Di sebuah ruangan yang leluasa bersama cat warna hitam nang menghiasi semua tembok dinding di setiap ruangan asing ini. Seorang pemuda yakni adalah Anggara, membuka kedua matanya yang entah rasanya mengapa berat hingga ia langsung tersadar bahwa dirinya sekarang posisinya terbaring di suatu lantai semen yang permukaannya ada dua, dingin dan halus.
Mata Anggara terpaku pada dinding atas ruangan yang ia tempati. ‘Kenapa gue bisa ada di sini? Ini bukan halusinasi yang sedang masuk di pikiran gue, kan?’
Ckrak !
Lelaki tampan itu, mengernyitkan dahinya yang tertutup oleh rambut hitamnya saat ia tidak mampu menggerakkan tangannya, terlebih lagi terdapat suara benda di sekitar kedua tangannya waktu dirinya mengangkat anggota tubuhnya tersebut.
Anggara mengumpat dalam hati karena ia melihat sepasang pergelangan dari tangannya dibelenggu oleh suatu borgol yang berperangai besi. Dan rupanya bukan hanya tangannya saja yang diikat, tetapi dengan juga dua pergelangan kakinya. Bagaimana mungkin Anggara sanggup pergi dari tempat mistis seperti ini?
Hingga waktu Anggara berupaya membebaskan diri dari belenggu kencang ini yang ada di ruangan tersebut, ia dihampiri beberapa makhluk sakral dengan senyuman yang menyeringai. Tetapi bukan berarti menatap mereka semua, membuat nyali mental diri Anggara menipis. Ia malah justru memasang ekspresi yang menggambarkan amarah.
“Apa yang kalian inginkan?!”
Bukannya menggubris, mereka yang sekumpulan para perempuan remaja nang berusia di atas 16 tahun beserta mengenakan gaun panjang berenda code hitam, mulai saling bergandengan tangan dan mulai membentuk barisan dalam melingkar untuk bersedia mengelilingi raga Anggara yang dipasung.
Seketika mata Anggara merapat saat ia mendengar sebuah lagu lirih yang dinyanyikan oleh empat belas kelompok dari sosok perempuan bermuka pucat pasi itu. Keringat dingin pemuda tersebut mengucur membasahi tubuh, dadanya terasa begitu sakit macam ditikam oleh pisau berkali-kali, ia tak mampu bernapas dengan baik, apalagi secara sekejap tenggorokannya menjadi kering.
Sampai ujungnya, mereka semua yang berwujud makhluk gaib menghentikan lagunya begitupun menunda langkah memutarnya yang untuk mengelilingi raga Anggara supaya cepat melemah akibat suara lirih nan menyeramkan itu.
Dua perempuan yang masih melekatkan tangan dalam bergandeng, melepaskannya segera serta membelah jalan untuk memberikan tempat langkahnya seseorang yang mengenakan sepatu hak tingginya. Hal itu, membuat Anggara membuka matanya perlahan dan mencari letak sumber suara hentakan heels tersebut.
“Kau anak Indigo, ya?” tanya angkuh sang wanita yang telah berdiri di depannya Anggara dengan menampilkan senyuman smirk-nya.
Anggara mengerang sengit. “Bukan urusan lo! Lepaskan gue-” Ia memotong ucapannya sendiri saat terkejut melihat detail wajah mengerikan dari sosok wanita itu. ‘Tunggu, bukannya dia sesosok hantu yang pernah ditemui sama Reyhan tadi?! Kenapa sekarang arwah negatif ini ada dihadapan gue? Sial, apa gue dijebak olehnya setelah gue mengeluarkan kekuatan untuk mengusir dia dari Reyhan?’ relungnya kemudian ada suara perkataan yang terbesit dan muncul dibenak.
...Dasar Manusia Pengacau! Awas saja, kau nanti !...
Anggara meneguk salivanya, tak menyangka jika ucapan sebelumnya dari wanita lelembut ini membawa pertanda buruk kepadanya. Keringat dingin pula tetap senantiasa membasahi leher, keningnya si lelaki Indigo tersebut.
“Haha! Kau bilang apa, tadi? 'Lepaskan'? Jangan pernah kau berharap untuk sanggup pergi dari tempat yang telah aku sediakan dari awal rencanaku! Dan sebentar lagi akan ada seseorang yang bakal merebut semua kekuasaanmu yang sudah kau genggam sejak lahir.”
Anggara menekan giginya kuat dalam mulut yang terbuka, sorot matanya begitu tajam menatap wanita angkuh tersebut yang kembali menertawakannya. Rencana? Rupanya! Ungkapan dari wanita yang telah Anggara usir, bukan sembarangan perkataan omong kosong atau hanya ancaman.
“Menyingkirlah.”
“Ah, sudah datang! Silahkan, Tuan.” Wanita itu dengan memberikan hormat, melangkah mundur untuk membelah jalan kepada seseorang yang telah mengomandoi dirinya buat pergi dari hadapan Anggara.
Pemuda pemilik indera keenam itu, mulai menyipitkan kedua mata saat seseorang tersebut berjalan untuk mendekatinya. Walau sosok itu belum terlihat jelas di pandangan Anggara, namun ia bisa memprediksi bahwa yang akan menjadi perebut kekuatannya memiliki tubuh jangkung seperti dirinya.
“Selamat malam.”
Napas Anggara tatkala langsung tercekat waktu ia mendapati sosok yang tak asing sekali baginya, Reyhan. Mata lelaki tampan berambut hitam itu mendelik dengan bersama detak jantung yang berdegup kencang, sementara sang sahabat tersenyum miring layaknya telah bersetubuh dengan iblis.
“Reyhan? Lo, bersekutu sama arwah wanita yang hampir mengambil nyawa lo?!” kejut Anggara nyaris berhati tak percaya pada kenyataan ini.
Lelaki Friendly itu yang sekarang mempunyai aura negatif, mengeluarkan gelak tawanya pada Anggara yang menurutnya, tersebut adalah pertanyaan lelucon. Reyhan sekarang berjongkok dengan tangan menopang salah satu kakinya bersama menatap sahabatnya arogan.
“Kalau iya, kenapa? Lo kaget? Hahaha, dasar Bodoh! Bagaimana bisa indera tajam lo itu mampu terkalahkan sama rencana indahnya wanita yang secara menjadi kolega gue? Yaaaa, tapi gue seneng. Seneng karena habis ini, gue berhasil merampok semua energi lo yang ada di dalam raga.”
Anggara tersenyum miris. “Kenapa lo seperti ini? Gue yakin, lo telah dipengaruhi oleh yang gak terlihat! Lo bukan sahabat yang gue kenali.”
“Huh.” Reyhan menghembuskan napasnya dengan wajah bosannya. Rasa benci juga ada di hatinya, karena sahabat pendiamnya terlalu menghujani banyak pertanyaan, lalu pemuda berambut cokelat itu bangkit berdiri dan meninggalkan Anggara sejenak untuk pergi menuju ke pojok ruangan.
Bola mata Anggara bergerak untuk mengikuti arah Reyhan yang berjalan ke pelosok tembok. Di sana terdapat sebuah meja kayu, dan sahabatnya tengah sibuk berkutat dengan aktivitas santainya. Lelaki Indigo itu, mengeluarkan hembusan napasnya dari mulut saat menerima feeling buruk tentang mengenai tugasnya sang sahabat di daerah seberangnya.
Reyhan kini membalikkan badannya ke belakang sambil menjinjing dua gelas kecil yang di dalamnya berisi minuman warna merah pekat. Wajahnya nampak dingin dengan bersama melangkahkan kakinya tenang untuk kembali menghampiri sahabatnya.
Anggara hanya bungkam melihat Reyhan duduk silang di tepat sampingnya seraya meneguk nikmat minuman kental tersebut. Bau ini, cukup bisa Anggara ketahui apa isi dari cairan merah pekat itu.
