Terpaksa Berbagi Ranjang
**Daini Hanindiya Putri Sadikin**
Aku karyawan baru di sebuah perusahaan peroperti di Jakarta. Aku baru bekerja selama lima bulan. Jabatanku adalah salah satu staf di bagian divisi mutu.
Oiya, aku tidak biasa mengikuti acara makan malam perusahaan. Kalaupun divisiku diundang, aku selalu menolak. Aku lebih suka pulang ke kostan, maskeran dan tidur. Karena sering mangkir, akupun ditegur manajer. Selain kurang suka kumpul-kumpul, aku sebenarnya merasa tak nyaman dengan tatapan mayoritas rekan kerjaku. Mungkin karena penampilanku yang sedikit berbeda.
Tapi saat wawancara dan dinyatakan diterima di perusahaan ini, tidak ada satupun peraturan yang melarangku memakai rok panjang, baju longgar, ataupun gamis. Hanya tertera, gunakan pakaian kantor yang sopan, bersih dan nyaman.
Apa penampilanku terlihat mencolok? Ya sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Toh bagian kepegawaian atau manajerkupun tak pernah mengomentari busanaku. Atasanku tidak pernah menegurku. Lagipula, sebagai wanita muslimah, aku memang diwajibkan menutup aurat.
"Malam ini pokoknya lu harus ikut ya," kata teman kantorku, namanya Kak Listi. Dia satu divisi denganku.
"Ya, Kak," jawabku sambil merapikan berkas.
"Bajunya ganti, jangan yang kegedean Dai. Jilbabnya juga ganti dong, modis dikit napa, bisa 'kan?" tambah Kak Listi.
"Bajuku tidak kegedean, Kak. Aku memang nyaman memakai busana longgar. Kata abah, pakaian yang bagus untuk wanita muslimah itu yang menutup aurat dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Jilbabku juga sama Kak, aku tidak melihat modisnya, yang aku lihat itu fungsinya. Apakah sudah sesuai sesuai syariat apa belum?" jelasku.
"Ya ya ya, susah deh kalau ngomong sama bu ustadzah. Ya udah, gua pulang duluan ya, Dai. Jangan lupa jam 8 malam lu harus ada di hotel. Mau gua jemput gak?" tawarnya.
"Gak perlu, Kak. Aku mau naik busway. Lagian dari kostsanku ke hotelnya lumayan dekat, kok," tolakku.
"Ya deh, bye Daini. Hahaha," katanya sambil melambaikan tangan. Aku hanya tersenyum dan membalas lambaian tangannya.
"Tapi lu sebenarnya cantik tahu, Dai," teriak Kak Listi.
"Terima kasih," jawabku.
...🍒🍒🍒...
Jaka (Bartender)
Malam ini, aku dan timku sangat sibuk, keringat mulai bercucuran di belakang punggungku. Ya, malam ini sedang berlangsung acara makan malam besar-besaran sebuah perusahaan properti ternama. Hahaha, sebenarnya aku juga kredit rumah di perusahaan ini. Aku kredit tipe yang paling murah. Letaknya ada di kota hujan, Bogor.
"Kak, boleh aku meminta segelas air putih?"
Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh, dia seorang wanita berkacamata, kuyakin dia adalah salah satu karyawan yang tengah mengikuti acara ini.
"Boleh," jawabku. Segera mengambilkan air putih untuknya.
"Terima, kasih."
"Sama-sama."
Wanita itu pergi sambil tersenyum, dia ramah dan lumayan cantik.
"Wah, gelas jus jeruk itu telihat berbeda," aku memuji sebuah gelas yang berisi jus jeruk. Terlihat mencolok, disajikan di champagne glass dengan corak yang sangat indah."
"Jangan ada yang menyentuh ya, ini minuman spesial untuk Direktur. Dipesan khusus oleh seseorang." Temanku lantas membawa minuman tersebut ke dalam ballroom.
...🍒🍒🍒...
Daini Hanindiya Putri Sadikin
Sungguh, aku hanya meminum air putih yang terhidang di hadapanku. Aku tidak mau mengambil risiko dengan meminum yang aneh-aneh. Aku bahkan tidak berani meminum jus. Tapi ... setelah meminum segelas air putih yang terhidang di mejaku, entah kenapa aku justru merasa mual dan pusing.
Kupikir akan lebih baik kalau aku segera ke kamar saja. Kata pak manajer, divisiku mendapatkan bonus, jadi seluruh staf mutu boleh menginap selama semalam di hotel bintang lima ini. Kapasitasnya satu kamar untuk dua orang. Aku sekamar dengan kak Listi.
Kamarku nomor 38, ya aku masih ingat. Aku segera mencarinya dengan berjalan terhuyung-huyung sambil menelepon kak Listi. Tapi kak Listi tidak mengangkat panggilanku. Maksudku menelepon ya karena kunci kamarnya dipegang kak Listi.
"Kak, angkat dong ...," lirihku.
Mungkin kak Listi sudah ada di kamar. Aku berpikir seperti itu.
"Tidaaak ...."
Kepalaku semakin pusing. Pandanganku mulai kabur, aku mengangkat sedikit rok maxiku agar bisa berjalan lebih cepat dan leluasa. Aku menaiki lift dengan tergesa. Entah di lantai berapa aku berada. Aku lupa, tadi menekan angka berapa ya? Serius, aku mulai linglung. Pokoknya, kamarku ada di nomor 38, itu saja yang aku ingat.
Nomor kamar yang kulewati terlihat berbayang. Anehnya, aku tidak berpapasan dengan siapapun di lantai ini. Kupikir rekan-rekan dari divisi lain masih berada di ballroom. Mungkin, mereka akan mengikuti jalannya acara sampai dengan selesai.
"Nah itu dia."
Aku tersenyum saat melihat kamar nomor 38 berada tepat di hadapanku. Saat akan kuketuk, pintunya malah terbuka. Aku yakin pintunya terbuka ya karena ada kak Listi di dalamnya.
"Kak Listiii," panggilku. Tapi tidak ada yang menyahut.
'Klak.' Samar kudengar pintu kamar tertutup otomatis.
"Aduh ...."
Aku merasa semakin pusing, badanku tiba-tiba panas. Aku membuka jilbabku, lalu menyanggul rambut panjangku untuk mengurangi perasaan gerah ini.
"Aku kenapa?"
Aku menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Perlahan kubuka rok panjang dan baju panjangku. Yang tersisa di tubuhku hanya pakaian dalam yang terhalang oleh singlet dan stret saja. Sungguh, aku merasa aneh dengan tubuhku. Aku tiba-tiba merasa geli dan sedikit gatal.
Ada apa ini? Apa aku alergi?
Aku bingung. Tanganku spontan memasygul rambut. Lalu ... aku juga membelai tubuhku sendiri.
"Aku kenapa? Huuu ...." Airmataku mendadak bederai.
Aku menangis dalam kebingungan dan perasaan aneh ini. Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Aku malu pada diriku sendiri. Maaf, aku tiba-tiba menginginkan hal itu. Aku menginginkan sesuatu yang tidak seharusnya. Sesuatu yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami-istri.
Deg, aku tersadar.
"Apakah aku dijebak? Ti-tidak mungkin ...."
Kenapa?
Apa alasannya?
Siapa yang tega melakukan ini padaku?
Apa aku pernah melakukan kesalahan?
Air minum itu ... ya aku ingat, aku menghabiskan air minum itu tanpa bersisa.
Aku berusaha bangun. Harapku, dengan mengguyur tubuh, efek mabuk dan perasaan gila ini akan ternetralisir. Tapi, baru saja aku duduk, aku sudah terjatuh lagi dengan posisi tertelungkup. Mataku berkunang-kunang.
Aku sepertinya mulai hilang kesadaran. Aku merasa tubuhku melayang-layang. Aku memejamkan mata dan berharap bisa membawa perasaan aneh ini ke alam mimpi dan melupakannya.
.
Rasanya baru sebentar aku memejamkan mata, tapi aku sepertinya mulai bermimpi. Aku melihat bayangan seseorang memasuki kamarku, dia berjalan terhuyung seraya memegang kepalanya.
Apa ini?
