Zulfikar Saga Antasena
Andai saja aku bisa, rasanya ingin menghilang dari muka bumi ini saat ini juga. Dalam kekalutan dan perasaan bersalah ini, aku mendengar wanita itu terbatuk. Aku yakin itu suara dia.
"Mas, aku mendengar su ---."
Tuh, benar kan? Dewi juga pasti mendengar suara itu.
Aku segera menyambar bibirnya agar dia tidak berkutik dan semoga saja apa yang kulakukan ini bisa membuatnya teralihkan dari suara wanita munafik itu.
Dewi sepertinya sangat mengharapkan kegiatan ini, dia antusias dan begitu agresif. Dia tergesa-gesa membuka kemejaku. Aku pasrah, namun tanpa sadar pikiranku malah melanglang buana dan mengingat kembali wanita itu. Aku mengingat semua hal yang ada pada diri wanita itu.
Ini g i l a. Aku jahat. Pria macam apa aku ini?! Entah taubat seperti apa yang bisa mengetuk pintu langit hingga dosaku terampuni.
"Mas ...," bisik Dewi.
Dia sedang memanjakan tubuhku. Dia memimpin permainan. Dia striker, sementara aku hanya defender. Aku memeluk tubuh Dewi yang polos, aku bingung dengan perasaan ini.
Apa aku menikmati apa yang dilakukan Dewi? Entahlah.
Dan mataku berulang kali merilik ke sana. Ke lemari yang berada dia di dalamnya.
Deg, dadaku tersentak. Lemari itu kecil dan gelap. Setelah memakai kembali bajunya, karena panik, dia malah masuk ke bagian yang sekatnya kecil, harusnya dia bersembunyi di bagian lemari gantung.
Tidak, bagaimana kalau dia mati karena kekurangan oksigen?
"Mas, a-ayo dong Mas ...."
Suara Dewi menyadarkanku. Istriku telah siap, ia akan memasrahkan kesuciannya untukku. Untuk pria yang sudah tidak suci lagi.
"Ya cinta."
Aku tersenyum. Aku mengecup keningnya, dan tak sadar mataku kembali berkaca-kaca.
"Ke-kenapa, Mas?" tanya Dewi sambil membelai rahangku. Sorot mata Dewi memancarkan hasrat yang begitu menggebu.
"Ti-tidak apa-apa cinta, aku hanya terharu. Ma-malam ini akhirnya terjadi juga. Maaf belum sempat membawamu ke tempat yang spesial."
Padahal, aku berkaca-kaca karena menyesali dosa itu.
Aku telah berzina, Wi. Apa aku pantas mendapatkan kesucianmu?
Sejenak aku melamun, aku bimbang dan bingung. Ditambah dengan perasaan takut. Takut wanita itu mati.
"Mas ... a-aku sudah tidak sabar. Please ...."
Dewi menuntutku. Tatapannya nanar, pipinya memerah. Bibir dan indra pengecapnya bergerak nakal. Dewi cantik. Tapi ... kenapa malah wajah wanita munafik itu yang memenuhi otakku?
Jujur, aku ingin menolak keinginan Dewi. Aku ingin menundanya. Tapi ... aku hanyalah pria lemah yang berkubang dosa. Walau hatiku ingin menolak, tapi ... tubuhku tetap merespon.
Dewi terus merayu, menggoda, membuai dan menuntunku. Ya, dia istri sahku. Apa yang dilakukannya tentu saja halal. Hingga terjadilah peristiwa itu.
"Mas, sa-sakit ...," rintih Dewi.
"A-apa kita tunda saja?" tanyaku.
"Ja-jangan, ti-tidak apa-apa Mas, a-aku menginginkannya," lirih Dewi.
Lantas akupun pasrah. Aku membiarkan istriku merenggut semua hal yang ada pada diriku.
Maafkan Mas ya, Dewi ....
Aku sangat menyesali kejadian itu. Aku ingin beteriak sekuat petir, aku ingin bersembunyi ke dasar bumi. Tapi ... nasi sudah menjadi bubur.
Lumayan lama kami melakukan penyatuan. Tapi sepertinya tidak akan selama saat aku melakukannya dengan wanita itu. Ini pertama kalinya untuk Dewi, tapi ... ini yang kedua kalinya untukku.
Dewi meracau. Ia memanggil namaku berulang-ulang. Istriku telah beberapa kali mencapai titik itu. Setidaknya, aku telah berhasil membuatnya bahagia. Kebahagiaan Dewi sedikitnya bisa mengobati rasa bersalahku kepadanya.
Apakah aku menikmati aktivitas ini?
Lagi, aku bertanya pada diriku sendiri dengan sebuah pertanyaan yang tidak bisa aku jawab.
Wanita itu membuatku tidak bisa berkonsentrasi. Dia menghancurkan semuanya. Dia mengambil kesucianku dengan cara yang licik. Tubuh dia dan segenap tipu dayanya telah berhasil meracuni jiwa dan ragaku. Dia membawa pengaruh negatif. Wanita itu benar-benar toxic.
Maafkan aku, Dewi ....
Jujur, hatiku tidak tenang. Ingin segera mengakhiri percintaan ini karena aku takut wanita itu mati lemas.
Tolong jangan mati dulu wanita munafik, kalau kamu mati, bagaimana caranya aku bisa membalas kelakuanmu? Kamu harus mempertanggungjawabkan kesalahanmu.
Akupun bekerja keras untuk menuntaskannya. Kali ini, akulah yang berperan sebagai striker. Hingga pada akhirnya tubuh Dewi terkulai lemas. Tubuhkupun sedikit lemas, aku mengatur napas dan berusaha tetap tenang.
Aku mengecup keningnya, memuji kecantikannya, dan berterima kasih atas pelayanannya. Dewi mengangguk pelan. Aku membelai rambutnya agar dia cepat tertidur.
"Tidurlah cinta ... kamu lelah, kan?" bujukku.
"Mas juga tidur, dong," ajaknya.
"Mas mau langsung mandi. Jam setengah lima, nanti Mas bangunkan kamu, oke?"
"Hmm, a-aku mau mandi bersama, Mas. Tapi ... a-aku lelah," keluh Dewi. Matanya separuh terpejam. Tapi bahasa tubuhnya terlihat sangat manja.
"Kita masih bisa mandi bersama di lain waktu, cinta. Sekarang tidur ya, tubuhmu butuh istirahat." Aku kembali membujuknya.
Berhasil.
Dewipun tidur. Aku mengecek dengan cara meniup pelan, dan mengibaskan tanganku di atas matanya. Dewi tak merespon. Artinya, dia sudah terlelap.
Aku tergesa memakai kembali pakaianku. Lalu mengambil kunci lemari yang kusembunyikan. Tanganku gemetar. Jantungku berdentum dan bertalu-talu. Aku panik maksimal.
"Cepat, cepat, cepat!" gumamku saat memasukan ujung kunci ke lubangnya. Aku yang gugup membuat kunci itu tiga kali terjatuh karena lepas dari genggaman. Belum lagi aku harus melirik dan memastikan jika Dewi benar-benar tidur.
'Krek.'
Akhirnya lemari berhasil dibuka, dan aku spontan merengkuh tubuhnya yang terkulai bersamaan dengan terbukanya pintu. Aku terkejut. Mataku membelalak.
"Hei, ka-kamu tidak mati, kan?" kataku pelan, sambil mengguncang bahunya.
Wajahnya memucat. Terpaksa kuraba lehernya. Tanganku menelusup di balik jibabnya.
Ahamdulillah.
Dia masih hidup. Tapi nadinya terasa lemah, akralnya dingin. Keringat dingin itu membasahi kelopak mata, pelipis dan keningnya. Sejenak, aku malah asyik menatap wajahnya. Jujur, dia begitu cantik. Wajahnya meneduhkan.
Sayanganya, kecantikannya digunakan untuk hal yang tidak-tidak. Dia berani mengorbankan kesuciannya pasti karena butuh uang. Atau bisa jadi keluarganya terlilit hutang.
"Hei, bangun," aku kembali menyadarkannya, tapi dia bergeming.
"S i a l!" dengusku.
Aku harus mengusir wanita ini dari kamarku. Tapi, jika dia belum siuman. Bagaimana caranya?
Aku memijat keningku. Dan kalaupun aku berhasil mengusirnya, bagaimana dengan kejadian itu? Kedepannya, dia pasti akan mengancam dan memanfaatkanku. Aku harus membuat keputusan agar dia bungkam.
.
.
