Suamiku Bocah SMA
Ala's POV
Alarm berdering di atas nakas membuatku yang tertidur pulas menggeliat pelan di atas kasur karena terganggu. Aku membuka mata dan mengerjap, lalu segera bangun untuk mematikan alarm yang masih menjerit.
Dengan posisiku yang masih duduk, aku mengangkat kedua tangan ke atas untuk meregangkan otot, Alarm yang aku setting setiap harinya adalah jam 5 pagi tepat. Biasanya aku akan bangun dengan semangat pagi seperti biasa, namun karena semalam aku lembur hingga hanya tersisa 3 jam untukku tidur.
Aku menyibak selimut hitam ku seolah aku juga ingin menyibak dan mengusir rasa malas ku. Meski masih dengan mata terpejam aku tetap bangun ke kamar mandi melakukan rutinitas yang selalu ku lakukan sebelum berangkat kerja yaitu cuci muka dan gosok gigi sebelum jogging mengitari kompleks dan kembali pada jam 6 tepat untuk sarapan ringan. Aku akan berangkat pukul setengah 8 seperti biasa tentu setelah aku sudah membersihkan diri di kamar mandi.
Dengan aroma parfum vanila kesukaanku yang ku semprotkan ke pakaian kantor hitam. Aku bersiap ke kantor, kali ini aku memakai rok dibawah lutut karena bosan dengan celana panjang yang biasa ku pakai. Dan dipadu blazer warna senada serta scarf kecil motif kotak yang mengikat di leher. Alasan aku memakai scarf di leher hanya untuk menutupi leher putihku yang mana terkadang para lelaki paruh baya yang merupakan rekan bisnis suka memandangi leherku dengan nafsu seolah ingin menelanjangi. Hiih. Aku bergidik ngeri waktu membayangkan pandangan mereka kala melihat leherku.
Tak lupa kacamata minus yang biasa aku pakai dan jam tangan dari Michael Kors berwarna gold mewah melingkar apik di pergelangan tangan. Meski ada Ria si asisten, namun melihat jam adalah kebiasaan ku. Aku tak begitu suka 'ngaret' seperti warga +62 biasa lakukan. On time adalah kata yang selalu tertulis dalam kamus.
Aku berjalan keluar, membuka pintu mobil dan mendudukkan pantat di kursi belakang. "Jalan, pak." Titah ku pada pak sopir bernama Andi yang tengah fokus menatap ponselnya.
Pak Andi langsung menutup benda layar pipih tersebut dan memasukkannya ke dalam saku "Baik, bu."
Pak Andi sudah hapal dengan kebiasaan ku yang memilih untuk berangkat 15 menit awal dari seharusnya. Untuk berjaga saja jika ada kemacetan atau ban bocor misalnya. Intinya aku tak begitu suka terlambat jika tidak ada hal yang begitu penting.
Tepat pukul 07.45 WIB, mobilku sampai di kantor. Seorang satpam berbadan tegap datang ke arah mobilku dan membukakan pintu.
"Selamat pagi, bu Ala." Hormatnya.
Gadis yang ia panggil dengan 'bu Ala' itu adalah Aku. "Selamat pagi pak Jun." Aku menjawab dengan ramah.
Aku berjalan keluar mobil dan menuju ke arah lobi. Masih tak banyak orang yang berlalu lalang, karena jam kantor adalah jam 8 tepat. Beberapa karyawan yang melihatku membungkukkan badan dan aku hanya tersenyum ramah membalasnya.
Lantai 5 adalah tujuanku, lantai teratas khusus untuk lantai direktur. Lift terbuka dan membawaku ke lantai 5.
Masih kosong, aku yakin Ria memang belum datang karena ia akan datang di jam 8 tepat. Sebelum ia menikah, ia akan datang 15 menit awal seperti diriku. Namun ia berubah setelah menikah, yah aku sih tidak mempermasalahkan asal ia datang tepat waktu dan kinerja tugas tidak terbengkalai.
Tertera di atas meja ada kotak kaca pipih panjang dengan desain mewah tercetak apik nama lengkap ku. 'Alamanda Hiromi' ya itulah namaku, menjabat sebagai direktur utama dari perusahaan anak cabang milik ayah. Meski usiaku baru menginjak 29 tahun, rekorku yang sudah menjadi direktur utama bukan hanya karena aku anaknya ayah semata. Namun ketekunan dan jenius yang diwariskan sang ayah untuk ku, mampu membuatku mengurus perusahaan kecil ini dengan baik.
