"Aku tidak menjalin hubungan dengan pegawai wanitaku, Caca," tambahnya tiba-tiba. Caca merasa mual. Ia bertanya-tanya, begitu kentarakah ketertarikannya pada Daniel. Mungkin ini cara Daniel memperingatkannya bahwa tidak akan pernah ada kemungkinan untuk menjalin hubungan romantis di antara mereka berdua.
"Kita berdua beruntung karena aku sama sekali tidak tertarik menjalin hubungan denganmu di luar pekerjaan!" tambah Caca dingin.
Sebenarnya Daniel tidak setuju dengan istilah "beruntung". Kecantikan Caca benar-benar luar biasa. Tapi, dengan menjadikan Caca karyawannya, Daniel sudah mengakhiri segala hal personal yang mungkin berkembang di antara mereka. Meskipun demikian, Daniel tidak menyangkal bahwa minatnya sempat terusik beberapa saat setelah Caca bereaksi begitu keras terhadap usulannya untuk lebih mengakrabkan diri, sebelum akhirnya mencela keputusan Daniel untuk mempekerjakan Mrs. Ferguson.
"Ya, beruntung sekali kita," ujar Daniel serak, tak peduli. Caca mengangguk.
"Omong-omong, Daniel," tambah Caca dengan nada menantang saat pria itu beranjak ke ke kantor sebelah.
"Mungkin seharusnya kusebutkan bahwa kakekku orang Welsh."
Daniel meringis. "Artinya, kau akan menyemangati tim Wales di pertandingan hari Minggu ini?"
Caca tersenyum cerah. "Tepat sekali. Setahuku, tim Welsh punya catatan yang baik, bukan?"
Daniel menatapnya sambil berpikir. "Kau ternyata tahu lebih banyak tentang permainan ini," gumamnya.
"Tidak juga." Caca meringis. "Aku hanya ingat telepon – telepon kakekku ketika tim Wales memenangkan pertandingan."
"Hmm." Daniel mengerutkan keningnya. "Setelah sepuluh tahun, sudah saatnya Skotlandia menang lagi."
"Atau, Inggris. Mereka bermain melawan Italia pada hari Sabtu, bukan?" tambahnya polos.
Daniel mendesah pelan. "Bisa kubayangkan, kita akan bersenang-senang akhir pekan ini."
Caca tidak yakin menghabiskan empat hari ke depan hanya dengan Daniel di Skotlandia bisa disebut sebagai "bersenang-senang". Di satu sisi Caca menyadari ketertarikannya terhadap Daniel, sementara di sisi lain, Daniel mengingatkan Caca akan prinsipnya untuk tidak terlibat dengan pegawai wanitanya. Empat hari ke depan jelas akan sangat sulit…
"Sepertinya kau bilang bulan Februari di Skotlandia tidak selalu turun salju."
"Yah, ternyata aku salah." Daniel merengut muram saat duduk di belakang kemudi Range Rover, mencoba melihat jalan di sela-sela lebatnya salju.
Mereka berangkat dari Hampshire dini hari lalu berhenti di suatu tempat dekat Manchester untuk makan siang sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Hari sudah gelap saat salju mulai turun pelan begitu kendaraan mereka melaju di perbatasan antara Inggris dan Skotlandia, kemudian salju turun semakin kencang saat mereka melaju menuju rumah Aunt Mae di dekat Ayr, di pantai barat.
"Seharusnya kau mengecek ramalan cuaca sebelum kita berangkat," tambah Daniel tidak sabar.
"Aku? Kau yang memberi kesan seolah sudah menyiapkan perjalanan ini dengan baik," gumam Caca datar. la masih belum bersemangat dengan rencana tinggal di Skotlandia selama beberapa minggu.
"Sayangnya, aku sama sekali tidak bisa mengendalikan cuaca!" Benar - benar bodoh, maki Daniel dalam hati saat jarak pandangnya hanya satu setengah meter. Perjalanan mereka semakin lambat dari menit ke menit. "Jika salju tidak juga reda, kita harus mencari tempat lain untuk bermalam."
Tatapan Caca terasa menghunjam pada diri Daniel.
"Apakah benar-benar separah itu? "
"Kau bisa lihat sendiri." Daniel mengangguk ke arah depan jalan. Rumput di tepi jalan dan aspal terlihat sama saja sekarang. Lapisan salju licin yang berbahaya menutupi jalanan.
Bukan berarti Range Rover tidak mampu mengatasi cuaca seperti ini, tapi apa gunanya jika Daniel tidak bisa melihat ke depan. Tidak ada kendaraan yang datang dari arah berlawanan selama beberapa waktu mengisyaratkan keadaan jalan di depan sana mungkin lebih buruk.
"Aku sama sekali tidak berniat tidur di Range Rover, jadi perhatikan jika ada tempat yang bisa kita singgahi untuk bermalam." Dengan muram Daniel terus berkonsentrasi pada jalanan di depan mereka.
Caca mengalihkan perhatiannya dari sela-sela butiran salju untuk mencari tanda-tanda hunian, terutama lampu-lampu penginapan atau hotel yang bisa mereka sewa untuk beristirahat sampai salju mereda. Caca merasa sangat bersalah karena tidak mengecek ramalan cuaca atau mempersiapkan diri lebih baik. Kedongkolannya terhadap Daniel atas rencananya tinggal di Skotlandia selama berminggu-minggu sebenarnya tidak bisa dijadikan alasan.
"Di sana!" serunya tiba-tiba, menunjuk ke cahaya di depan mereka di sisi kiri jalan. "Bisa jadi itu penginapan, atau-bukan, ternyata hanya lampu jalan." Caca meringis kecewa.
