Suasana makan siang di kantor pengacara umum, semua orang sedang menikmati makanannya di kantin. Hasna duduk sendirian dan menatap ponsel pintarnya yang membuka sebuah halaman mengenai kasus penipuan rumah dan tanah.
Tiba-tiba sebuah pesan muncul dari atas layarnya, Hasna membacanya sebagian. Pesan dari Fajri, penyelidik dari kepolisian.
《aku sudah mendapatkan rincian kasusnya, kapan kita bisa bertemu?》
Hasna menjawabnya dan menyelesaikan makannya.
Vino yang baru datang ke kantin hendak menyapanya, namun Hasna berjalan terburu-buru dan pergi dari kantin, sehingga dia tak bisa menyusulnya.
Vino menatap nampan makanannya lalu menatap Hasna yang mulai hilang dari pandangannya. Dia menghela dan memutuskan untuk melanjutkan makannya karena perutnya sangat lapar.
Hasna merapikan meja dan mengambil tasnya. Pak Armand bertanya padanya.
"Kau mau pergi?"
Hasna terkejut, ada yang dia sembunyikan dari Armand sehingga setiap Armand bertanya membuatnya gugup.
"Ya?"
"Aku hanya mau minta tolong. Kemarilah sebentar!" pinta Armand.
Hasna menghampiri dan melihat apa yang dia inginkan.
"Ini, aku sedang menangani kasus ini. Bisakah kita pergi bersama untuk bertemu dengan klien? Dia sedang tidak enak badan dan ingin aku ke rumahnya. Sambil belajar dari ku, aku juga belajar dari mu, bantu untuk melihat seberapa jauh penipuan ini" jelas Armand.
Hasna membulatkan matanya, dia tak harus sembunyi-sembunyi untuk mengetahui kasus ini. Dia tersenyum dan menyetujuinya dengan semangat.
"Ya, ayo!" jawab Hasna.
Armand tersenyum merasa puas dengan respon Hasna. Sama seperti yang diinginkannya.
Kasus Hasna yang pertama membuatnya mendapat perhatian khusus dari para senior nya. Armand ingin punya rekan yang sangat gigih. Membela hanya pada kebenarannya saja. Tidak memihak pada yang kaya atau kasihan pada yang miskin.
Semua orang harus mendapatkan ganjaran atas semua kesalahannya. Jika kasusnya sudah masuk dalam berkas di ruangannya, maka hanya kebenarannya saja yang akan terungkap.
Armand beranjak dari kursinya dan membawa tasnya. Mereka pergi.
Hasna berjalan di belakang Armand. Mencoba menghubungi Fajri, namun tak bisa. Dia pun mengirim pesan dan membatalkan pertemuan dengannya.
Fajri yang baru keluar dari kamar mandi memeriksa pesan yang masuk. Dia menghela kecewa saat pesan itu untuk membatalkan pertemuannya dengan Hasna.
"Ccckk...batal? Ah yang benar saja, aku sudah merapikan rambutku. Ah...!"
Fajri mengacak-acak rambutnya lagi, merasa percuma merapikannya untuk bertemu dengan Hasna. Dia pergi melakukan pekerjaan lainnya dengan wajah kesal.
"Kita akan ke TKP, sebuah tas berisi mayat ditemukan di pinggiran kali" ucap Beno temannya.
"Huuh!" jawab Fajri dengan kesal.
"Hei...kau kenapa?" tanya Beno.
"Tidak apa-apa!" jawab Fajri singkat.
Beno tersenyum.
"Oh ya, pengacara cantik itu menutup kasus dengan cara yang unik!" ucap Beno.
Fajri diam saja, hingga sampai di mobil dan menyalakan mobil. Tapi Beno tetap bicara dan memuji Hasna dihadapannya.
"Dia pasti tak bekerja sendirian, siapa yang bekerja untuknya? Apa ada kemungkinan anggota kita? salah satu dari mereka?" tanya Beno.
"Mayatnya perempuan atau laki-laki?" tanya Fajri.
Beno merasa tak didengarkan. Dia menatap berkas yang dia catat dari laporan warga yang dia terima.
"Wanita, tas dan dompetnya berceceran saat saksi membuka tas besar itu" jawab Beno.
"Aneh juga ya! Pembunuh tak membuang identitasnya" ucap Fajri heran.
Fajri menancapkan gas dan melaju kencang menuju TKP.
###
Hasna dan Armand tiba di depan pagar rumah "Juragan Garang". Seorang penjaga dengan pakaian jaket jeans menahan dan hendak bertanya.
Matanya melihat ke arah Hasna lalu Armand. Saat melihat Armand, dia tersenyum, sudah kenal dan menanyakan kabar pada Armand.
"Apa kabar Pak pengacara? Siapa dia? anak buah mu?" tanya nya melihat pada Hasna.
"Ya, aku masuk ya Din!" jawab Armand.
Mata Hasna menatap pria kekar itu, tatapan Hasna kosong sejenak. Lalu dia ingat saat Bardin, pria itu menahannya di luar rumah itu saat dia masih berumur 14 tahun.
Lalu teringat kenangan saat ayahnya keluar dari rumah itu dalam keadaan babak belur. Tak sedikit darah yang keluar dari mulutnya. Hasna hanya bisa menangis menatap ayahnya yang berusaha mengusap darah di wajahnya lalu tersenyum dihadapannya.
Hasna terbangun dari lamunnya saat Armand menginjak rem. Mereka berhenti di halaman rumah besar itu.
"Ayo!" ajak Armand.
Hasna menarik nafas dalam. Dengan menatap seluruh bangunan, dia melangkah mengikuti Armand masuk. Disambut seorang wanita paruh baya yang wajahnya terlihat sedang sedih.
"Siang Bu!" sapa Armand.
"Siang Pak Armand. Terima kasih sudah mau datang. Suami saya sedang di kamarnya. Silahkan!" ucap Bu Wati.
"Oh iya bu makasih!" ucap Armand.
Hasna menatapnya, dia ingat wajah ini. Wajah yang menangis saat ayahnya di lempar keluar dari rumahnya. Memohon pada suaminya untuk memperlakukan ayahnya seperti manusia.
Matanya masih sendu seperti dulu, rasa sedih seolah tak pernah lepas dari mata itu. Namun Hasna tak mau tahu sebabnya. Bukan itu yang ingin dia tahu, ada satu hal lain yang dia incar.
Hasna masuk tanpa ekspresi, dia mengikuti Armand dan masuk ke sebuah kamar. Langkahnya perlahan, dia merasakan tangannya gemetar. Terbayang wajah "Juragan Garang" yang dulu pernah dia lihat dari balik pagar besar.
Tubuh besar dengan perut buncit, mata merah juga wajah merah padam menatapnya setelah kedua orang tuanya di usir dari sana. Tangan dengan penuh cincin batu di jarinya, mengepal setelah memukuli wajah ayahnya.
Hari ini Hasna akan melihatnya lagi. Pria itu sedang duduk di ranjangnya. Dia tersenyum melihat Armand sudah datang.
"Siang Pak Armand!" sambutnya.
"Siang Pak! Wah kenapa nih Pak, kok kelihatan pucet?" Armand berbasa-basi.
"Iya nih Pak, kepikiran tanah yang jadi sengketa" jawab Pak Rusdi.
Ya Rusdiawan Pratama, seorang pengusaha. Awalnya dia hanya seorang makelar tanah, tahun berganti tahun, dia menjadi terkenal sebagai rentenir yang meminjamkan uang dengan jaminan surat tanah atau rumah.
Semua orang yang mengenalnya menyebutnya "Juragan Garang", karena terkenal kegarangannya saat menagih surat tanah atau rumah yang dijaminkan. Dia juga terkenal tak kenal rasa belas kasih, tega dan berani melukai peminjamnya.
Zaman semakin modern, pemahaman masyarakat semakin maju dan semakin mengetahui arti rentenir berkat dari pengalaman dan pendidikan para relawan ekonomi yang membagikan pengetahuan tentang bahaya dan mengerikannya rentenir.
Beberapa dari mereka melawan lewat pengadilan dan melaporkan tindakan renternir. Sebagian wilayah melakukan pembersihan terhadap rentenir, sebagian lagi masih tetap tunduk pada premanisme mereka.
Maka dari itu, Pak Rusdi melakukan pencucian uang dan mencari usaha baru yang bisa dia jadikan alasan pohon uangnya. Dia mengatasnamakan dirinya sebagai pengusaha rongsok.
Armand bicara banyak dengan Pak Rusdi, sedangkan Hasna hanya menatapnya. Pak Rusdi menjadi agak canggung karena tatapan Hasna berbeda.
"Dari tadi dia ngeliatin terus, kenapa?" tanya Pak Rusdi.
Armand membangunkan Hasna dari fokusnya yang entah kemana. Hasna hanya tersenyum mendengar pertanyaan Pak Rusdi.
"Saya terkesima dengan cerita Bapak tentang para penipu itu. Mereka terbilang pandai, mereka melakukan hal itu dihadapan anda sendiri" ucap Hasna.
"Maksudnya?" tanya Pak Rusdi dengan wajah herannya.
"Ya"
Hasna menatap Armand.
"Orang yang menipu Anda, sudah sangat tahu kebiasaan, usaha dan rute surat tanah yang biasa anda balik nama. Mereka sangat paham apa yang terlihat dan tak terlihat oleh anda. Sehingga mereka tahu jalan mana yang bisa tak terlihat oleh anda" jelas Hasna.
Armand mengerti dengan ucapan Hasna. Namun Pak Rusdi yang kolot tak paham dengan ucapan Hasna yang menurutnya terlalu rumit.
"Ahh...ngga ngerti. Pokoknya, sudah terbukti sama penyidik dia ngelakuin penipuan. Gua gak mau tahu, tanah itu harus kembali ke tangan gua dan dia dihukum seberat-beratnya" ucap Pak Rusdi.
Hasna menatapnya lagi. Kali ini Hasna menyadari sesuatu. Kelemahan Rusdi yang akan membuatnya justru kehilangan semua tanah yang dipaksa diambilnya.
~Dia masih sama, masih hanya memikirkan keuntungan diri sendiri. Dia bahkan tak tahu siapa yang sebenarnya menipunya~ ucap hati Hasna.
Armand menghela nafas, sejak tadi dia akan mengatakan pelaku yang dilaporkannya adalah anaknya sendiri, Rendy Pratama. Namun dia tak membiarkan semua orang mengatakan hal itu. Hanya istrinya yang tahu dan juga tak bisa mengatakannya. Itu yang jadi alasan mata Bu Wati semakin sendu.
Hasna semakin menahan tawanya untuk menertawakan kemalangan yang ada di hadapan Pak Rusdi. Keegoisan menutup mata dan telinganya. Dia tak mengikuti perkembangan penyelidikan. Setiap ada petugas yang hendak memberi tahu perkembangan kasusnya, hanya istrinya yang diutus untuk mendengarkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments