INGIN PISAH SAJA

Mas Ruli, Siska, dan Bu Eni masih berbincang di ruang tamu, saat Diah keluar dari kamar seraya menggendong Naura dan menggandeng Naufal.

"Ayah!" Seru Naufal saat melihat Mas Ruli di ruang tamu. Bocah empat tahun tersebut langsung berlari menghampiri sang Ayah.

Naura yang tadinya berada di gendongan Diah, juga merengek minta turun dan ikut menghampiri Mas Ruli.

Diah hanya bisa menghela nafas dan akhirnya ikut duduk lagi di kursi ruang tamu.

"Mau kamu bawa kemana anak-anak, Diah?" Tanya Bu Eni penuh selidik pada Diah.

"Mau pulang, Bu. Udah jam setengah tiga, mereka belum mandi," jawab Diah sedikit berbisik pada Bu Eni.

"Mandikan saja disini! Bajunya Naura dan Naufal juga masih ada beberapa stel yang tertinggal disini," ucap Bu Eni yang sekali lagi membuat Diah harus menghela nafas dan akhirnya terpaksa mengangguk.

Padahal tadinya Diah ingin mengajak anak-anak pulang itu karena Diah merasa sudah malas melihat Mas Ruli dan Siska. Hati istri mana yang tidak panas, melihat suaminya duduk bersama wanita lain dengan senyum sumringah dan wajah yang berseri-seri?

Diah kembali menatap pada Mas Ruli yang sangat akrab dengan si kembar. Tak bisa dipungkiri, kalau sebenarnya Mas Ruli memang sangat dekat dengan kedua anak kembarnya.

Diah kembali menghela nafas.

"Diah ke belakang dulu kalau begitu, Bu," pamit Diah akhirnya yang tak tahan lagi menyaksikan keakraban Mas Ruli dan si kembar yang justru membuat hati Diah kian galau dan bimbang.

Tadinya, Diah berniat mengajukan gugatan cerai, jika Mas Ruli tetap bersikeras mau menikahi Siska. Tapi melihat keakraban Naufal dan Naura pada ayahnya, hati Diah benar-benar bimbang sekarang.

Naufal dan Naura berhak memiliki orang tua yang lengkap dan menerima kasih sayang dari Diah sebagai bunda mereka serta Mas Ruli sebagai ayah mereka.

Rasanya egois sekali, jika Diah memisahkan Naufal dan Naura dari ayah kandungnya. Belum lagi nanti kalau Mas Ruli dan Siska sudah punya anak, Mas Ruli pasti akan kian menjauh dari Naufal dan Naura atau bahkan lupa pada anak kembarnya tersebut.

"Naufal, kenapa Sharon tadi menangis?" Tanya Diah suatu hari pada Naufal setelah melihat anak tetangganya yang pulang dengan bersimbah airmata. Tadinya anak perempuan itu memang bermain bersama Naufal dan Naura.

"Habis diejek sama teman-teman, Bund! Karena Sharon nggak punya ayah," cerita Naufal dengan logat cadelnya.

"Memang ayahnya Sharon kemana, Bund? Kok Sharon nggak punya ayah, ya?" Tanya Naufal sambil menampilkan raut polos khas bocah empat tahun.

"Ayahnya sedang kerja jauh. Cari uang buat sekolahnya Sharon," jawab Diah akhirnya yang sebenarnya juga bingung mau menjawab bagaimana.

Setahu Diah, ayahnya Sharon memang pergi meninggalkan istri dan anaknya begitu saja tanpa pamit tanpa ada kabar sampai sekarang.

Jika sekarang Diah memutuskan untuk berpisah dari Mas Ruli, bukan tak mungkin Naufal dan Naura juga akan mengalami pem-bully-an seperti yang dialami Sharon.

Tidak!

Diah tidak mau kedua anaknya tumbuh dengan suasana keluarga yang suram.

Naufal dan Naura harus bahagia, meskipun hati Diah terluka.

Biarlah Diah yang menanggung semua kesakitan ini asalkan Naura dan Naufal tetap bisa bahagia dan tumbuh penuh kasih sayang seperti anak-anak lain.

"Diah!" Teguran Mas Ruli menyentak lamunan Diah.

"Naufal sama Naura mana, Mas?" Tanya Diah yang malah menanyakan kedua anak kembarnya.

"Di depan."

"Siska mau pamit pulang. Kamu keluar sana!" Titah Mas Ruli selanjutnya pada Diah.

"Mas jadi menikah dengan Siska?" Bukannya mengiyakan perintah sang suami, Diah malah melontarkan pertanyaan lain.

"Iya, jadi. Bukankah sudah kubilang, aku akan bersikap adil nantinya pada kamu dan Siska?"

"Aku tidak akan membeda-bedakan kalian. Gaji aku nanti juga bakalan aku bagi dua. Sama rata untuk kamu dan Siska!" Ujar Mas Ruli panjang lebat yang hanya bisa membuat Diah mengelus dada.

Kalau memang Mas Ruli ingin adil, seharusnya tidak seperti itu!

Jelas-jelas Diah sudah punya dua anak dan Siska belum. Jadi seharusnya Diah yang mendapat jatah lebih untuk jajan Naura dan Naufal.

Kecuali kalau nanti Siska juga sudah punya anak. Barulah Mas Ruli bisa membagi gajinya menjadi dia sama rata.

Tapi mau protes juga rasanya percuma. Diah sudah paham watak dan tabiat Mas Ruli, jadi lebih baik Diah diam saja.

"Ruli! Kamu jadi nganterin Siska pulang, nggak?" panggil Bu Eni dari ruang tamu.

"Siska udah nungguin itu, Diah! Cepat kamu ke depan!" Perintah Mas Ruli sekali lagi pada Diah yang hanya mengangguk.

Diah bergegas ke depan, agar Siska bisa berbasa-basi dan berpamitan pada Diah.

****

"Kamu yang ngurus bagian konsumsi untuk acara pernikahan Ruli dan Siska minggu depan, ya, Diah!"

"Nanti ibu kasih uang buat belanja bahan-bahan!" Ucap Bu Eni pada Diah yang sedang mengunyah makanannya.

Seketika rasa makanan di dalam mulut Diah menjadi hambar.

"Memang mau bikin acara besar-besaran, Bu?" Tanya Diah akhirnya setelah susah payah ia menelan nasinya.

"Ijab saja, sama seperti kamu dan Ruli dulu. Tapi tetap harus ngundang satu RT, kan? Jadi harus sediain snack dan nanti nasinya di kotakin saja dan biar dibawa pulang sama tamunya," jelas Bu Eni yang sepertinya niat sekali membuat acara syukuran untuk pernikahan Mas Ruli dan Siska.

Lagipula, punya istri lebih dari satu memang bukan hal memalukan di kampung Mas Ruli ini.

Seperti sudah menjadi hal biasa dan turun temurun.

Aneh memang!

Tapi beginilah keadaannya.

"Snack-nya mau berapa macam, Bu? Trus nasinya mau yang bagaimana?" Diah akhir menyanggupi menjadi seksi konsumsi di pernikahan suaminya.

Sungguh sebuah ironi!

"Kok malah tanya ibu! Kan kamu yang pengalaman, kamu atur saja yang bagus yang bagaimana dan jangan malu-maluin ibu sebagai tuan rumah."

"Tapi Diah kan takutnya nggak sesuai gitu sama kemauan ibu." Diah masih berusaha mengorek bagaimana kemauan sang mertua yang kadang susah ditebak.

Dulu juga pernah saat di rumah ketempatan pengajian RT, ibu bilang snack-nya terserah Diah.

Eh, ternyata dibelakang Ibu nggremeng dan tidak sreg dengan snack yang disediakan oleh Diah.

Jadi yang kali ini Diah tak mau melakukan kesalahan serupa.

"Snack-nya itu saja, kacang mede-"

"Mede lagi mahal, Bu!" Diah mengingatkan sang mertua.

"Ya, biarin. Buat acara penting kok itungan!" Jawab Bu Eni pongah.

Diah tak protes lagi dan lanjut mendengarkan permintaan sang mertua.