"Jika ada lampu jalan, seharusnya ada rumah di dekat situ." Daniel memfokuskan pandangannya kearah yang ditunjuk Caca.
"Benar! Tak jauh di depan jalan kecil ini-setidaknya, semoga ini jalan kecil." Daniel mengerutkan kening saat membelokkan kendaraannya ke arah cahaya lampu. Salju terhampar menutupi segalanya dan Daniel berharap di bawahnya terdapat dasar pijakan yang kuat.
"Itu penginapan," tambah Daniel puas saat melihat tanda bergambar duri dan rusa, berayun diembus angin. Ia membalik Range Rover-nya ke area parkir mobil yang terlihat tak terawat, melemaskan bahunya sambil pelan-pelan mengerem, kemudian menghentikan mobil. "Bukan penginapan besar, tapi tak ada pilihan lain." Ia menyeringai dan menatap bangunan kecil yang hampir tidak terlihat itu. "Kita coba ya?" Dengan sedih, ia berbalik meminta pendapat Caca.
Caca meringis. "Memang kita punya pilihan lain?"
"Tidak- tapi setidaknya biar kutanyakan dulu," kata Daniel sembari berusaha mencapai bagasi untuk mengambil mantel. Ia memberi Caca mantelnya sebelum mengambil mantelnya sendiri. "Jangan keluar sampai aku tiba di tempatmu," perintahnya tegas sambil menguatkan diri untuk membuka pintu dan menghadapi cuaca dingin di luar. "Kalau aku kehilanganmu dalam cuaca ini, mungkin aku tidak akan pernah menemukanmu lagi!
Daniel membuka pintu dengan cepat kemudian menutupnya kembali. Caca menggigil saat embusan angin dingin masuk dan menerpanya. Salju turun begitu lebat sekarang hingga Caca tak bisa melihat Daniel yang berjalan mengitari kendaraan ke sisinya. Tahu-tahu Daniel sudah ada di sisi mobilnya dan membuka pintu mobil.
Baru beberapa detik berada di luar, Daniel sudah tertutup salju. Mantelnya tersembunyi di bawah serpihan es, rambutnya yang gelap tertutup gumpalan es serta putih salju. "Hati-hati, di situ licin," ia memperingatkan tatkala Caca menjejakkan kakinya ke tanah.
Peringatannya sedikit terlambat karena kaki Caca terpeleset sehingga ia harus cepat-cepat menjangkau mantel depan Daniel agar tidak jatuh.
"Maaf," gumam Caca pelan, sembari mencoba menenangkan diri. Tiupan angin dan butiran salju membekukan wajah dan rahangnya terasa beku. Rambutnya kusut dan basah, memukul-mukul wajah. "Benar benar mengerikan!" Caca berusaha berteriak mengalahkan deru angin. Caca sadar Daniel tidak bisa mendengarnya. Pria itu justru menggeleng kesal, menebaskan salju di rambutnya hingga jatuh ke wajah dan meleleh cepat karena panas kulitnya.
Daniel menggenggam erat tangan Caca dan berbalik melawan angin saat mereka mulai berjuang menuju penginapan. Perjalanan menuju penginapan begitu lambat, dan Caca terkejut melihat jarak ke penginapan ternyata masih cukup jauh ketika ia mendongak. Angin sedingin es menghantam tanpa ampun, sepertinya sengaja menghambat perjalanan mereka. Seolah olah angin bersalju itu tidak ingin mereka mencapai penginapannya dan kehangatannya yang menjanjikan.
Caca tidak bisa bernapas normal melalui hidung. Tenggorokannya justru terbakar saat mencoba bernapas melalui mulut. Salju menerpa keras wajahnya. Kulitnya sakit tersengat hawa dingin.
"Sialan, kita tidak akan sampai kalau begini!" Makian Daniel segera terbawa lolongan angin tanpa sempat singgah ke telinga Caca sehingga wanita itu sama sekali tidak siap ketika Daniel menarik tubuhnya ke dalam pelukan dan mendekapnya erat saat meneruskan perjalanan menuju cahaya lampu penginapan.
Caca meraih leher Daniel tatkala membenamkan wajahnya agar terlindung dari angin sedingin es. Bahkan kelembapan mantel pria itu terasa lebih nyaman daripada tenggorokannya yang terbakar karena mencoba bernapas di tengah dinginnya tamparan angin.
Sungguh luar biasa. Di tengah dinginnya udara, Hampshire masih disinari matahari saat mereka pergi tadi pagi. Tempat ini seperti berada di dunia lain.
Apa jadinya jika Daniel tak kunjung mencapai penginapan? Lengan Caca memegangi leher pria itu sembari mengatupkan jemarinya yang beku. Seharusnya ia memakai sarung tangan. Dan topi.
"Kita hampir sampai!" Suara Daniel parau, jelas-jelas menderita akibat terpaan angin dingin yang mengoyak. "Buka pintu," pinta Daniel dengan paksa beberapa detik kemudian.
Caca mendongak dan menyadari mereka memang benar-benar sudah mencapai penginapan; seberkas cahaya menyambut melalui jendela kecil yang dibingkai es. Tampak juga kobaran api yang hangat.
Jemari Caca begitu dingin dan mati rasa sehingga ia kesulitan melepaskan genggaman. Salju meretak pada kerah mantelnya,kemudian terkelupas saat Caca menjangkau gagang tersebut. Jemari Caca sempat terpeleset sebelum akhirnya berhasil meraih dan memutar gagang pintu. Pintu itu langsung terbuka dan mereka hampir jatuh ke ruangan yang tampak seperti bar.
Sang pemilik menatap tak percaya. Mulutnya menganga. Siapa yang mengira akan ada orang yang keluar malam-malam begini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments