Melian memang benar diculik. Waktu merangkak di tengah pasar, saat orang-orang sibuk dengan dirinya sendiri-sendiri dengan jual beli, bahkan kakek dan neneknya Melian yang juga sibuk. Ibunya yang juga sibuk membantu meladeni orang-orang yang belanja, Melian merangkak tanpa sepengetahuan ibu serta kakek neneknya. Tentu Melian merangkak sesuai dengan kemauannya, meski melintas di sela-sela kaki orang yang berlalu lalang di pasar.
Ketika ada seorang laki-laki bertubuh besar yang secara kebetulan melintas di tengah pasar, dan berpapasan dengan bayi perempuan cantik yang merangkak tersebut, muncul rasa kasihannya. Tentu karena kasihan, laki-laki bertubuh besar itu langsung mengangkat bayi kecil yang merangkak melintas di depannya itu. Dan ternyata, saat laki-laki itu berjongkok dan mengulurkan tangannya, bayi mungil itu tertawa dan menurut saja saat dua tangan perkasa itu mengangkat tubuhnya. Lantas laki-laki yang sudah mengangkat Melian, langsung mengajaknya ke luar pasar. Melian tidak menangis, bahkan tertawa-tawa terlihat senang dibopong orang meski belum kenal.
Namun saat sampai di depan pasar, laki-laki yang menggendong Melian, berpapasan dengan seorang ibu-ibu muda yang mau masuk pasar. Tentu melihat bayi yang digendong terlihat riang gembira, perempuan yang berpapasan itu tersenyum, dan biasa, orang kampung yang ramah itu ikut menggoda bayi yang digendong laki-laki besar tersebut.
"Iih ..., cantiknya .... Nak kintung-kintung-kintung ...." tangan perempuan itu sudah menyentuh pipi cantik bayi itu.
Laki-laki bertubuh besar itu diam saja, tidak berkata apa-apa. Namun secara reflek, tangan yang membopong bayi, sudah menyerahkan bayi yang digoda itu kepada perempuan yang tangannya sudah mulai gatal ingin ikut membopong.
Tentu perempuan itu langsung menerima bayi yang diberikan laki-laki itu kepadanya. Dengan senang dan gembira, perempuan setengah baya itu langsung membopong dan menimangnya. Bahkan ia tidak jadi masuk pasar, tetapi langsung turun lagi dan menuju parkiran motor menemui suaminya untuk memamerkan bayi yang digendongnya.
"Kang ..., Kang .... Lihat, Kang ...." kata perempuan itu pada suaminya. tentu sambil menunjukkan bayi yang digendongnya.
"Itu anaknya siapa ...?" tanya suaminya yang duduk di jok motornya.
"Itu .... Laki-laki besar itu ...." jawab istrinya.
"Laki-laki mana ...?" tanya suaminya lagi yang bingung tengok-tengok mencari orang yang dimaksud.
"Lhoh ...?! Tadi bareng saya kok .... Piye leh ....?! Kok malah ilang ...." perempuan itu juga tengak-tengok mencari laki-laki yang memberikan bayi itu, tetapi juga sudah tidak melihat orang yang dicarinya.
"Lhadalah .... Blaik ....!" suaminya malah menyalahkan istrinya.
"Piye leh ....?! Kok malah ilang .... Tadi itu memberikan bayi ini ke saya, terus turun dari pasar bersama. Lha, saya langsung menuju sini, Kang .... Kok malah ilang ...?!" perempuan itu juga bingung, walau masih tengak-tengok mencari laki-laki yang mungkin adalah ayah si bayi tersebut.
"Orangnya seperti apa?" tanya suaminya yang ingin tahu si pemberi bayi tersebut.
"Gagah ..., tinggi ..., besar .... Pakai baju putih." jawab istrinya.
"Apa itu ...?!" kata suaminya sambil menunjuk orang yang ada di pinggir jalan, seakan mau menyeberang.
"Hah ..., iya, Kang .... Bener, itu orangnya ...." sahut istrinya.
"Ayo, berikan bayi itu kepada ayahnya .... Jangan-jangan ia sengaja menyerahkan bayi itu karena dia ingin membuangnya." kata suaminya yang menakut-takuti istrinya.
"Iya, Kang ...." sahut istrinya yang langsung keluar dari area pasar, berusaha mengejar laki-laki yang membawa bayi tadi. Tentu ia sambil berteriak, "Mas .... Anaknya ...!!! Mas .... Bayinya ...!!!"
Sang suami tidak sabar melihat istrinya yang berjalan sambil menggendong bayi itu mau menemui laki-laki yang sudah berusaha menyeberang jalan. Ia pun langsung menghidupkan motornya, lantas keluar pasar menyusul istrinya.
Tetapi terlambat. Laki-laki itu sudah naik bis. Dan melaju ke arah Surabaya.
Perempuan yang mau menyerahkan bayinya itu melenggong. Ada yang aneh, padahal bis itu ada di sebelah utara, melaju dari Semarang menuju Surabaya. Sedangkan laki-laki itu masih berada di sebelah selatan, belum menyeberang. Tetapi begitu bis itu lewat, bahkan tidak berhenti, laki-laki itu sudah hilang bersama kencangnya bis yang melaju.
"Piye, Kang ...?!" perempuan itu menyesal, tidak sanggup mengejar laki-laki yang sudah meninggalkan bayinya.
"Waduh .... Gimana ini ...?! Terus anaknya bagaimana?" suaminya juga menyesal.
"Apa kita kejar bis itu?" usul istrinya.
"Tidak sanggup .... Itu bis Surabaya, sangat kencang. Tidak mungkin kita kejar." suaminya tidak sanggup.
"Lha, terus ..., bayi ini bagaimana ...?" sang perempuan itu semakin bingung.
"Ya wis .... Ayo kita bawa pulang dahulu ...." jawab suaminya yang langsung menghidupkan motornya.
*******
Ya, perempuan itu bernama Juminem. Sedangkan suaminya adalah Jamil. Rumahnya di perkampungan kecil daerah Sarang yang masih jarang penduduknya. Perbatasan antara Lasem dan Tuban. Dari jalan raya pantura, masuk ke arah selatan melintas jalan perbatasan. Cukup jauh dari keramaian kota. Rumah yang boleh dikatakan jauh dengan tetangga. Sehari-hari Juminem bekerja sebagai buruh membuat kerudung. Borongan dari juragan konveksi di Lasem. Sedangkan Jamil hanya bekerja sebagai tukang penggali batu kapur. Tentu bayarannya tidak begitu besar, namun yang penting bagi mereka cukup untuk makan.
Pasangan suami istri itu sudah delapan tahun menikah, tetapi belum dikaruniai anak. Tentu ia sangat ingin punya anak. Sangat ingin menimang bayi. Dan saat Juminem menerima bayi dari laki-laki yang kemudian menghilang itu, tentu ia sangat senang. Demikian juga Jamil, kini ia bisa menggendong dan menimang bayi yang digadang-gadang. Malam hari pun, mereka berdua bisa tidur sambil mendekap bayi.
Memang, Juminem maupun Jamil tidak tahu, bayi siapa itu sebenarnya yang sekarang ia timang dan ia gadang-gadang. Yang ia tahu bahwa bayi itu diberikan oleh laki-laki yang ia anggap sebagai ayahnya, yang secara sengaja ingin membuang bayinya. Ia tidak tahu kalau bayi itu di Pasar Lasem menjadi geger karena berita penculikan. Maklum, Juminem dan Jamil memang tidak banyak mengurusi berbagai berita yang tidak penting. Bahkan karena mereka jarang keluar rumah, maka ia benar-benar tidak tahu tentang masalah penculikan anak. Dan yang jelas, ketika ia mendapat anak itu atau lebih tepatnya diberi anak oleh laki-laki yang tidak dikenal, tentu ia sangat senang karena akhirnya bisa menimang bayi.
Namun saat Jamil bekerja memecah kapur, ada temannya yang cerita tentang penculikan anak, ia mulai terusik. Jangan-jangan bayi yang ia temukan itu adalah anak yang diculik. Maka dengan menguping cerita teman-temannya, ia ingin tahu tentang masalah penculikan tersebut. Ia ingin tahu ciri-ciri anak yang diculik. Ia juga ingin tahu, anaknya siapa yang diculik.
Sore itu, sepulang dari kerja, Jamil menceritakan apa yang didengar dari teman-temannya. Yaitu tentang berita penculikan anak di Pasar Lasem. Tentu sambil mencium pipi bayi yang dipangku oleh istrinya di teras rumah.
"Juminem ..., saya tadi mendengar berita dari teman-teman, yaitu penculikan bayi di Pasar Lasem. Saya khawatir, jangan-jangan anak yang kita bawa pulang ini adalah yang diceritakan teman-teman itu." kata Jamil pada istrinya.
"Lhah, terus ..., gimana, Kang ...?!" tanya istrinya, yang tentu sambil memangku bayinya.
"Sebaiknya kita kembalikan ke pasar .... Saya khawatir, nanti kita dituduh menculik bayi ...." jawab suaminya.
"Tapi, Kang ..., saya masih pengin menimang anak ini ...." sahut istrinya.
"Kasihan orang tuanya .... Pasti dia bersedih kehilangan anaknya." kata suaminya lagi.
"Lha terus ..., orang tua bayi ini siapa? tanya Juminem.
"Besok saya akan cari tahu. Nanti kalau sudah tahu siapa orang tuanya, kita kembalikan anak ini. Tapi kita tetap bilang kalau bayi yang kita temukan ini diberi oleh orang laki-laki besar." kata Jamil pada istrinya, yang tentu juga agak sedih akan kehilangan bayi yang sudah terlanjur dibawanya itu.
"Iya, Kang .... Pokoknya kita jangan sampai dituduh menculik." sahut istrinya.
Tentu rasa kecewa di hati Juminem itu muncul. Bayi yang mulai membuat hatinya senang, besok harus lepas dari pelukannya. Akan dikembalikan kepada orang tuanya.
Demikian juga Jamil. Melihat anak kecil yang cantik itu, tentu sangat sayang dan senang .... Tapi ia juga tidak ingin dituduh menculik. Jamil tidak ingin bahagia saat orang tua anak itu bersedih. Meski ia orang desa, ia tidak ingin membuat orang lain susah. Maka sudah seharusnya, ia akan mengantarkan bayi itu kepada orang tuanya.
*******
Begitu mendengar berita tentang perempuan orang tua anak yang diculik itu meninggal, Jamil langsung syok. Kaget dan bingung. Ia sudah melakukan kesalahan. Ia sudah menyebabkan orang meninggal. Sebagai orang kampung yang senantiasa menjunjung nilai-nilai kebaikan, ia merasa bersalah dengan apa yang sudah dilakukan oleh dirinya dan istrinya, yaitu membawa pulang bayi yang bukan miliknya.
Jamil langsung pulang menemui istrinya, menyampaikan berita itu.
"Benar, Kang .... Yang meninggal itu Cik Lan, anaknya Babah Ho yang jualan di PasarLasem. Katanya jatuh di Sungai Cerbung, dari atas jembatan yang sedang dibangun." kata Juminem saat dikabari suaminya.
"Kok kamu sudah tahu, Jum?" tanya suaminya.
"Iya .... Itu dari orang-orang tadi setor kerudung." sahut istrinya.
"Saya yakin, bayi ini pasti anaknya Cik Lan itu .... Iya, kan .... Lihat wajahnya, matanya yang sipit, kulitnya yang putih .... Ia bayi anak keturunan ...." kata suaminya.
"Terus ..., gimana, Kang ...?" tanya Juminem, yang tentu sambil mendekap bayi itu karena saking inginya memiliki anak itu.
"Ya, kita harus berikan anak ini pada kakek dan neneknya. Sekalian kita minta maaf, karena kita sudah mengakibatkan semuanya ini. Nanti malam habis mahrib kita ke rumahnya, sekalian kita melayat." kata suaminya.
"Tapi jangan bilang kalau kita menculik lho, Kang ...." Juminem khawatir.
"Iya .... Niatan baik pasti akan mendapatkan berkah ...." jawab suaminya menenangkan istrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 259 Episodes
Comments
Agustin
kok melian bisa diculik sih, untung bisa ditemukan oleh pedagang pasar.
2023-04-21
0