Kubopong tubuhnya menuju kamar mandi. Kuletakan di bathup, lalu kunyalakan air untuk mengguyurnya.
Kepalanya menengadah di sisi bathup. Sebenarnya, kasihan juga melihatnya dalam keadaan seperti ini. Tapi, dia sendiri yang telah berani menggali kuburnya. Dia berani mengusik seorang Zulfikar Saga Antasena.
Aku memang tidak pernah jahat pada siapapun, tapi ... saat harga diriku dan keluargaku terusik, aku bisa berubah menjadi singa yang kelaparan. Aku berani menerkam siapapun tanpa ampun.
"Apalagi kamu, kamu bukan hanya mengusik jiwa dan ragaku. Lebih dari itu, kamu telah mengambil kebahagiaanku. Gara-gara kehadiranmu, aku merasa tidak bahagia saat tidur bersama istriku. Semuanya kacau gara-gara kamu!" bentakku saat kucipratkan air ke wajahnya hingga ia siuman.
"Uhhuk, uhhuk," dia terbatuk lagi.
Sepertinya dia kaget saat membuka mata dan melihat sekitaran. Aku bertolak pinggang sambil menatapnya dengan tatapan membunuh.
"Ke-kenapa Anda jahat sekali?" Dia sejenak menatap mataku sambil memeluk tubuhnya.
"Ssst, jangan keras-keras bicaranya. Istriku sedang tidur!"
"Bagaimana aku bisa keluar dari sini kalau pakaianku basah?" keluhnya.
"Itu tidak penting. Nanti kusiapkan baju kering untuk kamu. Sekarang mari kita membuat kesepakatan."
"Kesepakatan apa?" tanyanya.
Dia berusaha bangun. Kulihat kakinya memucat karena kedinginan. Dia keluar dari bathup dengan tubuh menggigil.
"Merepotkan!" Aku melemparkan handuk hotel kepadanya.
"Bisakah aku pergi sekarang?" tanyanya.
"Dasar wanita aneh! Kamu mau pergi dengan keadaan seperti itu?! Sudahlah jangan pura-pura! Berapa uang yang kamu inginkan, hahh?! Atau kamu akan melaporkanku ke polisi? Silahkan! Paling juga nanti kamu dan keluargamu yang akan malu! Karena dari awal kamulah yang salah!" tegasku.
"A-aku tidak menginginkan apa-apa, aku bukan p e l a c u r. Aku salah memasuki kamar Anda karena mabuk, mungkin ... aku dijebak seseorang," lirihnya. Kali ini sambil menunduk.
"Sudahlah, jangan beralibi! Bagaimana kamu bisa masuk ke kamarku?! Pakai sihir?!" tuduhku.
"Demi Allah, aku juga tidak tahu. Aku melihat nomor kamar ini 38. Saat aku datang, pintu kamarnya terbuka sedikit, jadi aku langsung masuk. Kupikir temanku ada di kamar ini. Untuk membuktikannya, silahkan Anda cek CCTV saja."
"Lagi-lagi kamu membawa nama Tuhan. Baik, nanti akan aku cek! Ya sudah, aku tidak punya banyak waktu lagi, berapa uang yang kamu inginkan?! Dengar ya, dulu aku pernah pacaran dengan wanita yang kukira sangat sederhana, wajahnya cantik dan polos seperti kamu. Aku pernah tergila-gila oleh dia. Tapi pada akhirnya aku tahu jika dia mengincar hartaku."
"Tolong jangan terus-menerus menuduhku. Aku bukan wanita seperti itu. Jangan samakan aku dengan wanita lain. Bagiku, mati kelaparan lebih terhormat dari pada harus menjual diri. Anda tenang saja, aku tahu diri, aku juga tahu siapa Anda. Aku tidak akan melaporkan Anda ke polisi, huukks." Dia menjeda kalimat untuk sejenak mengusap airmatanya.
"Tapi ... aku tidak akan berhenti untuk mencari keadilan. Aku harus mengetahui siapa orang yang telah menjebakku, apa motifnya, dan aku juga harus tahu kenapa kamar ini tidak terkunci," tegasnya.
"Hahaha, kamu lucu. Nomor kamar ini 33 jelas berbeda angka dengan nomor 38," sangkalku.
