Setelah mendapatkan kejadian yang telah menimpa, kini sekarang Reyhan berada di dalam tenda hitam sahabatnya dan dengan setianya menantikan kesadarannya kembali yang mana tadi secara mendadak, pingsan.
Rasa khawatir menyelimuti hati lelaki Friendly itu dengan seraya memijat anggota tangan Anggara untuk melancarkan peredaran darahnya agar tak tersumbat. Wajah pucat sahabatnya ini, membuat Reyhan sangat cemas, terlebih Anggara tidak kunjung siuman.
“Sadar, Ga. Jangan buat gue panik kayak gini. Lo kenapa, sih pake pingsan segala? Apa yang udah terjadi sama elo sampe lo jadi seperti ini? Apa penyebabnya?” tanya Reyhan walau tak dijawab oleh sahabatnya.
Reyhan menghentikan kerjanya lalu menghembuskan napas lara dengan menundukkan kepala. “Dia sama sekali gak pernah mau menceritakan apa masalah dalam hidupnya. Sahabat gue satu ini memang tertutup dan tergolong orang anti sosial. Huh, sedih banget punya sahabat kayak Anggara gini ...”
Di sisi lainnya. Freya serta Jova tengah duduk bersama di atas gelondongan kayu yang mempunyai ukuran besar-panjang, wajah mereka menampilkan kemurungan nang sudah tergambar sejak 2 menit lalu.
“Frey? Kamu, kan sahabat kecilnya Anggara. Jadi pasti tahu, lah dia punya masalah apa. Meskipun udah lama banget bersahabat, tapi cowok itu masih terasa misterius.” Jova mengeluh sambil menopang dagunya bersama kedua lutut yang ia tekuk.
Freya menghela napasnya dengan wajah amat gundah. “Aku gak tahu. Semenjak lulus dari SD, sikap Anggara menjadi berubah drastis dan banyak sekali dalam perubahan hidupnya. Kami memang selalu bersama, tapi aku sendiri kurang paham masalah apa yang lagi dia hadapi.”
Jova mengangkat dagunya beserta menegakkan badannya sambil menoleh ke arah sahabat lugunya. “Apa karena Anggara punya masalah keluarga di rumahnya?”
Freya menggeleng pelan tanpa menatap wajah sahabat Tomboy-nya. “Anggara bukan dari anak yang brokenhome, bahkan aku saksinya kalau keluarganya Anggara itu selalu terbilang cukup harmonis.”
“Tapi ...”
“Tapi kenapa?” tanya Jova ingin tahu.
“Tante Andrana pernah kasih bocoran ke aku soal tentang Anggara. Dia seringkali mengalami sakit Demam karena menjumpai mimpi buruk,” jawab Freya dengan akhirnya menatap Jova.
Jova mengernyitkan dahinya dikarenakan bingung apa yang dimaksud Freya barusan untuknya. “Setiap mimpi buruk, si Anggara bakal sakit Demam?”
“Tergantung mimpi buruknya seperti apa. Jika mimpi itu membuat rohnya Anggara mengalami kesakitan, raganya yang sedang tidur akan merasakan hal yang sama. Itu kata om Agra,” jelas Freya.
“Oh my gosh. Gitu, ya? Tapi kenapa om Agra sama tante Andrana bisa mengerti semua itu? Seolah, mereka memahami peristiwa rohnya Anggara di alam lain. Ya walaupun aku gak minat tentang supranatural, tetapi aku harus tahu!”
“Mungkin karena mereka orangtuanya Anggara, sehingga tante Andrana dan om Agra paham semua apa yang dialami anaknya.”
Jova menjulurkan bawah bibirnya lalu menganggukkan kepalanya dengan setengah mengerti. Kedua gadis itu yang posisinya membelakangi tenda besar hitam tersebut, menoleh sekilas untuk menatap Reyhan yang duduk di sampingnya Anggara nang sedang terbaring lemah bersama mata terpejam.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Disela-sela kemurungan Reyhan yang mana pandangan lelaki itu menunduk ke bawah, ia mendengar suara lenguhan di sekitarnya. Seketika dirinya terkejut lalu langsung memutar badannya ke arah Anggara yang terbaring lemah di sisinya.
