***
Sesuai janjinya tepat di hari Minggu Nathan sudah bersiap dengan kaos putih, celana jeans, dan sepatu snakers andalannya. Tepat sampai anak tangga terakhir Nathan dikejutkan oleh suara lembut wanita yang mendekati paruh baya bernama Liana. Wanita yang selalu berpenampilan elegan dan energik. Merupakan orang yang melahirkan Nathan dan kedua adiknya.
“Pagi-pagi rapi amat anak mama, mau ke mana?” Sang mama meneliti penampilan anaknya dari atas sampai bawah dengan senyum jahil.
“Eh, Mama, sampai rumah jam berapa? Kok Nath baru tahu,” tanya Nathan dengan wajah terkejut.
“Habis subuh mama pulang naik taksi dari bandara,” jawabnya sambil menerima pelukan dari anak sulungnya. Nathan anak pertama dari tiga bersaudara. Adik kembarnya yang masih duduk di bangku menengah pertama masih berada di Singapura, karena masih terkendala izin dari sekolah masing-masing.
“Kasihan, Mama pasti capek banget, ya? Kenapa nggak telepon pak Agus aja sih, biar dijemput?” sesal Nathan.
“Udah. Nggak apa, kasihan pak Agus kalau jam tiga udah stay di bandara. Mana kemarin udah antar jemput kamu buat ngurus ini-itu.”
“Gimana sama duo kucingnya Mama? Belum kelar juga urusannya?” tanya Nathan sembari mencomot roti tawar keju yang sudah tersedia di meja makan.
“Ish, Kakak tega bener samain adiknya sama kucing. Evan sama Ellen masih kekeh ingin tinggal di sana, sekalian nemenin papa alasannya. Kakak mau ke mana tadi, belum jawab, loh?” tanya sang mama.
“Ini Ma, ada janji sama temen mau ke Book Fair. Mumpung hari minggu. Pamit dulu deh Mam, udah ditunggu nih,” jawabnya sambil memperhatikan waktu di jam tangannya.
“Kakak anak baru udah punya temen buat diajak jalan?” selidik sang mama.
“Mama jangan lupa siapa Nath ini,” kata Nathan santai, sambil menaik turunkan alisnya.
“Daah Mam, Nath berangkat, ya!” Nathan beranjak dari duduknya, tak lupa sambil mencium kedua pipi sang mama.
Dengan motor ninja kesayangannya, Nathan melaju membelah jalanan Jakarta yang pagi itu cukup padat karena hari minggu. Hari libur bersama keluarga atau merupakan weekend, setelah enam hari disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Beruntung ia tak bertemu dengan kemacetan karena ia pintar menyelinap dengan kuda besi andalannya.
Hingga tepat pukul 10.03 WIB ia tiba di depan rumah bercat putih dengan nomor tujuh belas, rumah Widya.
“Hai, nungguin, ya?” kekeh Nathan.
“Lo telat tiga menit,” sambar Widya sambil menunjukkan jam tangannya.
“Tiga menit, ya? He ... he ... itu tadi harus diwawancara dulu sama ibu negara.” jawabnya sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih seraya terkekeh pelan. Nathan memberi helm pada Widya.
“Ibu, lo?” tanya Widya.
“Iya, buruan naik! Hati-hati Neng kakinya dulu.”
“Ish!” Widya mencebikkan bibirnya. “Masa iya kepala dulu?” sungut Widya sembari memegang pundak Nathan untuk dijadikan tumpuan.
“Pegangan yang bener, dong! kalo gak pegangan takut jatoh, kasian anak orang cantik-cantik begini dibikin jatoh dikencan pertama,” goda Nathan dengan senyum jahilnya.
“Eh, apa? Kencan lo bilang? Gue turun nih!” kesal Widya dengan gombalan Nathan yang semakin menjadi.
“Eh, jangan dong! Udah susah-susah cari ide jalan malah nggak jadi,” sambar Nathan cepat dengan menahan kaki Widya yang hendak turun dari motornya.
“Ya udah jalan aja! Nggak usah ngegombal, deh,” kesal Widya sambil melepaskan pegangan tangan Nathan di kakinya.
“Siap, Neng!” Nathan menempelkan ketiga ujung telapak tangannya posisi hormat.
Dalam perjalanan, setelah perdebatan kecil mereka tidak ada obrolan receh lagi hingga sampai di lokasi Bookfair. Widya tampak bahagia menemukan gudang buku dengan harga yang sangat terjangkau untuk menunjang belajarnya. Terlebih lagi ia yang pencinta novel dapat menemukan novel incarannya.
