"Seharusnya ada yang memberitahumu fakta tentang SimmingtonBrowne dulu," kata Daniel serak. "Seharusnya ada yang memberitahumu seperti apa pria itu sebenarnya-" Daniel berhenti tiba-tiba saat menyadari ke mana percakapan ini berakhir. Satu-satunya alasan, dan itu sebenarnya bukan alasan, adalah ia belum pernah sangat marah seperti ini sebelumnya.Pada siapa pun.
Atau tentang apa pun. "Lupakan saja, Caca," jawabnya tak acuh.
"Aku tidak ingin melupakannya, Daniel." Tangan Caca mencengkeram lengan Daniel, menahannya pergi. "Apa yang seharusnya aku ketahui tentang David?" pintanya bingung.
Daniel menangkap kebingungan tercermin dalam mata Caca. Dan pipinya yang pucat. Daniel membenci kenyataan bahwa ia penyebab kebingungan itu. la menggeleng - geleng muram. "Tidak seharusnya aku membicarakan ini."
"Kenapa tidak?" erang Caca frustrasi. "Apa yang kau ketahui tentang David dan tidak aku ketahui?"
Mulut Daniel terkatup kuat. "Aku belum pernah bertemu dengan pria itu."
Tatapan Caca menyelidiki.
"Tapi, sepertinya tidak menghentikan dirimu untuk menarik kesimpulan tentang David."
Tidak, memang tidak, aku Daniel dengan berat hati. Sebenarnya, ia sangat tahu tentang David SimmingtonBrowne. "Mari kita pergi tidur, Caca," ajaknya ringan.
Bagaimana mungkin ia bisa tidur setelah Daniel memberi isyarat, tuduhan, bahwa ia tidak mengenal David sebaik anggapannya selama ini. Terutama karena ia juga sampai pada kesimpulan yang sama hari ini saat mencoba mengingat-ingat wajah David. Ketika Caca mencoba mengingat kebersamaan mereka. Mencoba mengingat cinta yang ia rasakan untuk lelaki itu. Dan ia gagal....
"Aku perlu tahu, Daniel."
"Mengapa?"
Caca menelan ludah dengan susah payah. "Karena aku perlu tahu." Karena ia jatuh cinta pada Daniel, itu sebabnya! Jika bukan karena perasaan tersebut ...
Daniel menatapnya beberapa saat sebelum menggeleng kuat-kuat. "Bukan dari aku," potongnya tegas.
"Siapa lagi, kalau begitu?" Caca bertanya tidak sabar. "Siapa lagi yang tahu?"
Daniel menunduk menatapnya, menyadari tekad dalam tatapan Caca bahwa dia tidak akan tenang sampai mendapatkan kebenaran. Tidak ada yang salah mengetahui kebenaran tentang kematian tunangannya, Daniel hanya tidak ingin menjadi orang yang harus mengatakannya kepada Caca. "Aku akan tidur, Caca," katanya datar. "Kau bebas melakukan apa saja," tambahnya tak acuh, sambil menepis tangan Caca di lengannya sebelum berbalik.
"Daniel! Aku ... aku minta maaf atas kata-kataku saat aku menyimpulkan bahwa kau menghindari komitmen seperti ayahmu," jelasnya enggan ketika Daniel mengerutkan keningnya bingung.
"Seharusnya aku tidak mengatakan itu."
"Asal kau tahu, Caca," tegasnya, "Aku tidak takut berkomitmen. Aku hanya tidak melihat pentingnya komitmen. Jika bertemu wanita yang tepat, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk berkomitmen dan menikah, oke? Sejauh ini aku belum bertemu wanita itu, tapi ketika saatnya datang aku pasti akan memintanya untuk menikah denganku, oke?"
Caca merasa hampa di dalam perutnya. Jika Daniel bertemu wanita yang tepat, dia mungkin menikah. Hanya memikirkan Daniel menikahi wanita yang belum dia temui, wanita tanpa nama saja, sudah cukup membuat Caca mual. Bagaimana perasaannya saat Daniel menikah? Bagaimana ia bisa terus bekerja untuk pria itu,mengetahui bahwa pada akhir hari ia akan pulang ke istrinya, ke ranjang mereka?
Caca bahkan tidak memikirkan hal itu.
Perkataan Daniel bahwa Caca tidak tahu-menahu tentang David menjadi tidak penting setelah pria itu melontarkan gagasan untuk menikah.
Caca berusaha agar perasaannya untuk Daniel tidak terlalu dalam. Ia sadar bahwa hal itu hanya akan menyebabkan rasa sakit yang tidak siap ia hadapi. "Oke," terimanya dengan suara parau.
Caca tampak begitu tak berdaya dan sedih saat ia berdiri di sana sendirian di samping perapian. Daniel menatapnya tidak sabar dan gelisah. Sinar yang memantul membuat rambutnya menjadi merah keemasan. Kemilau emas yang sama ada di kedalaman cokelat matanya, dan cahaya madu di pipinya.
