lalu memejamkan mata sejenak buat meredakan rasa sakit kepalanya yang masih bekerja. Sebenarnya... Rasa sakit ini telah seringkali Anggara alami sejak dini. Jadi, ia sudah terbiasa pada penderitaan yang diidapnya.
Sementara sakit dada yang bak dihimpit oleh benda permukaan keras, itu karena rohnya mengalami penyiksaan di dalam mimpi yang mana Reyhan melakukan aksi serta adegan kekerasan fisik untuknya, berbagai macam lepau melemahkan seluruh tenaganya yang tersisa.
Namun rasa sakit yang ada di alam bawah sadarnya masih belum seberapa, karena dari berkatnya Jova si Anggara sanggup menarik diri untuk kembali ke dunia nyata.
Tentang embusan angin kecil yang lewat untuk menerpa wajah tampannya Anggara, setelah itu terjadi lelaki Indigo tersebut tak mampu melihat bayangan apapun saja yang mengandung gaib. Akan namun Anggara yakin, mesti ada yang telah sengaja menutup aura batinnya, entah siapa lakonnya.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Cameron yang masih senantiasa di dalam kamar ranumnya walaupun diterangi oleh cahaya api dari fire pit area atau tungku perapian, memantau Anggara yang berada dibalik layar bukunya nang berjulukan 'Bintang Iblis'. Siku yang dirinya sangga di bagian pegangan kursi, perlahan telapak tangannya terkepal kuat dengan perasaan kalbu yang kesal karena ada hasrat cepat ingin membunuh Anggara setelah memperhatikan kondisi manusia yang sedang Cameron incar sebagai entitas.
“Kurang ajar! Meskipun sudah aku tutup penglihatan dan firasatnya, kenapa masih ada pikiran mempan jika ada yang sengaja menutup aura batinnya!?”
“Pemuda ini ternyata memang terbilang sangat hebat, lihat dari auranya saja kuat sekali apalagi dia orang yang tak takut pada apapun. Bagaimanapun caranya itu, aku akan terus mencari titik kelemahanmu dalam waktu yang singkat!”
Cameron mengerutkan sepasang mata lalu menatap tajam pada seseorang yang duduk di sampingnya Anggara. Sang lelaki berambut hitam dengan model style keren yang tengah tersenyum ramah bersama sesekali tertawa ceria.
“Siapa manusia satu itu? Apakah teman akrabnya dari Anggara?”
Jiwa Cameron yang diliputi penasaran, lekas mengetuk pemuda humoris itu pakai jari telunjuknya dengan satu kali ketukan di layar buku tradisinya. Kini telah tercantum sebuah nama di sisi layar yakni adalah 'Reyhan Ivander Elvano', beserta dibawah tulisan tersebut tertera jelas yaitu 'Nickname: Reyhan' membuat Cameron mengukir senyuman integritas.
“Jadi nama lelaki itu sering kerap disebut dengan Reyhan? Hm, menarik.”
“Jika Reyhan aku pantau dari sini, dia merupakan manusia yang amat penakut dan lemah akan menghadapi sosok makhluk tak kasat mata yang wujudnya negatif serta mengerikan. Bagus, ini bakal sangat mudah jika aku laksanakan, hahahaha!”
“Aku akan menggunakan tubuh Reyhan sebagai umpan untuk diriku mendapatkan sekujur energi dan aura spektakuler yang masih dimiliki oleh Anggara.” Cameron berucap dengan nada arogannya.
Cameron berdiri dari persinggahan elitnya dengan masih menampilkan senyuman iblis yang tergambar detail di bibir. “Aku tak akan mempermainkan kasar kepada dua gadis itu yang sedang bersanding bersama antara Reyhan dan Anggara. Yang hanya aku pergunakan virulen secara mantra sihir adalah, para lelaki itu yang mempunyai aura terbuka beserta supranatural.”
Alasannya mengapa Cameron tak akan mempergunakan ataupun melakukan kekerasan pada Freya dan Jova? Karena tak ada istimewanya dari aura mereka. Hanya Anggara dan Reyhan sajalah yang memiliki aura istimewa. Meskipun Reyhan lemah tenaga jikalau menghadapi lelembut yang auranya mencekam nan negatif, namun Reyhan juga mempunyai salah satu kekuatan aura gaib yang sama dihimpun seperti diri Anggara.
Mengetahui identitas pribadinya Reyhan memang terbilang gampang menurut sang penguasa alam gaib ini, dikarenakan ia sendiri mengerkau ilmu hitam yang bisa mampu mengetahui segala hal.
“Sesudah sekian lamanya aku berpikir keras dan dingin untuk mencari titik kelemahan dari kau, Anggara. Kini sekarang aku telah menemukannya tanpa ada rasa ragu.”
“Titik kelemahanmu adalah Reyhan Ivander Elvano. Sang teman sejati yang telah kau pererat dalam persahabatan bersama kedua perempuan yang selalu ada di sampingmu, hahahaha!”
“Bersiaplah saja. Tragedi berdarah akan sedia mendatangimu, wahai Anggara Indigo.”
Lagi-lagi angin luar kastil berembus kencang bersama petir langit yang kembali menggelegar, layaknya sedang menyambut senyuman kemenangan dari Cameron yang seperti berjaya menuntaskan sebuah pertandingan sengit.
INDIGO To Be Continued ›››
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments