Daniel meninggalkan Skotlandia bertahun - tahun lalu. Tentu saja, setelah menyadari bahwa ia bisa saja tetap menjadi ikan besar di kolam kecil atau menjadi ikan yang lebih besar di kolam yang jauh lebih besar dengan pindah ke London dan menginvestasikan uangnya pada properti di sana. Ia tidak pernah menyesal mengambil keputusan itu-tentu saja karena keputusan itu telah menghasilkan kekayaannya! Tetapi hanya dengan mendengar kembali aksen Skotlandia, ia seperti diingatkan bahwa Skotlandia masih merupakan rumahnya.
"Menurut Anda, berapa lama badai salju ini akan berlangsung?" Caca bertanya pada sang pemilik.
"Oh, ini bukan badai salju," pria tua itu meyakinkan Daniel dengan sabar saat mendengar aksen Inggrisnya. "Hanya sedikit salju yang turun tiba - tiba."
Mata Caca melebar. Sedikit salju yang turun tiba - tiba ... ya Tuhan, bagaimana jika nantinya berubah menjadi badai salju!
"Sassenach," ujar Daniel datar kepada pria tersebut. Caca sama sekali tidak tahu apa maksud kata itu, tapi ia yakin dari senyum meremehkan kedua pria itu, pastilah bermakna mencemooh. Mukanya berkerut mencela saat memandang Daniel sebelum kembali ke si pemilik. "Berapa lama salju ini diperkirakan akan berlangsung?"
"Tidak lebih dari beberapa hari," katanya tak acuh.
"Beberapa hari?" Caca kian cemas. Bayangan dirinya dan Daniel terdampar di tempat ini dua hari - dua malam, muncul tiba-tiba di kepalanya.
"Badai salju biasanya berlangsung seminggu atau lebih." Pemilik penginapan tersebut mengangguk, tidak peduli.
"Sungguh ... melegakan," gumam Caca pelan saat mengenyakkan diri ke kursi di seberang Daniel. Daniel tampak geli jika dilihat dari tawa mengejek dan mata hijau pucatnya.
Caca tidak merasa ada yang lucu dalam situasi ini.
Bagaimana tidak? Pikiran harus tidur sekamar dengan Daniel saja sudah membuat lututnya terasa lemas. Terutama setelah percakapan intim sebelumnya.
"Aku akan pergi dan memeriksa makanan kalian," gumam si pemilik dengan gugup setelah menangkap Caca dan Daniel yang saling menatap sebal.
Caca mencondongkan tubuhnya saat mereka berdua saja. "Daniel, kau tadi hanya bercanda kan waktu bilang kita akan bermalam di sini dalam kamar yang sama?"
Daniel mengangkat bahu sebelum menjawab Caca. "Aku bersedia mendengar saran-saranmu. lapi, saransaran yang layak," tambahnya memperingatkan, saat Caca mulai berbicara. Daniel mengangkat alisnya dengan mengejek saat kembali duduk. "Hanya karena aku laki - laki dan kau wanita, bukan berarti aku akan segera menerkammu begitu kita berduaan di kamar tidur!"
Pipi Caca memerah. "Aku tidak pernah membayangkan itu."
"Mungkin, atau kau mungkin tergoda ingin menerkamku?"
Mata Caca menyipit. "Daniel."
“Caca?” balasnya menantang.
Pikiran Caca yang tak keruan tiba - tiba berhenti dan matanya menatap Daniel ragu. Kilat berbahaya dalam mata pria itu cukup memberitahunya bahwa tidak bijaksana untuk tetap berkeras saat ini.
Ide tentang mereka tidur sekamar benar - benar bodoh ....
Caca menarik napas dengan kasar. "Ini semua salahmu."
"Aku tidak bertanggung jawab atas cuaca ini, Caca." Daniel menggeleng - geleng tidak sabar ..
Caca tampak muram. "Kau bertanggung jawab atas keberadaanku di Skotlandia. Itu alasan yang cukup untuk menyalahkanmu sepenuhnya atas kekacauan ini!"
"Kekacauan apa?" jawab Daniel tidak sabar. "Seperti yang pemilik penginapan ini bilang, salju yang turun tiba - tiba tidak akan banyak." Daniel mengangkat bahu. "Beberapa hari saja lalu kita bisa kembali berkendara."