Caca tampak sangat cantik ....
Napas Daniel tersekat saat Caca membalas tatapannya. Saat mata cokelatnya seakan berubah menjadi cair keemasan dan pipinya mulai tersipu.
Daniel tidak berpikir jernih saat melangkah kembali ke sisi Andi; saat mengangkat satu tangannya dan menyentuh pipi Caca yang hangat, saat menatap mata cokelat wanita itu.
Caca membalas tatapannya. Tidak menantang, tapi bertanya.
Satu isyarat agar Daniel berhenti saat ini juga. Berhenti melakukan sesuatu yang akan menimbulkan bencana. Tapi, ia tidak sanggup melakukannya. la ingin menyatukan bibirnya dengan Caca. Ingin melakukan lebih dari sekadar menyatukan bibir. Tapi bisa menyatukan bibir saja sudah cukup. Merasakan Caca membalasnya. Cukup untuk saat ini ....
Daniel menunduk perlahan, sambil tetap menatap Caca lekat, suara mereka keluar tanpa disadari saat bibir mereka bersentuhan. Caca terasa sangat nikmat! Begitu manis, seperti bunga madu. "Buka mulutmu, Caca," suara parau di bibir Caca. "Biarkan aku masuk!" pinta Daniel pedih saat lidahnya bergerak ringan membelai kelembutan bibir Caca.
Bibir yang terbuka dan mengundang saat Caca berada lekat dalam pelukannya, lengannya membelai bahu Daniel ketika jemarinya menyugar rambut gelap dan tebal Daniel di tengkuknya.
Daniel memperdalam ciumannya, bibirnya mendesak bibir Caca saat lidahnya menyelinap ke dalam mulut manis wanita itu.
Caca bergetar saat lidah Daniel mendorong masuk, mencari, memiliki, menawannya. Memicu.
Caca menekan tubuhnya ke Daniel. Penyatuan bibir mereka semakin hebat, gunung Caca terasa sensitif saat menyentuh dada Daniel yang keras. Dada Daniel yang liat berhadapan dengan puncak gunungnya yang tegang, mengirim sinyal hangat ke tubuhnya.
Tangan Daniel perlahan meninggalkan pipi Caca, membelai gunungnya, lekuk pinggangnya, dan terus turun. Jemarinya melengkung di lekuk pinggul Caca, menariknya lebih dekat ke pusat gairah. Tubuh mereka yang saling menekan mendorong kenikmatan yang liar. Hasrat Caca pun tumbuh. Ia menginginkannya saat merayapi tubuh Daniel.
Keinginannya berubah menjadi rasa sakit saat tangan Daniel mulai berpindah ke lekukan gunungnya, membekapnya, meremas lembut. Ibu jari Daniel tanpa ragu menekan puncak gunung yang menyembul dari balik baju Caca.
Caca mengerang pelan saat seluruh tubuhnya serasa meleleh, nyeri yang berdenyut panas, jemarinya menempel pada bahu Daniel saat bibir pria itu mulai meninggalkan bibir Caca, menyusuri lehernya dan hinggap ke cekungan bawah. Lidah Daniel terbenam, menikmati.
Leher Caca melengkung penuh pinta saat Daniel duduk di lengan kursi siap mengangkat blus Caca. Satu tangannya mulai membelai gunung Caca, sembari menunduk dan mengecup puncaknya yang terasa hangat dan lembap.
Kaki Caca tertekuk saat serangan kedua tangan Daniel meraba inderanya, usapan lembut permukaan ibu jari Daniel dan belaian kasar lidahnya. Terasa ... nikmat sekali. Memabukkan. Belum pernah ia merasa seperti ini.
Jemari Caca membelit rambut Daniel saat memeluknya, enggan menghentikan kenikmatan ini. Caca terkesiap dan mulai merintih saat Daniel beralih dari mulut Caca ke gunungnya yang lain, menjilati, mencicipi, sebelum mengisap dalam-dalam.
Daniel merasa Caca gelisah. Paha wanita itu menekan, melawan gairah Daniel yang begitu menggelegak. Rasanya hampir menyakitkan karena kebutuhan Caca yang makin menuntut.
Perut wanita itu rata dan hangat saat Daniel melonggarkan kancing denimnya kemudian menyelipkan tangannya. Daniel mencari dan menghisapnya perlahan. Tubuh Caca menegang. Daniel membelainya.Sekali. Dua kali. Daniel bisa merasakan Caca gemetar pada belaian ketiga, dan Daniel mengisap lebih keras gunungnya sembari membawa Caca ke puncak gairah.Caca mencapai puncak dan bergetar berkali-kali, melepaskan hasratnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments