Jadi, beginikah sekarang? Daniel menerima kopinya. Diteguknya kopi hitam tanpa gula itu lalu bersandar di kursi, mengamati Caca dengan mata menyipit. Gaya rambutnya yang bersahaja diikat di tengkuk, menjelaskan situasi di antara mereka hari ini.
"Apakah kesopanan menjadi tugasmu hari ini?" ejek Daniel. Caca menegang saat mendengarnya. "Aku selalu bersikap sopan, Daniel."
"Kau tidak begitu sopan semalam, tantang Daniel. la mengangkat alis gelapnya. "Dan, seperti yang kuingat,kaumenganggapku tidak sopan."
Caca menggeleng-geleng. Tak ada gunanya bersikap sopan jika Daniel jelas memancing amarahnya. "Aku sama sekali tidak begitu, Daniel!"
Mata hijau Daniel menyipit. "Kau juga mengira Simmington-Browne akan bersikap berbeda dalam situasi yang sama? Suaranya terdengar lembut penuh makna.
Namun demikian, Caca menangkap nada penghinaan setiap kali Daniel membahas David. "Apa kau dan David pernah bertemu?" tanyanya, ingin tahu bagaimana kira-kira pendapat David yang terdidik dan sopan itu tentang jutawan yang maju atas usahanya sendiriini: Daniel Harrison yang kasar dan perkasa.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku, Caca."
"Kau juga belum menjawab pertanyaanku."
Daniel mencibir. "Akan kujawab jika kau juga menjawabnya," ia kembali mengejek.
"David pastilah akan tidur di kursi dengan sukarela. Bahkan, mungkin dia tak akan berkeras berbagi kamar tidur denganku. Dia mungkin akan menawarkan untuk tidur di lantai bawah, di salah satu kursi di bar," tambah Caca.
"Tidak terdengar seperti laki-laki!" Daniel bergumam kesal.
Caca memotong kesal. "Beraninya kau-?"
"Aku hanya mengomentari minimnya hasrat yang dimiliki tunanganmu itu." Daniel mengangkat bahunya tak peduli.
"Kau menghina seorang pria yang tak lagi bisa membela diri." Caca menatap tajam.
Ada beberapa hal yang hendak Daniel sampaikan pada David Simmington-Browne jika ia bisa berbicara langsung dengan lelaki itu sekarang. Yaitu bahwa pria itu tidak layak memiliki cinta wanita yang seksi dan sangat setia seperti Vanessa Buttonfield.
"Sikapmu sungguh tidak menyenangkan."
"Aku mulai berpikir, di matamu tidak ada yang menyenangkan tentang aku!" Daniel berkataseraksambil berdiri. "Aku hanya penasaran, mengapa kau mau bekerjauntukku dulu."
"Seingatku, kau tidak memberiku banyak pilihan saatitu!"pipi Caca memucat, mata cokelatnya membesar penuh emosi.
Rahang Daniel yang mengeras pun berkedut.
"Kau ingin aku memberimu pilihannya sekarang?"
Caca mengerutkan kening. Ia sadar, Daniel mengucapkannya tanpa keraguan, sekaligus menyadari bahwa memang tak ada pilihan lain. Tidak hanya ia butuh dan menyukai pekerjaannya sebagai asisten pribadi Daniel, tapi pekerjaannya itu memastikan ibunya bisa terus tinggal di gate house. "Kurasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini, Daniel."
"Mungkin kau perlu memberitahuku ketika menemukan waktu yang tepat," jawab Daniel sebelum berbalik dan melangkah tegas keluar ruangan.
Caca mengawasinya bingung. "Mau ke mana?"
Mata Daniel melirik Caca dengan sewot. "Tentu saja membantu Jim menyingkirkan salju. Kalau beruntung, kita bisa keluar dari sini hari ini!" Ia membanting pintu hingga tertutup.
Caca gemetar saat merosot di kursinya. Pembicaraan barusan sungguh membingungkan. la tak bisa paham dengan amarah yang berkobar di antara mereka.
Caca tahu alasan kemarahannya sendiri. Bukan terhadap Daniel, tetapi terhadap dirinya sendiri yang kehilangan pertahanan semalam hingga sulit melihat kesempatan untuk kembali ke hubungan sebelumnya sebagai atasan dan pegawai.
Tetapi alasan kemarahan Daniel merupakan misteri bagi Caca. Kecuali ia tahu bahwa alasan itu ada. Tegas. Keras. Berbahaya ...
"Ambil mantelmu, Caca. Kita akan jalan-jalan," ajak Daniel tiba-tiba seusai makan siang, sementara Caca meringkuk di samping perapian hangat di bar.
Caca tidak terlalu menyambut ajakannya saat melirik jendela. "Salju sudah turun lagi."
"Aku tahu itu," gerutu Daniel. Salju kembali turun saat ia membantu Jim menyingkirkan salju dari jalan menuju penginapan. "Ayolah, Caca," bujuknya. "Pasti menyenangkan!"
Caca meringis. "Bagaimana mungkin bersenang - senang di cuaca yang dingin dan basah ini?"
Daniel menatapnya tajam. Apakah Caca masih kesal karena percakapan mereka tadi pagi?
""Kau tidak pernah main di salju semasa kecil dulu?"
Caca mengangkat alis pirangnya. "Saat salju turun di Hampshire, yang jarang terjadi, Dad selalu mengajak kami pergi ke daerah yang beriklim lebih hangat.
"Bagaimana setelah kau pindah ke London?"
"Salju jarang turun saat aku tinggal di London."
"Dan pastilah kau terus meringkuk di dalam rumah sampai salju benar-benar mencair?" tebak Daniel.
"Tentu saja."
"Apakau tidak pernah main ski?"
"Yah, tentu saja aku pernah main ski." Caca melemparkan pandangan menghina.
"Setiap musim dingin saat aku masih kecil dan beberapa kali sejak saat itu. Tapi, ski sesuatu yang sama sekali berbeda."
Daniel menggeleng-geleng. "Kau tidak pernah berjalan di salju sekadar untuk merasakannya? "
"Tentu saja tidak." Caca mengerutkan keningnya.
"Luar biasa." Daniel meringis. Padahal ia selalu menganggap masa kecilnya terampas! Setidaknya ibunya, dan belakangan Aunt Mae, tetap mengizinkan Daniel untuk menikmati masa kecilnya.
"Justru sekarang kita punya alasan untuk keluar," pintanya.
"Ayolah, Caca, akan kuajarkan cara membuat dan melempar bola salju."
Caca menatapnya dengan malas. "Sudah kubilang, aku tidak ingin berbasah-basahan dan kedinginan."
Caca masih kesal pada Daniel. "Itu baru separuh keasyikkannya."
"Mungkin untukmu," kata Caca lagi.
"Daniel, aku sangat senang di sini, terima kasih banyak. Hei, apa yang kaulakukan?" Protesnya ketika Daniel bergegas mendekat untuk meraih lengannya dan menariknya berdiri dengan mudah.
"Aku tidak mau ke luar, Daniel!" Matanya menyala-nyala saat Daniel menyeretnya keluar. Tiba-tiba Daniel berhenti, matanya yang hijau menyipit sambil menatap.
"Caca, kau punya dua pilihan. Kenakan mantel, topi, dan sarung tanganmu, lalu keluar bersamaku dengan sukarela. Atau -, " ia berhenti sejenak untuk memberikan penekanan "-aku akan mendatangimu, membawamu keluar, dan menjatuhkanmu ke tumpukan salju!"
Caca menatap Daniel, semakin marah karena pria itu menolak melepas cengkeramannya di lengan. "Aku tidak mau-"
"Terlambat. Kau tak bisa memilih lagi." Daniel membungkuk dan mengangkat tubuh Caca ke dalam gendongan sebelum melangkah menuju pintu.
"Daniel, hentikan!" Caca menggeliat panik dalam pelukannya. "Daniel, turunkan aku!" perintahnya marah sambil mendorong tanpa daya ke dada bidang pria itu.
"Tidak," goda Daniel. "Tumpukan salju, siap-siap!" Daniel memperingatkan sambil membungkuk sedikit untuk dan membuka pintu, menyambut terpaan angin dingin dan salju.
"Sepatuku mahal! Kalau sepatuku sampai rusak-"
"Aku belikan sepatu baru," jawab Daniel lembut, berhenti di ambang pintu. "Pikirkan lagi, Caca. Mau atau tidak?" Daniel menyeringai jahat saat mengamati salah satu tumpukan salju di luar.
"Oke. Oke!" pekik Caca melawan. Matanya melotot. Ia tahu, ancaman Daniel tidak main-main. "Aku akan ikut dan mengganti sepatu dan mantelku," gumamnya tak sabar. "Tapi, begitu keluar, aku akan segera melempar bola salju yang bagus, besar, dan basah ke lehermu!" Caca memperingatkan ketika Daniel perlahan menurunkannya.
Daniel menyeringai tidak peduli. "Kau harus menangkapku dulu."
"Jangan khawatir," balas Caca. "Aku akan pasti berhasil menangkapmu!"
"Sekarang kau benar-benar bersemangat."
"Lebih tepatnya, aku akan membalas dendam!" tegas Caca keDaniel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments