Part 9

Menjelang makan siang Evan membawa Jelita keluar untuk makan siang. Evan berniat membawa Jelita ke sebuah Resto sederhana tak jauh dari markas mereka.

Tapi Jelita merengek ingin pergi ke mall, makan makanan cepat saji disana.

Jelita duduk di samping Evan dengan wajah cemberut, sementara Evan focus menyetir, sesekali netranya melirik wajah masam istrinya.

"Disana terlalu ramai Je," bujuk Evan.

Jelita melirik sengit pada Evan, "Bilang saja kau pelit. Aku tidak akan menghabiskan lebih dari seratus ribu uang mu kalau kau percaya," sungut Jelita. Evan menarik napas dalam wanita ini sungguh sulit dibujuk.

"Baiklah, saat disana nanti jangan jauh-jauh dariku, tetaplah disampingku apapun yang terjadi." Titah Evan tegas.

"Iya! iya!" sungut Jelita.

Seperti dugaan Evan mall yang mereka datangi sedang ramai pengunjung. Melihat situasi ini Evan menghubungi orangnya agar menyusul mereka ke mall, dia tak ingin mengambil resiko.

"Aku ingin itu," ujar Jelita sembari mengarahkan jarinya ke gerai ayam goreng siap saji.

Evan tak menyahut, dia meraih jemari Jelita membawa langkahnya menunu gerai ayam goreng.

Hampir setengah jam lamanya mereka antri, Evan sudah akan meninggalkan antrian karena tak sabar, tapi Jelita merengek memintanya bersabar. Dan usaha Jelita tak sia-sia, dua porsi ayam goreng sudah di tangan.

Evan dan Jelita memilih tempat disudut ruangan. Karena hanya tempat itu yang tersisa. Tempat lainnya terisi penuh oleh pengunjung.

"Hanya ayam goreng saja, kita harus antri sangat lama," gerutu Evan. Manik hitamnya menatap Jelita kesal.

"Ya kan memang selalu gitu, harus antri dulu baru pesan," ujar Jelita tak perduli. Dia lebih memilih menikmati ayam goreng favoritnya, ketimbang meladeni omelan Evan.

"Aku bisa membuatkanmu yang lebih enak dari ini," ujar Evan. Jelita menghentikan makannya, menatap Evan dengan mata berbinar, dia tau kemampuan Evan dalam bidang masak memasak. "Benar ya, pegang janjimu."

"Hanya ayam goreng apa susahnya," sahut Evan sembari menyudahi makannya. Sementara Jelita masih belum selesai menghabiskan beberapa suap lagi.

Setelah selesai makan. Jelita masih merengek minta dibawa jalan-jalan keliling mall, Evan sudah tak tau lagi harus bilang apa, hari ini istrinya bertingkah seperti siswa SMA. Dia bahkan lupa pada janjinya yang tak akan menghabiskan lebih dari seratus ribu uang Evan.

Beruntung beberapa orangnya sudah menyusul dan berjaga disekitar Evan.

Evan berjalan disamping Jelita dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Sementara wanita ini sama sekali tak perduli. "Van, kamu masih punya uang gak?"

"Mau beli apa? kalau hanya barang murah, uangku masih ada."

"Hanya bedak tabur, sama hand body."

"Ya sudah beli."

Jelita membawa Evan ke toko langgananya. Saat tiba disana pelayan toko langsung menyambutnya.

"Nona Jelita mau cari apa?"

"Hand body sama bedak tabur mbak."

"Yang biasa kan non?"

Jelita menatap Evan sekilas, lalu beralih pada mbak pelayan tokoh. "Yang lebih murahan aja mbak."

"Sebentar ya non, aku ambilin."

Tak berapa lama pelayan toko datang dengan beberapa produk hand body yang memiliki aroma yang sama dengan produk yang dipakai Jelita.

"Yang ini aja mbak," ujar Jelita menyerahkan dua benda yang dibelinya.

"Seratus dua puluh ribu mbak," ujar pelayan toko.

Jelita beralih ke Evan. Evan memberi dua lembar uang pecahan seratus ribuan, guna membayar belanjaan Jelita.

"Udah bisa pulang?" Tanya Evan sembari menatap wajah istrinya lekat. Jelita mengangguk.

Mereka berada dilantai tiga saat ini, pengunjung yang lumayan ramai membuat Evan sedikit kesulitan.

"Kita naik lift," titah Evan sembari menggenggam jemari Jelita erat. Manik hitam Evan meneliti setiap gerak orang disekitarnya. Pekerjaan sebagai pengawal yang tak sebentar membuatnya memiliki insting tajam.

Hanya tinggal beberapa meter lagi sampai ke lift, Evan melihat gerakan mencurigakan pada salah satu pengunjung.

"Pegang aku kuat-kuat," bisik Evan pada Jelita, sementara dia sendiri mengendurkan genggamannya. Sekilas Jelita melihat Evan mengeluarkan senjata dari jaketnya. Belum sempat Jelita berpikir apa yang akan dilakukan Evan. Dia melihat wanita yang tengah berjalan kearahnya jatuh bersimbah darah ditengah keramaian.

Evan menahan langkah Jelita, ditengah hiruk pikuk pengunjung yang berlarian. Mau tidak mau dia harus melihat wanita itu meregang nyawa bersimbah darah.

"Kau membunuhnya Van," bisik Jelita dengan tubuh gemetar. Evan tak menyahut, dia kembawa langkah Jelita menuju lift. Saat melewati jasad wanita itu, ujung sepatu Evan mendorong tubuh yang tergeletak dengan posisi miring itu keposisi telentang. Jelita terperanjat, dia melihat senjata api terselip ditubuh wanita itu. Jadi Evan sudah mengetahui wanita itu mengincar mereka, bukan asal memuntahkan peluru membuat orang tak bersalah meregang nyawa.

"Ayo cepat," titah Evan tegas. Mereka segera masuk begitu lift terbuka. Di dalam lift kembali Evan pasang badan melindungi Jelita. Jelita sudah tak bisa berpikir, apa lagi saat melihat Evan kembali mengeluarkan senjata mengarahkannya pada pengguna lift lainnya. Jelita menutup kedua telinganya dan memejamkan matanya dia tak sanggup melihat apa yang akan terjadi.

Hitungan detik kemudian, satu lagi korban jatuh bersimbah darah, jerit kepanikan terdengar di dalam lift. Mata mereka mencari-cari sipelaku, mereka saling tatap satu sama lain dengan perasaan curiga.

Lift terbuka tepat di lantai satu, pengguna lift langsung berhamburan keluar. Sementar Evan berjalan perlahan memapah tubuh Jelita yang sudah lemas seperti tak bertulang.

Baru beberapa langkah keluar dari lift, Evan tiba-tiba membuat gerakan merengkuh tubuh Jelita melindungi tubuh istrinya, tapat saat seorang lelaki muda menghunus pisau kearahnya. Tak pelak tubuh Evanlah yang terkena tusukan benda tajam itu.

"Tuan!" Seru orang Evan yang sudah sampai disana. Dengan sigap mereka meringkus lelaki itu mengamankan pisau ditangannya.

Sementara Evan terhuyung dengan wajah pucat, darah sudah mulai merembes keluar dari luka tusukan yang terbuka.

"Uughh"

"Ada apa?" Tanya Jelita menatap wajah Evan yang tampak menahan sakit. Jelita yang tengah memeluk Evan merasa jemarinya menghangat, seperti ada cairan hangat yang menjalari tangannya, dengan cepat dia menarik tangannya, dan betapa kagetnya dia saat melihat bercak darah ditangannya. Apa Evan terluka? Dengan pikiran itu Jelita menatap Evan meneliti setiap jengkal tubuhnya.

Tubuh Jelita gemetar saat manik hitamnya melihat darah mulai merembes membasahi kemeja putihnya.

"Evan kau..."

"Jangan lihat!" Seru Evan dengan wajah penuh keringat. Harusnya mereka luput dari perhatian, tapi karena Evan terluka mereka tak bisa meninggalkan mall dengan mulus. Apa lagi beberapa keamanan mall sudah datang mengamankan tempat kejadian.