Setelah puas mendapatkan apa yang Widya inginkan, mereka bersiap pulang karena waktu yang hampir menunjukkan pukul 12.30 WIB.
“Kita langsung pulang aja atau ke mana dulu, nih?” tanya Nathan. Pandangannya masih terfokus menantikan jawaban Widya yang sudah memakai helm.
“Lang-” Dengan tanpa permisi tiba-tiba perut Widya berbunyi, membuat si empunya perut memalingkan wajah karena malu dengan muka semerah tomat.
“Kyaa ....” Gelak tawa tak bisa dihindari oleh Nathan.
Baru Widya akan protes, Nathan sudah mendaratkan jari telunjuknya sedikit menempel di mulut Widya. Keduanya diam sejenak, seolah waktu menghentikan dunia untuk berputar pada porosnya. Selang beberapa detik, mereka berdehem kompak untuk memangkas kecanggungan di antara keduanya.
”Ehm ... oke! Ayok kita cari makan dulu, no debat!” putus Nathan.
Mereka tiba di resto yang sangat ramai. Tanpa banyak kata, mereka melangkah masuk ke dalam resto. Makan siang itu ramai dengan obrolan ringan dengan bumbu kejahilan Nathan. Tanpa mereka sadari, sedari tiba di resto sepasang mata telah menangkap pergerakan mereka. Usai menghabiskan makanan masing-masing, Nathan mengantar Widya pulang ke rumahnya.
Nathan sangat bahagia bisa bersama cewek yang menarik perhatiannya sedari pertama masuk sekolah tak henti menebarkan senyuman sepanjang perjalanan pulang.
***
Pagi ini, menjadi pagi yang berbeda untuk SMA Tunas Harapan. Di sana sedari pagi sudah disibukkan oleh para guru yang menyeleksi para siswanya untuk mengikuti lomba karya ilmiah, di mana seluruh siswa sepuluh diwajibkan untuk ikut seleksi dan yang terpilih akan mewakili sekolah mereka.
"Waktu habis anak-anak, silakan kalian kumpulkan tugas di meja Ibu!" kata Bu Marisa yang saat ini tengah mengawasi tes untuk kelas 10 IPA- A, disusul dengan pergerakan murid-murid yang bersiap mengumpulkan lembar tugas di meja guru.
"Kalian dapat beristirahat untuk selanjutnya ada dua jam pelajaran yang tim seleksi gunakan untuk mengoreksi tes seleksi kali ini. Gunakan waktu istirahat kalian dengan tertib, tanpa kegaduhan. Terima kasih." Bu Marisa mengemasi lembar tugas yang telah terkumpul.
"Ya, Bu," seru mereka kompak.
"Wid, gue yakin deh kalau lo bakal jadi wakil dari SMA kita." Cindy menepuk pelan bahu Widya.
"Seyakin itu, lo?" tanya Widya.
"Iyalah, secara lo selalu unggul kalau ulangan. Nilai lo tertinggi tes semester kemarin ‘kan." Cindy masih gigih meyakinkan Widya.
"Kita serahkan pada tim seleksi aja Cin, mereka yang memutuskan. Dah ya, gue cabut ke perpus." Widya beranjak dari kursinya.
"Aku kawal ya, Cantik. Takut ada yang godain." Nathan meraih tangan Widya cepat, tentu saja membuat cengo Cindy dan beberapa teman yang masih di dalam kelas, salah satunya Harsa, ia merasa sejak kedatangan Nathan, Widya jarang sekali bergabung bersama yang lain.
"Lihatin apa, lo?" tanya Zakir tiba-tiba sambil memainkan telapak tangannya di depan muka Cindy yang terlihat khawatir. Cindy yang masih melongo melihat Widya dan Nathan pergi meninggalkan kelas segera mengalihkan atensinya kepada Zakir, Edo, dan Harsa yang berdiri di depan mejanya.
"Kalian, mau ke perpus juga?" tanya Cindy. Sengaja mengalihkan pertanyaan selidik dari Zakir.
"Ngapain? Kita mau ke kantin sambil ngumpul sama yang lain," jawab Harsa.
Merupakan kebiasaan sejak awal masuk sekolah, Harsa, Zakir, Edo, Widya, Cindy, Kartika, dan Karin selalu bersama-sama ke kantin. Akan tetapi, tidak dengan beberapa minggu terakhir ini. Widya kini jarang berkumpul bersama mereka.
"Halah, bilang aja lo mau dua-duaan sama Karin, Sa." Zakir berjalan mengikuti langkah Harsa disusul Edo dengan ciri khasnya yang sibuk dengan HP beserta earphone-nya dan Cindy dengan wajah muramnya.
