Seorang gadis cantik tengah menatap foto berukuran A8 di tangannya, rasa kesal, sesak, sakit, kecewa dan marah kembali terselip di benaknya. Foto dua orang perempuan dan satu orang laki-laki yang tengah tersenyum bahagia itu telah membuatnya kembali menitikkan air mata. Dirinya terlihat bahagia di dalam foto itu, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di belakangnya.
Sahabat yang begitu dipercaya telah mengkhianati dirinya bersama cinta pertamanya, dan itu menoreh luka yang sangat dalam di hatinya. Gadis itu kecewa. Untuk pertama kali dirinya mengerti kata cinta, namun langsung di patahkan oleh kenyataan yang begitu menyakitkan.
Dengan kasar ia merobek foto itu hingga menjadi beberapa kepingan kecil, lalu melemparkannya asal hingga semua berjatuhan di atas ranjang berwarna biru muda itu. Gadis itu menyingkap selimut bermotif bunga yang menutupi sebagian kakinya, hingga foto itu kembali berterbangan lalu mendarat dengan apik di lantai kamarnya. Bahkan menurutnya foto penuh kenangan itu sangat tidak pantas mengotori ranjang miliknya.
Gadis itu terbaring setelah menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh, lampu kamar yang temaram seolah mendukung suasana hatinya. Hanya sebuah boneka beruang besar berwarna coklat yang kini menjadi temannya di kamar luas ber AC itu, memeluknya dengan sangat erat mencari sedikit kehangatan. Hingga suara ketukan pintu menyadarkannya dari kesepian yang yang melanda relung hati.
"ZIANNA SAYANG!"
Zia beranjak duduk saat mendengar namanya di panggil oleh seseorang yang sangat di kenalnya, tangannya bergerak mengusap sisa air mata lalu mencoba bersikap senormal mungkin. Di atas nakas ia mengambil remote kecil, lalu dengan seketika semua lampu kamar menyala dengan terang saat jempol tangannya menekan tombol power.
"Masuk aja Dad, nggak dikunci kok!" teriak Zia tanpa mau beranjak dari tempat tidurnya.
Tanpa menunggu lama pintu langsung terbuka, memperlihatkan seorang pria yang masih sangat tampan dan tegas di usianya yang sudah memasuki hampir kepala lima. Pria itu tersenyum tipis sambil mendekat ke arah putrinya, Zianna. Sedangkan Zia? dia hanya menunduk diam saat Daddy Zion duduk tepat di hadapannya.
"Dad mau bicara sama kamu!" Zia mendongak saat tangan Daddy mengelus puncak kepalanya meski hanya sesaat.
"Dad, Anna cuma pengen sekolah di sana aja, Anna janji kok Anna bakal jaga diri!" Zia menatap Daddy dengan tatapan memohon.
Sudah untuk ke empat kalinya sejak kejadian satu bulan yang lalu, Zia meminta untuk pindah sekolah ke Indonesia. Namun Daddy Zion belum juga mengizinkan dirinya untuk kembali ke negara asalnya. Zia ingin pindah sekolah dengan alasan ingin bersekolah di negara tempat kelahirannya, padahal bukan itu alasan utama yang membuatnya ingin segera pindah sekolah.
Sejenak Zion terdiam menatap lekat putrinya. "Baiklah!" Ia menjeda apa yang ingin di ucapkan, "kamu boleh sekolah di Indonesia, tapi ada syaratnya!"
Seketika Zianna menatap dengan binaran antusias, akhirnya hal yang di tunggu datang juga. "Apa syaratnya Dad? Anna mau!" Senyum lebar mengembang di bibir manisnya.
"Kamu tidak boleh menunjukkan identitas mu dan tidak boleh tinggal di mansion!" Seketika senyum lebar Zia meredup, berganti dengan kerutan di dahi tanda tidak mengerti.
