RASA PEDIH

Jakarta, Indonesia.

Tujuh Tahun Lalu.

"Lo nggak takut temanan sama cewek pembawa sial itu? Gue pernah dengar ya, keluarganya bangkrut karena dia katanya dan gue bingung, ko karena dia padahal bapaknya yang korupsi."

Seseorang sedang berdiri di balik pintu dan memegangi knop pintu, dia kembali mengurungkan niatnya untuk keluar. Dia memilih diam dan mendengar seseorang sedang bergosip tentangnya di depan wastafel toilet sekolah.

"Siapa? Yuna? Gue sih nggak takut, gue cuma kasihan aja sama dia, sendirian nggak punya teman. Nah, itu juga yang gue bingung, padahal bapaknya yang korupsi tapi malah anaknya yang disalahin."

"Ya, dia. Gue juga sempat nggak percaya sih, tapi ya begitu gosipnya. Jadi, lo temanan sama dia cuma karena kasihan?"

"Iyalah, karena apa lagi? Dia nggak kaya-kaya amat, bapaknya juga seorang koruptor. Ibunya gila harta, padahal udah nggak kaya sok pamer-pamer barang mewah."

Dari balik pintu, Yuna mengepalkan kedua tangannya, menetralkan emosinya perlahan. Jika dia melawan mereka, itu sama saja dia seperti mereka. Yuna akhirnya memutuskan keluar, dia berjalan santai ke arah wastafel dan mencuci tangannya.

"Yu-Yuna? Lo di sini dari tadi?" ucap Nayla salah satu teman Yuna, mungkin. Yuna hanya mengangguk dan pergi dari mereka. Keduanya terdiam karena terlalu kaget dengan kehadiran Yuna secara tiba-tiba.

Sudah seminggu Nayla tidak berbicara dengan Yuna, setelah dia kepergok menggosipkan Yuna. entah kenapa, dia menjadi takut menghadapi Yuna, ketika berpapasan pun dia mengalihkan pandangan darinya dan mempercepat jalannya.

Tapi Yuna, terlihat biasa-biasa saja menyikapinya, karena dia sudah terbiasa. Di gosipkan, dikasihani, dijauhi atau pun tidak pernah di anggap ada keberadaannya. Dia hanya ingin kehidupan sekolahnya tenang sampai lulus nanti.

****

"Aku pulang." teriakku.

hening, suasana rumah berbeda ketika Yuna datang. lebih ... dingin. Orang yang pertama kali dia temui adalah ayah. Beliau sedang duduk di sofa ruang tamu dan seperti biasa tatapan penuh amarah tertuju padanya.

"Dari mana saja kau?!" teriaknya dan mendekati Yuna.

Yuna tersentak dan menatap ayahnya, dia mengernyitkan dahi. "Tentu saja sekolah, dari mana lagi? Monster sepertimu masih bisa bertanya?" tukasnya acuh.

"Dasar tidak tahu diri! Beraninya, kau menyebutku monster? Anak pembawa sial! Mati saja kau!"

Plak

Plak

Ayah menampar kedua pipinya. Yuna memegang kedua pipinya yang memerah serta panas dan menahan emosinya, Yuna sudah terbiasa dengan perlakuan ayahnya yang satu ini, bermain tangan. Dia menyeringai.

Ibu datang, mendekati kami dengan membawa sepiring buah-buahan segar di tangannya dan menaruh di meja. Ibu menatapku, lalu menatap ayah. "Lebih baik, kita bunuh saja anak itu, pah!" tukasnya sangat ringan dan berlalu.

"Auuu ..." Yuna sedikit menahan perih di rambutnya. Ayahnya menjambaknya dengan kuat. "Jika peringkat dan nilaimu turun tahun ini, aku dan ibumu tidak akan membiarkanmu hidup. Kau harus ingat, kau adalah anak yang tidak kami inginkan! Seharusnya kau sudah dibawa oleh pasangan suami istri itu," tukas ayahnya berbisik dan berlalu dari Yuna.

Jika Yuna saat itu bisa memilih, dia juga akan memilih untuk pergi bersama pasangan suami istri itu yang ingin mengadopsinya. Tapi, Tuhan berkehendak lain, mereka tewas karena kecelakaan sebelum membawanya pergi.

Tubuhnya bergetar hebat, Yuna merasakan sakit dan sesak di dadanya mendengar perkataan ayahnya. Dia berlari menuju kamarnya, membanting pintu kamarnya dan berbaring menahan dirinya. Perlahan dia terlelap.

Dua jam berlalu, Yuna terbangun dari tidurnya. Dia terusik karena mendengar suara seseorang menggema di telinganya. Dia berjalan keluar kamarnya, mencari sumber suara yang dari tadi menganggu tidurnya. Yuna tercengang ketika dia berdiri tepat di pintu kamar kedua orang tuanya, tidak bisa menjernihkan pikirannya, dia melihat darah segar mengalir dari perut sang ayah. Ibu membunuh ayah.

Ibu merasakan kehadiran seseorang dan perlahan mendekatinya, Yuna terus memundurkan langkahnya dan terisak. "Yuna, ayo pegang pisau ini! Cepat bunuh ibumu yang tidak berguna ini." ucapnya lirih. Yuna menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa mau bersuara.

"Baiklah!" Ibu memutar arah pisau yang dia pegang, tanpa rasa takut, pisau itu menancap di dadanya. Tubuh Yuna masih bergetar sangat hebat, suaranya tercekat, dia tidak mampu mengeluarkan suara. Yuna memundurkan langkahnya lagi. Bruk! Ia terbentur dan pingsan.

****

Kembali ke masa kini.

