EPISODE 4

"Tolong, tutup pintu itu," pinta Daniel padanya, sembari membawa Caca mendekati kobaran api yang membakar hangat di perapian bar yang sepi ini. Daniel duduk tanpa melepas wanita itu. Sepertinya Caca tak mampu menyingkirkan jemarinya dari bahu Daniel. Giginya bergemeretak tak terkendali.

"Tidak apa-apa, Caca," gumam Daniel meyakinkan. "Kita baik-baik saja," tambahnya puas ketika hangatnya api mulai melenyapkan beku di wajah dan tangannya.

Tubuh Daniel kesemutan dan terasa sakit. Tapi, justru ini yang ditunggu - tunggu setelah disergap kekhawatiran beberapa menit lalu. Ia tidak yakin mampu mencapai penginapan karena badai salju semakin hebat, tanpa menyisakan secuil pun jarak pandang. Setiap langkah merupakan pertaruhan antara hidup dan mati.

Bukan berarti Daniel bermaksud mengucapkan kata - kata tersebut pada wanita itu. Berdasarkan pengalaman, ia tahu Caca biasa bersikap tetap tenang di segala situasi. Wanita itu telah melewati tragedi kematian ayah serta tunangannya, situasi sulit yang memaksanya untuk menjual rumah keluarga demi membayar utang - utang ayahnya, termasuk bekerja untuk Daniel. Tapi cara Caca bergantung begitu erat pada Daniel saat ini menunjukkan pertahanan dirinya berada di titik nadir.

Mata hijau Daniel menangkap sosok Caca yang begitu menggugah. Wanita itu tampak begitu mungil dalam pelukannya, bahkan rapuh. Rambutnya yang basah menempel di kepala dan wajah Daniel. Mata Caca membesar saat mendongak untuk menatap Daniel. Pria mana pun akan rela terhanyut dalam mata cokelatnya yang dalam itu, pikir Daniel dengan kesadaran tiba - tiba. Rela menyerahkan kehendak, jiwa, apa pun asalkan Caca terus menatap seperti itu dengan kehangatan di matanya.

Baru kali ini Daniel menyadari bulu mata Caca yang panjang, tebal, dan gelap, kontras dengan rambut pirang madunya. Bibirnya merah jambu, penuh, dan merengut, seakan menunggu kecupannya.

"Pindah ke sini, Nak. Ajak juga kawanmu itu." Daniel mengalihkan pandangan dan mendapati sang pemilik penginapan berdiri di samping kursi sambil memegang dua gelas berisi cairan kuning. Mungkin wiski, Daniel mengenali isi gelas tersebut dan dengan senang hati mengambil satu. Didekatkannya bibir gelas ke mulut Caca. "Minumlah," perintahnya tegas saat Caca enggan meminumnya.

Tenggorokan Caca menegang saat menyadari kilatan di mata Daniel. Ia semakin khawatir harus melewatkan empat hari ke depan di Skotlandia bersama pria itu. Dengan patuh diteguknya cairan kuning tersebut.

Rasa alkohol yang asing membuat Caca nyaris tersedak sewaktu wiski mengalir di tenggorokannya dan menyebarkan kehangatan saat mencapai perutnya, memanaskan dirinya dari dalam. Caca tak lagi kedinginan. Cukup baginya untuk menyadari bahwa ia duduk di pangkuan Daniel dan masih terbuai dalam pelukannya.

Caca berusaha duduk dan mengambil wiski dari tangan Daniel saat berdiri. Ia lalu segera menjauh dari Daniel, memalingkan wajahnya menatap kobaran api saat merasakan tatapan yang mempertanyakan tindakannya itu.

Apa maksud yang barusan?

Caca melihat wajah Daniel dan mendapati-apa, ya? Tentunya, kesadaran. Mungkin juga, hasrat. Seolah - olah Daniel baru melihatnya pertama kali. Dan mungkin benar begitu. Hari ini Caca tidak seperti asisten pribadi Daniel yang bersikap formal tanpa basa - basi seperti yang dijumpai pria itu di kantor. Rambutnya tergerai lepas di bahu; celana jins dan baju hangatnya terlihat lebih santai daripada baju kerjanya. Ia merasa kikuk tanpa jas dan blus kantornya. Apalagi jika perubahan gaya berpakaian ini telah memengaruhi cara Daniel memandangnya.

Tiba-tiba Caca sadar saat mendengar percakapan antara Daniel dan si pemilik penginapan.

"Istri saya akan merapikan kamarnya," gumam sang pemilik sebelum bergegas pergi dan lenyap melalui pintu bertanda "pribadi".

"Kau ingin dengar kabar baik atau kabar buruk?" Ada kerutan di antara alis Caca ketika ia berbalik untuk memandang Daniel. Ia tidak mampu berpikir jernih. Sepertinya karena ia belum pulih dari cuaca dingin membeku di luar. Atau mungkin juga karena pengaruh wiski. Atau, kemungkinan besar, karena pelukan Daniel sesaat lalu ....

"Sepertinya aku ingin dengar kabar buruknya terlebih dulu," pintanya, bibirnya tergelitik pedih dengan perasaan baru.

Daniel mengangguk. "Kabar buruknya tempat ini hanya pub, bukan hotel sehingga pemiliknya tidak menyewakan kamar untuk bermalam."

Caca berkedip. "Dan kabar baiknya ... ?" tanyanya cepat dengan waswas.

Daniel menyeringai. "Pemiliknya punya kamar tidur yang bisa kita gunakan untuk bermalam. Itu kamar putrinya, tapi dia sedang berada di kampus saat ini."

Caca membasahi bibirnya yang kering. "Cuma satu kamar tidur ... ?"

"Satu kamar tidur," Daniel menegaskan, matanya menyipit.

"Kau tidak menyarankan kita untuk tidur di kamar yang sama, kan?" Caca mengerutkan kening saat menatap Daniel, mata cokelatnya berkilap geram.

Daniel muram melihatk ekagetan Caca yang kentara atas kemungkinan mereka harus berbagi kamar tidur. Apa Caca berpikir Daniel akan segera memerkosanya begitu mereka hanya berduaan di kamar tidur?

Ide itu sama sekali tidak mustahil mengingat Caca terlihat sangat cantik; Daniel hanya tidak suka terlihat jelas bahwa ia tak bisa mengontrol tangannya, atau bagian - bagian lain tubuhnya!

Daniel menyipitkan mata. "Kau lebih suka kita balik ke tengah salju dan berusaha mencari penginapan lainnya yang masih memiliki dua kamar kosong? Umm "Tidak, tentu saja tidak." Caca jengkel.

"Tapi-yah-kau bisa tidur di ruangan ini," tambahnya penuh harap.

Selain kursi yang sedang Daniel duduki, hanya ada satu kursi lainnya, kemudian bangku dan kursi - kursi ruangmakanyang ditumpuk pada meja kosong.

Daniel menggeleng. "Aku lebih suka tempat tidur yang nyaman. Aku tidak keberatan kau tidur di sini jika itu keinginanmu," tambahnya kasar saat muka Caca semakin tertekuk.

"Tentu saja pemiliknya akan menganggap hal itu aneh karena tampaknya dia mengira kita pasangan."

"Kau bisa memberitahunya bahwa dugaannya keliru!" Tangan Caca yang tidak memegang gelas wiski mengepal. "Aku tidak mau tidur sekamar denganmu, Daniel," ulangnya tegas.

"Apa masalahmu, Caca?" tanya Daniel tak sabar.

"Aku-kau-kita .... " Caca menggeleng kuat-kuat, benar-benar panik membayangkan tidur sekamar dengan Daniel, saat ia semakin menyadari pesona pria itu. "Kau atasanku. Aku bekerja untukmu!"

Mata Daniel berkilat mengejek. "Dan itu menghalangi kita untuk tidur sekamar?"

"Menurutmu, ya!" Caca mengingatkan Daniel dengan penuh putus asa. "Kau kan tidak menjalin hubungan dengan pegawai wanitamu, ingat kan?"

"Tidur sekamar bukan berarti kita akan menjalin hubungan."

"Tapi, bukan berarti kita tidak berhubungan juga!"

Tatapan Daniel menyapu Caca pelan. "Jika kau mau,akutidakakan menyentuhmu."

"Benar-benar tidak sopan!"

Daniel mengangkat bahunya, tidak peduli. "Aku tidak ingat pernah mengaku sopan."

"Sama saja!" desah Caca frustrasi. "Kau-"

"Kita akan membahas ini nanti, Caca, sergah Daniel, dan balik bertanya pada sang pemilik yang sudah kembali ke dalam ruangan.

"Istri saya sudah menyiapkan kaldu mendidih di panci," jelas orang tua itu dengan puas. "Dia juga telah menyiapkan beberapa roti yang akan dipanggang sembari merapikan tempat tidur di kamar atas."

Aksen samar Skotlandia dalam suara pria itu terdengar menyenangkan,menyadarkan Daniel betapa rindunya ia akan tanah air dan kehangatan rakyatnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!