"Kalau aku tidak boleh tinggal di mansion lalu aku akan tinggal di mana?" Zia tidak masalah jika harus merahasiakan identitasnya, lagi pula itulah yang selalu ia lakukan setiap hari di sekolah selama ini.
"Kamu akan tinggal bersama Paman Max, asisten Daddy di sana! Kamu masih ingat 'kan?" ujar Zion bertanya.
Zia menunjukkan senyum yang memperlihatkan sedikit giginya yang rapi, mengangguk antusias hingga menggoyangkan rambut panjang yang menutupi punggungnya. "Inget lah, berarti Anna tinggal sama Tante Viara!" ucapnya dengan senang.
"Dad juga yang akan mengurus perpindahan sekolah kamu!"
Zion menatap dengan berat, sangat sulit baginya mengizinkan putri kesayangannya itu untuk menetap berjauhan darinya. Namun tidak ada pilihan lain, Zion sebenarnya tahu apa yang membuat Zia rela melakukan semua ini.
"Di SMA mana?" Gadis cantik berambut cokelat itu kini memegang tangan sang Daddy, seolah menegaskan bahwa dirinya tidak apa-apa jika berjauhan dengan keluarga.
"Kamu akan satu sekolah bersama sepupumu, Handa!" Keputusan dari Zion membuat Zia membulatkan matanya seketika.
"Nggak Dad, Anna nggak mau sekolah di sana!" Zia menolak dengan cepat lalu menunduk menunjukkan ketidaksukaan.
Bukan sepupunya yang membuat Zia tidak mau, tapi para siswa di sekolah itu yang membuatnya enggan menimba ilmu di sana, semua muridnya resek setahunya. Setelah memutuskan untuk pindah sekolah, ia memang sempat menjelajah ke beberapa sekolah terbaik yang akan menjadi pilihannya. SMA Galaxy, tempat di mana sepupunya bersekolah itu tidak termasuk dalam daftar pilihannya.
"Kenapa? Setidaknya di sana kamu punya kenalan sayang! Bukan cuma Handa, di sana juga ada Kenzo!" ujar Zion. Pria itu hanya khawatir putrinya tidak nyaman jika di sekolah lain, menurutnya Zia akan lebih nyaman jika bersama kedua sepupunya.
"Nggak Dad, di tempat lain aja ya!" Zia memohon dengan puppy eyesnya. Zia tidak masalah kalau hanya ada Handa, yang jadi masalah adalah keberadaan Kenzo di sana. Hubungannya dengan Kenzo selama beberapa tahun ini sangat tidak baik-baik saja, Zia pun tidak tahu apa yang membuat Kenzo sangat membenci dirinya.
Zion terdiam sembari menatap lekat wajah putrinya, berpikir sejenak mempertimbangkan keinginannya. "Tidak, kamu hanya boleh sekolah di sana! Kalau mau, kamu pindah. Kalau kamu nggak mau, berarti nggak usah pindah!"
Zia terdiam memikirkan keputusan Daddy nya yang tidak bisa di ganggu gugat itu. Tentu saja ia kecewa, tapi mau bagaimana lagi, dari pada tetap berada di sini lebih baik ia pindah saja ke sekolah itu. Lagipula tidak ada buruknya juga kalau pindah ke sekolah itu.
Jika berlama-lama di sini, Zia takut hanya akan membuat musuh dari keluarganya mengetahui identitas seluruh keluarganya. Setelah putus hubungan dirinya dengan Rexie dan Danis, Zia mulai menyadari ada sesuatu yang mencurigakan. Identitasnya kembali di ketahui oleh musuh yang ingin menghancurkan keluarganya, melindungi kedua adik laki-lakinya adalah tujuan utamanya saat ini.
Zia berharap dengan kepindahannya ke Indonesia bisa mengecoh musuh keluarganya yang memang sudah terlanjur mengetahui dirinya, karena penculikan yang terjadi padanya dua belas tahun silam. Dengan kepindahannya maka kedua adiknya akan baik-baik saja, dan penculik itu hanya akan mengetahui bahwa hanya Zia anak satu-satunya Zion dan Shina.