Yuna menatap pria di depannya, belum mau menjawab. Perasaan sedih dan senang menjalar di sekujur tubuhnya. Dia terpaku, untuk pertama kalinya, ada yang ingin berjuang menjadi temannya dan untuk pertama kalinya juga, ada yang mengatakan agar dia jujur pada dirinya sendiri.

"Aku bisa menjadi temanmu, bahkan pegawaimu yang lain pun bisa. Ada Naeun, Eunsoo dan Taeho. Kami bisa menjadi temanmu, kami bisa berbagi beban denganmu." tukasnya, kali ini sedikit lembut.

"Jeongwoo-ssi, aku tidak tahu apa niat kamu mendekatiku, aku merasa kamu terobsesi dengan kehidupanku. Aku akan mencoba menjadi temanmu dan yang lainnya. Tapi ... beri aku sedikit waktu," Yuna mulai menjawabnya.

Jeongwoo mendekati Yuna, refleks dia memeluknya erat. Yuna tersentak dan mengerjapkan matanya berkali-kali, Hangat. Sangat hangat. Dia bisa merasakan harum maskulin dari tubuh Jeongwoo.

"Jeo-jeongwoo-ssi, aku tidak bisa bernapas!" ucapnya tergagap dan menepuk punggung Jeongwoo pelan. Jeongwoo melepas dengan cepat, dia menunduk dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maafkan aku, Yuna-ya!" tukasnya dan berlari cepat.

"Ya!! PARK JEONG WOO!!"

Apa aku bisa mempercayainya?

****

Satu pekan berlalu, Yuna mulai bisa mengakrabkan diri kepada pegawainya dan dia menjadi sangat dekat dengan Jeongwoo. Bahkan, saat ini mereka semua mengadakan makan malam bersama untuk para pegawai di restoran bulgogi dan tidak lupa sebotol soju serta bir agar makan malam ini tidak sia-sia.

"Bagaimana kalau kita semua bermain truth or dare? Bagi yang tidak ingin menerima tantangan dan menjawab bisa memilih minum segelas dan akan digandakan jika terus memilih minum, bagaimana?" usul Eunsoo.

"Setuju," teriak semuanya kecuali Yuna dan mereka menatap Yuna. Merasa dirinya ditatap, Yuna kebingungan. "ah ... hahaha ... aku tidak ikut. Kalian saja," Yuna tertawa canggung.

"Hey! Ayolah unnie, Ikut! Ini makan malam kedua kita bertiga dan pertama kali untuk kedua laki-laki ini, masa pemiliknya tidak ikut?"

Yuna menggeleng.

"Sajangnim, sajangnim, sajangnim," sorak semuanya agar Yuna ikut. Jeongwoo menyenggol lengannya. "Baiklah, baiklah. Aku ikutan!" Yuna menyerah.

"Ok, kita mulai"

Taeho memutar botol kosong itu dengan sedikit tenaga. Yuna berharap botol itu tidak mengenainya, tapi pupus sudah harapan Yuna. Botol itu sudah menunjuk ke arahnya. Ah, sial.

"Nuna, truth or dare?"

Yuna berpikir sejenak, keduanya sama-sama tidak enak. Pasti ini kesempatan Jeongwoo bertanya-tanya jika aku memilih dare. Dia menggeleng cepat. Mereka berempat terus memandangi Yuna penasaran dengan pilihannya. "Aku pilih ... minum saja!" tukasnya tersenyum dan mengambil gelas kecil yang sudah berisi soju.

"Jangan, unnie! Biar-"

"Biar aku yang meminumnya!" ucap Jeongwoo cepat, merebut gelas yang di pegang Yuna dan langsung meneguknya. Apa keduanya tahu aku tidak bisa minum? Satu tegukan akan membuat dirinya mabuk. Yuna tidak menyangka.

Lagi dan lagi, Yuna mendapatkan giliran tanpa mau berpindah tapi dia akan selalu memilih untuk minum dan seorang Jeongwoo yang akan menggantikannya. Entah sudah gelas ke berapa yang diminumnya dan sepertinya Jeongwoo sangat mabuk. Bukan hanya Jeongwoo tapi Naeun pun sangat mabuk.

"Jeongwoo-ssi! Naeun-ah!" Yuna mengusap surai keduanya.

"Nuna, aku permisi duluan. Ibuku sudah menelpon," ucap Taeho, membungkuk dan pergi.

"Oh? Iya, hati-hati, Taeho-ssi!" teriaknya.

"Aku akan membawa pulang Naeun," tukas Eunsoo sambil mengangkat badan Naeun.

"Lalu Jeongwoo bagaimana?" Yuna kebingungan.

"Unnie, Jeongwoo dekat denganmu. Jadi, unnie saja yang membawanya. Kalau gitu kami berdua pamit! Sampai bertemu besok," Eunsoo berjalan meninggalkannya.

"Bagaimana ini? Aku tidak tahu alamat rumahnya! Apa aku bawa ke kafe?" Yuna semakin bingung, karena restoran sudah mulai dibersihkan dia menggotong tubuh Jeongwoo dengan sekuat tenaga. Enteng? Itu yang dia rasakan. Sudahlah, mungkin karena dirinya banyak makan jadi kekuatannya bertambah.

Yuna dan Jeongwoo sudah berada di dalam mobil. "Semoga keputusanku membawanya tidak menjadi kesalahan." Yuna menancapkan gas mobilnya.

Terpopuler

Comments

ubby_j

ubby_j

astaga! masih menjadi misteri kenapa ayah ibunya ga mau ngakuin Yuna?
ayoo.. lanjut buruan! semangat kak!

2020-04-15

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!