***
Suara bel pulang sekolah telah berdering sepuluh menit yang lalu. Namun, tidak sedikit pun membuat Harsa beranjak dari bangkunya. Ia masih enggan untuk berdiri, tidak ada sedikit rona di wajahnya.
Setelah dirasa cukup waktunya, dia mengedarkan pandangan menyapu seisi kelas yang sudah kosong. Teman-temannya yang berniat menemani atau mengajaknya pulang bersama, ia tolak dengan malas.
Zakir khususnya, ia sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk Harsa yang lebih banyak menyendiri setelah apa yang ia alami.
'Sa, lo harus semangat lagi. Semua nilai mata pelajaran lo turun. Jangan karena satu masalah membuat lo terpuruk! Ya ... itu kalau lo masih mau seperti ini. Gue nggak jamin, mungkin semester depan bukan lo lagi yang jadi temen gue untuk maju di karya ilmiah tahun ini.’
Tiba-tiba, Harsa teringat perkataan Widya sebelum pulang tadi. Harsa tersenyum masam sembari menarik tasnya lalu beranjak meninggalkan kelas yang sudah sepi itu.
***
Waktu telah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Akan tetapi, lampu kamar milik Harsa masih menyala dengan terangnya, menandakan pemilik kamar masih terjaga. Harsa masih diam di tepi jendela kamar. Ia tidak habis pikir dengan pengkhianatan teman kecil dan mantan kekasihnya yang ia cinta atau lebih tepatnya mantan dengan kenangan manis sekaligus perih dan pahit di akhir ceritanya.
“Gue gak habis pikir sama lo, Do. Persahabatan dari kecil, dari masuk playgroup sampai sekarang kita sama-sama. Meski terkesan lo selalu cuek, tapi gue tau lo selalu memihak gue kalau kita bertiga berbeda pendapat. Bahkan kita selalu kompak dan ternyata kita kompak soal cewek yang kita suka.” Ia kembali menarik rambutnya frustasi.
Berat memang, sahabat yang ia sayangi seperti saudara, malah mengkhianatinya. Kepercayaan yang telah ia beri seakan sirna hanya karena satu orang wanita. Perasaan marah dan kecewa masih mengusik setiap malamnya. Walau sudah seminggu yang lalu ia memutuskan hubungannya dengan Karin. Mencoba ikhlas dengan apa yang ia lalui dalam kisah cintanya. Namun, Harsa masih dengan egonya menghindari Edo, mencoba dengan caranya untuk tidak lepas kendali jika berhadapan dengan Edo.
Dering notifikasi ponsel mengalihkan kegundahannya. Sekilas terlihat beberapa chat dari Karin, tetapi ia masih enggan untuk membalasnya. Baru saja Harsa ingin meletakkan kembali ponsel di nakasnya, bersamaan suara panggilan dari Bokir tertera di layar.
Harsa menarik sebelah sudut bibirnya, dulu saat kesal dengan ulah Zakir yang suka berkali kali mengganti nomor HP. Dia memberi nama Bokir di dalam kontak barunya. Harsa mengusap malas tombol hijau pada layarnya.
“Ya, ada apa?”
“Gila! kaya’ cewek lagi PMS aja lo ketus gitu.” Terdengar suara Zakir menggerutu di seberang telepon.
“....” Hening. Tidak ada jawaban dari Harsa.
“Keluar yok, Sa. Cari angin atau nongkrong di kafe Hamber. Udah lama kan kita gak mabar?!”
Walaupun tidak ada jawaban, suara Zakir terdengar lagi.
Harsa melirik jarum jam yang telah menunjukkan hampir tengah malam. Setelah sejenak berpikir tidak ada salahnya jika kali ini ia meng-iyakan ajakan Zakir dengan rengekannya. Ia bersyukur setidaknya masih punya Zakir yang masih gigih dengan segala kelakuannya, mencoba menghibur walau yang lelaki itu dapat hanya penolakan darinya.
“Oke, lima menit lagi gue sampai.” Setelah berkata seperti itu Harsa menutup panggilannya sepihak, lalu menyambar kunci motor dan jaket hitam yang dia letakkan asal di sofa kamarnya.
Sedangkan di seberang sana, Zakir yang masih kesal juga senang, masih menggerutu seraya bersiap tergesa. Tidak ingin melewatkan kesempatan nongkrong atau sekadar minum kopi di tempat favorit mereka bertiga, bahkan berenam sejak semester awal masuk sekolah dulu.
***
Matahari mulai menampakkan sinarnya, pagi yang cerah menyambut Widya yang tengah bersiap menanti ojek online yang ia pesan lewat aplikasi pintarnya. Tidak sampai lima menit telah tampak kang ojek dengan jaket kebesarannya berwarna hijau itu. Setelah memastikan nama akun yang memesan benar, Widya bersiap menerima helm dari kang ojek. Akan tetapi, ketika Widya hendak menerima helm dari kang ojek, suara seseorang lebih dulu mengalihkan perhatiannya.
“Maaf Kang, Neng cantik ini biar sama saya aja.” Nathan mengedipkan sebelah matanya seraya memberikan uang lima puluh ribuan kepada kang ojek.
”Itu sebagai ganti cancel orderannya, makasih banyak ya, Kang.” Awalnya kang ojek hanya terdiam bingung menatap Widya dan Nathan bergantian. Nathan tersenyum dengan ekspresi memohon kepada kang ojek. Tidak menunggu lama, kang ojek memberi kode ok, lalu tancap gas.
“Lo apaan sih, Nath!” protes Widya kesal.
“Jemput lo, lah! Masih nanya lagi,” sahut Nathan.
“Gue bisa berangkat sendiri.”
“Ini gue yang pengen jemput, lo!”
“Gue bukan pacar lo, ya!”
“Laah? Emang harus jadi pacar dulu kalau mau jemput lo?”
Widya terpaku, seperti terperangkap dengan kejahilan Nathan. Ada benarnya juga dengan apa yang dikatakan Nathan. Tidak harus jadi pacar dulu jika seorang teman berniat menjemput temannya. Mungkin wajar jika itu Harsa, karena arah rumah mereka searah. Namun, ini Nathan, arah rumah mereka jauh dari kata searah.
“Udaah, buruan naik! Lo berangkat bareng gue!” Nathan dengan senyum tidak bersalahnya memangkas segala pemikiran Widya. Nathan memberikan helm pada Widya. Walau dengan muka manyun, Widya akhirnya menurut saja.
Jangan harap Widya dapat duduk dengan tenang. Selama perjalanan yang tidak lebih dari lima kilometer itu, Nathan masih saja membuat Widya kesal dan juga bersemu bersamaan. Tidak bisa dipungkiri. Walau Nathan seringkali jahil dengan tingkah slengeannya, Widya merasa terhibur. Sejauh Widya mengenalnya, Nathan adalah pribadi yang baik.
.
Hingga keduanya sampai di pelataran parkir sekolah. Melewati halaman yang cukup luas hingga koridor sepanjang seratus meter, mereka yang berjalan beriringan dikejutkan dengan kerumunan di sekitar mading, bisik-bisik hingga tatapan meneliti dari teman-teman yang berpapasan membuat Widya risih. Nathan pun juga bingung dengan tingkah siswa siswi yang bertemu pandang.
“Lo udah mandi, 'kan, Wid?” tanya Nathan serius.
“Emang ada yang aneh sama gue, Nath?” Widya kembali meneliti penampilannya.
“Udah oke, kok.”
Dari kejauhan terlihat Kartika berlari menghampiri keduanya. Dengan kompak Widya dan Nathan saling bertanya lewat tatapan mereka.
“Ikut gue, Wid!” Kartika berkata di tengah napasnya yang masih terengah karena berlarian dan menarik tangan Widya.
“Apa apaan lo?” Nathan kembali meraih tangan Widya. Secepat kilat juga Kartika menarik tangan Widya sebelahnya lagi. Adegan tarik menarik selanjutnya tak bisa dicegah.
“Please, Nath! Kali ini lo harus rela Widya sama gue!” sentak Kartika.
“Gak bisa! Gue ikut!" sahut Nathan.
“Berisik banget sih, lo!”
“Suka-suka gue lah!” sengit Nathan balik.
“Tika! Nathan! stop!” raung Widya yang menahan sakit lengannya. Nathan dan Kartika yang menyadarinya segera melepas genggaman tangan masing masing.
“Wid! gue harus ngomong sama lo, penting!” pinta Kartika.
“Ngomong di sini aja kenapa sih, Tik!”
“Gak bisa, ini sensitif banget.” Kartika lalu merubah arah pandangnya kepada Nathan. “Dan lo, diem di sini karena ini urusan cewek,” lanjut Kartika.
Nathan bergeming, melihat raut wajah Kartika yang serius dan tatapan memohon dari Widya karena malas untuk ribut dengan Kartika di pagi buta. Nathan pun tersenyum kecut dan mengangguk mengerti.
Dengan segera Kartika menyambar tangan Widya dan menarik cepat seraya pergi menjauh dari tengah halaman yang masih banyak lalu-lalang siswa-siswi yang melintas. Widya yang masih bingung mengikuti ke mana arah langkah sahabatnya menjauh dari halaman utama.
Masih dengan napas yang mencoba dikendalikan keduanya. Widya dan Kartika duduk berhadapan di ruang perpustakaan. Beruntung ruang yang terbiasa tenang itu sudah dibuka oleh petugas dan tidak ada murid lain yang singgah di sana.
“Jelasin, ini apa Wid?” cetus Kartika sambil menyodorkan sebuah kertas yang sudah terlihat tidak rapi.
Deg!
Widya menatap heran seraya mengambil kertas dari tangan Kartika, merasa mengenali warna kertas dan sekilas tulisan yang tercantum di sana. Begitu sadar kertas yang ada di genggamannya itu adalah miliknya. Ia langsung bertanya, "Lo dapat dari mana surat ini?"
"Tadi pagi udah nempel di mading sekolah," jawab Kartika.
