...💠Selamat Membaca💠...
Wanita bernama Camelia Collins itu mulai bercerita. Beberapa bulan yang lalu ia mengunjungi apartemen kecil yang disewa sang kakak sebagai tempat tinggal. Namun, saat sampai di sana, penghuni baru apartemen itu mengatakan jika penghuni sebelumnya telah meninggal dunia. Camelia pun merasa terkejut mendengar hal itu, ia menanyai semua orang yang ada di lingkungan itu mengenai penyebab kematian sang kakak dan juga kemana pergi keponakannya.
Camelia sangat terpukul begitu mengetahui jika kakaknya meninggal di tempat saat tertabrak oleh mobil yang melaju cepat. Selain itu, keberadaan keponakannya tidak satu orang pun yang tahu di mana. Camelia frustasi, selama beberapa bulan ini ia berusaha menemukan keponakannya dengan mengerahkan orang suruhannya untuk mencari. Tidak disangka, jika ia akan dipertemukan dengan Jasmine di rumah sakit ini.
"Apa kau adalah suaminya Jasmine?" Pertanyaan ini belum sempat dijawab oleh Mark.
"Bukan." Di depan keluarga Jasmine, Mark tidak mungkin berbohong.
"Lalu, siapa suaminya? Kenapa dia tidak menemani Jasmine saat melahirkan seperti ini?" tanya Camelia tak habis pikir.
Hari ini Camelia memeriksakan diri bersama sang suami ke dokter kandungan yang ada di rumah sakit ini. Mereka sudah menikah selama 5 tahun, tapi belum dikaruniai seorang anak. Hasil pemeriksaan mengatakan jika mereka berdua baik-baik saja, cuma Tuhan saja yang belum mempercayakan anugerahnya bagi pasangan itu.
Saat keluar dari ruangan dokter, Camelia tak sengaja melihat Jasmine yang berbaring di atas brankar yang didorong menuju ruang operasi. Awalnya ia tidak percaya jika itu adalah keponakannya karena tengah hamil dan akan melahirkan pula. Namun, setelah ia memastikannya tadi, ia tahu jika perempuan yang baru saja melahirkan itu, adalah benar anak dari kakaknya.
"Mr. Davidson?" panggil Camelia karena Mark tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Mark menghembuskan napas pelan. "Maaf, jika berita yang akan ku sampaikan ini mungkin akan menyakiti hati kalian berdua."
"Jangan bertele-tele, ku mohon!" Camelia sungguh sangat penasaran.
"Jasmine baru saja melahirkan seorang anak dari hasil pemerkosaan."
Deg
Dua tubuh manusia yang ada di hadapan Mark membeku. Mereka masih berusaha mencerna maksud dari perkataan pria itu.
"Maaf, maksudnya bagaimana?" Suami Camelia yang bernama Robert Collins tersadar lebih dahulu dan kemudian meminta penjelasan.
Mark pun akhirnya menceritakan semua yang terjadi kepada paman dan bibi Jasmine tentang apa yang telah menimpa perempuan itu. Tanpa satu pun yang ditutupinya, termasuk dengan kejadian Jasmine menceburkan diri ke sungai waktu itu. Ia merasa keluarga Jasmine berhak tahu semua itu.
...----------------...
Mark terdiam, ia memandang kasihan wanita yang mengaku sebagai bibinya Jasmine, yang sedari tadi tidak berhenti menangis di pelukan suaminya. Camelia sangat sedih setelah mendengar penderitaan yang dialami oleh keponakannya.
"Mark..." Panggilan kecil itu berhasil membuat Mark berjengkit. Ia berjalan cepat menuju ranjang Jasmine.
"Kau sudah sadar?" tanya Mark.
"Hm. Di mana bayiku?" tanya Jasmine.
"Sebentar lagi dokter akan membawanya kemari."
Benar saja, tak sampai satu menit setelah Mark mengucapkannya. Dokter dan seorang perawat datang membawa box berisi bayi Jasmine.
"Bagaimana keadaannya, Bu?" sapa dokter yang masuk. Ia mengecek sebentar kondisi Jasmine.