Mimpi ini aneh sekali, aku merasa seseorang tiba-tiba membelai wajahku, menciumi leherku, lalu mencium bibirku dengan sangat rakus dan berhasrat.
Tidaaak, rasanya aneh sekali dan ... dan apa ya?
Aku tidak bisa mengungkapnya. Di dunia nyata aku memang belum pernah melakukan adegan ini. Mimpi ini terlalu frontal, aku ingin bangun dari mimpi ini. Tapi mataku enggan terbuka.
Sosok dalam mimpi ini perlahan membuka seluruh penghalang yang ada di tubuhku. Mimpi ini sangat memalukan. Tubuhku teramat malu, aku berusaha menutupinya. Tapi sosok itu memaksaku membukanya.
Dia memeluk tubuh polosku, rasanya hangat, tubuhnya menguarkan keharuman. Napasnya yang cepat terdengar begitu nyata. Dia mencumbui sekujur tubuhku. Aku menggelinjang, perasaan ini ... seluruh rasa ini ... aku bingung mendeskripsikannya.
Mimpi ini benar-benar keterlaluan. Sosok tak nyata ini meraih dan memetik semua hal yang aku jaga selama ini. Segenap hal yang selalu aku sembunyikan dengan pakaian yang longgar dan tertutup.
"Ja-jangan ...."
Lirihku pelan saat sosok dalam mimpi ini akan menyentuh mahkotaku yang masih suci. Tapi ... aku tidak memiliki kekuasaan untuk melawan, tubuhku seolah patuh dan membiarkan tangan asing itu perlahan menjamahnya.
Entah apa yang terjadi, di alam bawah sadarku sepertinya aku sudah gila. Tanganku mengerat pada sprei, aku berusaha membuka mata, aku ingin mengakhiri mimpi yang tak patut dan menjijikkan ini.
Tapi lagi-lagi mataku sulit terbuka. Parahnya, ragaku sepertinya telah terpengaruh dengan keterlenaan dan rasa ini. Tubuhku merespon mimpi gila ini dengan sangat baik. Aku menikmatinya, aku menyukainya. Aku laksana daun kecil yang terbang melintasi awan.
Tanpa bisa ditahan, bibir ini spontan mengeluarkan suara yang memalukan sekali.
Kak Listi, cepat datang kak. Tolong bangunkan aku, aku tidak ingin mendalami mimpi ini lebih jauh lagi.
Saat mimpi seram biasanya aku cepat terbangun. Tapi di mimpi ini sebaliknya, tubuhku malah enggan terbangun dan seolah ingin melanjutkan mimpi ini sampai tuntas.
"Sa-sakiiit ...."
Apa ini? Apa yang terjadi?
Aku merasa tubuhku seakan terbelah menjadi dua. Ada sesuatu yang memaksa memasuki tubuhku.
"Ja-jangan, ti-tidak .... Huuu ... huuks."
Dalam mimpi ini aku menangis. Aku meraih apapun untuk menguatkanku menghadapi kesakitan kini. Kemudian aku merasa seseorang menautkan tangan kokohnya dengan tanganku, menggenggam tanganku erat-erat lalu mengulum bibirku yang nyaris beteriak karena kesakitan.
Adegan ini semakin terasa nyata, rasa sakit ini kian menjadi. Tapi ... aku merasa senang saat tangan hangat ini menggenggam tanganku. Aku juga bahagia saat rasa manis dan hangat dari bibirnya sedikit demi sedikit mengurangi rasa sakit itu.
Perlahan-lahan rasa sakit itu mulai hilang, tergantikan oleh sebuah rasa yang aku sendiri tidak bisa mendeskripsikannya.
Sebuah rasa yang menjeratku dalam pusaran yang membingungkan. Gelenyar rasa ini begitu melenakan, aku terbuai dalam mimpi luar biasa ini. Hingga aku berharap agar mimpi ini tidak lekas berakhir. Jiwa dan ragaku menikmati mimpi ini.
Lucunya, akupun berharap agar sosok tampan dalam mimpi ini bisa kuraih di dunia nyata. Aku memeluk tubuh indahnya yang dipenuhi peluh, aku membelai rambut hitamnya yang lebat dan sedikit bergelombang, aku memagut bibir tebalnya dengan lembut dan perlahan.
Mimpi ini benar-benar menyiksaku dan menghabiskan energiku. Aku janji tidak akan menceritakan bunga tidur memalukan ini pada siapapun.
Aku begitu mendalami mimpi ini hingga tubuhku lemas, letih, lesu, lelah, lunglai, dan kian terlelap.
Ini mimpi, kan?
Ini hanya bunga tidur, kan?
Ini tidak nyata, kan?
Di alam bawah sadar itu aku tiba-tiba ragu.
...🍒🍒🍒...
Mawar (Resepsionis)
Sekitar sejam yang lalu, aku disuruh mengecek kembali persiapan kamar untuk Direktur baru sebuah PT, Tbk yang bergerak di bidang properti.
Kata supervisorku, beliau pengantin baru, jadi kami menyediakan layanan khusus untuk kamarnya. Saat aku cek, kupikir seluruh persipan sudah sempurna. Kamar yang kami siapkan adalah presidential suite room. Unit kamar ini terbatas. Hanya ada 10 unit, yaitu kamar nomor 26 sampai nomor 35.
Namun beberapa saat setelah mengecek kamar itu, aku tiba-tiba merasa ragu.
"Sebentar, kamarnya sudah aku kunci lagi, kan?" gumamku pada saat itu. Alisku sampai mengernyit karena berusaha untuk mengingat-ingat.
Daripada ragu, kuputuskan untuk kembali ke sana dan mengeceknya. Setibanya di sana ternyata pintunya sudah terkunci. Oh, berarti itu hanya perasaanku saja. Akupun kembali ke ruangan resepsionis dan melanjutkan pekerjaanku.
...🍒🍒🍒...
~Dua Jam yang Lalu~
Zulfikar Saga Antasena
Aku baru memegang jabatan ini selama selama dua minggu, tepatnya dua hari setelah resepsi pernikahanku. Papakulah yang memaksaku menjadi direktur. Papa adalah pendiri salah satu perusahan properti di Jakarta. Perusahaan papa cukup terkenal.
Properti yang kami kembangkan tersebar di beberapa daerah di Pulau Jawa. Belum sampai ke luar Pulau Jawa sih. Tapi, kami sudah sangat bangga dengan pencapaian ini. Jabatan Direktur eksekutif dipegang oleh pamanku, namanya Aryo Antasena. Aku memanggilnya Paklik.
Usiaku 30 tahun, lumayan matang. Aku pengantin baru. Usia pernikahanku baru memasuki minggu kedua. Nama istriku Dewi Laksmi, unik bukan? Dia sangat cantik, berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah swasta ternama di Jakarta.
Malam ini, perusahaan mengadakan acara makan malam untuk merayakan suksesnya proyek baru prusahaan kami. Selain itu, dalam acara ini, Paklik Aryo juga memperkenalkanku sebagai direktur baru kepada manajer berikut para karyawannya yang berada di beberapa divisi. Kalau tidak salah ada enam divisi.
Ada banyak sekali pasang mata yang memandangiku, serius aku jadi tidak nyaman.
"Senyum dong, Zul," bisik Paklik Arya, dia menyikut bahuku. Aku terpaksa tersenyum. Senyum seadanya.
Beberapa kali aku memeriksa ponselku untuk mengecek pesan dari istriku. Rencananya dia akan menemaniku, tapi entah kenapa sampai detik dia belum tampak batang hidungnya.
"Acaranya sudah mulai cinta."
"Kamu di mana?"
"Sudah sampai mana?"
"Mas ingin telepon kamu, tapi gak enak sama Paklik dan yang lainnya. Walaupun ini perusahaan papa, tapi Mas kan orang baru. Kamu dimana cinta? Apa kamu sudah berada di kamar? Hehehe, kamarnya nomor 33 ya cinta. Kuncinya Mas titipkan di resepsionis."
