Malam harinya ketika semua sudah terlelap dalam tidur, Hasa terbangun. Ia mengambil buku yang sangat ia ingin tahu kelanjutannya. Ia pun kembali membaca buku tersebut
Flashback **
Di salah satu Rumah sakit Jakarta. Para perawat berlari sambil mendorong bangsal menuju ambulan yang baru datang. Suasana begitu riuh. Ada korban kecelakaan dengan pendarahan di bagian kepalanya. Mereka terlihat terburu-buru menuju ruang Operasi untuk memberikan pertolongan kepada pria korban kecelakaan tersebut.
Beberapa saat pria itu tersadar di perjalanannya menuju ruang Operasi. Ia melihat samar-samar seorang pria dan seorang wanita paruh baya yang sedang berbicara dengan dokter. Walaupun pandangannya kabur tapi, sekilas ia mendengar pembicaraan mereka.
"Maaf bu, kami sudah berusaha. Tapi, sampai saat ini kami belum bisa mendapatkan donor jantung untuk anak ibu", ucap dokter tersebut. " Saya juga takut kalau anak ibu tidak bisa bertahan lama."
Wanita itu begitu sedih. Tangisnya pecah. Setelah itu pria korban kecelakaan itu langsung tidak sadarkan diri lagi. Ia pun telah masuk di ruang Operasi. Di sana para dokter sedang berusaha keras menolong pria itu. Terlihat ketegangan dan keseriusan.
Setengah jam berlalu tampak seorang wanita berlari sekuat tenaganya dengan air mata yang telah membasahi wajahnya. Langkahnya terhenti di saat berhadapan dengan pintu ruangan Operasi.
Ia lalu berjongkok, menutup wajahnya yang sedang menangisi seseorang yang berada di sana. Bibirnya tidak pernah berhenti melantunkan doa-doa.
Sudah satu setengah jam ia menunggu dan menangis. Klek. Pintu terbuka. Seorang dokter keluar dari ruangan tersebut. Dinda yang sudah lama menunggu pun langsung menghampiri dokter itu.
"Dokter bagaimana keadaan suami saya?" ucap Dinda tersedu-sedu.
"Kami sudah berusaha semampu kami bu, ada keretakan di tulang tengkorak pasien. Operasi sudah selesai dan kami akan memindahkan pasien ke ruang pemulihan", jawab dokter tersebut dan langsung bergegas pergi.
Penjelasan dokter itu sangat tidak memuaskan hati Dinda. Pikirannya begitu kacau tentang hal terburuk yang akan terjadi.
Dimas, suami Dinda sekaligus korban kecelakaan telah di pindahkan ke ruang sebelah ruang Operasi yaitu ruang pemulihan.
Setelah selesai sholat maghrib ia kembali ke tempat dimana ia menunggu Dimas. Tidak lama seorang dokter memanggil dirinya untuk masuk ke ruang pemulihan karena Dimas telah sadar dan ingin berbicara dengan Dinda.
Ada sedikit kelegaan dihatinya. Ia pun segera menemui Dimas.
"Mas", Dinda duduk di samping bangsal sambil menangis. " Kenapa kamu bisa kaya gini? Hiks".
"A... ku nggak apa apa kok. Cuma sakit sedikit", ucap Dimas pelan dan lambat.
Dinda tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tahu betul suaminya ini selalu menutupi rasa sakitnya sangking tidak mau istrinya merasa cemas. Dinda hanya bisa menangis dan menangis.
" Yang, aku punya satu permintaan", ucap Dimas pelan.
"Apa?" jawab Dinda serak.
"Jika nanti, aku telah tiada.... ", ucapan Dimas terhenti karena Dinda menutup mulutnya.
" No, jangan katakan. Aku gak bisa mendengarnya", ucap Dinda panik.
Dimas lalu tersenyum sambil menggenggam tangan yang menutup mulutnya.
"Dengar Yang, apapun yang terjadi kamu harus ikhlas. Karena ini sudah takdir Allah. Sesedih dan sesakit apapun hati kamu, tolong kamu harus ikhlas. Jangan menyalahkan siapapun dan apapun. Mungkin, ada hikmah lain. Atau mungkin ini adalah rencana Allah untuk membantu orang lain", jelas Dimas pelan.
"Apa maksud kamu mas, rencana Allah membantu orang lain?", tanya Dinda bingung.
" Yang, aku ingin mendonorkan jantungku untuk seorang pasien yang ada di rumah sakit ini", jawab Dimas.
"Apa? Kamu sadar apa yang kamu katakan mas?"
"Yang, please. Aku mohon kamu harus setuju. Mudah-mudahan ini menjadi amal jariyah untukku".
" Kamu ngomong apa sih mas...? Kamu tuh harus kuat... "
Belum lagi ucapan Dinda selesai, tubuh Dimas bereaksi. Tangan kanannya meremas dadanya dan tangan kirinya memegang kepalanya. Terlihat seperti sesak napas.
"Mas.... mas.. kamu kenapa? Suster , ini suami saya kenapa?" Dinda panik.
Seorang suster yang sedari tadi berjaga di ruang pemulihan langsung melihat kondisi Dimas lalu bergegas memanggil dokter.
"Yang, haaaahh a.. ku min... ta... maaf. Ji... ka selama ki.. ta bersama a.. ku berbuat sa... lah padamu" ucap Dimas terbata-bata.
"Maaf bu saya mau periksa pasien dulu", ucap seorang dokter yang baru datang.
" Maaf, ibu boleh keluar ruangan", seorang suster menarik tangan Dinda.
Dinda tidak bisa berkata-kata lagi. Ia menangis dan terus menangis. Melihat keadaan suaminya dari kaca pintu. Beberapa saat kemudian, Dinda melihat gerakan bibir sang suami mengucap dua kalimat syahadat dan langsung menutup matanya.
Dinda memejamkan matanya, menangis bersandar dengan dinding. Ia tahu suaminya sudah pergi. Hatinya begitu sakit pikirannya berkecamuk. Ia masih tidak percaya. Usia pernikahannya yang baru setahun 3 bulan harus usai. Lelaki yang di cintainya, yang menjadi tempat keluh kesahnya, lelaki yang telah merubahnya menjadi wanita yang lebih baik, lelaki yang sabar dan lembut tutur katanya pergi meninggalkannya. Ingin rasanya ia ikut bersama suaminya. Jika ia rindu, kemana ia harus mencari suaminya. Pikiran-pikiran itu terus berputar-putar di kepalanya.
"Maaf bu, suami ibu sudah meninggal. Kami sudah berusaha tapi, Allah lah yang menentukan", ucap dokter yang keluar dari ruang pemulihan itu.
Dinda terduduk lemas di lantai, menangis tersedu-sedu.
Di ruang lain, seorang wanita melihat Dinda yang menangis. Ia lalu memanggil dokter yang sedang melintas.
"Maaf dok, mbak yang di sana kenapa ya?"
"Suaminya korban kecelakaan dan baru saja meninggal. Maaf bu, saya permisi dulu".
Tiba-tiba terlintas begitu saja tentang donor jantung untuk anaknya yang juga tengah sekarat. Ia kembali masuk keruangan dan memanggil suaminya untuk berbicara di luar.
Wanita itupun membicarakan tentang donor jantung untuk anaknya dan membicarakan pria yang baru saja meninggal di rumah sakit itu.
"Tapi ma, bagaimana cara bilangnya? Sedangkan mbak itu lagi sedih dan berduka", ucap Bahar suami wanita itu.
" Nah, itu dia pa, mama juga berpikir begitu. Tapi, kalau tidak segera entar kesempatan kita hilang".
"Papa, benar-benar gak tega ma".
" Pa, itu Dokter Ridwan. Gimana kalau kita minta bantuan beliau".
Keduanya pun langsung mendekati Dokter Ridwan dan mengatakan keinginan mereka. Dokter itu mengerti dan akan mencoba menolong mereka.
Dokter Ridwan pun berjalan menuju Dinda yang sedang menangis. Dari kejauhan Bahar dan istrinya harap-harap cemas. Berharap Wanita itu tidak sakit hati karena telah mengganggunya.
Dengan pelan dan kata-kata yang jelas Dokter Ridwan menyampaikan keinginan orang tua pasiennya.
Berat, teramat berat bagi Dinda sebenarnya. Namun, itu adalah permintaan terakhir suaminya yang mana harus ia laksanakan dengan ikhlas.
Dinda pun pergi mengikuti Dokter menemui kedua orang tua itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
@Kristin
like faporit
2022-09-04
1
Nenie desu
favorit deh bagus banget 🤗🙏
2022-08-16
0
titaros
,👍👍👍👍
2022-07-11
2