Bab 12. Perubahan Karin.

Setelah mempersiapkan buku pelajaran untuk besok, Karin segera menuju tempat tidur dan berniat langsung menjemput mimpi. Ternyata olahraga pagi tadi bersama Edo, Widya dan Tika membuat tubuhnya terasa  lelah.

Baru saja dia berusaha memejamkan mata, tiba-tiba ada bunyi notifikasi dari ponselnya. Dengan malas dia mengambil ponsel dari atas nakas dan melihat nama Harsa di sana. Sebenarnya Karin malas untuk membuka roomchat-nya, itulah mengapa Karin melakukannya dengan setengah hati.

“Malam Tuan Putri, boleh aku VC? Kangen, nih.”

Dalam hitungan detik benda pipih persegi itu sudah berdering. Sesaat Karin merapikan rambutnya yang sedikit berantakan kemudian menerima panggilan tersebut.

“Apa kabar, Tuan Putri? Baik-baik aja, 'kan?”

“Kalau aku nggak baik-baik aja mana mungkin aku angkat VC kamu.”

“Besok aku jemput, ya?”

“Nggak usah, ntar kamu capek. Kita ketemu di sekolah aja.”

“Pokoknya besok aku jemput jam 6.15. Nggak ada penolakan! Met bobok, Cantik.”

Setelah panggilan diakhiri, Karin segera menarik selimutnya kembali. Mencoba menjemput mimpi yang akan membuatnya merasa damai. Namun, tiba-tiba saja bayangan Edo berkelebat dalam pikirannya. Sejauh dia ingin membuangnya, tetapi bayangan itu semakin jelas tergambar.

Karin teringat kembali segala perlakuan Edo yang membuatnya merasa nyaman dan bahagia. Entah berapa lama bayangan itu menari dalam pikirannya tanpa Karin sadari hingga dirinya terlelap dalam buaian mimpi.

***

Pagi hari seperti janji Harsa semalam, Karin sudah menunggu di teras rumah. Namun, sampai batas waktu yang dijanjikan, Harsa belum juga tampak batang hidungnya. Berkali-kali Karin melirik penunjuk waktu di pergelangan tangannya  untuk memastikan apakah dia salah atau tidak.

Waktu sudah melebihi dua puluh menit dari yang dijanjikan. Karin mulai panik, karena takut terlambat. Dia bangkit dan segera menuju ke arah jalan. Begitu sampai pintu pagar, Karin terkejut melihat sosok yang dia kenal sedang menepikan motornya. Dia segera mengulurkan helm.

“Ayo buruan, nanti terlambat!” ajak Edo.

“Tapi Harsa janji mau jemput gue,” lirih Karin.

“Dan lo mau terlambat terus dihukum di bawah tiang bendera?”protes Edo.

Tanpa pikir panjang Karin segera menerima tawaran Edo untuk berangkat bersama.

Sesampai di sekolah, Karin dan Edo segera menuju kelas masing-masing. Tak berselang lama, bel tanda masuk pun berbunyi. Di kelas, Edo belum melihat sosok Harsa. Tentu hal tersebut menjadi tanda tanya di hatinya.

“Kenapa Harsa belum datang?” tanya Edo pada Zakir.

“Nggak tahu, dia juga nggak ngabarin  gue,” jelas Zakir.

“Nggak biasanya dia kayak gini,” imbuh Edo.

Zakir mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. Tiba-tiba dari arah pintu datanglah orang yang sedang mereka bicarakan. Dengan terengah-engah Harsa menuju tempat duduknya di samping Zakir.

“Ngapain, lo? Kayak dikejar singa aja,” tanya Zakir.

“Motor gue bocor. Apes banget, deh,” jelas Harsa.

“Trus lo kesini naik apa?” tanya Zakir .

“Ojek online, lah. Motornya gue tinggal di tukang tambal ban,” terang Harsa yang hanya dijawab “o” oleh Zakir.

Selama jam pelajaran pikiran Harsa kacau karena dia belum sempat menghubungi Karin untuk minta maaf. Hal tersebut jelas terlihat dari raut mukanya yang gelisah. Hingga saat jam istirahat tiba, Harsa segera berlari menuju kelas Karin.

“Maafin aku, ya, tadi tiba-tiba  motorku bocor,” sesal Harsa begitu dia berada di depan meja Karin.

Karin hanya memandangnya tanpa kata dan segera berlalu menuju kantin bersama Tika. Harsa pun segera mengikuti mereka berusaha mensejajarkan posisi di samping Karin.

“Maaf,  tadi nggak sempat ngabarin . Aku sibuk nyari ojek online biar bisa cepetan jemput kamu,” papar Harsa dengan wajah memelas. Karin masih diam saja, dia segera bergabung bersama Edo yang sudah  berada di kantin bersama Zakir.

“Ya udah, sebagai permintaan maaf gue  sekaligus merayakan keberhasilan lomba kemarin, kali ini gue traktir kalian semua!” usul Harsa.

“Kamu nggak ngasih ucapan selamat gitu, Rin?” lirih Harsa.