‘Darah. Reyhan meminum cairan darah dari tubuh manusia? Apa, semua ini?! Siapa yang telah rela mempengaruhi sahabat gue hingga menjadi parah seperti sekarang? Dan, apa yang harus gue lakukan untuk mengembalikan semula jiwa asli dari Reyhan?’ rutuk hati Anggara berucap dengan pikiran kacau.
“Oh, iya. Tenggorokan lo posisinya lagi kering, kan akibat dari suara nyanyian merdu anak buah gue? Jadi ... lebih baik, sekarang lo minum air ini yang gue siapkan untuk elo, dijamin lo akan ketagihan dengan minuman yang gue kasih,” tawar Reyhan sembari menyodorkan gelas satunya yang berisi penuh.
“Lo pikir gue akan mau atas dari tawaran lo?! Jangan bermimpi!” sentak Anggara menolak pemberiannya Reyhan.
Setelah menatap intens wajah Reyhan yang mengalami perbedaan aura, sanggup Anggara tebak 100 persen bahwa sahabat ramahnya sedang dalam dibawah pengaruh iblis. Apalagi aura hitamnya benar-benar kuat dan mengundang negatif yang melekat di jiwanya Reyhan.
“Mengapa? Bukannya lo harus melancarkan dari keringnya tenggorokan elo itu? Gue hanya punya ini, sisanya daging mentah yang ada di suatu ruangan lingkup. Mungkin lo sekarang lagi merasa kelaparan karena dikurung dalam perangkap ini,” ucap Reyhan dengan tersenyum sinis.
Mata Anggara memicing dengan hati yang bertumpuk rasa benci terhadap jiwa lapuknya Reyhan. “Cuma makhluk berwatak maksiat saja yang mau dan sanggup meminum darah dan daging mentah dari tubuh manusia! Lo pikir dengan elo mengelabui, gue cepat tertipu? Gak akan!”
“KEPARAT!”
PYAR !!!
Syukurlah, Anggara tangkas menoleh kepalanya ke kanan untuk menghindari pecahan kaca gelas itu yang nyaris saja mengenai mukanya. Di sisi lain, Reyhan yang posisinya di belakangi oleh sahabatnya, berkecamuk emosi. Ia segera langsung mengambil gelas punyanya, lalu menarik paksa rambut Anggara agar menghadap ke arahnya.
“Minumlah!” geram Reyhan seraya menyuapi kasar Anggara dengan cairan darah kental itu yang masih tersisa seperempat di dalam gelas kecilnya.
Kedua pipi Anggara yang menggembung sedikit karena di dalam mulutnya telah ada cairan darah menjijikkan itu, lekas mengempis waktu ia menyemburkan minuman tersebut hingga mengenai wajah gelapnya Reyhan.
“Kurang ajar!” raung Reyhan sambil mengusap kasar wajahnya yang sudah tersiram oleh minuman spesialnya.
Napas Anggara naik-turun cepat dengan mata melotot tajam menatap sahabatnya yang sekarang sibuk membersihkan darah kental itu dari wajah tampannya. “Hentikan semua ini, Iblis!”
“Elo emang nyari mati!!” berang dahsyat Reyhan dengan beringsut untuk mencekik kuat leher Anggara bersama pakai tengah maksimalnya.
“Uhuk!” Sahabatnya Reyhan terbatuk keras lalu mengerang kencang karena ia telah sengaja menutup jalur pernapasannya Anggara.
Semakin lama mencekik, napas Anggara terasa berat ditambah dadanya diserang oleh sesak yang hebat. Ingin menghentikan aksi kejamnya Reyhan, tetapi kedua tangannya masih terkunci pada borgol besi tersebut. Mata pemuda Indigo itu, memejam erat dengan terus mengerang kesakitan.
“Haruskah gue membikin raga lo melemah, sebelum gue merebut semua kekuatan supernatural dari elo?! Karena selain itu, lo pantes buat mati!” calak Reyhan dengan menambahkan siksaannya terhadap Anggara bersama cara menekan leher sang sahabat tanpa ada rasa prihatin.
Leher Anggara terlalu sakit untuk mengeluarkan suara, ia memilih pasrah karena tak ada kesempatan emas buat menyetop aksi kejamnya Reyhan terhadap dirinya. Kini sekarang, sahabat Friendly-nya yang telah dipengaruhi energi negatif ini melepaskan salah satu tangannya dari leher sang empu lalu mengambil sesuatu benda di dalam saku kantong bagian belakang celana jeans abunya.
Kedua iris mata grey autentiknya Anggara terpaku singkat waktu meninjau sebuah pisau absurd yang sekarang telah ada di genggaman telapak tangannya Reyhan. Selain itu, Anggara terbebas dari cekikan itu yang hampir mengosongkan napas raganya.
Di bagian aluminium dari pisau tersebut, terdapat cahaya kemerahan beserta sinarnya yang mampu rada menyilaukan retina miliknya Anggara. Seketika, ia terperanjat kaget setengah mati tentang pasal mengenai fungsi pisau abstrak ini. Ya, senjata pusaka itu mempunyai suatu karakteristik yakni penyerap energi.
“Ucapkan selamat tinggal dunia, wahai Sobat gue. Bulan purnama di atas langit malam indah ini akan mengiringi kematian lo detik sekarang juga, hahahaha!” Reyhan mendaratkan kencang pucuk pisau senjatanya ke dada bidang sahabatnya tepat di kiri.
JLEB !
Pisau perampas energi Indigo-nya Anggara yang berhasil menusuk organ jantungnya sang lelaki tampan ini, membuat kedua matanya terpaku sebentar lalu berubah menjadi sayu seiring benda pusaka tersebut menyusutkan semua kekuatan yang ada di dalam tubuhnya.
“Apakah ini yang lo inginkan, Rey ...?”
Usai sukses menyembulkan suaranya kembali meskipun dengan nada yang sangatlah laun untuk Reyhan, kedua mata redupnya Anggara mulai terpejam dengan lemah. Suara yang disertakan helaan napas, telah berakhir waktu sahabatnya berjaya menjalankan segala kebahagiaannya.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Kedua mata Anggara yang sebelumnya tertutup damai, kini terbuka cepat dengan kondisi melotot. Napasnya terputus-putus, keringat dingin sukses membasahi raganya yang saat ini lemah, hingga ia mengedarkan pandangannya dalam keadaan masih terbaring di suatu tempat.
“M-mimpi?!” Ya, yang membuat tubuh Anggara lemah karena akibat dari alam mimpi buruknya yang tak masuk logika.
Kini sekarang, Anggara membangunkan raganya dari baring yang terlentang. Benar, dirinya masih tetap di dalam tenda besarnya, dan itu artinya tadi ia memang mendapatkan sebuah mimpi yang berkaitan dengan salah satu sahabatnya.
“Akh!” Pemuda Indigo itu mengerang kesakitan saat merasakan dadanya macam dihujam oleh benda tajam yang tak kasat mata.
“Kenapa gue bisa bertemu dengan mimpi yang amoral dan ranum itu- emph!” Anggara merapatkan kedua matanya dengan sedikit meremas dadanya tepat di bagian kiri.
Nampaknya pagi telah mendatang, karena di ujung sana terdapat samar-samar cahaya matahari yang memancarkan sinarnya untuk menerangi dunia. Bahkan pendengaran telinga Anggara mendapatkan suara bising yang diselingi beberapa tawa dari luar tendanya.
Dengan lekas, ia memajukan tubuhnya untuk membuka resleting tenda hitamnya lepau mengecek sumber suara tersebut dari ambang pintu ringkih. Rupanya suara-suara bising itu berasal dari ketiga sahabatnya yang sedang menyiapkan sarapan hangat di pertengahan lapang.
Eh, udah bangun tidur?! Ayo sini, Ga! Kita sarapan
Suara ramah panggilan dari Freya yang melambaikan tangannya lembut kepada Anggara, ditanggapi respon oleh lelaki tampan itu dengan anggukan kepala. Kini sebelum pergi meninggalkan tenda, Anggara perlu mengusap wajahnya terlebih dahulu untuk menghapuskan raut kegelisahannya.
“Tumben bener, lo baru bangun jam segini?”
Anggara yang telah melangkah ke tempat sarapan bersama para sahabatnya dan mendudukkan pantatnya di atas tikar blangko, menolehkan kepalanya ke arah Reyhan yang berkomunikasi dengannya. Namun, ia hanya menatap sahabat Friendly-nya sekilas lalu menundukkan kepalanya tanpa ada ekspresi wajah.
“Yahahaha! Kasian, dikacangin sama Anggara lagi!” ucap bungah Jova dengan tertawa renyah.
Reyhan mendengus sebal lalu menatap dongkol sahabat perempuan Tomboy-nya yang sibuk menghitung jumlah sosis lezat yang telah selesai direbus untuk kesemua sahabatnya. “Heh, Sableng! Bisa gak, sih jangan nyamber-nyamber kayak petir langit?! Lama-lama aku buang juga, kamu ke jurang danau. Biar di hap sama buaya!”
“Ih! Emangnya tega, sahabat ceweknya sendiri dibuang ke jurang habis itu dibiarin kalau dilahap sama buaya?! Yang bener aja, dong jika kamu itu tergolong The Human Boy Psychopath.”
Mata Reyhan mencuat. “Oh my gosh! What did you say earlier? Can you not copy my words?!”
“Why?! Is that a problem for you?!” balas Jova dengan adu bahasa asing layaknya seperti sahabat lelakinya.
Freya yang melihat perdebatan mereka berdua nang telah bermula ini, menggelengkan kepalanya sambil mengubah gaya bibirnya menjadi nyengir. “Pantesan saja, banyak orang bilang kalau kamu itu blasteran dari Barat, Rey. Bahasa Inggrisnya kamu, tuh lancar banget!”
“Bukan hanya perkara bahasanya doang yang lancar, rupa mukanya aja juga kayak cowok Barat. Banyak, tuh yang menyegani si Reyhan,” timpal Jova.
Sepasang mata lelaki humoris itu yang tadinya mencuat karena jengkel, kini berubah menjadi berbinar. “Aaaa, makasih atas pujian indahnyaaaa ...!”
Jova mencibir Reyhan dengan tatapan keki, “Apaan, dah? Gak usah kepedean, yak!”
“Halah, mau ngomong aku cowok yang sempurna aja, pake gengsi segala. Padahal, kan aku emang ganteng bak papan artis luar negeri,” ujar Reyhan dengan menyugar rambut cokelatnya disertakan senyuman yang semarak.
Jova tak segan itu, mengetuk-ketuk kening sentralnya lalu beralih mengetuk tikar biru tersebut secara berulang-ulang kali. “Amit-amit, dah! Amit-amit. Gantengan darimana? Papua?! Muka ngeselin kayak Kunyuk aja, bangga!”
Freya terkekeh geli pada tingkah kedua sahabatnya yang memang tidak ada pungkasnya sama sekali, sementara Anggara tetap diam membisu. Reyhan mendengus sebal tanpa mau lagi melawan ucapannya Jova yang selalu saja membuat ia naik usia. Ralat, maksudnya darah.
“Bro? Perasaan dari tadi lo nunduk mulu. Elo baik-baik aja, kan?” tanya khawatir Reyhan dengan menempelkan telapak tangannya di punggung sahabat Introvert-nya.
“Jangan sentuh gue.”
Freya dan Jova yang mendengar reaksi suara dingin dari Anggara, melongo tak percaya. Sementara jika Reyhan membelalakkan kedua matanya karena saking terkejutnya.