Widya terkesiap, kedua bola matanya melebar sempurna. Ia panik, lalu tersadar dengan perilaku murid-murid yang sedari tadi berada di sekitar mading. Ia tidaklah bodoh untuk membaca situasi ini. Malu, marah, penasaran dengan siapa yang telah tega memasang surat cintanya yang dulu belum sempat ia berikan kepada Harsa.
"Jelasin ke gue, Wid!" desak Kartika lagi.
“I—ini ....” Widya menatap sedih kepada Kartika.
“Jadi, selama ini lo suka ke Harsa?” tanya Kartika tidak percaya. Widya tidak mampu bersuara, seperti tercekat saja di tenggorokannya. Perlahan air mata keluar tanpa bisa ia cegah.
“Kenapa lo simpan sendiri hal seperti ini, Wid?” cecar Kartika.
Hanya air mata yang keluar sebagai jawaban atas pertanyaan Kartika. Kartika sendiri hanya bisa menggelengkan kepala tidak percaya. Merasa kecewa karena Widya telah menyembunyikan perasaannya. Serapi itu Widya menyimpannya sendiri hampir satu tahun lamanya.
“Gue paham sekarang, inilah alasan lo dulu ngejauh dari kita. Waktu itu gue sama Karin ngerasa kehilangan lo Wid. Lama-lama gue bisa memakluminya, karena kita beda kelas juga karena lomba waktu kelas sepuluh dulu. Gue ngerti sekarang, kenapa setiap ada Harsa bersama Karin lo nggak ada. Setiap kita ajak lo buat ngumpul, lo selalu menyiapkan alasan. Gue emang cuek, Wid. Tapi gue juga punya perasaan. Gue jadi kayak sahabat yang nggak ada artinya, sahabat yang jahat, yang nggak ngerti posisi lo, Wid. Lo nggak jujur ke kita, atau paling tidak lo cerita ke gue. Jadi gue nggak berpikir yang enggak-enggak ke elo, Wid!” cecar Kartika panjang lebar.
“Gue bisa jelasin, Tik. Bukan seperti itu maksud gue.” Widya meraih tangan Kartika yang masih terlihat kesal.
“Jawab gue sekarang! Sampai sekarang lo masih cinta ke Harsa?” tuding Kartika.
“Gu-gue ....”
“Lo nggak perlu jawab, yang nggak perlu lo jawab, Wid,” Nathan tiba tiba memangkas perkataan Widya. Entah sejak kapan lelaki itu sudah berada di perpustakaan. Ia juga penasaran dengan apa yang kedua gadis itu perbincangkan.
“Dan, lo!” Nathan menunjuk Kartika. “Gue ragu, lo beneran sahabatnya Widya apa bukan, karena gue yang anak baru aja langsung tahu gimana pandangan Widya ke Harsa. Sedangkan lo, lo nggak peka sama sekali. Malah nyudutin Widya kayak begini. Harusnya kalau lo peduli ke Widya, ngerasa sahabatnya, lo cari siapa pelaku yang tega pasang surat ini di mading.” Nathan geram melihat Widya disudutkan oleh sahabatnya.
“Heh, lo! Yang ngerasa sok deket sama Widya, buktiin kalo lo itu berguna!” sungut Kartika, lantas berdiri hendak pergi. "Gue pergi dulu! Gue bisa buktiin kalau gue sahabat terbaiknya Widya." Setelah itu Kartika berlalu keluar perpustakaan.
“Udahlah, Wid. Kita ke kelas, udah mau bel masuk.” Nathan memberi kode lewat matanya ke arah jam dinding di depan ruang perpustakaan, bahwa waktu mendekati jam pertama pelajaran.
Widya yang masih mengendalikan tangisnya beranjak dari duduknya. Nathan menatap punggung yang masih bergetar milik Widya dengan sendu. Tentu saja ia merasa kasihan dengan kisah cinta gadis itu.
***
Sampai di kelas tatapan seisi kelas tertuju pada Widya dan Nathan yang datang bersamaan. Widya yang terlihat gelisah dan cemas mendapat usapan lembut di bahunya. Siapa lagi, jika bukan pengawalnya—Nathan, yang selalu mengikuti ke manapun Widya pergi.
“Good morning student? How are you today?” sapa seorang guru muda yang terkenal selalu ceria dan murah senyum mengalihkan atensi seisi kelas.
Waktu seolah masih berpihak pada Widya, yang belum siap dengan pertanyaan-pertanyaan dan gunjingan dari teman sekelasnya. Tidak dipungkiri, berita apapun pasti akan cepat menyebar terlebih dengan era digital sekarang yang semakin canggih.
‘’Lo fokus aja ke pelajaran! Jangan buka HP! Tenang aja, masih ada gue, semua akan baik-baik saja,” bisik Nathan.
***
Kira-kira siapa, ya, yang nempel surat cintanya Widya? 🤔🤔
Jangan lupa like dan komentarnya ☺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
istri nya suga
nathan ist the best
2022-06-07
0
Ani Aira
ada aja yg iseng
2022-02-05
0
Ani Aira
bisa aja jawabnya Nathan
2022-02-05
0