“Selamat, deh,” jawab Karin singkat.

Selama di kantin tak banyak yang mereka obrolkan. Mereka seakan terlarut dalan pikirannya masing-masing. Sesekali Karin melirik Edo, begitu pula sebaliknya hingga pandangan mereka bertaut. Tika yang sadar akan hal tersebut segera menyenggol kaki Karin hingga melepaskan tautan tatapan mata mereka.

“Aku tadi udah nyamperin kamu, tapi kamu udah berangkat,” desah Harsa mencoba memberi penjelasan pada Karin.

“Ya iyalah, kalau aku nungguin kamu bisa-bisa terlambat dan nggak boleh ikut pelajaran pertama!” seru Karin.

“Iya, aku  minta maaf. Aku udah berusaha buat nepatin janji,” terang Harsa.

"Trus, lo ntar pulangnya gimana, Sa?” tanya Zakir.

“Gue nebeng lo ya? Sampai di tukang tambal ban yang tadi,” pinta Harsa.

“Oh, okelah,” jawab Zakir.

“Biar Karin ntar pulang bareng gue, Sa. Kebetulan arah kita sama,” tawar Edo.

Seketika mata Karin melotot memandang Edo, dia bingung bagaimana mau merespon kalimat Edo.

“Gitu juga boleh,” balas Harsa.

“Gimana, mau kan pulang bareng Edo?” tanya Harsa ke Karin.

Di situ Karin merasa ada sesuatu yang sulit untuk dijabarkan, rasa yang seketika membuat hatinya perih. Mengapa tiba-tiba saja Karin menarik kesimpulan jika Harsa sudah tidak lagi memprioritaskan dirinya.

Mungkin Karin egois, tapi Karin merasa dirinya perlu untuk diperjuangkan. Karin berpikir setidaknya Harsa mengajak dia pulang bareng meskipun naik angkot sekalipun, mengambil motornya lalu mengantar Karin pulang.

“Aku bisa pulang bareng siapa pun, nggak usah dipermasalahkan,” jawab Karin ketus.

“Gue duluan, ya, ada  yang harus gue temui,” pamit Edo buru-buru setelah dia membaca panggilan di roomchat ponselnya.

“Makasih traktirannya, Bro.” Edo berlalu meninggalkan mereka.

Karin menatap kepergian Edo penuh tanda tanya. Karin penasaran siapa yang akan Edo temui. Kenapa perasaannya mendadak tidak enak begini. Apakah dia cemburu? Cemburu! Ah, kata itu terlalu dini. Bahkan kata tersebut tak semestinya hadir di antara mereka.

Bel tanda pelajaran berakhir pun tiba. Harsa dan Zakir melajukan motornya menuju tukang tambal ban di mana Harsa menitipkannya tadi pagi. Sedang Karin menunggu Edo di parkiran. Edo tersenyum ketika melihat Karin sudah berada di dekat motornya.

“Jadi, mau nih, pulang bareng gue,” ledek Edo penuh senyum kemenangan.

“Siapa yang lo temuin tadi?” rajuk Karin.

Alis Edo saling bertaut, kemudian tertawa tanpa bisa menyembunyikan rona kebahagiaannya.

“Elo cemburu?” goda Edo.

“Enggak lah! Buat apa juga cemburu?” sanggah Karin.

“Tapi gue bahagia kalau elo cemburu,” bisik Edo membuat pipi Karin memanas.

Edo segera mengulurkan helmnya.

Ketika masih berada di lingkungan sekolah, Edo harus bisa menahan perasaannya untuk bersikap senatural mungkin terhadap Karin. Edo tidak mau jika teman-temannya curiga. Tanpa mereka sadari, ada dua pasang mata yang sedari tadi mengamati interaksi mereka. Siapa lagi kalau buka Widya dan Tika. Mereka berdua  merasa perbedaan sikap Karin semakin nyata.

Sebagai sahabat, mereka ikut merasa bersalah karena tidak bisa memberi masukan kepada Karin. Dan secara pribadi, Widya merasa sangat bersalah kepada Harsa karena ikut andil dalam menyembunyikan kesalahan Karin. Sungguh ini merupakan kejadian yang membuat mereka berada pada posisi serba sulit.

***

Hari makin berlalu, tanpa terasa mereka sudah memasuki tahun kedua menjadi murid di SMA Tunas Harapan. Selama itu pula Karin dan Edo pandai menyembunyikan kisah mereka dari teman-temannya. Entah Harsa merasakan perbedaan sikap Karin atau tidak, namun di depan sahabatnya hubungan mereka terlihat baik-baik saja. Widya dan Tika merasa cemas tiap kali mengetahui Karin pergi berdua bersama Edo. Selama itu pula mereka berbohong ketika Harsa menanyakan keberadaan Karin.

Minggu pagi Harsa berniat mengajak Karin keluar hanya untuk sekedar jalan-jalan. Harsa merasa jika selama ini tak banyak waktunya buat Karin. Setelah melihat tampilannya di depan cermin terasa sempurna, dia segera menuju mobil karena sudah mendapatkan SIM A, Harsa mulai sesekali membawa mobil sekedar untuk berjalan-jalan.

Sesampai di depan rumah Karin, dia menepikan mobilnya dan segera menuju pintu utama. Dengan mantapnya, Harsa pencet bel yang berada di sebelah pintu, tak lama kemudian pintu terbuka dan Nisa—Mama Karin menyambut dengan senyum hangatnya.

“Pagi, Tan. Karin ada?” tanya Harsa setelah mencium punggung tangan Nisa.

“Masuk dulu, Nak Harsa!” ajak Nisa.

“ Emangnya Karin nggak bilang, ya, kalau hari ini dia pergi sama Widya?” tanya Nisa begitu mereka duduk di sofa ruang tamu.

“Enggak tuh, Tan. Lagian Harsa juga nggak bilang kok kalau mau kesini. Mungkin kalau Harsa ngomong dulu pasti Karin nggak akan pergi sama Widya,” terang Harsa.

“Emang Karin pergi sejak kapan, Tan?” selidik Harsa.

“Tadi jam enam, Katanya mau ikut Widya ke rumah neneknya di kampung gitu. Dan pulangnya agak malaman dia bilang,” terang Nisa.

“Kalau gitu Harsa pamit dulu deh, Tan. Mau ke rumah Zakir buat ngembali’in flashdisk yang kemaren Harsa pinjam,” pamit Harsa sambil mencium punggung tangan Nisa.

Harsa segera melajukan mobilnya menuju rumah Zakir. Harsa yakin pasti Zakir ada di rumah. Secara dia jomlo akut yang kerjanya tidur di hari libur.

Cukup lama Harsa berada di rumah Zakir. Menjelang siang dia pamit dan melajukan mobilnya pelan. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada Widya dan Arini yang berada di depan minimarket. Harsa segera menepikan mobilnya dan turun menghampiri mereka berdua.

“Siang Tan, habis belanja?” sapa Harsa sopan.

“Iya, Nak Harsa,” jawab Arini.

“Lo dari mana, Sa?” tanya Widya.

“Dari rumah Zakir,” jawab Harsa singkat.

Dalam benaknya penuh dengan tanda tanya besar. Mengapa Karin bohong dengan mengatakan dia pergi bersama Widya.

“Sekarang mau pulang, Tan?” tanya Harsa.

“Iya, nunggu angkot,” jawab Arini.

“Bareng Harsa aja ya, Tan! Sekalian jalan,” tawar Harsa sedikit memaksa.

Tanpa menunggu persetujuan Arini, Harsa mengambil alih belanjaan dari Arini kemudian dia masukkan ke bagasi mobil. Arini hanya tersenyum melihat tingkah Harsa.

“Bantu Harsa, gih!” perintahnya pada Widya. Segera Widya memasukkan kantong belanja yang dia bawa ke bagasi mobil Harsa.

Widya merasa ada aura berbeda dari Harsa, wajahnya sedikit sendu tak seceria biasanya. Harsa segera membukakan pintu depan untuk Arini. Dan Widya duduk di kursi belakang. Harsa melajukan mobilnya pelan-pelan di tengah keramaian siang yang begitu terik.

“Belanjaannya banyak, Tan,” tutur Harsa.

“Iya, Tante besok dapat pesanan kue untuk arisan ibu-ibu komplek,” terang Arini.

Sejenak kemudian hening di dalam mobil. Harsa kalut dengan pikirannya tentang Karin. Sedang Widya merasa khawatir melihat ekspresi Harsa. Widya mengedarkan pandangannya keluar jendela. Karena Harsa membawa mobilnya pelan, pemandangan di sepanjang jalan tersebut terekam jelas di memorinya. Sesekali Harsa menatap Widya dari kaca spion, dari situlah Harsa menyadari jika Widya memiliki wajah yang meneduhkan.

Tiba-tiba Widya dikejutkan dengan sebuah pemandangan di sisi kiri depan. Harsa  melihat ekspresi Widya yang berubah dan segera mengikuti kemana arah pandang Widya. Seketika itu Harsa menajamkan pandangannya. Merasa tidak percaya dengan apa yang dilihat, dia mengurangi kecepatan mobilnya untuk memastikan apakah penglihatannya masih normal. Tangannya makin kuat memegang kemudi seakan meluapkan segala emosi yang ada dalam hatinya.

***

Wohooo

OMG? Siapa yang mereka lihat?

Lanjut Hari Kamis, ya

Jangan lupa jejak jempolnya!

Terpopuler

Comments

Ani Aira

Ani Aira

ini yg ditunggu..penghianat dan penggoda akankah terus berlanjut atau akan hancur bersama..
cuma othor yg tau

2022-02-05

0

Ani Aira

Ani Aira

wooo..ooo
kamu ketauan
pacaran lagi
dengan dirinya
teman baik ku

2022-02-05

0

Ani Aira

Ani Aira

baru nyadar dia

2022-02-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!