"Tepat waktunya untuk pertandingan rugbi bodohmu,kan? Dua puluh dua orang berusaha saling membenturkan kepala mereka."
"Tiga puluh pria, ini permainan rugbi, Caca, bukan sepak bola dan mereka tidak berusaha 'saling membenturkan kepala mereka'." Bibir Daniel mengeras. "Tujuan permainan ini untuk mencetak gol dengan melarikan bola dan menempatkannya melewati garis."
"Tapi, setiap kali aku tidak sengaja melihat sekilas pertandingannya di TV-saat aku mengubah saluran TV, tentu saja-"
"Oh tentu saja!"
Caca mengangguk. "Sepertinya ada lengan, kaki, dan tubuh yang saling menjerat dan meronta di lapangan."
"Itu karena tujuan lain permainan ini adalah menghentikan usaha tim lawan mencetak gol."
Caca mendengus sebal. "Kau tidak bisa meyakinkanku, Daniel."
"Aku memang tidak sedang berusaha meyakinkanmu!" Daniel berdiri kemudian mondar - mandir tidak sabar. "Kau jelas tidak peduli pada kultur dan seni permainan rugbi yang sangat indah ini."
"Sangat indah!" Caca mendengus keras-keras. "Dan kau tahu semua tentang permainan ini?"
Daniel mengangguk dingin. "Tentu. Aku pemegang rekor untuk pemain yang paling sering mencoba dan mencetak gol pada tahun terakhir sekolah."
"Masuk akal kalau begitu."
Tatapan Daniel menyipit gusar. "Tolong jelaskan apa maksudmu?"
"Tidak,aku tidak mau." Caca berdiri cepat. Sekarang ia bisa bergerak dengan leluasa. Ia tidak lagi cemas karena tubuhnya kembali bisa digerakkan.la tak lagi "Sasse-cenach...?" tanyanya ketus.
Daniel mengangkat bahunya tak acuh. "Seseorang dari Inggris."
Caca terus menatap Daniel curiga selama beberapa detik, yakin ada arti lain untuk kata itu; kata yang pastinyabermakna menghina.
"Aku akan menanyakan pemiliknya, siapa tahu dia punya kamar mandi yang bisa kugunakan untuk menyegarkan diri," kata Caca tiba-tiba. "Itu jika benar kita hendak bermalam di sini malam ini."
"Oh, tentu saja, Caca," gumam Daniel parau.
"Oh ya, tas kita masih di mobil," kata Caca tajam, tampak puas saat wajah Daniel menyeringai sedih. Daniel berbalik untuk melihat keluar jendela dan menyadari ia harus kembali menembus lebatnya salju untuk mengambil tas mereka. "Selamat bersenang - senang!" tambah Caca dengan nada mengejek saat ia melalui pintu bertanda "pribadi".
Namun, senyumnya segera pudar saat sendirian di lorong. la berhenti dan bersandar lemah di dinding.
Ia tidak bisa tidur sekamar dengan Daniel malam ini. Mungkin juga besok malam, jika cuaca masih buruk. Bahkan, ia gemetar hanya memikirkan hal itu.
Sikap abai Daniel terhadap persoalan mereka tidur sekamar juga tidak menggembirakan.
Caca mengalami trauma selama berbulan-bulan setelah ayahnya dan David meninggal. Ia tidak lagi melirik pria lain, apalagi tertarik. Tapi, perlahan ia mulai terpesona akan sosok Daniel, memulihkan emosinya yang babak belur. Bagaimana bisa wanita sehat dan waras yang bekerja setiap hari dengan Daniel tidak menyadari kejantanan serta ketampanannya?
Tentu saja Caca sadar akan hal itu.
Yang pasti, fakta itu akan sangat membahayakan jika ia sendirian di kamar tidur dengan Daniel malam ini!
"Hanya ada satu tempat tidur!"
"Maksudmu ... ?" Daniel menjawab datar sambil membawa tas mereka ke kamar tidur kecil tapi nyaman itu untuk bermalam. Api sudah berkobar di perapian kecil; satu - satunya perabotan di dalam ruangan itu adalah tempat tidur, kursi, dan meja.
Daniel telah memanfaatkan waktu sewaktu Caca ke luar ruangan untuk mengenakan jaket dan kembali ke mobil mengambil tas. Salju masih turun lebat, dan angin yang sedingin es bertiup kencang. Daniel lega berhasil kembali ke penginapan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments