...Happy Reading...
...🦅...
“Tuan, semua sudah siap," lapor Edo kepada bosnya.
Tanpa menjawab perkataan Edo, Agra langsung berdiri, menyambar jaket di belakang kursinya dan berjalan mendahului Edo.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di bandara internasional negara itu. Agra berjalan di ikuti oleh Edo menuju landasan, di sekitarnya sudah bertebaran para anak buah, yang sudah siap menjaga keselamatan sang ketua.
Sebuah jet pribadi milik Leonard Corp, sudah siap menunggu keberangkatan. Dengan beberapa awak pesawat, berbaris menyambut kedatangan orang nomor dua di perusahaan.
“Kamu sudah urus semua keperluanku di sana?” tanya Agra, saat mereka sudah duduk di kursi penumpang.
“Sudah, Tuan. Anda, akan tinggal di sebuah apartemen, salah satu aset milik Leonard Corp," jawab Edo lugas.
“Hm, bagus," angguk Agra.
Setelah menempuh kurang lebih tujuh belas jam perjalanan, Agra akhirnya sampai di bandara internasional negara kelahirannya.
Dia berdiri di depan pintu pesawat, mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru bandara, menikmati setiap perubahan tempat itu, setelah beberapa tahun, dia tidak pernah menginjakkan kakinya di negara itu.
Aku kembali, batin Agra, menghirup udara dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
Dia mulai melangkahkan kakinya menuruni tangga, dengan tatapan lurus ke depan.
“Selamat datang, Tuan," seorang laki-laki yang terlihat lebih tua darinya menyambut kedatangannya dengan membungkukan setengah tubuhnya.
“Max?" lirih Agra, dengan garis halus di dahinya.
Matanya memicing, memperhatikan wajah yang terlihat tidak asing di ingatannya.
Max tersenyum tipis, mendapati Agra masih mengingat dirinya, walau mereka sudah tidak pernah bertemu setelah sekian lama.
“Iya, Tuan. Saya Max," angguknya kemudian.
“Hm ... apa kabar, Max?” tanya Agra sambil melangkah menuju pintu keluar bandara, di ikuti Edo, dan beberapa anak buah lainnya.
“Saya baik, Tuan," jawab Max, menunduk sekilas dengan tatapan masih siaga ke setiap sudut.
Sebagai pemimpin Black Eagle di negara ini, tentu saja sudah menjadi tanggung jawab Max, untuk menjamin keselamatan sang ketua.
Sampai di parkiran, Max sudah menyiapkan sebuah mobil mewah, untuk membawa Agra juga asisten pribadinya, menuju apartemen yang sudah disiapkan.
Dia juga menyiapkan beberapa mobil tambahan, untuk para anak buah yang akan mengawal perjalanan Agra kali ini.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di apartemen termewah di kota itu, Agra langsung menuju lantai paling atas, di mana di sana hanya terdapat beberapa unit eksklusif saja.
Padahal di negara ini, Andrew juga mempunyai mansion pribadi, tempat persinggahannya bila dia sedang berkunjung. Akan tetapi, Agra menolak untuk tinggal di sana, dia lebih memilih tinggal di salah satu apartemen, properti dari perusahaan Leonard Corp.
Menurutnya, mansion terlalu besar untuk dia tinggali saat ini, apa lagi dia tidak ingin terlalu banyak orang yang mengetahui kalau dirinya ada di negara ini.
"Selamat datang, Tuan," ujar salah satu pegawai yang bertugas untuk menyambut tamu.
Ya, walaupun kedatangan Agra cukup membuat heboh para petinggi apartemen. Akan tetapi, dia sudah berpesan pada Edo, agar tidak membuat keributan atau acara penyambutan yang akan menarik perhatian banyak orang.
Agra ingin datang seperti kebanyakan tamu yang lainnya, tanpa ada perlakuan spesial. Dia lebih suka tampil apa adanya, tanpa harus berbasa basi dengan orang yang belum terlalu dia kenal.
"Silahkan masuk, Tuan," ujar Max, yang mengantar Agra sampai di depan pintu unit apartemennya.
Agra mengangguk, dia melihat sekilas pada Max, sebelum melangkahkan kakinya ke dalam.
"Terima kasih, Max. Sekarang kamu boleh kembali ke markas," ujarnya yang langsung di angguki oleh Max.
"Baik, Tuan. Kalau begitu, saya pamit ... Anda, bisa menghubungi saya bila membutuhkan sesuatu," ujar Max, sambil menunduk kilas.
"Hem," jawab Agra, lalu melangkah masuk ke dalam.
Sampai di unit yang akan dia tempati, Agra tampak melihat seluruh ruangan. Di sana terdapat dua lantai, di lantai satu terdapat satu kamar untuk Edo dan di lantai dua terdapat kamar utama.
Dirinya cukup puas dengan semua desain yang terasa sangat sesuai dengan selera nya. Mata yang selalu menyorot tajam setiap objek yang sedang dia lihat, meneliti seluruh ruangan yang ada di sana. Bahkan, setiap benda yang ada di sana, tidak luput dari perhatiannya.
Cukup lama, Agra memperhatikan lantai satu apartemen yang akan dia tinggali, kini dirinya berjalan menuju lantai dua, tempat kamarnya berada.
Begitu menginjakkan kaki di lantai dua, dia langsung disambut oleh sebuah ruang olahraga, dengan peralatan lengkap. Bahkan itu lebih terlihat seperti tempat gym pribadi.
Perhatiannya kini beralih pada sebuah pintu satu-satunya yang ada di sana. Perlahan dia membukanya, hingga telihat sebuah ruang kerja menyambut pandangannya untuk pertama kali.
Berjalan lebih dalam lagi, kini ada ruang istirahat, dengan satu set sofa mewah bernuansa maskulin.
Agra sedikit menarik bibirnya, hingga membentuk garis lengkung tipis. Dia merasa puas oleh semua pekerjaan dari anak buahnya, terutama Edo, yang sudah memberi instruksi walau dari jauh.
Setelah melewati semua ruangan itu, barulah dia sampai di sebuah ruangan dengan sekat pintu kaca. Kamar dengan nuansa warna putih dan hitam, itu tampak terlihat mewakili dirinya.
Setelah puas meneliti setiap ruangan untuknya, Agra beralih pada kamar mandi yang terdapat di salah satu sisi kamar. Dia hanya melihat sekilas, sambil mengecek peralatan yang ada di sana, memastikan semuanya tidak ada yang kurang.
Setelah memastikan semuanya sempurna, Agra membuka jaket yang dia pakai, lalu melemparnya pada keranjang cucian dan berlanjut dengan pakaian lainnya. Dia, berjalan menuju bawah shower dan mulai menghidupkan air untuk membersihkan diri.
.
“Kamu sudah bawa semua yang aku minta?” tanya Agra saat Edo sudah berada di ruang kerjanya.
“Sudah, Tuan. Ini semua data yang kemarin, Anda, minta." Edo menaruh map di atas meja kerja tuannya.
Agra mulai membuka satu per satu berkas yang ada di dalam map itu, keningnya sesekali mengerut di saat Agra mulai membaca setiap baris kata di dalam kertas itu.
“Kapan jadwal rapat dengan mereka?” tanya Agra tanpa mengalihkan perhatiannya.
“Besok siang, Tuan."
Agra sempat menghentikan gerakan tangannya mendengar jawaban Edo. Walau dia hanya bersikap biasa saja, setelah itu.
“Baiklah, kamu boleh keluar," ujarnya kemudian.
Setelah kepergian Edo, Agra tampak termenung, dia seperti memikirkan sesuatu yang terlihat sangat berat. Beranjak dari kursinya, lalu berjalan menuju kaca besar di salah satu sisi ruangan.
Sekarang aku sudah kembali dan kalian akan menerima akibat, dari apa yang sudah kalian lakukan kepadaku dulu, gumam Agra dalam hati, dengan tangan terkepal kuat dan mata yang sudah memerah.
.
Agra mengambil ponselnya melihat satu nomor yang baru saja di kirim oleh Edo.
“Temui aku di tempat biasa sekarang juga," tulis Agra, kemudian mengirimkan nya kepada nomor tersebut.
Setelah itu Agra langsung menyambar sebuah jaket kulit di atas sofa, memakainya sambil berjalan keluar dari kamar.
“Tuan." Edo yang sedang duduk di ruang keluarga menyapa Agra.
“Aku mau keluar sebentar, kamu teruskan saja pekerjaanmu," ucapnya melirik sekilas pada Edo.
“Baik, Tuan," angguk Edo, kemudian duduk kembali setelah melihat Agra keluar.
Agra pergi dengan mengendarai mobil sport keluaran terbaru yang baru saja datang kemarin sore, tentu saja, semua itu berkat cara kerja Edo, yang selalu membantunya mewujudkan apa yang dia inginkan.