"Semuanya normal. Dan ya, saat ini ibu harus memberikan ASI pertama untuk jagoannya, karena yang pertama kali itu mengandung Kolostrum yang berguna untuk memperkuat daya tahan tubuh bayi Ibu. Suster, berikan bayi itu pada ibunya!" perintah sang dokter.
Perawat menyerahkan bayi gendut itu pada sang ibu. Jasmine sedikit kesusahan saat menggendong bayinya, karena itu yang pertama kalinya.
Jasmine mendekap buah hatinya dengan sayang, diperhatikannya wajah jagoannya itu. Sangat tampan dan menggemaskan. Ia kecup keningnya dengan lembut.
"Selamat datang anak mommy."
Mark yang menyaksikan semua itu hanya bisa tersenyum haru, begitu pula dengan dokter dan perawat yang ada di sana.
"Kalau begitu, kami pamit dulu. Jika terjadi apa-apa, segera beritahu kami." Dokter itu pun meninggalkan ruangan bersama si perawat.
Camelia dan Robert menghampiri Jasmine.
"Jasmine..." panggilnya.
Jasmine menatap dua manusia yang ada di hadapannya. Ia tidak mengenal mereka, hanya saja wajahnya terlihat tidak asing.
"Siapa?" Jasmine menoleh ke arah Mark, meminta jawaban.
"Jasmine, ini bibi Camelia. Bibi adalah adik mommymu." Kenapa Jasmine tidak mengenal Camelia? Karena terakhir mereka bertemu adalah saat Jasmine berumur lima tahun, tentu saja perempuan yang baru menjadi ibu itu tidak ingat sama sekali.
"Bibi Camelia?" Jasmine mencoba mengingat. Dan setelah cukup lama, ia akhirnya mengingatnya juga.
"Bibi...." Jasmine langsung tergugu. Camelia mendekat dan membawa Jasmine ke dalam pelukannya.
"Maafkan bibi, Nak. Bibi tidak tahu jika kau sangat menderita. Maaf..."
"Bukan salahmu, Bi."
Setelah acara kangen-kangenannya, Jasmine ingat jika ia harus memberi bayinya ASI. Lagi pula, jagoannya juga sedikit merengek, mungkin haus.
"Paman dan Mark bisa tolong keluar sebentar, aku mau menyusui bayiku." Pinta Jasmine. Ia malu jika harus memperlihatkan dadanya pada laki-laki.
Mark dan Robert yang merasa sadar diri langsung meninggalkan ruangan, sementara Camelia sedia menamani Jasmine di dalam.
Jasmine membuka kancing baju rumah sakitnya dan mengeluarkan sebelah pa*ud*ranya. Ia mengarahkan p*t*ngnya pada mulut si bayi yang masih setia dengan mata terpejam.
Bayi tampan itu menyedot ASI Jasmine dengan sangat kuat, sepertinya ia memang kehausan. Selama bayinya menyusu, Jasmine sibuk mengelus pipi jagoannya, terkadang ia juga mengusap keningnya yang berkeringat.
Camelia melihat pemandangan itu dengan perasaan takjub, namun, tak bisa dibohongi, terbesit rasa iri di dalam hatinya. Keponakannya yang masih muda saja sudah memiliki anak walaupun dia tak pernah merencanakan hal itu, tapi kenapa dirinya yang begitu merindukan hadirnya sosok seorang anak di dalam kehidupannya, tak kunjung mendapatkan semua itu. Kenapa ia merasa jika Tuhan sudah bertindak tidak adil.
"Jasmine, apa kau sudah menyiapkan nama untuk bayimu?" tanya Camelia.
Jasmine tersenyum dan mengangguk. "
"Entah kenapa aku ingin sekali memberinya nama Hansel."
"Nama yang bagus."
...----------------...
Setelah keluar dari rumah sakit, Jasmine memutuskan untuk tinggal bersama dengan Camelia, itu pun atas permintaan adik dari ibunya itu.
Waktu berlalu begitu cepat, Hansel saat ini sudah berusia satu tahun. Namun, Camelia menemukan suatu keanehan setelah melihat interaksi antara Jasmine dan anaknya. Perlakuan ibu muda tak lagi sehangat dulu, tak jarang ia memilih mengabaikan sang anak.
Camelia pun bertanya-tanya, apa yang telah terjadi pada keponakannya itu.
"Arrgghhh, pergi! Jangan dekati aku!"
Suatu hari, Camelia mendengar teriakan dari dalam kamar yang ditempati Jasmine. Teriakan itu disusul oleh suara lengkingan tangis Hansel. Tergopoh-gopoh, Camelia menuju sumber suara.
"Jasmine, ada apa ini?" Camelia menemukan Hansel duduk di lantai dengan tangis yang menyayat hati, sementara Jasmine tengah meringkuk di atas tempat tidur.
Camelia menggendong Hansel dan membawanya mendekati Jasmine.
"Hansel menangis kenapa tidak kau tenangkan?" tanya Camelia heran.
Jasmine menatap tajam bayi yang ada di gendongan bibinya.
"Mommy...!" Bayi satu tahun itu mengulurkan tangan minta digendong. Matanya berkaca-kaca menatap sang ibu.
"Pergi! Jauhkan anak itu dariku!" pekik Jasmine.
"Pergi!"
"Aku membencinya, aku tidak mau melihat wajah itu!"
"PERGI!" teriak Jasmine.
Ia melempar bantal ke arah Camelia dengan membabi buta.
"Ada apa dengan dirimu?" Camelia mulai panik. Ia memutuskan untuk membawa Hansel keluar dan menenangkannya.
...----------------...
Sudah satu minggu berlalu, keadaan Jasmine masih sama. Ia selalu berteriak saat melihat Hansel. Akhirnya Camelia menghubungi Mark dan meminta pria itu mencarikan seorang psikiater. Menurut Camelia, keponakannya sedang terguncang jiwanya.
Mark datang membawa seorang psikiater ke kediaman Collins. Sebelum memeriksa keadaan Jasmine, dokter spesialis kejiwaan itu terlebih dahulu menanyakan penyebab Jasmine mengamuk. Akhirnya, diceritakanlah apa yang telah terjadi pada perempuan itu.
Psikiater itu mengangguk paham. Ia meminta Hansel untuk dibawa saat ia bertemu pasiennya, yang tak lain adalah ibunya Hansel.
"PERGI!"
Mark dan Camelia mendengar Jasmine berteriak, dua orang itu hanya bisa menunggu di luar kamar.
Hampir satu jam dokter itu berada di kamar Jasmine, sementara Hansel sudah dikembalikan pada Camelia dimenit kelima belas si dokter berada di dalam.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Camelia begitu dokter yang memeriksa keadaan Jasmine sudah keluar.
"Sepertinya Nona Jasmine mengingat kembali kenangan buruk yang telah menimpa dirinya. Semacam trauma."
"Tapi apa pemicunya, Dok?" tanya Mark.
"Putranya."
"Apa?" Mark dan Camelia shock mendengarnya.
"Bagaimana bisa? Dulu dia sangat menyayangi anaknya, Dok."
"Di dalam tadi, saya mencoba mendekatkan si anak pada ibunya. Namun, reaksi dari Nona Jasmine sangat di luar dugaan. Saya bisa melihat dengan jelas jika tubuhnya bergetar ketakutan, peluh membanjir dan hanya ada raut kebencian kala ia menatap sang putra."
"Tapi kenapa, Dok?"
"Kemungkinan besar karena wajah Hansel mengingatkannya pada pria yang telah menodainya."
Deg
Camelia tersentak. Memang benar, wajah Hans sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan Jasmine dan itu berarti cucunya itu adalah duplikat sang ayah. Seiring bertambah besarnya Hansel, maka wajahnya akan semakin terlihat jelas mirip siapa. Pantas saja, Jasmine merasa benci melihat wajah sang anak karena hal itu mengingatkannya pada wajah pria yang telah merenggut kesuciannya.
"Jadi, kami harus bagaimana, Dok?" tanya Mark.
"Untuk sementara, coba jauhkan dulu Nona Jasmine dari anaknya."
...----------------...
Dan itu berlangsung lama, sampai saat ini Jasmine masih belum bisa jika berhadapan langsung dengan putranya, karena bayang-bayang masa lalu selalu mengikuti.
...Bersambung...
Jangan lupa Like, Vote & Comment
Terima kasih sudah membaca 🙏🏻😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments