***
Tanpa basa-basi Harsa langsung menepikan mobilnya di pinggir jalan di sebuah taman pinggir kota. Di mana dia ingin memperjelas apa yang dia lihat di sana. Lebih tepatnya mungkin ingin meluapkan amarahnya yang merasa dibohongi seseorang. Harsa keluar dari mobil tanpa pamit pada Widya dan mamanya.
Widya tidak ikut turun dari mobil, ia memilih untuk memerhatikan gerakan Harsa menemui seseorang yang sangat dia kenal. Dia berpikir, jika itu adalah masalah pribadi Harsa. Dia tidak berhak untuk ikut campur.
"Itu Karin 'kan, Nak?" tanya Arini yang ikut memerhatikan Harsa.
Namun, Widya tidak menjawab. Pikirannya menerawang, dengan tatapan tertuju ke depan. "Widya!" Arini memiringkan tubuhnya menengok ke belakang, guna menegur anaknya yang malah melamun ketika ditanya. Hal itu mampu mengembalikan kesadaran Widya yang sempat berkelana.
"Eh, i-iya, Bun. Ada apa?" Widya berkata gugup.
Arini mengalihkan pandangannya pada Harsa lagi, lalu mengulang pertanyaannya, "Itu yang ditemuin Harsa, si Karin, 'kan?"
Widya mengangguk. "Iya, Bun," jawabnya lirih. Raut wajahnya terlihat sedih.
Sebagai seorang ibu, Arini paham dengan perasaan anaknya saat ini. Ia menatap wajah anaknya seraya tersenyum tipis. "Cinta pertama memang susah buat dilupain, tapi kamu harus ingat, sekolahmu lebih penting!"
Penuturan sang ibu membuat Widya tercekat, lalu mengernyit heran. Kenapa ibunya bisa tahu kalau Harsa adalah cinta pertamanya? "Kok, Bunda bisa—"
"Tentu aja bunda tahu. Bunda juga pernah muda, Sayang. Jadi bunda tahu apa yang kamu rasain sekarang," potong Arini seraya menghadapkan tubuhnya kembali ke depan. Membuat Widya sontak terdiam.
***
"Rin, ngapain kamu di sini?" tegur Harsa setelah dia sampai ke tempat kekasihnya berada.
Karin yang tengah duduk di bangku taman seketika terperanjat. "Harsa?" Ia sontak berdiri menatap Harsa dengan raut wajah tegang.
"Kenapa? Kok, kaget gitu? Tadi aku ke rumah kamu. Kata mama, kamu lagi keluar sama Widya. Kenapa sekarang di sini?" Harsa berpura-pura, ia sedang menguji kejujuran Karin. Karin pun terlihat salah tingkah, ia takut ketahuan oleh Harsa jika dirinya sedang jalan dengan Edo.
"Ehm ... itu ...." Karin ingin menjawab, tetapi kedatangan Edo dari arah belakang Harsa membuat kedua bola matanya membulat sempurna. Hal tersebut tentu saja membuat Harsa merasa aneh. Ia sontak mengikuti arah pandang Karin, dengan membalikkan tubuhnya.
"Eh, Do ... lo ada di sini juga?" tanya Harsa pada sahabatnya yang kini tertegun saking terkejutnya melihat sosok Harsa, "sama siapa?" Pandangan Harsa tertuju pada dua buah cup eskrim yang ada di tangan Edo, yang menandakan lelaki itu tidak sendirian. Suasana tegang menyelimuti atmosfer di sekitar mereka bertiga.
Di saat itu, tiba-tiba saja ponsel Karin berbunyi, menandakan adanya sebuah pesan masuk pada room chat di ponselnya. Karin langsung membaca pesan tersebut, keningnya sejenak berkerut, lalu pandangannya langsung beralih ke arah mobil Harsa yang terparkir tidak jauh dari sana. Sejenak berpikir, lalu beralih lagi pada Harsa.
"Sa, antar aku ke rumah Widya, yuk!" ajak Karin seraya menggelayutkan tangannya di lengan Harsa dengan manja.
"Kamu belum ke rumah Widya?" Harsa beralih pada Karin.
"Iya, tadi pagi aku emang niatnya mau ke rumah Widya, tapi aku ketemu temen lama di sini. Kami ngobrol lama sampe nggak inget waktu, dan dia baru aja pergi sebelum kamu datang." Karin mengarang cerita.
Harsa sedikit curiga, tetapi ia masih berusaha untuk percaya. "Lalu Edo, kenapa dia ada di sini juga?" tanya Harsa seraya menunjuk pada Edo. Karin pun menatap Edo, memberikan kode kedipan mata tanpa sepengetahuan Harsa.
Edo mengerti, dia juga harus bersandiwara. "Ehm ... gue ... gue abis beliin eskrim buat adek gue. Kebetulan lagi main di sini juga. Pas lihat kalian di sini, makanya gue nyamperin," kilahnya berbohong.
"Adek lo? Mana dia?" tanya Harsa penuh selidik.
"Dia lagi ke toilet," jawab Edo cepat.
"Tapi kok tumben lo mau—"
"Sa, mau nganterin gue, nggak?" Lagi-lagi Karin memotong perkataan Harsa. Gadis itu berusaha untuk mengalihkan pertanyaan kekasihnya yang semakin mencecar Edo. Pasalnya, Harsa sangat hapal sikap Edo. Lelaki cuek itu paling malas untuk mengajak adiknya kemana-mana. Itu karena adik Edo sangatlah manja.
"Ya udah sana, Sa! Anterin pacar lo, tuh. Kasian, nanti dia lumutan." Edo cengengesan, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang terlihat rapi.
"Iya, ayok! Aku udah kepanasan dari tadi," rengek Karin.