"Ini ada yang terluka cepat panggil ambulans!" Seru salah seorang keamanan mall.

"Kelamaan nunggu ambulan, biar istri dan teman saya saja yang mengantar," ujar Evan.

"Baiklah kalau begitu. Orang kami akan ikut bapak, setelah bapak ditangani kami butuh keterangan dari bapak dan istri." ujar salah satu keamanan mall.

"Silahkan." sahut Evan.

Dengan diikuti petugas keamanan mall Evan dan Jelita menuju rumah sakit.

"Jelita, kalau mereka menanyaimu. Jawab saja tidak tahu. Kau paham." titah Evan. Jelita tak menyahut dia menatap wajah pucat Evan dengan ekpresi hampir menangis. Walau sudah diikat dengan kemeja tapi luka Evan tetap mengeluarkan darah.

Mobil berhenti di sebuah rumah sakit terdekat, begitu sampai Evan langsung mendapat perawatan. Lagi, Evan menambah luka jahitan ditubuhnya.

"Saya bisa pulang sekarang Dok? saya punya Dojter pribadi di rumah." Tanya Evan pada Dokter yang menanganinya. Dokter itu menatap Evan, lalu terdengar helaan napas dalam.

"Bisa, luka ini lumayan serius. Jadi harus benar-benar dijaga."

"Baik Dok."

Setelah mendapat obat, Evan tak langsung pulang. Dia dan Jelita harus menjawab beberapa pertanyaan dari petugas keamanan mal.

"Baiklah pak, untuk saat ini hanya ini yang bisa saya tanyakan. Nanti kalau bapak memiliki keterangan baru bapak tolong hubungi saya. Ini kartu nama saya."

Evan menerima kartu nama perugas itu."Baik saya akan segera menghubungi saudara kalau saya mengingat sesuatu yang penting."

"Baiklah terimakasih atas kerja samanya. Saya permisi dulu."

Setelah lelaki itu pergi, Evan langsung membawa Jelita pulang. Evan membawa Jelita ke mansion yang menjadi markas mereka.

Setiba disana Sasonggko sudah ada disana menyambut kedatangan mereka. Dia langsung memeluk putri semata wayangnya penuh haru.

"Kau baik-baik saja sayang." Jelita mengangguk pelan.

"Tapi Evan," ujarnya lirih.

"Papa tau. Dia pasti dirawat dengan baik, kau tenang saja." Sasongko berusaha menenangkan putrinya yang terlihat shock.

"Pergilah istrahat dikamar." titahnya pada Jelita.

Jelita menggeleng. " Bukan aku yang butuh istrahat pa, tapi Evan."

"Evan dan aku masih ada urusan sayang. Setelah utu dia pasti akan istrahat, kau bisa menemani dia nanti." Jelas Sasongko dengan suara lembut.

"Apa itu tidak keterlaluan! Dia terluka pa!"

Sasongko terdiam, lalu menatap Evan meminta pendapatnya.

"Pergilah, aku akan menyusulmu nanti," ujar Evan sembari menatap Jelita.

"Aku tidak meminta pendapatmu Evan!" Dia menatap Evan sesaat lalu menatap papanya dengan tatapan tajam. Melihat itu Sasongko memilih mengalah.

"Pergilah," ucap Sasongko pada Evan.

Tak ada pilihan Evan terpaksa mengikuti kemauan istrinya untuk istrahat sejenak sebelum membahas peristiwa tadi.

.

To be continuous.

Terpopuler

Comments

I'm wins

I'm wins

Tabir misteri belum terlihat gais.. 😁

2024-04-08

0

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

INI CERITA SEQUEL ATAU APA THOR ....???

2024-04-05

0

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

HRSNYA SKRG JELITA FAHAM, BHWA MUSUH2 PAPANYA INGIN MMBUNUHNYA, MKANYA JGN SMBARANG KLUAR, TRUTAMA BRSAMA BOY.

2024-04-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!