“What? Why?! Gue, kan gak kena virus Rabies, Bro! Kalau gini aja lo baru mau ngeluarin suara, mana sekali ngomong bikin gue sakit hati, lagi.” Reyhan mengomentari.
Anggara hanya menghela napasnya lelah, dan ia juga sangat malas menjawab sahabat Friendly-nya yang terlalu banyak bicara. Terlebih, kepalanya terasa sangat pusing. ingin rasanya ia ingin kembali saja ke tendanya.
“Hehe, yasudah. Nih, di makan mie kuahnya ya, Ga? Baru aja aku buatin ...” Setelah selesai mengeluarkan perkataan manis untuk menyodorkan sarapan hangat pada sahabat kecilnya, Freya lumayan dibuat kaget pada telapak tangan Anggara yang rada hangat waktu ia pegang.
“Lho? Anggara? Kok, tanganmu anget gini? Jangan bilang hari ini kamu lagi sakit?” Freya menyentuh lembut pipi bagian kanan lelaki tampan itu dengan wajah risau. “Mukamu juga agak pucat, nih.”
Anggara yang diberikan perhatian oleh Freya hanya diam saja. Bukan tidak peduli terhadap sahabat kecil perempuannya, tetapi ia tak tahu harus menjawab bagaimana selain berbicara jujur tentang apa yang telah terjadi dengannya.
Freya tersenyum tipis karena mengerti. “Kalau begitu, di makan dulu, ya? Nanti jika misalnya badanmu udah gak enak banget, langsung istirahat di tenda, oke? Biar kami bertiga yang beresin semuanya.”
Anggara mengangguk kecil tanpa mau menatap wajah cantik sahabat kecilnya yang masih tersenyum manis dengannya. Freya mengelus lengan Anggara sesaat yang terbungkus oleh jaketnya, lalu beranjak pergi dari sisinya pemuda tampan misterius tersebut.
Dipertengahan jam makan dimana aktivitas nyamannya mereka ditemani oleh hembusan angin sejuk yang menerpa rambut menawan mereka berempat, ketiga remaja yakni Freya, Jova, dan Reyhan diam-diam menatap Anggara yang sibuk memakan mie hangat itu dengan sumpit yang lelaki mandiri tersebut pakai.
Wajah mereka bertiga begitu sendu, kendatipun sudah lama bersahabat, namun ke-misteriusnya Anggara yang membuat mereka penasaran masih tetap melekat di jiwa. Termasuk Freya, gadis ini telah menjadi sahabatnya Anggara semenjak 12 tahun yang lalu. Bahkan perempuan polos nan cantik itu ingin sekali memecah teka-teki terhadap sang lelaki pendiam.
Tetapi bagaimana caranya memecah teka-teki misterius itu? Sedangkan, Anggara sangat pintar menutup segala masalah yang pernah ia alami. Bahkan hal itu mampu membuat Freya serta lainnya mengira jika dirinya memang tak pernah memiliki beban hidup.
“Kenapa kalian menatap gue?”
Ketiga sahabatnya Anggara berjengit kaget karena tatapan diamnya mereka untuk ia, diketahui cepat olehnya walau Anggara sendiri tak menengok ke arah mereka. inilah yang membuat mereka bertiga bertanya-tanya, darimana Anggara tahu jika sedang ditinjau.
...››-----𝕴𝖓𝖉𝖎𝖌𝖔-----››...
Setelah menghabiskan makanan hangatnya masing-masing, kini sekarang Reyhan yang duduk di sebelahnya Anggara menuangkan air minum untuk sahabatnya dengan senyuman ramah.
“Nih, Ga. Di minum dulu air angetnya, biar badannya bisa enakan,” sodor pemuda humoris itu seraya mengulurkan tangannya ke arah Anggara.
