***
Widya, Karin, Tika, dan Edo akhirnya memutuskan untuk pulang. Sama seperti tadi saat berangkat, Widya berboncengan dengan Tika, sedangkan Karin bersama Edo. Perlakuan manis Edo kepada Karin yang tengah memasangkan helm, tak pelak membuat praduga Tika dan Widya semakin kuat, jika Edo telah memiliki rasa terhadap Karin.
“Gue harap semua akan baik-baik saja,” gumam Widya yang masih bisa didengar oleh Tika. Bola mata indahnya masih menatap lekat Edo dan Karin.
“Yah, gue harap juga gitu,” balas Tika.
“Gue gak tahu gimana nanti jadinya persahabatan Edo dan Harsa jika mereka berdua sama-sama memperebutkan Karin,” ungkap Widya. Tika hanya mengedikkan bahunya acuh.
Wajah yang tadi ceria kini digelayuti awan hitam. Jika Widya memilih mencintai Harsa dalam diam dan memilih menghindar, itu semua tidak lepas karena ingin mempertahankan persahabatannya dengan Karin. Ia sadar diri di mana posisinya.
Akan tetapi berbeda dengan Edo. Kini Edo dengan terang-terangan menunjukkan perhatian lebih pada Karin, bukan lagi layaknya perhatian sebagai teman.
Di persimpangan jalan, mereka berpisah karena arah jalan pulang yang berbeda.
“Rin, mampir ke kafe bentar, yok! Gue laper, belum sarapan,” ajak Edo.
“Dasar perut gentong!” ejek Karin.
Edo menghentikan laju sepeda motornya di sebuah kafe yang bernuansa joglo. Memasuki area kafe, Edo menggandeng tangan Karin dengan mesra. Awalnya Karin terkejut dengan perlakuan Edo, tetapi karena merasa nyaman, Karin membiarkan Edo bertindak sesukanya.
Edo memilih bangku dekat dengan kolam ikan. Duduk lesehan, Edo memesan pecel lele dengan es jeruk, sedangkan Karin hanya memesan kentang goreng dengan sebotol soda, karena merasa masih kenyang.
“Do?” panggil Karin dengan wajah tertunduk. Sebenarnya ia ragu dengan apa yang ingin ia tanyakan, hanya saja semua sikap Edo mengganjal di hatinya.
“Ya?” Edo yang sedari tadi mengamati ikan yang tengah berenang beralih menatap Karin.
"Ada yang mau gue tanyain.”
“Apa?” Edo menatap lekat wajah Karin.
“Perlakuan lo sama gue.” Karin mencoba membalas tatapan Edo.
“Kenapa dengan perlakuan gue?”
“I-itu ....“
“Lo gak suka sama sikap gue ke lo?”
“Bu-bukan gitu, hanya saja sepertinya berlebihan untuk ukuran sebuah teman.” Karin gugup. Wajahnya tertunduk. Ia tak ingin Edo salah paham.
“Gue suka sama lo.” Pernyataan Edo membuat Karin seketika mengangkat wajahnya.
“Gue cinta sama lo, sejak dulu. Hanya saja, Gue kalah cepet sama Harsa dan gue menghargai perasaan lo buat Harsa, maka dari itu gue diem. Gue pikir, dengan berjalannya waktu gue bisa membunuh rasa gue buat lo, tapi ternyata salah. Makin hari, gue makin sayang sama lo,” tutur Edo.
Jantung Karin seakan tengah mengikuti lomba lari maraton. Ia sangat terkejut akan penuturan Edo, hingga seorang pelayan datang mengantarkan pesanan mereka. Karin segera menyeruput cola-nya, berharap bisa menenangkan jantungnya yang kian bertalu.
“Sekarang gue tanya sama lo, di hati lo, apakah ada sedikit aja perasaan buat gue?”
“G-gue ....”
“Kita makan dulu, tenangin diri lo!”
Edo tak lagi bicara, ia asyik menikmati makanannya sambil sesekali melirik ke arah Karin yang tengah bimbang.
Setelah Edo selesai dengan makannya, ia menyeruput es jeruknya dan juga mencomot kentang goreng milik Karin. “Jadi gimana? Udah nemu jawabannya?”
“Do, gue pacarnya Harsa. Sahabat, lo,” terang Karin.
“Gue tahu. Yang gue tanya, di hati lo ada perasaan nggak, buat gue, setelah beberapa hari kita lewati bersama?”
Karin terdiam cukup lama, mencoba mengulik hatinya. Mencari jawaban atas pertanyaan Edo. Mengenang kembali kebersamaannya dengan Edo.
“Jujur, gue nyaman sama lo. Gue seneng bisa deket sama lo. Tapi ini salah. Nggak seharusnya ada rasa lain di hati gue buat lo.” Karin tertunduk. Ia tahu rasa yang ia rasakan terhadap Edo adalah sebuah kesalahan. Tak sepantasnya rasa itu hadir di saat ia masih memiliki hubungan dengan Harsa yang tak lain adalah sahabat Edo sendiri.
