***
Seorang gadis manis tengah menatap barisan foto yang terbingkai rapi di meja belajarnya. Awalnya, dia mengamati foto dirinya sendiri yang berada paling ujung meja. Itu adalah satu-satunya foto Widya yang bisa dikategorikan langka. Mengapa langka? Karena Widya bukan orang yang percaya diri tampil di depan kamera, apalagi berfoto sendirian. Saat itu dirinya menggunakan topi anyaman dengan senyum yang terlihat cukup kaku.
Kemudian, beralih pada beberapa foto dirinya dan kedua sahabatnya. Kini, tatapan tersebut menjadi sendu. Widya kembali mengingat bagaimana foto itu diambil. Saat itu mereka sedang liburan bersama saat masih duduk di bangku menengah pertama. Mereka terlihat begitu bahagian tanpa memikirkan cinta dan lelaki, karena yang terpenting bagi mereka adalah belajar.
Pandangannya mulai mengabur, mengingat kenangan tentang foto yang ditatapnya. Tidak dipungkiri, Widya rindu kebersamaan mereka. Gadis itu sudah tak bisa membendung lagi tangisnya. Menelungkupkan wajahnya di atas meja dengan tangan sebagai alasnya, meluapkan segala emosi karena mengingat kebodohannya.
"Andai gue nggak pernah suka sama Harsa. Andai gue nggak pernah nulis surat itu dan andai gue bisa jaga persahabatan kita ...," Widya menarik napasnya, "Mungkin sekarang kita masih bisa kayak gini. Bercanda bareng, tertawa bareng. Maafin gue, Rin ... maaf." Widya begitu keras menyalahkan diri sendiri.
Tok tok tok
Suara pintu kamar tidak membuatnya bangun dari kursi. Justru ia memalingkan wajahnya membelakangi pintu kamar.
"Widya, ada Nathan, tuh, di bawah." Arini tampak gelisah melihat Widya, kemudian berjalan mendekat ke arah putrinya untuk memastikan apa yang terjadi. "Kamu kenapa?" Mendengar pertanyaan Arini, Widya langsung menghambur ke pelukan bundanya. Memeluk wanita yang selama ini selalu menguatkannya.
Tangannya masih melingkar di perut Arini ketika Widya merasa tangan halus Arini membelai pelan rambutnya. Lama berada di posisi seperti ini membuatnya enggan untuk melepaskan diri. "Aku jahat, Bun. Aku suka sama pacar Karin. Sekarang Karin marah sama Widya," curhat Widya di tengah isaknya. "Widya udah berusaha minta maaf dan jelasin ke Karin, tapi Karin nggak mau denger penjelasan Widya."
Arini tersenyum. "Kamu tau, Nak, dulu Bunda juga sering bertengkar dengan sahabat Bunda karena lelaki. Ya, mau bagaimana lagi, namanya cinta itu nggak kenal siapa pemiliknya. Mau orangnya jelek atau tampan, miskin atau kaya ...," ucap Arini, "Yang terpenting adalah bagaimana kita bersikap lebih dewasa untuk menanggapi hal tersebut. Katanya Karin sudah putus sama Harsa?"
Widya mengangguk kecil di depan perut Arini. "Tapi Karin masih cinta sama Harsa, Bun."
"Lalu, lelaki yang bersama Karin waktu itu?"
Widya mengurai pelukannya. "Itu Edo, sahabat kecil Harsa. Dia selingkuh sama Karin dan itu yang buat Harsa marah dan mutusin Karin," terang Widya.
Kini, Arini mengerti. "Intinya, hargai seseorang saat dia benar-benar peduli dengan kita, karena saat semua udah pergi, penyesalan juga udah nggak berguna, Sayang,"
"Sekarang temuin Nathan dulu. Jangan lupa cuci muka, biar nggak keliatan muka bengkaknya," titah Arini sambil mencubit pipi Widya.
Widya menghampiri Nathan yang sedang duduk anteng di depan TV sambil melahap beberapa camilan "Ada apa lo, Nath?"
"Biasalah, ngapelin calon pacar," jawab Nathan
"Kaget, gue!" pekik Nathan, ia sejenak Nathan terpaku melihat penampilan Widya. "Wajah lo kenapa? Abis tawuran sama warga sebelah? Mata gede, hidung merah. Lo main pake tangan kosong?" cecar Nathan menahan tawanya.
"Nggak usah ngeledek, ya. Buru, ih, ada apa?"
"Lo lupa apa pura-pura lupa? Lo tadi minta tolong gue buat nemenin ke rumah Karin."
Widya tampak berpikir. "Oh, iya, gue lupa," Widya tersenyum seakan merasa tidak bersalah. Nathan hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Widya.
"Tapi muka gue?"
"Udah, udah cantik."
"Ah! Rese lo, Nath." Nathan tergelak melihat kemarahan Widya.