Walaupun masih penasaran, Harsa tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki itupun menghela napasnya, mengiyakan permintaan Karin. "Tapi Widya sekarang ada di mobil aku," ucapnya pada Karin.
"Iyakah? Bagus dong kalau gitu, biar sekalian." Karin mengulas senyuman yang paling manis. Membuat kecantikannya semakin terlukis. Seolah menghipnotis, seorang Harsa kini sudah seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Hanya menurut, dan tidak banyak membantah.
Akhirnya mereka berdua pun pergi, meninggalkan Edo dengan luka yang membekas di hatinya. Tentu saja terluka, karena dia harus melihat gadis yang dicintainya pergi dengan laki-laki lain yang notabene adalah pacar aslinya. Hati Edo mulai panas, ada rasa cemburu yang menggebu dalam dada. Hingga kedua eskrim yang ada di tangannya, harus menjadi sasaran kemarahannya. Mereka yang tidak berdosa harus ikhlas terhempas di jalanan dengan sia-sia.
***
Esok harinya, saat di sekolah. Hubungan Karin dan Harsa sedikit lebih baik. Rayuan Karin sungguh ampuh menghilangkan praduga tidak benar tentang Karin dalam benak lelaki tersebut.
Saat istirahat tiba, Harsa yang baru saja selesai menemui wali kelasnya untuk mengumpulkan tugas, niat hati ingin mengajak Karin untuk ke kantin bersama, tetapi Harsa tak menemukan Karin di kelasnya. Ia mencoba ke kantin, di sana ia hanya menemukan Widya, Nathan, Kartika dan Zakir.
"Kalian lihat Karin, nggak?" tanya Harsa kepada empat temannya. Keempatnya bersamaan menggelengkan kepala.
"Enggak," jawab Zakir yang membuka suara.
"Kemana, ya? Di kelasnya juga nggak ada." Harsa celingukan seraya menggaruk kepalanya frustrasi.
"Mana gue tahu, Karin 'kan pacar lo. Apa jangan-jangan dia lagi mojok sama cowok lain." Widya langsung menyenggol bahu Nathan yang kebetulan duduk di sebelahnya, kedua matanya melotot penuh peringatan. Ucapan Nathan terlalu bar-bar.
"Apa sih, Wid, senggol-senggol gue? Demen lo sama gue?"
"Ih, pede abis!" Widya berdecak, seraya memutar kedua bola matanya malas, "Lo kalau ngomong jangan sembarangan! Kalau Karin denger, dia bisa marah sama lo," sambung Widya.
"Bodo, lagian kalau nggak merasa ngapain mesti marah." Ucapan Nathan membuat hati Harsa semakin panas.
"Bilang aja lo sirik, karena lo nggak punya pacar secantik Karin," sungut Harsa seraya menggebrak meja. Membuat Nathan sontak berdiri, menatap Harsa dengan tatapan tajam.
"Heh, lo bilang apa? Sirik?" Nathan tergelak, lalu merangkul Widya yang ikut berdiri hendak melerai kedua lelaki tersebut. Widya takut jika kedua lelaki tersebut akan baku hantam di sana, tetapi ternyata di luar prediksinya.
"Lebih cantikan dia kemana-mana, lo buta, ya? Ngapain gue sirik sama lo." Seraya mengeratkan rangkulannya di bahu Widya. Tentu saja pernyataan Nathan tersebut membuat Widya tercengang, pun dengan ketiga sahabatnya. Terutama Harsa yang mengernyit tidak suka menatap tangan Nathan yang bertengger di bahu Widya. Entah kenapa ada perasaan tidak rela dalam hatinya. Sejenak hati Harsa mulai gamang, hingga sekelebat bayangan Karin mampu mengembalikan nalarnya yang sempat hilang.
"Serah, lo, deh. Mending gue cari pacar gue. Debat sama lo tuh, nggak guna."
"Ya udah, sono!" usir Nathan dengan sarkas.
Harsa pun pergi dengan kesal. Ia terus mencari Karin ke segala pelosok sekolah. Harsa selalu berpikir positif, tidak mungkin, 'kan, kalau pacarnya itu pulang atau bolos sekolah?
Langkah gontai Harsa semakin melemah, sepertinya lelaki itu mulai menyerah. Hingga tanpa sengaja, ia mendengar suara berbisik di lorong dekat perpustakaan, tempat dirinya berdiri sekarang, sepertinya Harsa kenal suara itu.
Tentu saja benar, di sana Harsa menemukan Edo dan Karin yang tengah berdebat mengenai kejelasan hubungan mereka. Posisi Edo yang tengah memegangi kedua tangan Karin penuh perasaan. Terlebih sikap Karin yang membiarkannya, membuat jantung Harsa seakan berhenti berdetak saat itu juga. Dunia seakan berhenti berputar pada porosnya. Harsa seolah berada dalam ruang hampa tanpa udara, merasa sesak karena telah dikhianati oleh sahabat karibnya.
***
Kok, aku kepikiran sama eskrim yang nggak bersalah itu, ya. 🤔
Padahal buat aku aja, kan, biar nggak mubazir 🙄
Bagaimana dengan kalian? Apa yang kalian pikirkan setelah baca part ini? 😅😅
Tulis di kolom komentar, ya. Jejak jempolnya jangan lupa, giftnya juga 🙏🤭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
istri nya suga
aq kepikiran jemuran yg belum kering tapi udah hujan aja 🥺🥺🥺🥺🥺🥺🥺
2022-06-07
0
Ani Aira
aku kepikiran sama Nathan apa sebelumnya Nathan udh kenal Widya dan keluarganya yaa
2022-02-05
1
Ani Aira
Gue suka gaya lu Nathan
2022-02-05
0