“G-ga? Anggara?! Eh, lo sudah sadar?!” pekik Reyhan dengan mata terbelalak lebar.
Sahabatnya Reyhan mengeluarkan desis lengang dari mulut sembari meraba kepalanya yang terasa pening, mata nang awalnya tertutup kini terbuka perlahan yang menampilkan iris mata grey autentik miliknya.
“Alhamdulillah, Ya Allah! Gue sedari tadi panik bener, lho sama kondisi lo yang tiba-tiba!” lanjut Reyhan dengan wajah bersemu lega seraya memegang lengan tangan kanan Anggara.
Lelaki tampan itu, melirik pelan bola matanya ke arah Reyhan untuk menatapnya dengan muka tanpa ekspresi. Syukur saja pandangannya telah pulih dan tak blur seperti sebelumnya.
“Apa yang lo rasain sekarang? Gue buatin minuman anget dulu, ya untuk elo? Akan gue ganti dengan teh. Bentar!”
Reyhan segera keluar dari tenda hitam sahabat pendiamnya, kemudian lekas pergi ke suatu tempat yang dekat untuk membuatkan teh hangat pada pagi hari yang masih berangin ini. Matahari nampaknya telah dihalangi oleh awan di atas langit termasuk pancarannya sekalipun.
Anggara menyingkirkan telapak tangannya dari kening dengan pikiran yang masih begitu linglung di dalam tendanya. Bahkan sekarang bola matanya berada di pandangan atas atap tenda hitam besarnya.
“Apa yang sudah terjadi?”
Mendengar suara hentakan kaki yang berasal dari belakang, sontak langsung Jova maupun Freya menoleh. Gadis Tomboy itu mengerutkan keningnya saat mendapati Reyhan yang berlari kecil ke dalam tendanya.
“Oi! Mau ngapain, Nyuk?!” teriak Jova dari kejauhan walau tetap bisa Reyhan dengar dari arah tenda besar abunya.
Mau bikinin teh anget buat Anggara !
Mata Freya mengerjap dengan menatap wajah Reyhan yang jaraknya memang sangat jauh dari ia dan Jova bertempat. “Mau bikin teh buat Anggara? Lho, Anggara sudah sadar, kah?!”
Iya! Barusan sudah siuman itu anak. Noh, sekarang masih baringan di dalem tenda. Kalau mau ke sana sama Jova, silahkan. Aku mau buat teh anget dulu bentar untuk Anggara, oke?!
Tanpa menjawab dari seruannya Reyhan, Freya segera lebih dahulu beranjak dari tempat duduknya yang ada di gelondongan untuk menghampiri sahabat kecilnya yang telah kembali sadarkan diri.
Sementara, Anggara memejamkan matanya dengan kembali menyentuh keningnya yang tertutupi oleh rambut hitamnya. Rasanya begitu pening bahkan dipadukan rasa sesak di dalam dada bidangnya. Jelas, ini sudah tidak bukan lagi jika semua itu tentang mimpi buruk yang mampu melemahkan sekujur raga tangguhnya.
“Anggara?”
Lelaki tampan itu membuka mata dengan kondisi lemahnya sembari melepaskan telapak tangannya dari dahi saat dirinya dipanggil oleh seorang gadis yang nadanya amat lembut. Ya, itu adalah Freya. Namun Anggara hanya diam saja tanpa mau menanggapi panggilannya sang sahabat kecil.
Freya tersenyum manis sekaligus haru melihat pemuda tampan ini telah siuman, apalagi kini gadis cantik itu mendekati Anggara yang keadaannya masih terbaring di tempatnya. “Gimana, Ga? Kamu sudah baik-baik saja atau belum? Aku tadi panik banget karena kamu tiba-tiba langsung jatuh pingsan.”
“What happened to you, Ga? Bikin kami bertiga panik, dah! Mukamu dari sini juga jadi tambah pucet aja!” omel Jova yang sebenarnya khawatir terhadap sahabat lelaki misteriusnya.