Setelah beberapa waktu berkutat dengan kemacetan, yang sudah menjadi khas dari jalan kota besar itu, Agra sampai di parkiran salah satu kafe kecil yang terletak di pinggiran kota.
“Bang Roni. Apa kabar, Bang?” sapa Agra dengan gaya bicara seperti turis asing, kepada salah satu barista yang ada di sana.
Lama berada di luar negri, membuatnya terbiasa dengan gaya bicara orang di sana, hingga membuat dirinya hampir lupa dengan bahasa kelahirannya sendiri.
Pria berumur sekitar tiga puluh tahunan itu tampak mengernyitkan dahinya, seperti sedang mengingat sesuatu.
“Siapa ya?” gumamnya lebih pada dirinya sendiri.
“Ini gue, Bang. Masa lo udah gak inget sih sama gue?”
Agra masih berusaha santai dan mengikuti bahasa para anak muda di kota itu. Walau yang terdengar malah seperti seorang sedang berlatih bicara.
"Fffttth ...." Laki-laki di depan Agra tampak menahan tawanya, mendengar logat bicara Agra yang terdengar aneh dan sedikit lucu.
"Sagara?!" seru orang itu berteriak tertahan, walau dia juga belum yakin kalau tebakannya itu benar.
“Astaga, ini lo, Ga?! Kemana aja loe gak pernah keliatan?” ribut barista tadi, setelah mengingat orang yang sekarang sedang berada di depannya.
Agra hanya mengedikan bahunya, “Entah," ucapnya acuh, kemudian duduk di kursi di depan meja.
“Hot Americano satu ya, Bang," ucapnya, seakan tak menghiraukan wajah terkejut dari salah satu teman masa lalunya.
“Oke, gue siapakan sekarang juga," jawab barista yang bernama Roni itu, langsung menyiapkan pesanan dari pelanggan sekaligus temannya di masa lalu.
Agra mengedarkan tatapannya meneliti sekeliling kafe tersebut. Semuanya masih sama seperti yang dulu, hanya saja tempat ini terlihat lebih besar dari sebelumnya.
“Halo, Bang Roni. Gue pesen kaffe late sama capucino ya, Bang."
Dua orang lelaki yang baru saja datang langsung duduk di samping Agra, tanpa memperhatikan sekitarnya.
Agra yang melihat kedatangan kedua orang itu, hanya memperhatikan mereka tanpa ada niatan untuk menegur terlebih dahulu.
“Ini Americano pesanan, lo." Roni menyajikan gelas kopi pesanan Agra di depannya.
Agra mengalihkan perhatiannya pada kopi yang baru saja di sajikan, mengangguk samar, lalu menghirup wangi aroma kopi yang terlihat pekat itu.
“Eh, gue tadi dapet pesan kayak gini dari nomor gak di kenal." Luis memperlihatkan layar ponselny pada Roman.
Ya... orang yang baru saja datang itu adalah kedua sahabat Sagara atau Agra sewaktu sekolah dulu.
Perkataan Luis, tentu saja membuat Agra sedikit melirik ke arah dua orang tersebut. Walau, mulutnya masih terkunci, dan enggan untuk menyapa keduanya. Dia hanya menaikkan salah satu alisnya, sebagai tanggapan dari obrolan dua orang sahabat masa lalunya itu.
“Gue juga dapet nih. Loe, liat sendiri." Roman ikut memperlihatkan ponselnya pada Luis.
“Hah, kira-kira siapa ya, yang ngirim pesan ini sama kita? Apa mungkin ini Sagara?” ucap Roman bertanya-tanya.
“Iya nih, gue jadi kangen sama dia. Di mana ya dia sekarang?” Luis menimpali, dengan wajah menerawang ke dalam kenangan masa lalu mereka bersama dengan Sagara.
“Udah sepuluh tahun, Bro, dia gak ada kabar. Gue harap apa aja yang terjadi sama dia, dia bisa bahagia di manapun sekarang berada," ucap Roman, lebih seperti sebuah doa.
Mereka berdua menundukan kepalanya, mengingat sahabat yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar sepuluh tahun lalu.
Agra yang mendengar dengan jelas perkataan kedua sahabatnya, merasa sangat bahagia, sampai tanpa terasa kedua ujung bibirnya tertarik ke atas, hingga membuat sebuah garis lengkung samar yang sudah jarang sekali dia tampilkan.
Menjalani kehidupan yang keras dan kental dengan bahaya juga kekerasan, membuat Agra menjadi sosok dingin cenderung kejam, hingga dia lupa untuk sekedar mengekspresikan perasaannya.
“Kalian lagi ngomongin apaan sih?” Roni tampak bergabung dengan Luis dan Roman, sambil membawa pesanan milik kedua orang itu.
“Ini." kedua sahabat itu menujukan layar ponselnya pada Roni bersamaan.
“Itu pasti dari–"
“Thank you, Bang. Kopinya masih sama seperti dulu." tiba-tiba saja Agra berucap, hingga memotong perkataan Roni.
Dia berdiri sambil meletakan uang lima lembar seratus ribu rupiah. Lalu, berjalan pergi tanpa mau mendengar jawaban dari Roni.
“Eh, mau kemana, lo? ini kebanyakan!” teriak Roni, melambaikan tangannya menahan Agra, setelah dia mengetahui jumlah uang yang Agra simpan.
Namun, Agra terus berjalan seakan tak mendengar teriakan barista sekaligus pemilik kafe tersebut. Salah satu ujung bibirnya tertarik tipis, dengan binar mata yang terlihat bahagia.
“Siapa, Bang? Tumben kafe, loe, kedatangan orang asing," tanya Roman, memperhatikan laki-laki yang baru saja keluar dari kafe itu.
"Wah mana dia bayar banyak banget lagi, cuman buat segelas kopi aja. Pasti orang kaya tuh." Luis ikut menebak orang yang baru saja melewati pintu keluar, sambil memperhatikannya.
“Masa, kalian, gak kenal sih? Eh, tapi wajar aja sih, orang gue juga awalnya gak kenal," cerocos Roni, sambil melihat uang di tangannya dan Agra yang sudah menjauh, bergantian.
“Siapa? Perasan gue gak punya temen yang sekolah atau kerja di luar negri deh." Roman menggaruk kepalanya bingung.
“Kok gue kayak gak asing ya sama mukanya, apa gue pernah ketemu sama dia? Tapi, di mana?” Luis yang sedari tadi masih memperhatikan kepergian Agra, tiba-tiba berbicara sehingga mengalihkan perhatian kedua orang di depannya.
“Eh, ada kertas nih." Reno mengambil secarik kertas yang terjatuh dari uang yang dia pegang.
"Eh, ada tulisannya," ucapnya lagi, membuka kertas tadi, kemudian memberikannya pada Roman.
“Tunggu gue di acara reuni," gumam Remon membaca tulisan di atas kertas yang di berikan oleh Roni.
“Kalian, mau ada reuni?" tanya Roni, melihat kedua orang di depannya bergantian.
“Iya, Bang. Kok, Abang bisa tau?” tanya Luis bingung.
“Itu berarti, kertas ini buat kalian berdua." Roni menunjuk kertas yang di letakan oleh Roman di meja.
“Hah, kok buat kita?! kenal aja engga."
“Astaga, kalian emang sahabat gak tau diri ya, masa sama sahabat sendiri gak kenal," geleng Roni dramatis.
“Apa sih, Bang. Kalau ngomong itu yang jelas–"
Remon menghentikan perkataannya, ketika dia baru sadar dengan apa yang di maksud dengan oleh Roni.
“Astaga, itu Sagara, Bang?!” teriak Roman mengguncang lengan Roni, dia terkejut dengan pemikirannya sendiri.
“Kayaknya sih iya? Tapi, tadi pas gue tanya dia juga gak jawab," ucap Roni, dia bingung sendiri mau menjawab apa.
Brak!
Dua kursi terjungkal ke belakang secara bersamaan, karena pergerakan Roman dan Luis yang terburu-buru.
Mereka berlari cepat keluar dari kafe, mencari keberadaan Agra di sekeliling kafe. Akan tetapi, mereka terlambat karena sekarang Agra sudah tidak berada di sana lagi.
Roni hanya bisa menghela napas kasar, sambil mengusap dada melihat kelakuan dua sahabat itu. Sambil membetulkan dua kursi miliknya yang sudah tidak berdiri lagi.
...🦅...
...🦅...
...TBC...
...🙏😊😘...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
Cahaya Sidrap
😁😁😁😁
2024-07-08
0
Jun_Ho
si Bang Roni kejang-kejang terguncang
2022-09-07
2
Jun_Ho
yah gak perlu ada drama sales yang gak tau diri
2022-09-07
2