Edo meraih tangan Karin, menggenggamnya erat. “Dengerin gue! Nggak ada yang namanya salah akan perasaan. Ia tumbuh dengan sendirinya tanpa diminta. Jika memang ada rasa di hati lo buat gue, kenapa gak kita coba? Gue sayang sama lo, Rin. Gue cinta sama lo. Kasih kesempatan buat perasaan yang kita miliki, Rin!” pinta Edo.
“Tapi, Do, Harsa?”
“Cukup kita berdua yang tahu. Cukup kita berdua yang menikmati rasa ini. Hubungan lo sama Harsa biarkan tetap berjalan, tapi di sini, kita juga memberi kesempatan buat perasaan kita, gimana?”
Karin menatap lekat manik kecokelatan milik Edo. Di sana tersirat cinta yang tulus hingga seakan membiusnya untuk menganggukkan kepala.
“Maafin aku, Sa,” batin Karin.
Edo tersenyum lebar dengan kesempatan yang diberikan oleh Karin. Meski mereka harus Backstreet, tapi Edo bahagia sudah bisa mengutarakan rasanya. “Maafin gue, Do. Rasa yang gue miliki buat Karin udah gak terbendung lagi. Gue sayang sama dia,” batin Edo sambil mengecup lembut jemari Karin.
***
Sampai di rumah, Widya lekas membersihkan diri karena tubuhnya terasa lengket. Tiga puluh menit ia habiskan di kamar mandi. Selesai dengan aktivitasnya, ia segera keluar kamar, menghampiri sang bunda yang tengah membuat kue.
“Wangi amat anak bunda,” kata Arini setelah mencium wangi parfum yang menguar dari tubuh anaknya. Widya hanya nyengir kuda menanggapi ucapan sang bunda.
“Bunda bikin kue apa?” Widya memperhatikan sang bunda yang tengah membuat adonan.
“Kue nastar kesukaan kamu.”
“Wah ... bikin yang banyak, Bun,” pintanya dengan mata berbinar.
“Bantuin sini, jangan bisanya makan aja!” ejek Arini.
Belum sempat Widya menjawab, terdengar pintu rumah yang diketuk. “Widya buka pintu dulu, Bun,” pamitnya dan hanya dijawab anggukan oleh Arini
“Ngapain lo ke sini?” tanya Widya ketus setelah membuka pintu utama.
“Jutek amat, Neng. Kangen sama lo, lah, masa iya kangen sama bokap-nyokap lo.”
Widya hanya mencebikkan bibir, sedangkan sosok yang lebih tinggi darinya segera merangkul bahunya dan menyeret Widya untuk masuk rumah.
“Ish ... Nathan nyebelin!” gerutunya.
Nathan tak menghiraukan Widya yang tengah manyun. Seakan rumah sendiri, Nathan segera menghampiri Arini di dapur dengan senyum yang mengembang lebar. “Pagi menjelang siang, Bun,” sapanya.
“Eh, ada Nathan.” Arini segera mencuci tangannya dan mendekat ke arah Nathan dan Widya. Nathan meraih tangan Arini dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu dengan sopan. “Mau ajak Widya keluar?” tanya Arini.
“Enggak sih, Bun. Cuma mampir aja. Tapi kalo Widya mau diajak keluar, aku seneng aja, sih,” jawab Nathan dengan cengirannya.
“Ogah! Gue capek,” ketus Widya.
“Lo lagi PMS, ya? Dari tadi ketus mulu sama gue,” balas Nathan.
“Udah, udah. Nggak usah berantem, sini bantuin bunda bikin kue aja,” lerai Arini.
“Ayah ke mana, Bun? Kok gak kelihatan?” tanya Nathan sambil mencari sosok yang beberapa kali pernah mengajaknya main catur.
“Ayah pergi mancing sama temen-temennya,” jawab Arini.
Nathan memang dekat dengan Arini dan Ayah dari Widya semenjak sering antar jemput Widya. Pribadi Nathan yang sopan membuat Ayah dan Arini menyukai Nathan, meski kadang sifat slengeannya muncul ke permukaan.
Widya dan Nathan lekas membantu Arini mengaduk adonan, sedangkan Arini membuat selai nanas. Melihat Widya yang serius dengan adonannya, dengan jahil Nathan mengusap kening Widya dengan tangannya yang kotor penuh adonan. “Gak usah serius-serius kali ngaduk adonannya.” Ulah Nathan membuat kening Widya kotor, membuat Widya berang.
“Nath, Nath!” Bola mata indah itu melotot tajam pada Nathan belum sempat Nathan menghindar, Widya sudah membalas Nathan dengan melempar tepung ke rambut Nathan.
"Berani lo, ya? Gue balas lebih kejam.” Nathan memiting tubuh Widya sambil mengoleskan adonan ke pipi Widya.
Arini hanya menggelengkan kepala melihat tingkah dua anak manusia itu. Senyum tersungging di bibir Arini. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai dengan kehadiran Nathan.
***
Nah, lebih manis mana kira-kira, gengs. Edo-Karin apa Nathan-Widya? Kuy, tulis di kolom komentar! Jangan lupa like dan gift-nya 🤗🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Dyah Rachmawati
Widya nathan
2024-02-27
0
susi
widya sama Nathan ❤️
2022-11-19
1
istri nya suga
manisan aku 😆🤣🤣🤣🤣🤣
2022-06-07
0