Anggara hanya menggelengkan kepalanya dengan wajah tanpa ekspresi. Ya, selalu menampilkan muka bak sebuah tembok tersebut. Sudah datar dan dingin, lagi.
Jova yang ada di belakang punggungnya Freya, mengerutkan jidat. “Ngapain geleng-geleng? Kan, aku nanya!”
“Ih, Anggara baru saja sadar. Jangan diomelin dulu!” tegur Freya dengan agak menyentak ucapannya Jova.
“Iya-iya, maap! Hehehe maafin aku ya, Anggara yang Misterius tapi Ganteng?”
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Dengan senyuman lebarnya, Reyhan menuangkan air panas dari termosnya usai memasukkan teh celup ke dalam cangkir. Tetapi baru saja akan memulai, lelaki Friendly itu dikejutkan oleh suara kepakan sayap burung yang melintasinya dari atas langit.
“Buset! Kaget, gue! Burung apaan tadi, ya?! Kenceng amat terbangnya. Kayak burung Raja Wali- argh!”
Reyhan lekas meletakkan termos waktu pangkal telapak tangannya terkena air panas yang seharusnya ia kenakan pada dalam gelas untuk membuat teh. Lihatlah sekarang, tangan pemuda ini menjadi melepuh karena terlalu fokus melihat burung yang kini telah menghilang setelah mengangkat wajah tampannya ke atas langit kelabu.
“Cuman perkara nengok itu hewan, malah jadi kena nasib apes! Beginikah hidup gue di dunia?” gerutu Reyhan seraya bergegas membuat teh hangat itu untuk sahabatnya yang kadar oksigennya telah terkumpul seperti semula.
Sesudah tuntas, dirinya segera beranjak berdiri dari wilayah tenda besarnya lalu menuju ke tenda Anggara yang letaknya bersebelahan dengan tempat tendanya, sambil membawa cangkir berisi teh yang mengepul.
“Assalammualaikum, Ya Ahli Surga.” Salam dari Reyhan yang nongol dari ambang pintu tenda hitam, membuat ketiga remaja itu menolehkan kepalanya.
“Dih, kesambet apaan kamu? Tiba-tiba menyalami kami dengan sehangat roti bakar,” komplain Jova.
“Kesambet burung! Nih, gara-gara hewan terbang itu tanganku jadi melepuh kena air panas. Apa Dosaku suka kena nasib malang terus?!” dongkol Reyhan.
“Hahahahaha! Dosamu itu berjuta-juta lipat dari banyaknya orang yang berbuat maksiat. Dan dari banyaknya orang yang terkena sial, kamu doang yang paling sial!” cemooh gadis Tomboy tersebut.
“Dasar Sableng! Aku lagi kena musibah kamu malah gituin diriku, Doain aku, kek!” semprot Reyhan.
“Doain kayak mananya? Doain kamu supaya cepet dijemput malaikat maut?” Pertanyaan konyol yang keluar dari mulut Jova, berjaya membuat Freya dan Reyhan melotot.
“Heh, kalau ngomong toxic suka gak dikandang! Ku tinggal mati beneran, rasain kamu nggak punya sahabat kayak aku lagi!”
“Hus, sudah! Berantem mulu kalian ini. Oh iya, Rey? Tehnya buat Anggara, kan? Sini biar aku saja yang kasih,” imbau Freya.
Reyhan menaikkan alisnya dengan menatap wajah cantik nan mulusnya sang sahabat gadis Nirmala. “Oh, kamu? Yaudah, nih.”
Freya mengembangkan senyuman lebarnya yang ia tanamkan di wajah lalu menerima cangkir itu. Gadis tersebut kemudian memutar badannya ke belakang untuk menghadap ke arah Angga yang senantiasa terbaring lemah meskipun mata telah terbuka. Ya, lelaki tampan itu sedari tadi hanya diam mendengar beberapa celoteh dari para sahabatnya.
“Anggara? Di minum dulu, yuk tehnya.” Dengan nada lemah-lembut, Freya menyodorkan cangkir teh hangat itu kepada sahabat lelaki kecilnya.