Baru saja memutar badan dan menerima, mata Anggara mencuat saat melihat di dalam cangkir kecil itu terdapat cairan darah kental yang telah diberikan oleh Reyhan. Dengan secara spontan, Anggara menepis kencang cangkir tersebut hingga terlempar ke arah samping kirinya.
Reyhan yang terperanjat kaget, sontak menoleh sekilas untuk melihat minuman hangat itu yang telah tumpah lalu menatap Anggara dengan tak percaya. “Ngapain lo buang, Anjir?! Udah gue kasih, malah dilempar gitu aja!”
“Kamu kenapa dah, Ga? Ada semutnya?” tanya Jova menebak.
“Ada yang salahkah, Ga?” timpal Freya menyambung ucapan pada kejadian barusan.
Reyhan menatap intens wajah pucat Anggara yang begitu syok, bahkan ia bisa melihat napas dada sahabatnya yang tersengal-sengal. Baru setelah itu, lelaki tersebut mendengus dengan senyuman masam.
“Bro, yang gue kasih itu cuman sirup, bukan cairan darah. Emangnya gue manusia apaan ngasih lo minuman kesukaannya vampir?! Itu namanya, jiwa gue udah sakit!” jelas Reyhan.
“Jiwanya memang sudah sakit, maybe.”
“Jovaaaaaa! Gak boleh ngomong kayak gitu, ih! Mental Reyhan sehat-sehat saja, kok kamu malah bilang seperti itu?!” tegur Freya.
Anggara mengacak-acak rambutnya dengan frustasi apa yang telah ia lakukan barusan, apalagi sekarang kepalanya bertambah pening dipadukan kliyengan. Kemudian ia menoleh ke arah Reyhan dengan wajah yang berubah ekspresi, lemas.
“Maaf. Gue akan ambil cangkirnya,” tutur lirihnya lalu bangkit berdiri untuk memungut cangkir minumannya yang telah mendarat di tanah.
Tangan Reyhan sedikit terangkat dengan wajah bimbangnya. “G-ga? Lo oke, kan? Tubuh lo udah kayak lagi mabuk, lho!”
Anggara tak menghiraukan apa yang Reyhan khawatirkan padanya. Tetapi anehnya, entah ini halusinasinya atau lainnya, karena cangkir kecil yang tergeletak di tanah itu berubah menjadi dua buah benda. Bukankah, tadi Reyhan memberikannya hanya satu saja?
Di sisi lain, kepalanya terasa sangat berat, disertakan raganya yang begitu lemas bagaikan balon nang usai dilambungkan ke atas udara. Hingga tidak mengerti kenapa, pandangannya seketika langsung menggelap.
“E-eh, Ga!!”
Dengan panik, mereka bertiga langsung berlari menghampiri Anggara yang sudah tergelimpang lemah di tanah secara mendadak. Usai berjongkok, Reyhan menarik tubuh sahabatnya untuk mengubahnya menjadi terlentang. Ia merangkum wajah pucat miliknya Anggara lalu di salah satu telapak tangannya menepuk-nepuk pipi hangat sang sahabat Introvert yang tiba-tiba hilang kesadaran.
“Anggara ...”
Setelah memanggil nama pemuda itu bersama nada cemas, mereka bertiga sebagai sahabatnya Anggara menatap muka tampan kucam lelaki tersebut yang mana kedua matanya telah terpejam dengan tenangnya.
INDIGO To Be Continued ›››
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
𝕴𝖓𝖓𝖊𝖗 𝕭𝖑𝖚𝖊 𝕾𝖙𝖔𝖗𝖞
aduh thor... hati ku mengeryiit banget
2023-07-07
1
𝕴𝖓𝖓𝖊𝖗 𝕭𝖑𝖚𝖊 𝕾𝖙𝖔𝖗𝖞
Dasar
2023-07-07
1
𝕴𝖓𝖓𝖊𝖗 𝕭𝖑𝖚𝖊 𝕾𝖙𝖔𝖗𝖞
halusinasi Angga ya thor
2023-07-07
1