"E, bentar deh, kalian ngerasa gak sih akhir-akhir ini Widya jarang banget gabung sama kita." Kalimat Cindy yang berhasil menghentikan langkah Harsa dan mereka berpandangan sejenak.
"Iya-ya, Widya jadi sering ke perpus loh, Sa,” ucap Zakir sambil berjalan melanjutkan tujuannya.
"Gue rasa, dia takut kalah saing sama gue deh, Zak. Nilai UTS kemarin gue sama dia cuma beda tipis,” timpal Harsa santai.
"May be.” Zakir melanjutkan langkahnya.
***
Hasil tes tiga siswa wakil dari SMA Tunas Harapan telah diumumkan. Harsa, Widya, dan Zakir adalah tiga siswa yang telah terpilih. Mereka bertiga mempersiapkan beberapa mapel lomba.
Persiapan hanya lima hari, terhitung sejak di umumkan terpilihnya mereka bertiga. Widya berusaha fokus akan lombanya kali ini. Selama itulah mereka selalu belajar bertiga di perpustakaan, agar dapat berkonsentrasi.
Sepuluh menit sejak bel pulang sekolah, Harsa melangkah keluar dari perpustakaan, meninggalkan Widya dan Zakir yang masih belajar karena besok pagi mereka akan lomba membawa nama SMA Tunas Harapan.
“Nih, buat lo.” Harsa menyodorkan satu keresek plastik es lemon tea dan satu bungkus roti isi untuk Widya.
“Eh, kenapa gue?” Widya bingung karena hanya ia yang Harsa beri makan dan minum.
“Gue udah ke kantin tadi, Wid, santai aja,” sahut Zakir. Ia paham arah maksud pertanyaan Widya.
“Makasih, Sa,” ucap Widya lirih.
“Yo i,” sahut Harsa lembut.
Inilah yang membuat Widya terlena hingga tak dapat move on. Perhatian kecil dari Harsa membuatnya kembali lemah walau sekuat hati Widya berusaha memupus perasaannya. Widya selalu fokus pada apa yang ia pelajari, hingga sering kali terlihat pucat. Beberapa kali juga Harsa selalu memberikan snack ringan atau sekedar air mineral setelah dari kantin.
“Udah sore nih, pulang, yuk!” ajak Zakir.
“Wid, kali ini lo harus mau pulang bareng gue, ya,” pinta Harsa.
Widya masih diam, seraya berpikir. Pasalnya beberapa kali pula sejak mereka didaulat menjadi tim karya ilmiah, Widya selalu menolak ajakan Harsa untuk pulang bersama. Ia selalu sibuk memikirkan perasaan Karin jika ia mengiyakan ajakan Harsa.
Namun, tidak untuk sore ini, Widya terpaksa mengiyakan permintaan Harsa. Apa kabar hatinya? Ketika tangan Harsa meraih tangannya. Jika di gambarkan seperti apa rasanya pasti akan ada rasa pahit, asam, asin, dan manis menjadi satu.
***
Lomba karya Ilmiah yang diikuti puluhan peserta dari berbagai kota se-DKI Jakarta itu akhirnya selesai. Setelah mengikuti berbagai sesi lomba. Mereka kembali sebagai Pemenangnya membawa nama baik sekolah mereka.
Refleks Harsa memeluk Widya dan Zakir yang berada di sisi kanan dan kiri tempat duduknya. Mengekspresikan betapa bangga dan bahagianya bisa menjadi juara di ajang lomba bergengsi di tingkat menengah atas pertamanya.
Widya yang berada tanpa sekat dalam rengkuhan Harsa merasa bahagia walau rasa canggung lebih mendominasinya.
“Yeeeeeaaayyyy ... kita menang!”
***
Widya nggak usah anggap si Harsa lagi, deh. Kasian aku 🤧
Tizen : Heh, napa jadi othornya yang nangis? 🙄
aku : Habisnya situ nggak nangis. Bantuin nangis, dong!
Tizen : 😭😭🙄
aku : Nggak ikhlas bangett nangisnya 🤣🤣
Biarin, deh. Yang penting like sama komentarnya jangan lupa. Kasih hadiah seikhlasnya, kalau masih punya vote, sumbangkanlah! 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
💗 Yuli Defika 💓
Aku suka iklan ka otornya
lucuu 😁
2022-05-05
1
💗 Yuli Defika 💓
Duuh beratnya cinta dalam diam niih
2022-05-05
1
Ani Aira
nano nano dong
2022-02-05
0