Dengan nurut apa yang gadis itu suruh bersama nada manisnya, kedua tangan Anggara menopang alas tendanya untuk membantu tubuhnya bangkit. Tetapi salah satu tangannya terlepas dari topangannya di saat ia merasakan bagian dadanya macam ditusuk oleh senjata tajam yang tidak kasat mata.
“Eh, kenapa?!” Dengan sedikit panik, Freya lekas menaruh cangkir itu di sampingnya lalu memperhatikan wajah pucat Angga yang tengah menahan kesakitan.
“Kamu baik-baik saja, Ga?” laun gadis cantik itu kemudian usai meninjau muka Anggara detail.
Pemuda tersebut hanya menganggukkan kepalanya dengan pandangan ke bawah. Hal ini mampu membuat Freya tertutup akan mengetahui sedang apa ia rasakan. Tanpa sungkan gadis sahabat kecilnya Anggara, langsung menopang punggungnya lalu ia tegakkan perlahan agar Anggara bisa duduk dengan benar.
“Kalau kamu memang gak kenapa-napa, di minum tehnya, ya? Biar kamu cepat mendingan. Tubuhmu semakin hangat, aku takut kalau kamu pada akhirnya kembali mengalami Demam seperti dulu.”
Perhatian dari Freya melalui suara lembut yang dipenuhi rasa keresahan itu, Lagi-lagi direspon oleh Anggara dengan gerakan tubuh. Setelah meniup perlahan atas air teh yang masih mengepul, pemuda tampan tersebut mulai menenggak tehnya yang dari hasil buatannya si Reyhan.
Tahu mengapa Freya begitu menaruh kekhawatiran dan perhatiannya kepada Anggara? Jawabannya, karena ia sangat tak ingin bila peristiwa yang melemahkan tubuh sahabat lelakinya kembali terjadi. Maka dari itu, ia harus sanggup menjaga serta melindunginya selama kedua orangtuanya Anggara masih ada urusan Dinas kantor di kota Semarang. Walau mereka tak meminta, tetapi apa salahnya Freya menjaganya?
“Bro? Gue-”
“Jangan menghujani pertanyaan ke gue.”
DEG
Kedua mata Reyhan terbelalak dengan hati ayok saat mendengar jawaban Angga yang sengaja memotong ungkapannya. ‘D-darimana dia tahu kalau gue ingin bertanya ke cowok itu?! Apakah dia punya suatu kelebihan yang belum gue ketahui? Ow mai gat! Apaan, tuh?’
Jova menghela napasnya. “Ga, Ga. Kalau ada masalah, ngapain kamu pendem? Kamu itu tergolong lelaki misterius yang pernah aku miliki sebagai sahabat. Bak ada gerangan di dalam lubang biru naga di negara Tiongkok!”
“Untuk apa kamu mengerti masalahku?” respon Anggara dengan nada dingin sembari menatap Jova pakai ekspresi datar andalan yang selalu ia pajang di wajah tampannya.
“Un- akh! Nyesel, aku punya sahabat kayak kamu! Salahku dimana bisa dapet cowok sobat yang nyebelinnya sepertimu?!”
“Ya? Jika begitu, dari dulu kita gak usah bersahabat. Cukup menjadi teman. Atau perlu, tidak usah kenal,” ucap santai Anggara lalu meletakkan cangkir.
Tanpa memedulikan bagaimana rasa terperangah dari seorang Jovata Zea Felincia, Anggara mulai merebahkan tubuhnya yang masih saja terasa lemas. Di sisi lain, pekanya Freya terhadap sahabat kecilnya gadis itu segera mengambil selimut tipis yang ada di pojok tenda.
“Cuacanya dingin banget. Pakai selimut, ya? Kasihan tubuhmu yang lagi membutuhkan kehangatan, dan kalau kepalamu masih terasa pusing dibuat tidur saja. Siapa tahu pas bangun, kamu udah agak seger,” ujar Freya seraya melebarkan selimut untuk Anggara.
“Ya, makasih.”