Tapi, Dewi belum membalas pesanku, dia tidak mengaktifkan mode centang di pengaturan pesannya. Jadi, aku tidak tahu apakah pesanku ini sudah dibaca atau belum. Namun naluriku berkata jika Dewi sudah berada di kamar hotel untuk memberi kejutan. Kami pengantin baru, jiwa muda kami tentu saja sangat menggelora.
Ehm, di hari pernikahan kami, istriku malah haid, siklus haidnya lumayan panjang. Katanya, bisa 8, 9, atau sampai 10 hari.
Ssst, jadi aku dan Dewi belum melakukan ritual malam pertama. Karena Dewi haid, kami belum merencanakan bulan madu. Aku baru akan mengajukan cuti untuk bulan madu selepas Dewi bersuci.
Tapi tadi pagi dia mengatakan sudah bersuci. Aku senang, jadi bersemangat dan berdebar-debar. Aku sudah tak sabar, malam ini aku akan melepas keperjakaanku. Aku spontan tersenyum. Lagi, Paklik menyikutku. Mungkin bermaksud mengingatkanku agar terlihat berwibawa di hadapan mereka.
Aku kemudian menenggak jus jeruk yang ada di hadapanku. Jus ini disajikan di gelas yang sangat cantik. Kupandangi gelas ini. Kuteguk lagi hingga tak berbekas. Lalu kutebar kembali senyum palsu itu pada karyawan berbagai divisi yang tak satupun aku kenali.
Saat mataku beredar, sekilas aku melihat di ujung sana ada karyawan bejilbab panjang yang pergi begitu saja sebelum acara selesai.
Oh, mungkin dia akan ke kamar mandi, pikirku. Tapi saat ku lirik lagi, dia tak kembali. Lagipula, apa gunanya sih aku melihat dia? Aku kesal pada diriku sendiri. Mungkin karena penampilannya berbeda, mataku spontan meliriknya.
Maafkan Mas, Dewi. Sungguh, Mas tidak melihat wajahnya. Paling juga dia karyawan senior, sudah ibu-ibu dan berbadan gemuk. Dia sengaja memakai baju longgar agar tidak terlihat gemuk.
"Aduh ...." Aku memegang kepalaku, tiba-tiba saja aku merasa pusing. Kenapa ya? Aneh sekali.
"Paklik, a-aku tiba-tiba gak enak badan, aku izin pamit ya," bisikku pada Paklik.
"Lho, buru-buru sekali, memangnya Dewi sudah datang?" tanya Paklik.
"Su-sudah," agar urusan cepat selesai, aku jawab sudah saja. Ya, Paklik tahu kalau Dewi akan datang.
"Ya sudah, kamu cepat ke kamarmu."
Paklik menepuk bahuku, dan entah mataku salah atau tidak, aku melihat Paklik tersenyum saat melihatku. Padahal, jelas-jelas aku sedang menunjukkan ekspresi gelisah dan tidak nyaman.
"Seperti yang kalian ketahui, ponakanku pengantin baru. Hahaha, istrinya sudah datang, kalian mengerti kan? Mohon maaf yang sebesar-besarnya." Paklik bahkan meminta maaf dan memohon izin pamit atas namaku. Aku senang. Setelah menundukkan kepala, akupun pergi.
Aku berjalan cepat menuju resepsionis untuk mengambil kunci. Aku tak mengatakan apapun, namun mereka sudah faham dengan apa yang aku inginkan.
Saat tiba di dalam lift, rasa pusingku kian menjadi. Tubuhku panas, jantungku berdebar. Dan ada sesuatu yang baru kusadari. Tiba-tiba saja ada yang terbangun tanpa bisa aku cegah. S i a l, aku yakin ini ulah paklik. Dia memang jahil dan sedikit 'fiktor.'
"Dewi cintaku, Mas dikerjai paklik," gumamku sambil berjalan sempoyongan. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis dan punggungku. Kepalaku berkunang-kunang, mataku berbayang.
...~Tbc~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 189 Episodes
Comments
Gembelnya NT
Tulisannya rapi
2022-07-19
0
Hanipah Fitri
rupanya salah sasaran jadi salah kamar
2022-05-24
1
Vi II
bagus banget nopel nya,tetep semangat ya buat yang bikin. nopel ini☺️
2022-02-12
1