"Udah, keburu malem, nih. Lo udah mandi, 'kan?" Nathan mengendus Widya. "Aduh!" Nathan mengaduh akibat pukulan Widya di punggungnya. "Lo mainnya kasar, ya, Wid!"
"Sekali lagi lo ngeledek gue ... abis lo, di tangan gue," geram Widya. Dia menunjukan kepalan tangannya di depan Nathan sambil berlalu menuju kamarnya.
Widya dan Nathan berangkat menuju rumah Karin. Dari luar, terlihat pintu rumah Karin terbuka. Segera dia memencet bel yang tersemat di gerbang.
"Lo tunggu di sana aja!" pinta Widya atau lebih tepatnya mengusir, agar Nathan kembali ke tempat di mana ia memarkirkan motornya. Nathan yang hendak beranjak pergi, masih sempat menarik tangan Widya dari belakang. Begitu gadis itu berbalik, Nathan langsung menampilkan senyum semangat yang ia berikan untuk Widya.
Sudah tiga kali bel rumah itu berbunyi, tetapi masih tidak ada respon. Widya hampir saja meninggalkan tempatnya saat usahanya tidak membuahkan hasil. Gadis itu mulai melangkahkan kakinya menjauhi gerbang, tetapi tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika melihat seorang wanita berlari tergopoh mendekatinya. "Neng Widya? Neng Karin lagi keluar."
Widya begitu yakin jika Karin ada di dalam. Dia sempat melihat sekelebat tubuh Karin yang menutup korden jendela saat dirinya memencet bel. Mungkin Karin masih belum siap bertemu. Widya terus berkata demikian untuk menghalau pikiran buruknya.
"Nggak jadi?" tanya Nathan begitu melihat Widya kembali menemui dirinya.
"Karin nggak ada di rumah." Widya menjawab dengan menundukkan kepalanya. Sedih, bingung. Apalagi yang harus dirinya lakukan?
"Udah, jangan sedih! Gue yakin dia nggak bakal lama marah sama lo. Kita pulang aja, apa jalan-jalan?"
Widya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. "Pulang aja, deh! Gue males,"
***
Saat jam istirahat, Widya yang hendak pergi ke kantin mengurungkan niatnya saat melihat Karin yang berjalan menuju arah toilet, Widya langsung mengikutinya dan menunggu di depan pintu. Hingga saat gadis itu keluar, segera Widya menariknya. Untung saja tidak ada penolakan dari Karin, sehingga rencananya mulus tanpa ada paksaan.
Di sinilah mereka, ruang perpustakaan yang terlibat cukup sepi. Mungkin hanya ada satu atau dua orang yang sedang menghabiskan waktu luangnya untuk membaca.
"Gue minta maaf," Widya membuka percakapannya. Mencairkan suasana yang hening sejak lima menit yang lalu. Karin masih tetap dengan pendiriannya. Diam sambil pura-pura membaca buku seolah tidak mendengarkan Widya, tetapi Widya tahu, dibalik sikap cuek Karin saat ini, pasti dia akan tetap mendengarnya.
"Gue suka sama Harsa itu dulu. Sebelum lo jadian sama Harsa. Mengenai surat itu ... gue juga udah lupa kapan surat itu gue buat. Gue udah lupain semuanya, Rin." Widya kembali berbohong tentang perasaannya. Ya, itu harus dilakukan demi kembalinya jalinan persahabatan mereka.
Widya mulai menyejajarkan dirinya di samping Karin, tetapi Karin lebih dulu bergeser menjauhinya. "Please, Rin. Gue nggak mau hubungan kita kayak gini."
"Terserah, lo mau ngomong ap—"
"Udahlah, buat apa lo ngemis maaf sama dia." Suara Nathan mengagetkan kedua gadis yang sedang berseteru dan itu membuat suasana semakin panas.
Karin cukup meliriknya dan beranjak pergi. Ia yang ingin mengejar Karin, ditahan oleh Nathan. Widya menatap Nathan penuh permohonan, namun Nathan hanya menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju dengan sikap Widya. "Kalo dia sahabat lo, dia ngerti keadaan lo apa pun yang terjadi."
"Cukup buat lo ngemis maaf. Itu bukan salah lo, perasaan yang elo punya juga nggak sepenuhnya salah."
"Tapi, Nath. Rasa suka gue ke Harsa itu salah. Harsa pacar sahabat gue sendiri."
Nathan mengusap bahu Widya. "Udah, jalanin aja yang ada sekarang. Sama gue, misalnya," Nathan kembali berulah dengan tingkah jahilnya. Tersenyum jahil dengan mengangkat kedua alisnya.
***
Eaaaak ... kalau sama othornya aja gimana, Nath? 😅😅
Jangan lupa kasih dukungannya! Makasih 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Ani Aira
bener tuh apa kata Nathan
2022-02-06
0
Fitri_hn28
Nathan 😍😍
2022-01-03
0
Fitri_hn28
duhhhh sweeet banget Nathan....😍😍
2022-01-03
0