"Kacang mede, trus lapis surabaya, sosis isi ayam, sama wajik ketan."

"Isi empat, ya, Diah!" Pesan Bu Eni pada Diah.

"Empingnya enggak, Bu?" Tanya Diah memastikan.

"Oh, iya! Emping. Yang manis, ya! Jangan yang murahan!" Pesan Bu Eni sekali lagi.

"Iya, Bu," jawab Diah patuh seraya menyuapkan nasinya yang terakhir.

Makan sore Diah benar-benar terasa hambar, dan Diah menghabiskannya tadi juga butuh perjuangan.

Tiuut tiuut!

Suara dari kereta kelinci yang berkeliling kampung terdengar dari depan rumah. Naura dan Naufal yang tadi diajak Lusi naik kereta kelinci sepertinya sudah tiba karena Diah mendengar celotehan dari kedua anak kembarnya tersebut.

"Diah langsung pulang, ya, Bu! Mumpung belum maghrib," pamit Diah setelah selesai mencuci piring bekasnya makan.

"Iya, hati-hati!" Pesan Bu Eni.

Diah langsung ke teras menghampiri Naufal dan Naura yang sudah bergelayut di motor, serta Lusi yang duduk di teras mengawasi si kembar.

"Mau pulang, Mbak?" Tanya Lusi berbasa-basi.

"Iya."

"Ini buat kamu beli pulsa, Lus!" Diah menyelipkan uang di saku celana sang adik ipar.

"Aduh, ngrepotin, Mbak! Makasih, ya!" Ucap Lusi sambil tersenyum sumringah.

"Sama-sama. Makasih juga udah bantu momong si kembar." Jawab Diah seraya menyalakan mesin motor matic-nya.

Lusi membantu menaikkan Naufal ke jok belakang.

"Pegangan sama Bunda, Mas Naufal!" Lusi membimbing sang keponakan agar berpegangan pada pinggang Diah.

"Bye, Bulik!" Pamit Naufal dan Naura serempak.

"Kami pulang dulu, Lus! Assalamualaikum!" Diah ikut berpamitan.

"Walaikum salam!" Jawab Lusi seraya melambaikan tangannya ke arah kakak ipar serta keponakannya.

Lusi baru saja masuk ke rumah, saat Mas Ruli sudah kembali dari mengantar Siska.

"Mbak Diah mana, Lus?" Tanya Mas Ruli tanpa mengucapkan salam.

"Walaikum salam, Mas! Mbak Diah baru saja pulang bareng anak-anak," jawab Lusi sedikit menyindir sang kakak.

"Iya, Assalamualaikum!" Mas Ruli sedikit bersungut.

Kakak kandung Lusi tersebut malah masuk ke arah dapur.

"Mas Ruli nggak ikut pulang?" Tanya Lusi menyelidik dan sedikit heran.

"Nanti saja, habis maghrib sekalian. Mau mandi dulu!" Jawab Ruli yang sudah menyambar handuk dan menghilang ke arah kamar mandi yang berada di belakang rumah.

.

.

.

Terima kasih yang sudah mampir.

Jangan lupa like biar othornya bahagia.

Terpopuler

Comments

Pisces97

Pisces97

bodoh kamu Diah masih bertahan karena anak
yang hubungan itu kamu dan suami kenapa harus mikirin anak kesehatan metal itu lebih penting lho
soal anak bisa kasih kasih sayang kamu mereka gak akan protes tau mana bener² tulus

2023-10-16

1

•Rifa_Fizka

•Rifa_Fizka

Hallo Thor ijin promosi ya😃
Mampir yuk di novel pertama ku yang berjudul "KEKUATAN HATI WANITA"

Berkisah wanita yg bangkit dari penghianatan.

Mohon dukungannya, terimakasih🙏🏻🤗🌹

2022-10-13

1

Veronica Maria

Veronica Maria

yak elah laki goblok. milih kawin sm cewe 21 ganjen. bknnya mikirin kel sendiri trs memperbaiki kalau mmg kurang. nunggu karma jg tuh laki sm mertua. dasar mertua goblok jg

2022-07-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!