Freya tersenyum manis lagi. “Sama-sama, Ga. Yasudah, langsung dibuat tidur.”
Setelah mengelus bahu kanan Anggara, Freya menghadapkan tubuhnya ke arah kedua sahabatnya yang terduduk bisu dengan pandangan menatap lelaki berpenampilan misterius itu nang telah kembali menutup mata.
“Jova? Reyhan? Tolong maafkan Anggara, ya karena semua sikapnya ke kalian? Aku tahu sifat sehari-harinya dia membuat kalian gak betah, bahkan ada rasa kesel yang meliputi hati kalian berdua,” lirih Freya dengan menatap melas mereka.
Reyhan mengarahkan bola matanya ke arah Freya lalu tersenyum hangat. “Gak masalah, kok. Aku ngerti, kami berdua yang sebagai sahabatnya Anggara bisa memaklumi. Walau sedih juga, sih punya sahabat yang wataknya kayak gini ...”
Jova menganggukkan kepala. “Tenang, omongan aku tadi sekedar candaan doang. Rasa kekesalan ini malah jadi berubah penasaran karena misteriusnya yang ada di dalam diri Anggara. Aku pengen tahu, sebenarnya identitas aslinya dia itu seperti apa. Gemes, sumpah!”
“Sudah, ya? Jangan sedih lagi. Aku gak nyesel, kok punya sahabat kayak Anggara. Gini-gini aja aku ada rasa bangga sama sahabat TK-mu, dia peduli walau gak terlalu mencolok dan secara kita nggak sadar kalau dia mau membantu untuk mengatasi permasalahan,” tutur Reyhan dengan mengusap kepala Freya.
Freya tersenyum lalu berkata, “Maaf ...”
“Kamu gak salah.”
Sembari mengucapkan penuturan lembut itu, Jova memeluk tubuh mungil dari Freya bersama senyuman lebarnya. Bahkan dekapan nyaman itu, dibalas segera oleh gadis cantik ini. Sementara Reyhan hanya memandanginya kedua sahabat perempuannya dengan sebatas senyum ramah di cuaca mendung seperti sekarang.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Ruangan gelap yang hanya ada penerangan api unggun, dinding tembok warna hitam gulita mencekam mengisi adanya ruangan berhantu di dalam. Seorang lelaki muda berjubah hitam tengah duduk di persinggahan kursi miliknya sambil meminum air darah pekat di sebuah Flute Glass. Ia meneguk dengan penuh rasa nikmat atas hausnya.
Lelaki berjubah hitam tersebut meneguknya hingga setengah lalu mendesah saking nikmat darah pekatnya. Darah tersebut menambah kekuatan di dalam tubuhnya untuk menyerap kekuatan para makhluk seperti manusia yang berenergi kuat dan luar biasa. Di ruangan berhantu itu, ia ditemani satu burung Gagak peliharaan kesayangan dan kepercayaannya. Mata hewan terbang tersebut berwarna merah menyala. Meskipun burung tersebut hanya membunyikan suara khasnya, pemuda tersebut paham apa yang dibicarakan binatang hitamnya.
Dirinya kemudian mulai mengubahkan sikap posisi duduknya menjadi menyilang dimana kaki kanannya berada di atas paha kiri. Pemuda itu yang usai menuntaskan rasa dahaganya dengan minuman darah spesialnya tersebut, menyempurnakan senyuman bak iblisnya bersama mata sipit tajamnya.
Menghirup udara dengan wajah berlagak angkuhnya lalu mengeluarkan suara dari mulut, “Aku merasakan ada sebuah aura dan energi yang luar biasa dari sini. Siapakah pemilik kekuatan itu?”
Kwaaak !
“Ya, kau betul sekali, Gordio. Ada seorang pemuda yang memiliki suatu kekuatan Indigo. Begitu sangat menarik, bukan?” jawabnya dengan menatap hewan peliharaannya.
Kwaaak !
“Hahahahaha! Dalam waktu yang dekat aku pasti akan mendapatkan kekuatan Indigo dari pemuda itu, dan aku akan menjadi orang yang terkuasa di alam gaib ini, huahahahaha!”