Suara ketukan pintu terdengar membuatku yang tadinya fokus pada lembar kerja mendongak ke arah pintu. Ria, sudah datang dan sedang berdiri di ambang pintu. "Selamat pagi, bu Ala." Salamnya ramah ketika berjalan mendekat ke arahku.
"Ih, Apaan sih. Biasa aja kali." Ucapku kesal. Ria adalah temanku semasa SMA yang aku tawari untuk bekerja sebagai asisten kala bertemu dengannya di kota Bandung. Sudah 4 tahun lamanya ia bekerja untukku.
Ria terkekeh mendengarnya. "Ya maap, habisnya pengen iseng ke kamu yang lagi fokus banget. Mau aku buatin kopi atau minuman lain?"
Aku menimang tawaran Ria. "Emm, boleh. Teh anget aja, lagi bosen sama kopi."
"Baik, bos." Ucapnya dengan telapak tangan terangkat di dahi seperti sedang hormat.
Aku hanya tersenyum dengan menggelengkan kepala. Meski ia sering bercanda namun kualitas kerjanya begitu baik hingga aku masih mempertahankannya.
Ria kembali membawa secangkir teh hangat yang dibawa dengan nampan. "Oh ya, bos. Kemarin sore ada undangan pernikahan yang dateng dari Alumni Universitas xx."
Keningku mengerut. "Dari siapa dan kapan?"
"Ini." Ria menyodorkan kotak berisi handuk mewah bertuliskan nama pengantin dan tanggal pernikahannya.
Setelah membaca undangan tersebut, Ala menghela napas dan menghempaskan badannya di kursi.
"Loh, kenapa kayak orang frustasi gitu? Undangan dari mantan ya?" Goda Ria.
"Hush, pacaran aja gak pernah. Aku cuma bingung aja, sebenarnya datang ke undangan ini adalah kesempatanku untuk bertemu dengan pebisnis lain. Tapi masalahnya dengan siapa? Gak mungkin kan aku dateng sendiri. Apa denganmu aja?" Tanya Ala. Sang pengantin yang menikah adalah Ina teman baik semasa kuliahnya dulu. Ayah Ina juga seorang pebisnis.
"Ih, jangan dong bos! Ntar kalau dikira kita pasangan lesbi gimana? Gak di kantor gak di acara luar selalu berdua." Jawabnya dengan jijik.
Wajahnya yang menampilkan raut jijik membuatku terkekeh geli. "Ya bener juga sih. Terus aku sama siapa dong? Masak sendirian lagi?"
"Bukannya kamu biasa dateng ke pernikahan sendiri ya?"
"Itu kalau cuma pernikahannya rekan bisnis, nah ini teman kuliah. Pasti nanti aku bakalan ketemu sama teman-teman kuliah lain dan di tanyain 'Kesini sama siapa?' 'Dah punya calon belum?' 'Dah nikah belum?' bla bla bla lain yang buat basa-basi." Jawabku panjang lebar.
"Betul! Makanya cepetan nikah dong! Biar gak ditanyain terus, gak risih?"
"Dikira nikah itu gampang apa? Dah ah, udah waktunya meeting!" Ucapku menghindar pertanyaan Ria.
Seumur hidup belum pernah aku berpikir untuk pacaran, karena bagiku kegiatan pacaran adalah hal yang membuang waktu dan pikiran.
Ambisi ku untuk menekuni bidang bisnis seperti ayah adalah yang utama. Maka dari itu, meski usia sudah menginjak 29 tahun tak pernah terbesit di pikiran ku untuk menikah. Meski banyak sanak saudara yang umurnya dibawah ku sudah menikah dan memiliki anak toh usiaku masih muda. Dan usia rata-rata kematian manusia adalah 60-70 bahkan ada yang mencapai 100 tahun, jadi aku masih merasa perjalananku masih panjang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
NO NAME
.
2022-10-20
0
Herman Rinaldi
sy s 7 dgn cerita nya Thor.. tp, sy koleksi dan kasih. adukan sedikit, kalau bisa inisial nya jg pakai kata AKU, alangkah baik nya inisial nya itu sesuai dgn peran... sperti,,,, Ala,,, nama yg di cantum kan bukan kata AKU..
2022-07-20
2
Siti Susanti
umur sp yg tau MB 😁
2022-05-26
0