"Saat itu aku sangat pusing, pandanganku ngeblur dan berbayang. Harusnya, sebagai orang yang berpendidikan Anda jangan terburu-buru menyalahkan aku. Di sini aku adalah korban. Jika benar Anda juga mabuk dan salah mengenali istri Anda, berarti Anda juga korban. Dan alangkah baiknya kalau Anda juga mencari tahu siapa dalang di balik semua ini."
"Anda menyalahkanku karena salah mengenali nomor kamar, sementara Anda sendiri tidak mau disalahkan setelah salah mengenali istri Anda hingga meniduriku dan merenggut kesucianku. Huuu ... Anda sangat egois. Anda tidak berprikemanusiaan."
Aku menyimak, apa yang dia katakan ada benarnya juga. Aku sedikit terenyuh. Tidak, aku tidak boleh terkecoh oleh bujuk rayunya.
"Biar bagaimanapun, a-aku adalah bawahan Anda. Walaupun bukan bawahan secara langsung, ta-tapi aku bekerja di perusahaan Anda. Maaf karena aku telah mempersulit Anda. Sekali lagi, aku tegaskan. Aku bukan wanita yang seperti Anda tuduhkan. Tolong beri kesempatan padaku untuk membuktikan semuanya."
Dia membalikkan badan, dan sepertinya ingin keluar dari kamar mandi.
"Tu-tunggu, si-siapa namamu? Dari divisi mana?" Tak sadar aku memegang tangannya, kulitnya terasa dingin.
"Lepas!" Dia menepis tanganku.
"Anda tidak perlu tahu. Anda juga tidak perlu mengingatku. Biarkan aku saja yang akan selalu mengingat bahwa Anda telah menyakiti jiwa, tubuh, dan perasaanku."
Aku terdiam, setiap kalimat yang dia ucapkan membuatku sedikit ragu jika dia adalah wanita nakal. Lagipula, jika dipikir-pikir, mana ada j a l a n g yang masih perawan.
"Lalu bagaimana dengan kesucian kamu? Kamu kehilangan mahkota itu gara-gara aku. Aku akan bertanggung jawab. Nanti akan kucari tahu nomor rekeningmu."
"Apa Anda belum puas menghinaku? Sudah cukup aku kehilangan kesucianku, tolong jangan menghina dan menyakitiku lagi dengan berniat memberiku uang. Jika Anda tulus ingin bertanggung jawab, huuu ... huuks. To-tolong nikahi aku saja," katanya. Tapi tidak menatapku.
"Apa katamu?!" Aku terkejut. Tak menyangka jika dia akan mengatakan permintaan aneh itu.
"I-itu tidak mungkin! Aku sudah menikah!" bentakku. Aku segera menutup bibirku. Saking kagetnya, aku sampai lupa kalau di luar ada Dewi.
"Kalau Anda tidak mau, akupun tak akan memaksa. Anda tidak perlu panik. Semoga Anda bahagia. Oiya, selamat atas jabatan baru Anda. Permisi."
Dia benar-benar keluar dari kamar mandi, lalu berlari dengan sedikit tertatih menuju pintu keluar. Aku mengejarnya. Kulihat jejak kaki basahnya bececeran di lantai. Rok panjangnya bahkan masih meneteskan air.
Sesaat kumelirik Dewi, dia masih tidur, posisinya bahkan belum berubah.
"Sabar sebentar, baju kamu basah, aku akan memanggil layanan hotel un ---."
"Tidak perlu," selanya. Sambil membuka pintu dan pergi begitu saja tanpa menoleh lagi.
Aku menghela napas, segera kulap bekas jejak kakinya menggunakan keset.
Kemudian kuterpekur di sisi tempat tidur, lalu aku tersadar kalau tas dia masih berada di dalam laci.
"Dasar ceroboh," gumamku.
Segera kuambil tas mungil itu. Aku bermaksud menyusul dia untuk memberikan tasnya.
"Jika Anda tulus ingin bertanggung jawab. Tolong nikahi aku."
Kalimat itu terngiang kembali.
...~Tbc~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 189 Episodes
Comments
Hanipah Fitri
dua dua nya adalah korban, tapi yg sangat menderita adalah dipihak perempusn
2022-05-25
2
Harun
itu tahu ganteng dsn kaya jadi pengen dinikahi coba cowoknya OB masih mau
2022-05-13
2
Vi II
👍
2022-02-12
2