*****
Lima hari berlalu sejak keputusan Zion tentang kepindahannya, kini Zia sudah tinggal di rumah Paman Max. Zion sudah kembali ke Jerman setelah mengantarkan Zia sampai ke rumah Max dengan selamat dua hari yang lalu, menggunakan jet pribadi miliknya.
Hari ini adalah hari pertama Zia masuk ke sekolah barunya, setelah dua hari menghabiskan waktu hanya dengan berdiam diri di rumah. Di dalam kamar luas bernuansa biru muda dan putih itu, Zia sedang merapikan diri menggunakan seragam sekolah baru miliknya.
Tok... Tok... Tok...
"Nona, sudah siang waktunya sekolah!" pekik Viara dengan tangan yang masih mengetuk pintu.
Tidak berselang lama pintu kamar terbuka, menampilkan seorang gadis berkuncir satu yang terlihat sangat cantik dan rapi dengan seragam sekolah barunya. Viara menyambut dengan tersenyum, yang dibalas dengan senyuman yang serupa oleh Zia.
"Tante kira kamu belum bangun. Maaf ya, Tante lupa bangunin kamu tadi!" Viara bernafas lega, untung saja Nona nya itu gadis yang rajin dan sudah mandiri sejak sejak kecil.
"Nggak papa kok Tante!" Zia tersenyum manis, lagipula untuk apa dibangunkan. Gadis itu sudah cukup dewasa untuk menyiapkan semuanya sendiri, walaupun beberapa kali Zia kerap menunjukkan sifat kekanak-kanakan nya. Mau bagaimana pun Zia masih berusia tujuh belas tahun, sifat labil dan manja sering kali mendominasi padanya.
"Ya sudah ayo sarapan dulu!" Viara mengajak Zia menuju ruang makan, sebelum waktu semakin siang.
Zia menahan Viara yang sedang berjalan menggandeng dirinya menuju ruang makan. Ada sesuatu yang ingin di bicarakan gadis itu pada Tantenya. "Tante, boleh nggak jangan panggil Zia pake Nona lagi, Zia nggak suka. Zia pengennya Tante panggilnya nama aja!" pintanya.
"Ya udah kalau itu mau kamu, Tante coba nanti!" Zia langsung tersenyum senang saat Tante Viara menyetujui permintaannya.
Bagi Viara itu termasuk permintaan yang cukup sulit, mau bagaimana pun Zia adalah putri dari mantan majikannya dulu. Sekarang pun Zia masih menjadi putri dari pemilik perusahaan tempat suaminya bekerja, tapi Viara akan tetap mencobanya nanti.
"Tante, Zia titip Jaka ya. Belum Zia kasih makan soalnya!" pinta Zia. Jaka adalah nama kucing kecil yang baru Zia adopsi kemarin, kucing yang di ambil dari mansion Zielinski.
"Iya tenang aja!" ujar Viara menyanggupi.
Mereka berdua langsung menuju ruang makan untuk segera mulai menyantap sarapan pagi. Mereka memulai sarapan tanpa adanya obrolan karena waktu sudah semakin siang, tidak mungkin kan Zia harus terlambat ke sekolah hanya karena kelamaan sarapan.
Selesai sarapan Zia, Paman Max dan putranya -Bian Xavierre, berpamitan pada Viara. Max mengantarkan Bian ke sekolahnya lebih dulu, karena jarak ke sekolah putranya itu lebih dekat dari sekolah Zia. Setelahnya giliran Max mengantar Zia, beruntung jalanan di pagi hari ini belum terlampau macet. Dengan begitu Zia bisa sampai di sekolah tepat pada waktunya.
Dan di sinilah Zia berada, menatap gedung sekolah baru yang akan menjadi tempatnya menimba ilmu. Banyak murid yang terlihat berjalan memasuki area sekolah yang cukup elite itu. Zia hanya terdiam di tempat, rasanya sedikit gugup untuk keluar dari mobil sekarang.
"Nona?" Max menepuk pundak Zia, mencoba menyadarkannya dari lamunan.
"Eh iya Paman!" Zia tersadar, sudah cukup lama ia hanya memandang para siswa dan siswi yang masuk melewati gerbang.
"Maaf Nona, saya tidak bisa mengantar sampai ke dalam, karena...."
"Nggak papa Paman, Zia bisa sendiri kok!" Zia menyela sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan terburu-buru. "Paman, mulai sekarang panggilnya Zia aja ya! Zia nggak suka di panggil Nona. Ya udah Zia masuk dulu!"
"Nona, nanti cari Bu Mega ya!" ucap Max dengan suara meninggi agar Zia dapat mendengarnya.
Zia hanya mengacungkan jempolnya sambil berlari memasuki area sekolah, karena sebentar lagi gerbang akan di tutup. Max yang melihatnya hanya menggeleng sambil tersenyum tipis, kemudian melajukan kembali mobilnya menuju perusahaan.
Zia berjalan menyusuri koridor dengan mata yang menelisik ruangan demi ruangan, tidak ada siapapun di sana, sepertinya para siswa sedang melakukan upacara bendera saat ini. Gadis itu sedang mencari di mana letak ruang guru berada, tidak ada seorang pun yang bisa ditanyai saat ini.
Seorang laki-laki tengah berlari terburu-buru jauh di depan Zia, ada beberapa siswa juga di belakangnya. Karena terlalu fokus mencari ruang guru, gadis itu sampai tidak menyadarinya. Ia terus berjalan dengan mata yang melihat ke arah yang berbeda. Begitu juga dengan lelaki itu, entah apa yang membuatnya berlari seperti dikejar anjing di pagi hari.
Brukk
"Aduh...!"
Zia terpental dan mendarat dengan apik di lantai, hari yang sangat sial untuknya. Baru pertama masuk saja harus mengalami hal seperti ini, Zia mengaduh kesakitan. Berbeda dengan Zia, cowok yang tidak sengaja menabraknya tadi justru masih berdiri di tempatnya. Sepertinya tubuh Zia tidak mampu menggoyahkan kekokohan tubuhnya.
Cowok itu mengulurkan tangan, setidaknya ia cukup tahu diri bahwa itu adalah kesalahannya. Tanpa memikirkan siapa cowok itu Zia langsung menerimanya, berdiri lalu membersihkan dan merapikan kembali bajunya yang sedikit berantakan.
"Darah!" Zia terkejut melihat darah yang keluar di tangan cowok itu, "Maaf gue nggak sengaja!" Zia berpikir bahwa dirinya yang telah menabrak cowok itu tadi, salahnya juga tidak menatap ke depan dengan benar.
Melihat ada luka kecil di tangan cowok itu membuat Zia merasa sedikit bersalah, gadis itu langsung mencari plester di dalam tas. Setelah ketemu Zia mengambil tangan itu tanpa persetujuan dari sang pemilik. Tangan mungilnya mulai membalut luka itu perlahan, mengira tangan itu terluka karena tabrakan yang cukup dramatis tadi.
Cowok itu hanya diam saja membiarkan apa yang sedang dilakukan gadis itu, ini pertama kalinya seorang perempuan berani menyentuhnya. Selain keluarga tentunya. Entah apa yang di pikirkan olehnya, cowok itu hanya fokus menatap wajah yang sedang serius membalut luka kecil di tangannya itu. Seringai kecil terukir di bibirnya yang sedikit tebal, gadis pencuri yang satu bulan lalu berhasil mengelabui dirinya kini berada di hadapannya.