Lelaki pemilik jiwa angkuh itu, beranjak dari kursinya lalu melangkah ke arah jendela yang dekat sekali di ruangannya, diikuti oleh Gordio sangat hewan peliharaannya. Burung tersebut yang melayang bersama kepakan sayapnya, mendarat ke alas jendela dan segera ia bukakan kaca jendela tersebut untuk hewan hitamnya.
Udara luar terasa dingin dan mencekam, banyaknya pepohonan yang gugur akan daun-daunnya. Langit kelabu kecokelatan nang mengundang ketakutan pada penghuni baru yang berhasil memasuki wilayah alam gaib miliknya sangat dirinya.
“Gordio, sekarang kau pergilah untuk mencari pemuda yang mempunyai kekuatan luar biasa itu, segeralah beritahu padaku jika kau menemukannya. Kau mengerti?”
Kwaaak !
Kwaaak !
Kwaaak !
Lelaki yang mengenakan jubah hitamnya macam kostum drakula, tersenyum kemenangan lalu mempersilahkan Gordio untuk pergi dari kastil besarnya lepau melakukan misi mencari keberadaan seorang makhluk manusia yang mempertuankan kekuatan mata batin.
Setelah kepergiannya Gordio, pintu dia daun dibuka oleh seseorang yang berusia 18 tahun, lebih tua dari lelaki itu yang masih berumur 17 tahun.
Cklek !
“Cameron Hoelderon,” panggil perempuan yang mengenakan gaun hitam elegan dengan berlengan pendek.
Lelaki tersebut yang rupanya bernama Cameron Hoelderon, menoleh ke arah perempuan itu yang merupakan kakak kandungnya. Dengan tampang dinginnya Cameron langsung menjawab meresponnya.
“Mengapa Kakak datang ke kamarku?”
Perempuan itu menghembuskan napasnya. “Apakah kau tidak ada jeranya menyerap dan merampas kekuatan yang dimiliki seorang manusia? Kau telah berkali-kali melakukannya hanya untuk menguatkan tenaga kau, Cameron.”
“Ada yang salah? Kakak tidak menyukai bila aku melakukan hal itu? Ayolah! Dengan aku berjaya mencabut energi itu dari raganya, aku sebagai adikmu akan menjadi yang paling berkuasa di alam ini. Karena Kakak pasti menginginkan aku bahagia, kan?”
“Tunggu sebentar! Kau ingin merebut energi dari raga-”
“Ya, suatu energi kekuatan Indigo pemuda itu harus menjadi milikku sepenuhnya! Bagaimana menurutmu, Kak? Begitu mengagumkan, kan?” ucap Cameron dengan rasa percaya diri.
Perempuan yang berambut pendek seleher tersebut, menggelengkan kepalanya kuat dengan menatap lelaki itu bersama tampang kagetnya. “Jangan kau lakukan itu, Cameron. Karena Kakak sangat tidak setuju apa yang ingin kau perbuat kepadanya. Apakah kau sendiri tak merasa ada belas kasih pada orang yang ingin kau ambil energinya? Kau sama saja akan mampu menamatkan nyawanya!”
“Aku tidak peduli jika dia berakhir mati di tanganku, yang terpenting adalah ... aku sanggup menggenggam kekuatan Indigo yang memiliki aura kuat itu,” sanggah respon Cameron.
Perempuan dari kakaknya Cameron menekan giginya dengan memicingkan kedua matanya. “Tak habis pikir aku padamu! Ternyata selain serakah, kau juga memiliki hati egois! Kakak begitu kecewa kepadamu, Cameron!”
Perempuan itu memekik kejut sekaligus merangkum kepalanya dengan kedua tangannya waktu Cameron melemparkan gelas kosong ke arahnya, tetapi beruntungnya ia sempat dapat mengelak serangan perbuatan kasar dari adik kandungnya.
Di saat yang bersamaan, perempuan ini mengeluarkan isakan tangis dengan menatap nanar pecahan gelas itu yang ada di lantai nang sudah berubah menjadi mengenaskan. Ia meratapi takdirnya pada tragedi yang mengandung berdarah ini.
“Kau menangis? Cih, dasar wanita lemah!”
Hatinya begitu tersakiti saat Cameron merendahkan harga dirinya sebagai seorang kakak perempuan. ‘Ayah, Ibu ... andaikan kalian masih ada di sini, pasti garis hidup ini tidak akan pernah terjadi.’
“Pergilah, kau kalau hanya ingin merusak kebahagiaan orang! Buang-buang energiku saja!” bentak Cameron.
Perempuan itu yang sedang menangis dengan lirih, mendongakkan kepalanya untuk menatap adik kandung lelakinya yang sudah berani mengeluarkan nada sentakan ke dirinya.
“Cameron, Kakak hanya ingin menasehati dirimu untuk-”
“UNTUK APA??!! Kau ingin menasihatiku dengan cara seperti apa, ha?! Kau ... sudah sedari tadi berusaha memancing segala emosiku di sini. Dasar wanita tidak ada untung, menyusahkan saja! Salah apa ibu melahirkan kau di dunia?! Bahkan kau sendiri tak pernah sekalipun membahagiakan diriku sebagai saudara kandungmu!”
“Hiks, tidak seperti itu yang Kakak maksud, Cameron! Kakak hanya-”
Napas milik perempuan itu tiba-tiba tercekat dengan mata melotot saat Cameron mengambangkan satu buah pisau dari atas meja. Bahkan sekarang ia memundurkan langkahnya karena takut bila saudara kandungnya melukai fisiknya dengan menggunakan senjata tajam ini.
“Kau pilih pergi dari hadapanku, atau ku bunuh kau detik ini juga?!” ancamnya.
Sang kakak segera berdiri tegak lalu mengangkat kedua tangannya di depan dada seraya menggelengkan kepalanya kuat. “B-baiklah! Kakak akan pergi dari sini sekarang juga, tolong jangan bunuh Kakak, Sayang! I-iya, Kakak bakal segera keluar dari kamarmu!”
Perempuan tersebut yang dilanda rasa ketakutan karena ancaman dari Cameron, kini lekas berlari untuk pergi keluar dengan isakan tangisnya. Tetapi menangis dalam bentuk apapun, lelaki itu tidak akan pernah peduli sama sekali.
“Cih, menganggu kesenanganku saja!” ungkap Cameron seraya melayangkan pisau itu yang telah terambang, ke tembok cat hitamnya hingga menancap di permukaan dingin tersebut.
Setelah kembali bangkit berdiri dari kursi persinggahannya, Cameron melangkah ke jendela yang mana kacanya telah ia tutup usai Gordio sang burung Gagak peliharaannya terbang jauh. Ia memukul jendela tersebut menggunakan kepalan telapak tangannya dengan tersenyum iblis.
“Hahahahaha! Sebentar lagi aku akan mendapatkan kekuatan luar biasa itu! Tak akan ada yang bisa mengalahkanku serta menghentikanku!”
Di luar kastil Afsemoerdo yang tempatnya cukup terpencil dari pemukiman penduduk, angin dingin berhembus kencang sampai berhasil meniup sisa-sisa daun layu yang berada di atas seluruh pepohonan. Suara petir datang dengan sangat menggelegar di langit, seiring tawa jahat nan bahagianya sesosok Cameron di dunia alam gaham ini.
INDIGO To Be Continued ›››
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
𝕴𝖓𝖓𝖊𝖗 𝕭𝖑𝖚𝖊 𝕾𝖙𝖔𝖗𝖞
nah kan apa kubilang.
2023-07-07
1
𝕴𝖓𝖓𝖊𝖗 𝕭𝖑𝖚𝖊 𝕾𝖙𝖔𝖗𝖞
mata pundak apa mata kepala
2023-07-07
1
𝕴𝖓𝖓𝖊𝖗 𝕭𝖑𝖚𝖊 𝕾𝖙𝖔𝖗𝖞
hahaha sempat aja ejekin
2023-07-07
1