EPISODE 11

Daniel hanyalah penggertak, pikir Caca saat naik ke kamarnya untuk mengambil topi dan mantel. Tidak berperasaan, penggertak yang tidak peduli. Penggertak yang seksi, tak berperasaan, tidak peduli. Penggertak yang sangat seksi ....

Caca duduk di tepi ranjang. Ranjang yang menjadi tempat Daniel berbaring sejenak dengannya pada malam sebelumnya.

Sialan, sekarang ia tidak akan pernah bisa menganggap Daniel Harrison sebagai sekadar atasan.

Ketika pertama kali mulai bekerja dengan Daniel, Caca kesal terhadap cara pria itu merekrutnya ke perusahaannya. la pun bertekad tidak terpengaruh oleh kehebatannya.

Tapi, berminggu hingga berbulan berikutnya, sungguh mustahil mengabaikan kecerdasan Daniel. Mustahil menutup mata terhadap kejeliannya dalam melihat sesuatu dan mengenali berbagai peluang dari sudut bisnis. Mustahil untuk tidak mengakui bahwa dia mampu mengetahui potensi suatu benda yang dapat ditingkatkan dan diasah sehingga menjadi indah serta bernilai finansial.

Kapan tepatnya Caca tak lagi sekadar mengapresiasi ketajaman naluri bisnis Daniel, tetapi juga sisi pribadinya? Sejak kapan kekagumannya terhadap ketajaman bisnis Daniel beralih ke daya tarik pribadinya?

Trauma atas kematian David dan ayahnya masih sangat membekas dalam hati Caca ketika mulai bekerja untuk Daniel. Namun, kebekuan hatinya perlahan mencair, ia menemukan dirinya mulai memandang Daniel lebih dari sekadar atasan. Terkadang Caca menatap Daniel, mengamatinya, bahkan tanpa sadar.

la menyadari betapa sosok Daniel mampu membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Betapa matanya bisa begitu dingin menggoda, tetapi berubah sangat sensual dalam sekejap. Tapi ia sangat sering mendapati dirinya menatap mulut Daniel; bibir bawah pria itu sedikit lebih penuh daripada bagian atasnya; giginya sangat putih bahkan ketika Daniel menyeringai, atau tertawa terbahak-bahak. Dan tangannya ... Daniel memiliki tangan panjang yang bergerak tanpa sadar, jemari yang ramping, dan kuku yang selalu dipotong pendek.

Caca bertanya-tanya seperti apa rasanya dibelai oleh tangan-tangan tersebut. Atau, bagaimana rasa mulut Daniel jika mereka berciuman. Lembut dan sensual? Ataukah keras dan menuntut?

Setelah tadi malam, setidaknya ia punya jawaban atas kedua pertanyaan tersebut, Caca mengingatkan diri saat tergesa bangkit. Jawabannya, tentu saja keduanya. Awalnya, keras dan menuntut, kemudian berubah menjadi lembut dan sensual ketika ia membalas ciuman tersebut.

Lupakan saja, Caca, pikirnya tegas saat mengambil mantel dan sarung tangan. Daniel bosnya. Jika Caca ingin tetap bekerja untuk pria itu, sekaligus memastikan ibunya bisa terus tinggal di gate house di Tarrington Park, sebaiknya ia melupakan kejadian semalam.

"Kau tidak marah padaku kan?" tanya Daniel saat Caca berjalan tanpa suara di sampingnya menuju hutan pinus di belakang penginapan. Pohon-pohon tinggi tampak dibebani oleh salju.

Daniel tak mengira Caca menghabiskan waktu cukup lama di lantai atas. Ia nyaris menyusul dan menyeretnya. Tapi, sebelum sempat melakukannya, Caca telah tiba di bar. Sepatu mahalnya berganti dengan sepatu biasa. Dia telah memberitahu Daniel bahwa sepatu itu akan dipakainya ke pertandingan pada hari Minggu. Caca juga mengenakan mantel dan sarung tangan, dengan topi wol dan kacamata hitam untuk menghalau pantulan cahaya pada permukaan salju. Kacamata itu juga bermanfaat untuk melindungi matanya dari tatapan Daniel.

"Entahlah." Caca mengangkat bahu, wajahnya merah dan berkilau, napasnya mengeluarkan kabut halus dalam dinginnya udara.

Sebelum Daniel sempat menyadari, Caca telah membungkuk, meraup salju, dan berhasil melemparkan es ke baju hangatnya. Wanita itu mengambil kesempatan mengingat tangan telanjang Daniel tersembunyi di saku mantel.

"Ah, dasar kau-!" Daniel menarik tangannya dan meraup secuil salju lalu melempari Caca dengan bola bola salju itu. Kemudian, ia meraup lebih banyak lagi dan kembali melemparkannya ke arah Caca.

Selanjutnya bola-bola salju berhamburan menerjang Caca tanpa mengenainya, dan justru lebih sering mengenai Daniel. Keduanya berakhir penuh salju dan kehabisan napas selama sepuluh menit.

"Stop dulu!" Daniel mengangkat tangannya yang beku. Senyumnya lebar. "Aku tidak bisa merasakan jemariku. Jemariku begitu dingin!"

"Kau pantas mendapatkannya," jawab Caca tak peduli. la tersenyum puas.

"Akui saja, Caca. Ini menyenangkan, kan?"

"Ya, memang," Caca terpaksa jujur. "Terutama karena sekarang kau terlihat seperti boneka salju jahat!" Caca tertawa ringan saat menatap Daniel, rambutnya yang basah terurai di sekeliling wajahnya. Mantel dan jins hitam pria itu tertutup salju.

Daniel menatapnya dengan kagum. Tanpa bertanya, mereka melanjutkan perjalanan menuju hutan.

"Aku sudah lupa betapa bersihnya udara di sini. Betapa murninya semua ini."

"Kau merindukan semua ini?" tanya Caca.

Daniel mengangkat bahunya. "Kadang-kadang. Lain waktu aku teringat betapa frustrasinya aku semasa muda dan bermain di jalanan di Glasgow. Tak banyak yang bisa kulakukan saat remaja di rumah bibiku di dusun kecil di luar Ayr."

Caca menatapnya penuh tanda tanya. Daniel belum pernah membahas masa lalunya. "Kau pindah dan tinggal bersamanya setelah ibumu meninggal, bukan?" Hanya itu yang Caca pelajari dari artikel-artikel di koran.

Senyum Daniel memudar. "Benar."

"Mengapa kau tidak tinggal dengan ayahmu?"

"Tidak," jawab Daniel cepat. "Aku tidak pernah tahu ayahku. Atau, tepatnya, dia tidak pernah tahu tentang keberadaanku." Daniel menyeringai.

Caca menggeleng-geleng. "Aku tidak mengerti."

Daniel tersenyum getir. "Sekitar sepuluh tahun yang lalu aku memutuskan untuk bertemu dengannya."

"Lalu?"

"Tidak terjadi apa-apa," katanya datar. "Oh, aku bisa melihat beberapa kesamaan di antara kami. Warna rambut kami, mengingat ibuku dan Aunt Mae berambut merah," tambah Daniel lembut. "Bentuk badan, mungkin." Daniel mengangkat bahu. "Aku melihat kesamaan di antara kami. Tapi, ketika menatapnya aku tidak merasakan apa pun." Dahinya agak berkerut. "Sama sekali tidak," tegasnya.

"Apa kau berharap merasakan sesuatu?" Caca bertanya lembut.

Daniel berpaling menatapnya dan tersenyum penuh ironi. "Anehnya, ya. Bertahun-tahun aku tumbuh tanpa seorang ayah dan itu membuatku ingin tahu lelaki macam apa dia. Oh, aku tahu dari ibuku bahwa mereka bertemu ketika ibuku tinggal di London. Bahwa ayahku seorang pengacara, yang ambisius, yang saat itu tidak ingin terikat oleh istri dan bayi dalam kehidupannya," katanya kasar.

"Ibuku menyimpan rahasia itu dariku selama bertahun-tahun. Tapi, ketika aku berumur empat belas tahun, dia menceritakan tentang ayahku. Pria itu tidak peduli ketika ibuku berkata sedang mengandung bayinya; sebaliknya, dia justru memberi ibuku uang dan menyuruhnya menggugurkan kandungan. Jika tidak, ibuku tidak akan pernah bisa menemuinya lagi. Ibuku mengambil uang yang ditawarkannya, pulang, dan memulai lagi dari nol." Daniel mengangkat bahunya.

"Masa-masa itu pastilah sulit." Caca mengerutkan kening.

Daniel tersenyum datar. "Atau kau bisa bilang pria itu hanya berkata jujur." Daniel mengangkat bahunya lagi. "Bahkan setelah mengetahui semuanya, kukira sebagian diriku masih berpikir bahwa jika kami bertemu, akan ada perasaan saling mengenali. Akan ada emosi dari kedua belah pihak." Daniel menggeleng-geleng sedih. "Tapi sebaliknya, aku tidak merasakan apa pun saatmenatap pria setengah baya yang bungkuk dan membotak itu. Laki-laki itu bekerja sebagai mitra di perusahaan hukum yang sukses dan tidak pernah menikah. Dia hanya laki-laki yang telah melewatkan hidupnya. Yang telah membiarkan ibuku berlalu di kehidupannya. Percayalah, Flora wanita yang luar biasa," ujarnya meyakinkan Caca dengan bangga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!