"Lo nggak papa 'kan? Sorry, gue nggak sengaja!" Tidak ada jawaban dari cowok itu, Zia mendongak untuk melihat seperti apa wajahnya.
Gadis itu tercengang seketika, cowok itu membuatnya tidak bisa berkata-kata. Pakaiannya sedikit kotor dan dibiarkan keluar, dua kancing baju bagian atas terlepas memperlihatkan kaos hitam di dalamnya. Tidak lupa rambut yang cukup acakan dan sudut bibirnya ada sedikit darah yang sudah mengering. Lebam, sangat berantakan. Tapi, Zia akui cowok itu masih terlihat tampan meski dalam kondisi seperti itu.
"Lo nggak papa Heav?" tanya seorang cowok yang baru datang bersama yang lainnya.
Glek
Zia meremas ujung roknya, semua cowok itu menatap dengan bingung, penasaran serta kagum pada dirinya. Zia jadi merasa risih sendiri ditatap seperti itu oleh mereka, di tambah dengan cowok yang sejak tadi hanya diam saja di hadapannya. Cowok yang sama yang ditemuinya di hotel waktu itu, kini tengah menyeringai menatap dirinya.
"Maaf gue nggak sengaja nabrak dia tadi!" Zia buru-buru pergi dari hadapan mereka, jujur saja ia sedikit takut. Karena mereka semuanya berpenampilan sama. Aneh, banyak lebam dan sangat berantakan.
"Aneh banget tuh cewek, lo yang nabrak kenapa jadi dia yang minta maaf!" ucap salah satu cowok bernametag Agam Maverick.
Pandangan mereka masih tertuju pada punggung gadis yang semakin lama semakin menjauh. Wajah cewek itu terlihat asing, mereka menduga akan ada murid baru di sekolah.
"Muka lo serem kayaknya Heav, makanya dia langsung minta maaf gitu!" Agam tergelak mengejek.
"Ketawa sekali lagi gue tenggelamin lo ke laut merah!" balas cowok yang merasa ditertawakan, Heaven. Seketika Agam langsung menghentikan tawanya, berganti dengan cengiran bodoh.
"Tapi dia cantik tau, kayaknya ada anak baru deh. Udah cantik pake banget lagi, lumayan nih!" Nanda menyahut dengan senyuman penuh misteri, jiwa playboy nya meronta melihat kecantikan Zia.
"Lo tuh ya, cewek udah bertebaran juga masih aja ngoleksi. Emang dasar playboy cap ketombe! Buat yang jomblo dulu napa!" Agam menyahut sambil menunjuk cowok lain yang masih belum memiliki pasangan di antara mereka.
"Bilang aja lo yang mau, nggak usah bawa bawa yang lain! Muna!" Nanda mendengus melihat Agam yang memasang wajah menyebalkan sedang menaik turunkan alisnya sambil tersenyum jenaka.
"Siapa Muna? Cewek baru lo?" tanya Agam tidak tahu. Ah tidak, lebih tepatnya pura-pura tidak tahu.
"Munafik kocak!" kesal Nanda.
Heaven menatap plester yang menempel di tangannya, plester berwarna biru dengan beberapa gambar potongan kue di dalamnya. Senyum tipis tercetak di bibirnya, tidak biasanya ia tersenyum hanya karena mendapatkan sebuah plester. Untung saja temannya yang lain tidak terlalu memperhatikan raut wajahnya saat ini, bisa bisa dirinya dijadikan bahan bulan-bulanan kalau sampai ketahuan.
*********
Jangan lupa tinggalkan jejak ya, biar akunya lebih semangat lagi. 😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
💕febhy ajah💕
asyik sepertinya seru, bermalam akhhhh
2023-03-09
0
Sandisalbiah
sampai bab ini enjoy dibaca, menarik thor tetep semangat..
2022-11-13
0
HR_junior
oh ada Agam tp bukan Agam Mateo haaa😁😁😁😁😝😄😄
2022-09-19
0