Satu minggu terasa cepat berlalu. Aku mengemasi barang-barangku, berpamitan dengan Lia, untuk berada di Jakarta sementara waktu. Semoga aku bisa menjalankan tugasku dengan baik.
Hari ini adalah keberangkatanku pulang ke Jakarta. Aku memohon ijin pada Bu Magda agar memberiku waktu penyesuaian selama 5 hari dan untuk beristirahat di rumah. Selain itu aku memang ingin melepas rindu kepada keluargaku.
Aku menuju ke bandara Frankfurt am Main, setiba di sana aku segera check-in untuk mendapat boarding pass. Lalu aku menuju gate pesawat tujuanku. Sendiri aku berada di ruang tunggu pesawat, banyak orang berlalu lalang, dan itu sedikit mengalihkan pikiranku, tetapi terkadang debar itu masih kurasa bila ingatan itu terlintas.
Akhirnya pesawatku datang. Jakarta, aku akan datang. Aku menghela nafas, inilah kedatanganku pertamaku setelah sembilan tahun di Jerman. Tujuh belas jam aku melakukan penerbangan transit. Rasanya capek luar biasa.
Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, setelah mengambil koper, aku menaiki taksi. Aku memang melarang papa dan mama untuk menjemputku. Aku tidak ingin menyusahkan mereka, cukup duduk di rumah menungguku.
Taksi mulai menyusuri jalan-jalan di kota ini, memang benar kata Lia, jalan-jalan ini mulai berubah, dengan banyaknya gedung perkantoran, dan beberapa pembangunan, sedikit mengubah pandanganku, untuk sementara bisa mengesampingkan memori yang melekat. Tetapi, sesampainya di jalan menuju rumahku, hatiku berdesir, mataku menghangat. Aku menahan air mata yang akan tejatuh. Kuhela nafasku pelan. Memejamkan mata. Kuatkan hatiku, Ya Tuhan.
Setibanya di depan gang menuju rumah, aku menghentikan pak supir taksi.
"Berhenti di sini aja, Pak. Saya bisa jalan kok."
Sejenak aku memikirkan kata-kata itu ketika sampai di depan gang ini. Ah, aku menepisnya.
Aku berjalan dengan jantung berdebar, perasaan senang akan bertemu keluarga, tetapi terselip perasaan yang kembali menyelubung hatiku. Mencoba menepis, tetapi terasa perih.
Tiba di depan rumah, aku mengetuk pintu. Dengan tergopoh-gopoh mama membukakan pintu.
"Ya Tuhan, anakku! Valeria...." Dia memelukku erat.
Kami menangis sejadi-jadinya. Air mata seolah berlomba menuruni pipi kami. Papa datang dan ikut memelukku. Kami bertiga saling berpelukan. Selama beberapa menit kami hanyut dalam perasaan haru. Mama menciumi pipiku. Tidak banyak kata yang terucap saat itu, hanya pelukan, tangis haru dan ciuman yang ada.
"Ayo, sekarang masuk, jangan di depan pintu kangen-kangenannya. Valeria pasti juga capek." Kata Papa.
Mama segera menyadari hal itu, dia melepas pelukan dan merangkulku masuk. Papa membawakan koperku.
Papa dan mama sedang berada di rumah ketika aku pulang. Aku ingin menghabiskan waktu seharian bersama mereka. Papa memilih cuti sementara waktu agar bisa menemaniku selama di rumah. Sedangkan adikku, Cantika, bekerja agak jauh dari rumah sehingga dia memilih untuk kost. Hanya Bik Nah yang menemani papa dan mamaku.
"Non Valeria pulang," Kata Bik Nah menyambutku kemudian memelukku erat.
Saat memelukku, kerudung yang menutupi kepalanya terlihat melorot, sehingga memperlihatkan rambut Bik Nah yang telah memutih. Sudah lama sekali dia bekerja di keluarga ini. Bik Nah sendiri mulai bekerja di sini sewaktu aku lahir. Mama kerepotan menjagaku, sehingga untuk urusan bersih-bersih dibantu oleh Bik Nah.
Papa dan mama hanya tersenyum memperhatikan kami.
"Iya, Bik. Oh ya, ada oleh-oleh untuk Satrio." Kataku setelah Bik Nah melepas pelukannya.
Aku mengambil beberapa bungkus coklat dan mainan yang telah aku beli di Jerman. Kuserahkan kepada Bik Nah. Satrio adalah cucu Bik Nah. Dia ditinggal oleh orang tuanya, ibunya meninggal, dan ayahnya menikah lagi. Sekarang, Satrio tinggal bersama Bik Nah dan Pak Pur, suami Bik Nah. Kalau ga salah sekarang umurnya 7 tahun.
"Makasih, Non. Air hangat akan saya siapkan jika Non Valeria mau mandi."
Aku mengangguk.
"Iya, sayang, kamu duduk dulu di sini, sementara Bik Nah menyiapkan air." Kata mama sambil menepuk kursi di sebelahnya.
"Kamu itu, kenapa kurusan?" Tanya mama.
"Ah, masa iya ma?"
Iya, pasti kamu suka lupa makan, dari dulu kamu ga berubah, jika udah bekerja, lupa akan perut kamu."
"Iya, nak. Bekerja itu penting. Tetapi kesehatan juga penting." Kata papa menambahi.
"Iya, pa, ma. Jangan kuatir, Val ini sehat kok."
Mereka menggeleng-geleng kepala.
"Tuh, tehnya diminum dulu, Val. Kamu pasti kangen teh buatan mama." Tebak mama yakin.
"Iya, ma. Meski di sana pun ada teh, tapi lidah Val tetep ga bisa move on dari teh bikinan mama."
"Nah, makanya sekarang diminum dulu." Kata ayah sambil mengambil cangkirnya, menemaniku minum.
"Iya, Pa." Kuambil secangkir teh milikku. Memang enak dan segar rasanya.
Kapan Cantika pulang, ma?" Lanjutku.
"Biasanya setiap Sabtu dia pulang."
Bik Nah tiba-tiba datang, "Non, airnya sudah siap."
"Ya, Bik. Makasih."
Aku segera mengambil handuk dan berlari ke kamar mandi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Ani Widodo
wadooowww...kayaknya bakal ketemu si perenggut kehormatan
2021-04-26
0
Lastri M Saleh
makin seru
2020-12-26
1
luluk
lanjut
2020-09-24
1